Jarum jam sudah melewati angka dua dini hari ketika tubuh Nayara menggeliat pelan di atas ranjang. Suhu tubuhnya masih panas, tapi rasa nyeri di perutnya mulai sedikit mereda setelah cairan infus mengalir selama beberapa jam. Ia membuka matanya perlahan, napasnya berat. Tenggorokannya kering. Dan yang lebih mendesak lagi, ia ingin buang air kecil.Dengan susah payah, Nayara menggulingkan tubuhnya ke sisi ranjang. Tangannya gemetar saat berusaha melepaskan selimut. Tubuhnya masih terasa lemas, dan infus di tangannya menghambat geraknya.Devanka, yang duduk di sofa tidak jauh dari ranjang, masih terjaga, mengecek perkejaannya via ponsel.Begitu melihat gerakan dari ranjang, alis pria itu terangkat sedikit.“Apa lagi?” gumamnya datar.Nayara tidak menjawab. Ia menggertakkan gigi, mencoba bangkit. Namun ketika satu kaki turun ke lantai dan tubuhnya miring, pandangannya langsung berkunang.Tubuhnya oleng.Dalam sepersekian detik sebelum ia jatuh, tangan Devanka sudah lebih dulu menyambar
Nayara menggenggam perutnya erat-erat, tubuhnya gemetar hebat. Ia nyaris terjatuh sebelum berhasil mencapai kamar mandi. Suara muntah terdengar keras, menggema dalam ruangan kecil berubin putih itu. Air matanya bercucuran, bercampur keringat dingin yang membasahi wajah dan lehernya."Astaga ... kenapa ini ...," isaknya lirih, tubuhnya menggeliat kesakitan.Tak lama, ia kembali muntah. Isi perutnya nyaris habis, tapi rasa mual dan nyeri terus bergejolak.Beberapa menit kemudian, dengan tubuh lemas, Nayara merangkak keluar dari kamar mandi. Ia tertatih-tatih ke arah ranjang dan menjatuhkan diri di sisi kasur, napasnya berat dan terengah.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari meja samping."Hallo ...?" Suaranya terdengar serak. "T-tolong kirimkan dokter, perut saya sakit sekali setelah makan makanan yang tadi kalian kirim. Kamar 1210.""Baik, Ma'am. Kami akan segera memanggil dokter. Mohon tunggu beberapa menit."Nayara meletakkan ponselnya kembali, lalu menutup mata, pening ka
"Jalan-jalan aja, deh. Sayang juga kalau habis sarapan langsung balik ke hotel, kayaknya pemandangannya bagus," gumamnya. Nayara memutuskan berjalan menyusuri trotoar di sepanjang area resort. Ia juga masuk ke beberapa toko suvenir, butik khas Eropa, dan toko cokelat lokal yang harum aroma manisnya. Ia membeli syal bermotif salju untuk dirinya, serta beberapa oleh-oleh seperti cokelat, mug, dan selimut hangat berbahan wol untuk mama mertuanya.Di tengah asyiknya berbelanja, muncul empat pria kekar berpakaian serba hitam, wajah-wajah khas Asia Timur dengan jas dan earset kecil di telinga mereka. Mereka mendekat dengan sopan."Nona Nayara, kami bodyguard yang disewa Tuan Seno untuk memantau perjalanan Anda dengan Tuan Devanka. Maaf kalau sejak kemarin kami hanya mengawasi dari kejauhan karena ada Tuan Devanka di sisi Nona. Sekarang, kami akan mengawasi jarak dekat saat Nona keluar sendiri," ucap salah satu pria itu dengan sopan.Nayara mengangguk pelan. Ia tidak kaget, sejak awal, ia
“Halo? Nayara? Kamu baik-baik aja?” Suara pria dari seberang telepon terdengar cemas.Devanka langsung membentak, “Siapa kau?!” “Eh, maaf, saya temannya Nayara dari—”“Denger baik-baik, dasar brengsek! Jangan pernah hubungi istriku lagi!” sembur Devanka, suaranya meledak seperti bom. “Dia udah nikah! Dan aku suaminya!”“Tunggu, saya nggak ada maksud—”Klik!Panggilan dimatikan sepihak. Dengan geram, Devanka melempar ponsel itu ke kasur, lalu mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar tanpa satu kata pun.Pintu tertutup keras di belakangnya.Di dalam kamar mandi, Nayara mendongak. Suara pintu itu membuatnya tahu Devanka telah pergi. Ia berdiri, menggenggam wastafel untuk menopang tubuhnya yang gemetar. Begitu keluar, wajahnya tampak hancur, matanya sembab, pipinya pucat, dan rambutnya sedikit kusut.Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke ranjang, menarik selimut tebal hingga menutupi tubuhnya, memejamkan mata erat-erat. Sampai keesokan harinya, hotel mewah yang terkenal deng
“Aku harus balik ke kamar sekarang. Suamiku nyariin,” gumam Nayara sambil menatap layar ponselnya yang masih menyala.Vanya langsung menatapnya tajam. “Nay, denger, ya,” ujarnya serius, tangannya mencengkeram jemari sahabatnya. “Kamu nggak boleh terus lemah. Orang yang terlalu lemah itu gampang diinjak, Nay. Kalau kamu memang memutuskan bertahan, kamu harus lawan. Tegas! Jangan biarin dirimu sendiri terus disiksa begini!”Nayara menunduk, mengangguk kecil.“Jangan ngangguk doang. Kamu harus inget, kamu berharga. Kalau dia anggap kamu beban, itu karena dia terlalu buta buat lihat siapa kamu sebenernya.”“Aku ngerti, Van. Makasih, ya,” kata Nayara dengan suara nyaris pecah.Vanya menghela napas. “Oke. Tapi nanti kamu harus telepon aku, ya. Ceritain kelanjutannya, jangan disimpen sendiri.”“Iya, aku telepon.”“Janji?”“Janji.”Nayara pun berdiri dan berjalan cepat ke arah lift, meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya dengan cemas.***Pintu kamar terbuka pelan. Napas Nayara ter
“Devanka! Buka pintunya sekarang juga!” suara Calysta terdengar lantang dari balik pintu.Dengan rahang mengeras, Devanka melangkah cepat dan membuka pintu kamar. Di ambang pintu berdirilah Calysta, tangan mencengkeram pinggul, dagu terangkat tinggi.“GILA KAMU, YA?!” semburnya langsung. “Tinggalin aku begitu aja demi Nayara?! Aku sendirian di sana kayak orang bego nungguin kamu balik!”Napasnya memburu, mata menyipit tajam.“Kamu pilih cewek kampung itu daripada aku?! Dia yang nyari masalah, kok, kamu yang jadi repot? Kamu liat, tuh—” Calysta menunjuk ke arah Nayara yang masih terbaring lemah di ranjang. “Liat! Udah nyusahin, sekarang malah jadi beban! Harusnya kamu nggak usah bawa dia ke Swiss! Dia itu cuma—”Ceklek!Devanka mendorong tubuh Calysta ke luar ambang pintu.“Ayo pergi, Calysta. Jangan gaduh di sini, nanti ganggu pengunjung lain,” bisiknya.“Hah? Pengunjung lain atau istrimu itu yang kamu maksut?”Devanka tidak menjawab, langsung menggandeng tangan Calysta ke kamar khusu