"Siapa dia?"
Baru saja pintu unit tertutup, Devanka kembali melemparkan tanya tentang pria tadi. Nayara yang sedang melepas hoodie-nya terdiam. Ia tahu suaminya tak langsung mempercayai, jantungnya berdebar hebat. "Itu Rayan, Mas. Teman lama waktu SMA. Nggak ada hubungan apa-apa, dia juga nggak sengaja ke sini." Devanka menatapnya dengan rahang mengeras. Ia melangkah pelan, mendekati Nayara. Tatapan matanya gelap, seperti badai yang belum selesai. "Gimana dia tahu kamu di sini? Kau kasih tau, atau—" "Enggak," sahut Nayara cepat, gelagapan saat baru sadar tak sengaja menyela ucapan suaminya. "Tadi dia lihat aku dimarahi Bu Lilis, lalu katanya mengikuti mobil kita—" "Oke, cukup!" Devanka mengangkat tangannya isyarat agar Nayara berhenti. "Kalau begitu, lebih baik kita buat semuanya lebih fleksibel aja." Nayara mengerutkan alis. "Fleksibel? Maksud Mas apa?" Devanka berbalik, kakinya melangkah menuju minibar yang terletak tak jauh dari pintu, mengambil satu gelas kaca di sana. Ia mengisi dengan air yang diambil dari kulkas, lantas meneguknya hingga habis baru kemudian menatap istrinya lagi. "Open marriage. Aku tetap dengan Calysta, dan kau bebas berteman atau menjalin hubungan dengan siapa pun, seperti pria tadi. Aku tidak akan mencampuri, sampai waktunya tiba untuk kita bercerai." Nayara membeku, wajahnya pucat pasi. Yang benar saja? Open marriage? Sedetik pun hal itu tak pernah terlintas di benaknya. "Apa Mas pikir aku akan terima pernikahan semacam itu? Dimana Mas tetap bisa bersama wanita lain, dan aku dibiarkan menggantung seperti nggak ada harga dirinya?" "Kau bebas memilih siapa pun yang kau mau, termasuk Rayan," ujar Devanka dingin. "Seharusnya kau senang aku bebaskan, dengan begini kita bisa sama-sama bahagia dan nggak tertekan sama pernikahan sialan ini." Wajah tampan itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi berlebih, seolah tak ada beban saat mengatakannya. Namun, tidak sadarkan ada hati yang tercabik mendengar kalimat menyakitkan itu? "Tapi aku nggak pernah berniat dekat dengan siapa pun meski Mas dekat sama wanita lain. Aku masih menganggap ini pernikahan yang harus kupertahankan meskipun aku sendiri nggak tahu bagaimana caranya bertahan di dalamnya, Mas," rintih Nayara, setitik cairan bening mengalir membasahi pipi, tapi tak cukup membuat pria itu iba. "Itu urusanmu. Aku hanya memberi usulan, kalau nggak terima, ya, sudah." Nayara terisak, matanya kian panas. "Open marriage itu bukan solusi, hanya nambah masalah." Devanka tidak menjawab, melenggang begitu saja dari hadapan istrinya menuju kamar. Ia mengambil beberapa barangnya yang ketinggalan, tak lama kemudian keluar lagi bergegas membuka pintu dan berjalan keluar unit, meninggalkan Nayara yang masih berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang dingin. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Dengan lemas ia membukanya, mengusap air mata yang menghalangi pandangannya. [Aku tahu kamu nggak bahagia. Kalau kamu butuh bantuan, atau sekadar teman bicara, kamu bisa hubungi aku kapan pun. Aku tahu laki-laki tadi nggak memperlakukanmu dengan baik, Nay. Aku khawatir dan peduli sama kamu. Rayan.] Nayara menggenggam ponselnya erat, perasaan bercampur aduk setelah membaca pesan teks itu. Malam itu ia duduk di pojok kamar, memeluk lutut dengan mata sembab. Hingga keesokan paginya, suara bel pintu mengejutkannya. Saat membuka, ia mendapati Mama dan Papa mertuanya berdiri di depan pintu dengan wajah lembut. “Selamat pagi, Nak,” sapa Dian sambil mengangkat sekotak besar kue dan map yang nampaknya berisi berkas-berkas. Di sampingnya, berdiri Seno, sang Papa mertua yang seperti biasa tampak tegas. “Boleh kami masuk, Nay?” “Oh, tentu, silakan, Ma, Pa,” ucap Nayara terbata, cepat-cepat menyeka wajahnya yang masih kuyu itu sebelum mempersilakan mereka masuk. Dian langsung menuju sofa dan meletakkan map cokelat besar di atas meja. “Mama bawakan kue favoritmu. Dan ini ....” Ia menunjuk map itu. “Tiket bulan madu yang baru, karena jadwal kemarin gagal, kan? Ini sudah kami atur semuanya.” Nayara menatap map itu dengan pandangan kosong, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Ma.” “Devanka belum bangun?” tanya Seno sambil melirik ke arah lorong kamar. Nayara langsung tegang, detak jantungnya berpacu tak karuan. “Mas Devanka masih tidur, Pa. Semalam dia pulang larut banget, kayaknya capek.” Keduanya saling melirik. Dian tampak menghela napas panjang. “Mama dan Papa berharap kalian benar-benar memanfaatkan waktu bulan madu nanti, Nay. Ke Swiss, seminggu penuh, tempatnya indah. Bisa jadi awal yang baru untuk kalian.” Nayara tersenyum kaku. “Iya, Ma.” Setelah berbasa-basi sebentar, kedua mertuanya akhirnya berpamitan. Dian memeluk Nayara sebelum keluar, membuat hati gadis itu menghangat. Begitu pintu tertutup, kelegaan dan nyeri bercampur dalam dada Nayara. Ia meraih map cokelat yang tergeletak di meja, lalu membukanya. Ia membayangkan pegunungan Alpen, salju yang menutupi atap rumah, dan malam-malam hangat di dalam kabin kayu dengan api unggun menyala di perapian. Sangat romantis. Sayangnya, yang nanti akan berada di sebelah Devanka di tempat tidur bukan dirinya, tapi Calysta. Yang menemani Devanka adalah wanita itu, sedangkan ia akan tetap sendirian. Tangannya melemas, kembali duduk di sofa sambil pikirannya menerawang ke jauh tentang nasib pernikahannya. Tiba-tiba, lamunannya pecah saat suara pintu utama dibuka kasar dari luar. Nayara tersentak, menoleh cepat ke arah pintu. Devanka. Dengan kemeja kusut, mata sembab, dan aroma alkohol yang menusuk, pria itu masuk berjalan sempoyongan seraya berpegangan pada dinding. Jaketnya melorot dari bahu, matanya tampak merah. “Mas ...?” Nayara cepat-cepat berdiri, menghampiri. “Mas kenapa? Mas mabuk?” Devanka tidak menjawab. Ia menepis tangan Nayara yang hendak memapahnya. “Minggir!” desisnya lirih tapi tajam. Nayara mundur setapak, mematung di tempat. Devanka memejamkan mata sejenak sambil memegangi pelipis yang terasa berdenyut, lantas kembali berjalan sempoyongan menuju kamar. Tubuh jangkungnya nyaris rubuh beberapa kali. “Mas, tunggu. Aku bantu, ya?” Nayara masih mencoba menyentuh lengannya. “Buang tanganmu dariku, Sialan!” bentaknya, kali ini lebih keras. Tatapannya menusuk, penuh amarah yang tak jelas dari mana datangnya. Nayara terdiam. Tubuhnya kaku, jelas ia sangat khawatir. Takut suaminya kenapa-kenapa, padahal nanti malam mereka harus ke bandara. Bagaimana kalau Devanka tidak bisa bangun dan belum sadar sampai nanti malam? Mertuanya bisa curiga lagi. Devanka tidak peduli atas perhatian yang coba Nayara berikan. Ia membuka pintu kamar dan masuk dengan langkah terseret. Pintu kamar dibanting tertutup di belakangnya. "Huh, sebenernya yang bikin masalah itu Mas Devanka, tapi ujung-ujungnya aku yang disalahkan, dia kalau marah diluapkannya padaku. Tapi kalau aku coba nahan masalahnya, malah langsung diusir. Astaga ...," gumamnya pening.Berbeda dengan Dian yang sibuk memanjakan menantunya, Seno justru melangkah mendekat ke arah putranya. Tatapannya serius, meski tetap berusaha ramah di depan keluarga.“Dev, Papa mau bicara sebentar soal perusahaan.” Nada suaranya rendah, seolah tak ingin terdengar oleh Dian maupun Nayara.Devanka menghela napas singkat, lalu menggeleng. “Nggak sekarang, Pa. Aku mau langsung ke kantor.”Seno mengerutkan kening. “Langsung? Baru turun pesawat, kamu pasti masih jet lag. Istirahat dulu, at least satu-dua jam. Besok pun masih bisa kita bahas.”“Enggak, Pa.” Devanka berdiri, merapikan jas yang tadi sempat ia buka. “Ada yang harus aku selesaikan segera. Aku nggak bisa nunda.”Seno menatap lekat wajah putranya, menyadari gurat pucat yang jelas terlihat. “Tapi kamu pucat banget. Jangan maksain diri.”Devanka tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja.” Ia lalu menoleh ke bodyguard yang berdiri di sisi pintu. “Siapkan mobil, antar aku ke perusahaan sekarang.”“Baik, Tuan.”Dian sempat menahan, “Dev, m
Nayara menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang sudah sejak kemarin menumpuk. Namun begitu Yoona makin menjadi-jadi, kesabarannya habis. Ia menurunkan kacamata hitamnya, menatap tajam dengan mata yang masih sembab.“Udah cukup, Mbak!” jawab Nayara lirih, tapi menusuk. “Saya nggak peduli kamu siapa, ya ... Yoona, Calysta, atau siapa pun yang pernah ada di masa lalu suami saya. Mau kalian punya seribu cerita sekalipun, itu urusan kalian. Saya berdiri di sini sebagai istrinya, dan ikatan kami berdasar pada hukum agama dan negara. Mau sejuta kenangan kalian pun, tetap saya pemenangnya. Titik!”Yoona tersentak, lalu tertawa kecil, sinis. “Istrinya? Hahaha … jadi kamu bangga banget jadi istri Devanka? Padahal jelas-jelas dia masih bisa digoda kapan aja. Kamu itu cuma pelengkap, Sayang. Bisa saja kamu bukan satu-satunya, tapi hanya salah satunya, kan?”Nayara berdiri dari kursinya, tegak menatap Yoona. Wajahnya pucat karena lelah, tapi sorot matanya tajam dan anggun. “Kalau memang
Begitu mobil berhenti di depan villa, Devanka langsung turun. Gerbang terkunci rapat, lampu taman padam, dini hari benar-benar sepi. Ia cepat-cepat membuka pintu utama dengan kunci cadangan.“Semoga Nayara belum bangun,” gumamnya, meski nada suaranya berat, lebih seperti doa cemas.Langkahnya menapak tangga, jantung berdegup liar. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya beku.Nayara tergeletak di lantai, bersandar lemah di tepi ranjang. Rambut berantakan, pipi basah bekas air mata, bibir pucat.“Nayara?!” suara Devanka pecah. Ia berlari, berlutut, mengguncang tubuh istrinya. Kulitnya dingin. “Astaga!”Ia buru-buru mengangkat Nayara ke ranjang, memeluk erat, lalu mencari minyak kayu putih di laci. Dengan tangan gemetar ia menggosokkan ke dada, leher, kaki istrinya. “Sayang, bangun … tolong buka mata.”Namun Nayara tetap terpejam. Hanya bibirnya bergerak kecil tanpa suara.Devanka panik. Ia meraih ponselnya—mati. Baterai habis. “Sial!” desisnya. Kakinya menginjak benda keras kala tak se
Nayara duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Lampu kamar sudah diredupkan, selimut menyelimuti setengah tubuhnya. Kantuk sebenarnya mulai menekan matanya, tapi ia bersikeras menahan diri."Mas belum pulang juga, udah jam berapa ini? Apa urusannya se-urgent itu sampai nggak pulang-pulang?" gumamnya seraya mengusap mata memaksa untuk tetap terbuka.Ia menatap layar ponsel yang mati-nyala, jemarinya menggulir layar berulang tanpa arah. Sekadar membuka galeri, menatap foto mereka berdua. Senyum Devanka di sana membuat hatinya hangat, meski kini ada getir menyelip.“Aku mau kasih tahu kabar bahagia ini langsung ke Mas,” bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Napasnya tersendat, senyum tipis mengembang. “Aku hamil, Mas pasti seneng banget. Ah, tapi Mas malah nggak pulang-pulang.”Detik berikutnya, benda pipih itu bergetar di genggamannya. Notifikasi pesan masuk dari nomor asing. Alisnya bertaut bingung “Siapa ini jam segini?” gumamnya.Dengan jempol bergetar, ia membuka
“Ibu … ini sudah saya belikan,” ucap staf villa itu saat baru saja kembali, ia membawa kantong plastik kecil dari apotek. “Saya beli beberapa jenis tespek, biar lebih meyakinkan. Tapi sebaiknya dicoba besok pagi, ya, Bu. Hasilnya lebih akurat kalau pakai urine pertama setelah bangun tidur.” Nayara mengangguk cepat, tangannya bergetar saat menerima kantong itu. “O-oke, terima kasih banyak.” “Ya, Bu. Tidak perlu khawatir, tidur cepat saja malam ini dan besok bangun langsung tespek. Jangan begadang, Bu.” Nayara tersenyum manis. “Iya, saya ke kamar dulu.” Ia naik ke kamarnya dengan langkah pelan, kantong plastik itu ia peluk erat. Sesampainya di kamar, Nayara menatap benda itu lama. Dadanya berdebar kencang, napasnya tersengal. “Besok pagi katanya … tapi, aku nggak bisa nunggu,” bisiknya. Dengan tangan gemetar, ia membuka bungkus tespek pertama. Plastik bening robek, lalu batang putih kecil itu sudah tergenggam. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan duduk di kloset. Gera
“Mas, sudahlah ... aku pusing,” bisiknya lirih,menghentikan ucapan suaminya. Jemarinya meremas pelan tepi ujung bajunya. “Aku mau ke kamar aja. Kepalaku mendadak pening, rasanya nggak kuat kalau berdiri atau duduk lama.”Tanpa banyak bicara, pria itu langsung meraih lengan istrinya dengan lembut “Ayo ke kamar kalau begitu, bair nanti makanannya diantar saja sama stafnya,” jawabnya.Ia menggiring Nayara menuju kamar. Langkah Devanka tegap, tapi perlahan, menyesuaikan langkah istrinya yang mulai limbung. Sesampainya di kamar, ia membantu Nayara naik ke ranjang, menyingkap selimut, lalu membiarkan istrinya berbaring.Nayara menutup mata, wajahnya lelah. “Aku tidur dulu ya, Mas.”Devanka mengangguk tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala istrinya perlahan, jemarinya bergerak tenang di antara helaian rambut yang basah oleh keringat tipis. Napas Nayara mulai teratur, tubuhnya tenggelam dalam buaian mimpi.Beberapa menit Devanka hanya diam, menatap wajah istrinya yang damai. Namun