Share

Hancur Lagi

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-01 22:35:26

Waktu terus merayap hingga melewati tengah hari, tapi Devanka belum juga keluar dari kamar.

Nayara duduk di meja makan sendirian. Pandangannya tak lepas dari jam dinding yang berdetak pelan. Pukul satu siang lewat dua belas menit.

"Apa dia sakit?" gumam Nayara khawatir.

Akhirnya, ia memutuskan membuka aplikasi pemesanan makanan online dan memesan bubur ayam dari restoran.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, makanan datang.

Nayara buru-buru menuangkan bubur panas itu ke dalam mangkok keramik, menambahkan telur rebus dan taburan daun bawang. Ia lalu membuat teh jahe panas, menaruhnya di nampan kayu bersama sendok dan tisu.

Setelah memastikan semuanya rapi, ia berjalan pelan ke depan kamar Devanka.

Tok! Tok! Tok!

"Mas …."

Hening.

Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Mas Devanka? Udah jam makan siang, aku bawain bubur dan teh jahe. Takut Mas sakit gara-gara semalam mabuk."

Tetap tidak ada jawaban.

Nayara menarik napas dalam. Dengan ragu, tangannya meraih gagang pintu. Ia mencobanya pelan.

Tidak dikunci.

“Masuk sedikit saja nggak papa kali, ya? Cuma mau naruh makanan,” gumamnya.

Ia membuka pintu perlahan, lalu menyusup masuk. Kamar itu remang, tirai tertutup rapat, aroma alkohol dan parfum pria bercampur jadi satu.

Di atas ranjang, Devanka masih meringkuk di bawah selimut, wajahnya menghadap ke dinding.

Nayara meletakkan nampan pelan di nakas. Lalu duduk di pinggiran ranjang, menatap punggung suaminya.

“Mas … ayo bangun sebentar. Makan dulu, ya?” Ia menyentuh pelan lengan Devanka.

Pria itu bergerak, perlahan menoleh. Matanya sembab dan pandangannya masih kabur.

Detik berikutnya, alis tebalnya berkerut.

"Keluar!" bentaknya dengan suara parau.

Nayara tersentak, tapi sudah menduga respon suaminya akan marah-marah lagi saat melihat wajahnya. Jadi, ia cukup tenang kali ini karena sudah memperkirakan sebelumya.

Tetap duduk di tempatnya, ia menjawab lembut, "Aku cuma mau pastikan Mas makan. Kalau telat makan, nanti sakit. Mama dan Papa tadi pagi ke sini bawa tiket bulan madu ke Swiss, dan kita harus berangkat nanti malam. Kalau Mas jatuh sakit, mereka pasti curiga.”

Devanka menyeringai sinis. “Bodoamat mau sakit mau apa, itu bukan urusanmu.”

Nayara menunduk. Ucapan itu jelas menyayat perasaannya, tapi ia tetap diam. Bohong kalau ia tidak terluka, meski setiap hari mendengar makian dan penghinaan dari mulut suaminya, tetap saja hatinya tidak bisa kebal.

Ia menatap pria itu dengan mata sendu, lalu berkata lirih, "Aku khawatir, Mas. Kalau Mama Papa tahu Mas mabuk, pasti mereka kecewa. Aku begini biar Mas cepet sehat dan Mama Papa nggak tahu."

“Keluar! Sekarang juga,” ulang Devanka dingin, suaranya lebih tinggi. “Aku kehilangan selera makan begitu melihatmu.”

Nayara mengangguk pelan. “Iya, deh, aku keluar.”

Ia berdiri, mengambil langkah mundur pelan-pelan tanpa berkata apa pun lagi. Tangannya sempat berhenti di pintu, sempat menoleh sebentar, lalu benar-benar keluar dan menutupnya kembali.

Begitu keluar kamar, ia bersandar di dinding luar, matanya terpejam sejenak, lalu mendesah panjang.

Ia tahu, tetap tinggal dalam pernikahan ini adalah keputusan berat. Tapi ia sudah memilih bertahan. Menabung kesabaran, menutup telinga dari semua hinaan, dan menahan sakit sendirian.

"Semoga aja aku kuat sampai akhir, semoga juga aku bisa nahan air mataku biar nggak netes lagi" gumamnya pelan, lalu berjalan ke kamarnya sendiri.

***

Langit malam mulai menggelap saat mobil hitam berhenti di depan terminal keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta. Sopir membuka pintu untuk Devanka dan Nayara, sementara dua orang bodyguard lainnya membawakan koper-koper mereka.

Sepanjang perjalanan dari apartemen ke bandara, tak satu pun dari mereka berbincang. Hanya suara deru mobil dan gemuruh jalanan yang mengisi kabin mobil.

Nayara duduk di kursi belakang, menatap kosong ke arah jalanan yang diterangi lampu kota. Sesekali ia melirik Devanka yang duduk di sebelahnya, dengan earphone terpasang dan pandangan tertuju ke luar jendela.

Dingin, seperti biasa.

“Aku nggak lihat Calysta,” gumam Nayara dalam hati. “Mungkin Mas Devanka takut Mama dan Papa tahu, makanya nggak ngajak dia?”

Namun, tak butuh waktu lama untuk logikanya menepis harapan itu. "Atau … bisa jadi dia atur agar Calysta menyusul belakangan? Entahlah. Aku nggak bisa nebak isi pikirannya.”

Setelah proses check-in dan boarding, mereka naik ke pesawat yang akan membawa mereka dari Jakarta menuju Zurich. Rute penerbangannya melalui Doha, Qatar, transit selama dua jam sebelum melanjutkan penerbangan ke Zurich yang totalnya memakan waktu hampir delapan belas jam.

Sepanjang penerbangan, Nayara merasa seperti duduk di samping orang asing. Devanka sama sekali tak menoleh atau menyapa. Ia sibuk dengan tablet-nya, entah sedang mengerjakan apa atau hanya pura-pura sibuk.

Nayara memejamkan mata, mencoba tidur meskipun pikirannya tak berhenti menari ke segala arah.

Tiga puluh jam kemudian ....

Salju lembut menyelimuti pinggiran jalan, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Begitu tiba di Zurich dan keluar dari bandara, Devanka dan Nayara yang diikuti oleh beberapa bodyguard bawahan Seno itu segera menuju ke hotel yang telah dipesankan sebelumnya

Hotelnya mewah, terletak di kawasan elite dekat Danau Zurich. Pemandangan dari balik kaca begitu menenangkan. Tapi hati Nayara justru terasa lebih gersang dari sebelumnya.

Saat check-in, bodyguard papa mertuanya masih bersama mereka, membantu pengurusan kamar dan koper. Namun setelah semua selesai, dua bodyguard itu pamit kembali ke hotel terdekat yang memang disediakan terpisah.

Nayara menarik napas panjang, berpikir mereka hanya berdua di tempat ini. Namun , jeda lima menit setelah masuk ke lobi, sebuah suara menyapa dengan lembut dari belakang.

"Devanka …."

Tubuh Nayara menegang seketika. Suara itu sangat ia kenal, membuatnya sontak berbalik.

Calysta.

Dengan mantel putih dan rambut bergelombang yang dibiarkan terurai, wanita itu berjalan mendekat sambil tersenyum tipis.

"Aku kira kamu nyusul nanti malam," ucap Devanka sambil memeluk sang kekasih, seperti tak peduli Nayara berdiri tepat di sebelahnya.

"Aku tukar tiketku jadi lebih awal. Lagipula, bosan sendirian di Jakarta," sahut Calysta santai, lalu menyelipkan tangannya ke lengan Devanka.

Nayara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jadi, Devanka tetap memberangkatkan Calysta?

Ia kira, Devanka hanya pergi bersamanya tadi, padahal ia sudah lega saat di bandara tak bertemu Calysta. Ternyata mereka memang sengaja beda penerbangan, mungkin agar tidak ketahuan bodyguard sang papa.

Devanka menoleh sekilas. "Aku booking kamar untukmu di lantai atas, Nay. Sementara aku dan Calysta di kamar utama. Kau jangan ganggu."

Ucapannya seperti belati yang menghujam dada Nayara tanpa ampun. Gadis itu menunduk, tidak ingin terlihat lemah, tapi di dalam dadanya pertahanan kembali runtuh.

“Kamar nomor 1210. Kopermu juga udah diantar ke atas,” tambah Devanka singkat, sebelum berjalan ke lift bersama Calysta.

Tanpa menunggu, Nayara pun melangkah ke lift lain, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Ia menatap pantulan dirinya di dinding lift yang mengilat.

Saat sampai di kamarnya, Nayara membuka pintu dengan tangan bergetar. Ruangan itu hangat dan indah, tapi terlalu sepi untuk menampung semua kekalutan di dadanya.

Ia duduk di tepi ranjang, melepaskan mantelnya, dan memeluk diri sendiri. Ia benci saat kembali terpuruk, padahal tadi pagi yakin kalau ia mampu bertahan di bawah tekanan suaminya.

Kenapa keadaan tak bisa dikendalikan dengan mudah? Kenapa ia kalah lagi? Kenapa perasaan harus dihancurkan lagi setelah susah payah menguatkan?

"Bahkan di negeri seindah ini… aku tetap sendirian," racaunya pilu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ros
Makanya jgn lebayy… lawan… nikmati aja hari mu … jalan2 sendiri… belanja… makan minum pesan di hotel…enjoy aja. Siapa tau ketemu cowok yg baik . Dan lg bilang aja sm mertua. Mau kuliah kek atau kerja kek, biar ga bosen dirumh
goodnovel comment avatar
Nona Storey
wkjshsiwn1bsuhepq
goodnovel comment avatar
Natasha
owjbshuukq
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 167

    Tiga minggu berlalu, hari-hari terasa seperti satu garis panjang tanpa tanggal bagi Devanka. Lorong rumah sakit sudah seperti bagian dari hidupnya, ia hafal bunyi pintu otomatis ICU, hafal suara monitor yang sering berubah ritme, hafal bau antiseptik yang menusuk seperti pengingat bahwa istrinya belum kembali padanya.Meski kedua bayi sudah diperbolehkan pulang seminggu lalu, Devanka tetap tinggal di rumah sakit. Dian dan Seno membawa pulang cucu-cucu mereka, merawatnya dengan perhatian penuh. Setiap hari video call masuk ke ponsel Devanka, Dian menunjukkan si kecil yang baru selesai mandi, atau Seno menimang si bayi perempuan yang suka menguap kecil. Namun, Devanka tak sanggup memberi nama pada mereka tanpa persetujuan sang istri.“Aku tunggu Nayara bangun dulu, Ma,” jawaban itu selalu keluar dengan suara seraknya, dan Dian tak pernah memaksa lagi.Pagi itu, jam tujuh lewat sedikit, Devanka masuk ke ruang ICU. Udara dinginnya membuat kulitnya merinding, tapi ia tidak pernah lupa m

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 166

    Lorong rumah sakit seperti menelan suara Devanka. Kata 'koma' bergema berkali-kali dalam kepalanya, memantul di rongga dada, menghantam keras seperti batu. Ia berdiri mematung, tak tahu harus memegangi bagian mana dari dirinya yang terasa paling hancur.Tangannya gemetar, napasnya seperti tersangkut di kerongkongan.Ucapannya tercekat, pecah di sela-sela isaknya, “Nayara nggak mungkin ninggalin aku kayak gini.”Namun tubuhnya tak mampu bergerak.Dokter Melati memberi isyarat pada perawat.“Pindahkan Ibu Nayara ke ICU. Siapkan ventilator dan monitor lengkap.”Perawat langsung masuk kembali ke ruang operasi, menyiapkan brankar. Ketika pintu kembali terbuka, Nayara dibawa keluar.Bukan lagi Nayara yang tadi menggeliat kesakitan sambil memanggil nama suaminya dengan manja, kini tubuh pucat itu tak bergerak, wajahnya tertutup masker oksigen, rambutnya tergerai acak menempel pada kening berkeringat dingin. Infus menjuntai di kiri kanan, selang-selang kecil menempel di dada, dan monitor berg

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 165. Melahirkan

    Beberapa Bulan Kemudian Hujan mengetuk kaca jendela kamar seperti jarum-jarum gelisah. Malam itu dingin, padahal kalender baru menunjukkan awal bulan kesembilan kehamilan Nayara. Namun tubuhnya berbeda, makin berat, pegal, dan napasnya pendek-pendek. Di ranjang, Nayara mengerjap, memegangi perutnya. “Mas.” Suaranya lirih, pecah oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam dari dalam. “Sakit sekali.” Lampu meja menyala dalam sekejap, Devanka bangun dengan ekspresi panik. “Sakit di mana? Perutnya kenapa?” “Perutku kayak ditarik, Mas. Sakit banget.” Devanka langsung turun ranjang, menopang tubuh istrinya. “Sayang, lihat aku. Tarik napas, ya, pelan-pelan aja biar tenang.” Nayara meremas lengan suaminya. “Enggak bisa, Mas, tolong ….” Gelombang kontraksi mendadak, terasa cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Nayara bahkan tidak bisa berdiri, untuk bergerak saja rasanya seluruh tenaganya lenyap. Hanya bisa menangis sambil meremas tangannya sendiri. Gelombang kont

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 164

    “Ya, Pak Bimo?” Di seberang, terdengar embusan napas berat, lalu suara penyidik yang biasanya tenang kini bergetar tipis. “Pak Devanka, maaf menghubungi Bapak lagi. Ada perkembangan baru, sangat mendesak.” Devanka menegakkan bahu. “Apa lagi?” Hening sepersekian detik. Nayara menggenggam ujung dress-nya, menahan napas. “Riona ditemukan meninggal, Pak.” Devanka membeku. “A-apa?” Nayara spontan menutup mulutnya. Penyidik melanjutkan. “Riona bunuh diri di dalam sel. Petugas jaga mendapati dia sekitar lima belas menit lalu.” Devanka menatap kosong ke halaman yang barusan penuh tawa Nayara. “Bagaimana bisa?” tanyanya lirih bercampur dingin, seperti air es yang retak. “Kami sedang kumpulkan semua kronologi,” kata Pak Bimo cepat. “Tapi gambaran awal begini, Pak ... pukul 16.10, Riona masih terlihat duduk diam di sudut sel. Petugas perempuan memberinya air minum, tidak menunjukkan gejala bertindak yang membahayakan, hanya menangis sesekali. Pukul 16.28, CCTV menangkap d

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 163

    Lorong kantor polisi menguarkan bau kopi dan kertas basah. Devanka berjalan dengan langkah tegap, setelan hitamnya memotong udara pagi yang lembap. Beberapa polisi yang lewat refleks merapikan topi atau berdiri lebih lurus, auranya memang begitu, memaksa orang lain bersikap rapi tanpa perlu bicara. Seorang penyidik keluar dari ruang interogasi. “Pak Devanka?” Devanka mengangguk. “Bagaimana hasilnya?” Penyidik itu menatap berkas di tangannya sebelum menjawab. “Sudah ada perkembangan. Riona mengaku semuanya karena dipaksa papanya. Paksaannya sudah dari jauh hari, tekanannya cukup berat sehingga dia nggak ada pilihan lain selain nurut.” Devanka tetap diam, wajahnya tak berubah. Penyidik melanjutkan, “Dan soal motif utama, jelas. Harlan punya dendam pribadi karena Bapak pernah menolak kerja sama bisnisnya.” Devanka hanya menarik napas tipis. “Itu aku sudah duga.” Polisi berdeham panjang, lalu menambahkan. “Ada info baru, Pak, setelah kami cocokkan data, identitas, dan rekam j

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 162

    Raka menyetir lebih hati-hati dalam perjalanan pulang kali ini, trauma rem mendadak di pelataran rumah tadi masih membayangi. Begitu gerbang mansion terbuka otomatis, Raka sempat bersiul pelan. “Kalau rumah segede ini masih bisa dimasukin orang buat nyebar racun, ya, ampun ... saya resign aja kali.” Mobil Devanka berhenti. Bosnya turun tanpa banyak bicara. Aura dingin itu masih ada, tapi sudah lebih terkendali setelah Harlan dan Riona resmi diborgol. Raka buru-buru mengekor. “Pak, kalau nanti mereka bebas karena pengacaranya licik—” “Mereka tidak akan bisa bebas!” seru Devanka tegas. Raka langsung mengangkat tangan. “Baik, Pak. Saya percaya seratus persen. Tadi mereka pucet kayak kertas fax, Pak.” Devanka hanya menghela napas tipis lalu melangkah ke ruang keluarga. Tampak Seno duduk di sofa dengan sweater abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan beliau sudah bersiap tidur tapi menunda demi menunggu kabar. Begitu melihat Devanka datang, mata tuanya langsung menaja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status