Kayana yang sempat mengangkat gelas arak untuk dia minum diurungkan, gelas itu ditaruh kembali di atas meja. Paham benar saat ini Sajani sedang marah, “Kau juga pasti paham, Sajani. Khandra bukan lelaki buaya apalagi mencintai wanita semacam ulat bulu itu,” terang Kayana membuat Sajani bernapas lega. ‘Dasar orang-orang aneh, Sajani mengkhawatirkan Khandra, sedangkan Khandra sendiri pikiran dipenuhi kekhawatiran akan Permaisuri Rengganis,’ keluh Kayana dalam hati menoleh ke arah Sajani dan Khandra bergantian. “Kau benar Kayana, Khandra kita tidak mungkin seperti itu,” jawab Sajani tersenyum, wajahnya memerah mirip buah apel yang ada di piring saji di meja. “Sajani, aku paham kau mencintai Khandra, kau tidak berniat mengungkapkan rasa cintamu?” Kayana berucap kemudian saking sebalnya menjadi pendengar dan pengamat akan tingkah laku para sahabatnya. Bagi Kayana mungkin akan lebih baik jika Sajani mengungkapkan perasaan pada Khandra. Setidaknya dia ingin Khandra tidak
Khandra merasa lemas dan terkejut mendengar penuturan anak buahnya. Dia berupaya mencari keberadaan Rengganis setelah mendengar duduk permasalahan. Khandra merasa bersalah pada diri sendiri tidak mampu memberikan perlindungan bagi Permaisuri Kerajaan Baskara tersebut.*** Beberapa waktu lalu, ketika hendak pulang berburu. Gerombolan penyamun datang menyerang. Para kesatria sibuk bertarung, aduk kekuatan. Dencing pedang beradu menggema bersamaan teriakan dan bau anyir darah. Rengganis yang melihat itu gemetar, bayangan masa lalu menghantui. Ingatan silam kala sang suami menebas leher ibundanya terngiang-ngiang. “Jangan biarkan mereka lolos!” teriak salah seorang di antara mereka. Seorang lelaki berkepala botak berkacak pinggang. Terlihat seperti pimpinan di antara mereka. “Permaisuri, mari kita lari!” Dua orang kesatria membentuk pagar untuk menyelamatkan Rengganis. Salah seorang merangkul dan membawa Rengganis berlari. “Ketua, wanita itu kabur,” kata salah seor
"Terima kasih Guru Besar," ujar salah seorang kesatria. "Jaga diri kalian baik-baik," jawab lelaki bertopeng tersebut. Lelaki itu melompat ke udara, gerakan secepat kilat dan kemudian menghilang. "Siapa kisanak tadi?" tanyanya. "Beliau Guru Besar pemilik Padepokan Elang Putih tempatku menimba ilmu," jawab kesatria itu berbinar. "Ah, kita telah berhutang budi," jawab salah seorang lagi. "Baiklah, mari kita cari Permaisuri Rengganis dan yang lain!" ajak salah seorang lagi. Mereka bergegas pergi menyusuri hutan. *** Di tempat berbeda, Rengganis masih berlari menghindari penyamun tersebut. Dia kabur entah ke mana tujuannya. Dia ketakutan, tubuh bergetar hebat, beberapa kulit terluka lantaran terkena semak belukar berduri. Kesatria yang membantunya sedang bertarung dengan para penyamun yang mengejarnya. Tinggal dia seorang diri, bersembunyi di balik akar sebuah pohon besar. 'Duh Gusti, lindungi aku,' kata Rengganis memeluk lututnya s
Melihat wajah kusam dengan bekas tanah kering masih tercetak jelas. Sudah dipastikan wanita itu berkutat tanah dan lumpur juga saat melarikan diri. Rengganis yang malang. Suara gamelan berbunyi nyaring, Rengganis menoleh ke kanan-kiri tidak ada siapa pun. Dia menghela napas kencang, penuh kesadaran pada rasa frustrasi menggelayut. Dia menginginkan kekuatan luar biasa demi mewujudkan dendamnya. Tatapan Rengganis menajam penuh keyakinan. "Aku mau, apa pun itu asal aku bisa memiliki kekuatan besar untuk merebut kembali Kerajaan Baskara," tekad Rengganis. Nyi Gendeng Sukmo melihat kesungguhan Rengganis lalu tersenyum lebar. "Mari kita lakukan penyatuan sekarang juga." Wanita lelembut itu berbinar. Nyi Gendeng Sukmo menutup mata komat-kamit merapalkan mantra. Angin berembus kencang sekali. Suara gending jawa semakin terdengar nyaring dengan alunan musik makin kencang. Ketika membuka mata, netra Nyi Gendeng Sukmo berubah menjadi merah menyala. Tubuh Rengganis bergetar d
Rengganis membuka mata, melihat sekeliling, ruangan berbentuk gua. Di mana lampu minyak menyinari. Kepala Rengganis berdenyut, dia langsung melonjak bangkit berdiri, meraba tubuh bagian depan. Serpihan ingatan kembali membayang, rasa sakit luar biasa dia rasa sungguh menyakitkan. Rengganis menengok ke sekeliling. Dia melotot ke arah gua yang temaram itu, pada ujung ruangan Rengganis melihat Nyi Gendeng Sukmo melangkah mendekati membawa sebuah bakul kecil berisi buah. “Makanlah Cah Ayu, kau lapar kan,” ujar Nyi Gendeng Sukmo lalu duduk di bebatuan yang digunakan Rengganis untuk berbaring. “Bagaimana tubuhmu?” tanyanya. “Aku tadi merasa ingin mati, tetapi sekarang baik-baik saja,” aku Rengganis, dia melihat ke arah langit-langit gua yang nampak temaram, ruangan tersebut cukup luas, dengan beratap dan dinding batu, pahatan dari alam. Rengganis lalu bertanya, “Ini di mana?” “Ah, kau ada di gua yang berada di tengah air terjun,” jawab Nyi Gendeng Sukmo menyerahkan buah apel
Belum sempat Rengganis meminta penjelasan, Nyi Gendeng Sukmo sudah menghilang tanpa jejak. Rengganis bangkit berdiri, dia hendak berteriak. Namun, sebuah bayangan hitam dari arah luar mengarah semakin mendekat. "Argh!" Rengganis berteriak lantang, jantung berdegup kencang. Wanita itu ambruk jatuh ke tanah basah. 'Kurang ajar kau Nyi Gendeng, meninggalkan diriku sendiri,' keluh Rengganis dengan tubuh yang semakin gemetaran. Bayangan tersebut nampak semakin mendekat. Dia mengangkat kedua tangan menyilang di depan wajah sebagai pertahanan. "Tidak, jangan mendekat, jangan bunuh saya!" teriaknya. "Permaisuri Rengganis," suara yang tidak asing terdengar. Rengganis menurunkan kedua tangan kemudian melotot melihat sosok tegap memandang dengan binar. "Senapati Khandra," panggil Rengganis tidak percaya. "Saya, Permaisuri," jawab Khandra hendak melangkah, berniat membantu Rengganis bangkit berdiri. "Tidak, tetap di tempatmu!" perintah Rengganis. Dia takut
Kayana, Sajani, dan beberapa orang kesatria pilihan Ki Kastara sedang dalam perjalanan pulang dari meninjau tempat pertahanan Kerajaan Baskara di ujung utara. Hari sudah gelap, hujan pun turun. Mereka menunggangi kuda dengan hati-hati melewati jalan setapak. Kayana sendiri sedang menyamar menjadi Khandra, dia mengenakan jubah hitam, dengan mulut ditutup kain. Tidak ada yang curiga lantaran beberapa kali Khandra memang berpenampilan demikian saat bertugas. Sang senapati sendiri tengah menjenguk Permaisuri Rengganis, segalanya harus berjalan aman agar terkendali juga tidak menimbulkan kecurigaan pada Ki Kastara. Sajani mensejajarkan kudanya dengan milik Kayana. "Kayana, kita berhenti di sana. Sepertinya itu kedai makan dan tempat penginapan." Sajani menyarankan. Gadis itu menyipitkan ke arah depan, di mana sebuah bangunan luas ramai pengunjung. "Kau benar, kuda kita juga butuh istirahat." Kayana menepikan kudanya ke bagian samping, di mana sebuah bagunan beratap tanpa tadi
Lelaki bertubuh gempal itu tampak mengangkat tangan kanan lalu berencana membelai wajah mulus Sajani. Dengan gesit wanita itu menangkis. Senyum lelaki itu lenyap berubah menjadi tatapan tajam, dadanya nampak kembang kempis. Dia mengintimidasi Sajani melalui tatapan mata merahnya. Sungguh sayang seribu sayang, Sajani bergeming. Dengan santai dia menghela napas kasar sebagai protes rasa keberatan dirinya diusik. "Enyahlah dari hadapanku bandot tua!" cebik Sajani. "Kau." Lelaki itu menunjuk ke arah wajah Sajani. "Dasar jalang sialan, kau menghinaku, huh?" Lelaki tersebut berdiri lalu berkacak pinggang. "Argh! Wanita sialan, pelacur jual mahal!" umpatnya mengibaskan tangan hingga hidangan di atas meja Sajani berhamburan. "Argh!" desis lelaki tersebut. Gedebuk! Prang! Minuman dan makanan bersama perkakas lainnya jatuh ke tanah. Argh! Teriakan wanita dan beberapa pengunjung terkejut ada pula yang ketakutan melihat lelaki tadi murka. Suasana menjadi tidak enak, sang