Share

Open Marriage

Auteur: Els Arrow
last update Dernière mise à jour: 2025-08-01 21:50:06

"Siapa dia?"

Baru saja pintu unit tertutup, Devanka kembali melemparkan tanya tentang pria tadi.

Nayara yang sedang melepas hoodie-nya terdiam. Ia tahu suaminya tak langsung mempercayai, jantungnya berdebar hebat.

"Itu Rayan, Mas. Teman lama waktu SMA. Nggak ada hubungan apa-apa, dia juga nggak sengaja ke sini."

Devanka menatapnya dengan rahang mengeras. Ia melangkah pelan, mendekati Nayara. Tatapan matanya gelap, seperti badai yang belum selesai.

"Gimana dia tahu kamu di sini? Kau kasih tau, atau—"

"Enggak," sahut Nayara cepat, gelagapan saat baru sadar tak sengaja menyela ucapan suaminya. "Tadi dia lihat aku dimarahi Bu Lilis, lalu katanya mengikuti mobil kita—"

"Oke, cukup!" Devanka mengangkat tangannya isyarat agar Nayara berhenti. "Kalau begitu, lebih baik kita buat semuanya lebih fleksibel aja."

Nayara mengerutkan alis. "Fleksibel? Maksud Mas apa?"

Devanka berbalik, kakinya melangkah menuju minibar yang terletak tak jauh dari pintu, mengambil satu gelas kaca di sana. Ia mengisi dengan air yang diambil dari kulkas, lantas meneguknya hingga habis baru kemudian menatap istrinya lagi.

"Open marriage. Aku tetap dengan Calysta, dan kau bebas berteman atau menjalin hubungan dengan siapa pun, seperti pria tadi. Aku tidak akan mencampuri, sampai waktunya tiba untuk kita bercerai."

Nayara membeku, wajahnya pucat pasi. Yang benar saja? Open marriage? Sedetik pun hal itu tak pernah terlintas di benaknya.

"Apa Mas pikir aku akan terima pernikahan semacam itu? Dimana Mas tetap bisa bersama wanita lain, dan aku dibiarkan menggantung seperti nggak ada harga dirinya?"

"Kau bebas memilih siapa pun yang kau mau, termasuk Rayan," ujar Devanka dingin. "Seharusnya kau senang aku bebaskan, dengan begini kita bisa sama-sama bahagia dan nggak tertekan sama pernikahan sialan ini."

Wajah tampan itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi berlebih, seolah tak ada beban saat mengatakannya. Namun, tidak sadarkan ada hati yang tercabik mendengar kalimat menyakitkan itu?

"Tapi aku nggak pernah berniat dekat dengan siapa pun meski Mas dekat sama wanita lain. Aku masih menganggap ini pernikahan yang harus kupertahankan meskipun aku sendiri nggak tahu bagaimana caranya bertahan di dalamnya, Mas," rintih Nayara, setitik cairan bening mengalir membasahi pipi, tapi tak cukup membuat pria itu iba.

"Itu urusanmu. Aku hanya memberi usulan, kalau nggak terima, ya, sudah."

Nayara terisak, matanya kian panas. "Open marriage itu bukan solusi, hanya nambah masalah."

Devanka tidak menjawab, melenggang begitu saja dari hadapan istrinya menuju kamar. Ia mengambil beberapa barangnya yang ketinggalan, tak lama kemudian keluar lagi bergegas membuka pintu dan berjalan keluar unit, meninggalkan Nayara yang masih berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang dingin.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Dengan lemas ia membukanya, mengusap air mata yang menghalangi pandangannya.

[Aku tahu kamu nggak bahagia. Kalau kamu butuh bantuan, atau sekadar teman bicara, kamu bisa hubungi aku kapan pun. Aku tahu laki-laki tadi nggak memperlakukanmu dengan baik, Nay. Aku khawatir dan peduli sama kamu. Rayan.]

Nayara menggenggam ponselnya erat, perasaan bercampur aduk setelah membaca pesan teks itu.

Malam itu ia duduk di pojok kamar, memeluk lutut dengan mata sembab.

Hingga keesokan paginya, suara bel pintu mengejutkannya. Saat membuka, ia mendapati Mama dan Papa mertuanya berdiri di depan pintu dengan wajah lembut.

“Selamat pagi, Nak,” sapa Dian sambil mengangkat sekotak besar kue dan map yang nampaknya berisi berkas-berkas.

Di sampingnya, berdiri Seno, sang Papa mertua yang seperti biasa tampak tegas. “Boleh kami masuk, Nay?”

“Oh, tentu, silakan, Ma, Pa,” ucap Nayara terbata, cepat-cepat menyeka wajahnya yang masih kuyu itu sebelum mempersilakan mereka masuk.

Dian langsung menuju sofa dan meletakkan map cokelat besar di atas meja. “Mama bawakan kue favoritmu. Dan ini ....” Ia menunjuk map itu. “Tiket bulan madu yang baru, karena jadwal kemarin gagal, kan? Ini sudah kami atur semuanya.”

Nayara menatap map itu dengan pandangan kosong, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Ma.”

“Devanka belum bangun?” tanya Seno sambil melirik ke arah lorong kamar.

Nayara langsung tegang, detak jantungnya berpacu tak karuan. “Mas Devanka masih tidur, Pa. Semalam dia pulang larut banget, kayaknya capek.”

Keduanya saling melirik. Dian tampak menghela napas panjang. “Mama dan Papa berharap kalian benar-benar memanfaatkan waktu bulan madu nanti, Nay. Ke Swiss, seminggu penuh, tempatnya indah. Bisa jadi awal yang baru untuk kalian.”

Nayara tersenyum kaku. “Iya, Ma.”

Setelah berbasa-basi sebentar, kedua mertuanya akhirnya berpamitan. Dian memeluk Nayara sebelum keluar, membuat hati gadis itu menghangat.

Begitu pintu tertutup, kelegaan dan nyeri bercampur dalam dada Nayara. Ia meraih map cokelat yang tergeletak di meja, lalu membukanya.

Ia membayangkan pegunungan Alpen, salju yang menutupi atap rumah, dan malam-malam hangat di dalam kabin kayu dengan api unggun menyala di perapian.

Sangat romantis.

Sayangnya, yang nanti akan berada di sebelah Devanka di tempat tidur bukan dirinya, tapi Calysta. Yang menemani Devanka adalah wanita itu, sedangkan ia akan tetap sendirian.

Tangannya melemas, kembali duduk di sofa sambil pikirannya menerawang ke jauh tentang nasib pernikahannya.

Tiba-tiba, lamunannya pecah saat suara pintu utama dibuka kasar dari luar. Nayara tersentak, menoleh cepat ke arah pintu.

Devanka.

Dengan kemeja kusut, mata sembab, dan aroma alkohol yang menusuk, pria itu masuk berjalan sempoyongan seraya berpegangan pada dinding. Jaketnya melorot dari bahu, matanya tampak merah.

“Mas ...?” Nayara cepat-cepat berdiri, menghampiri. “Mas kenapa? Mas mabuk?”

Devanka tidak menjawab. Ia menepis tangan Nayara yang hendak memapahnya.

“Minggir!” desisnya lirih tapi tajam.

Nayara mundur setapak, mematung di tempat.

Devanka memejamkan mata sejenak sambil memegangi pelipis yang terasa berdenyut, lantas kembali berjalan sempoyongan menuju kamar. Tubuh jangkungnya nyaris rubuh beberapa kali.

“Mas, tunggu. Aku bantu, ya?” Nayara masih mencoba menyentuh lengannya.

“Buang tanganmu dariku, Sialan!” bentaknya, kali ini lebih keras. Tatapannya menusuk, penuh amarah yang tak jelas dari mana datangnya.

Nayara terdiam. Tubuhnya kaku, jelas ia sangat khawatir. Takut suaminya kenapa-kenapa, padahal nanti malam mereka harus ke bandara. Bagaimana kalau Devanka tidak bisa bangun dan belum sadar sampai nanti malam? Mertuanya bisa curiga lagi.

Devanka tidak peduli atas perhatian yang coba Nayara berikan. Ia membuka pintu kamar dan masuk dengan langkah terseret. Pintu kamar dibanting tertutup di belakangnya.

"Huh, sebenernya yang bikin masalah itu Mas Devanka, tapi ujung-ujungnya aku yang disalahkan, dia kalau marah diluapkannya padaku. Tapi kalau aku coba nahan masalahnya, malah langsung diusir. Astaga ...," gumamnya pening.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (5)
goodnovel comment avatar
Ros
Biar aja mertua kamu tau… ga usah di tutup2 in. Ga bisa berangkat malam nya…. Ya sdh….bilang aja si devan msh mabuk…. Ga sadar diri.Moso ga mau lapor mertua…. Jgn lebayy
goodnovel comment avatar
Nona Storey
iaksiwhwgsipqn
goodnovel comment avatar
Natasha
nakaiqi2y3bdd
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 167

    Tiga minggu berlalu, hari-hari terasa seperti satu garis panjang tanpa tanggal bagi Devanka. Lorong rumah sakit sudah seperti bagian dari hidupnya, ia hafal bunyi pintu otomatis ICU, hafal suara monitor yang sering berubah ritme, hafal bau antiseptik yang menusuk seperti pengingat bahwa istrinya belum kembali padanya.Meski kedua bayi sudah diperbolehkan pulang seminggu lalu, Devanka tetap tinggal di rumah sakit. Dian dan Seno membawa pulang cucu-cucu mereka, merawatnya dengan perhatian penuh. Setiap hari video call masuk ke ponsel Devanka, Dian menunjukkan si kecil yang baru selesai mandi, atau Seno menimang si bayi perempuan yang suka menguap kecil. Namun, Devanka tak sanggup memberi nama pada mereka tanpa persetujuan sang istri.“Aku tunggu Nayara bangun dulu, Ma,” jawaban itu selalu keluar dengan suara seraknya, dan Dian tak pernah memaksa lagi.Pagi itu, jam tujuh lewat sedikit, Devanka masuk ke ruang ICU. Udara dinginnya membuat kulitnya merinding, tapi ia tidak pernah lupa m

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 166

    Lorong rumah sakit seperti menelan suara Devanka. Kata 'koma' bergema berkali-kali dalam kepalanya, memantul di rongga dada, menghantam keras seperti batu. Ia berdiri mematung, tak tahu harus memegangi bagian mana dari dirinya yang terasa paling hancur.Tangannya gemetar, napasnya seperti tersangkut di kerongkongan.Ucapannya tercekat, pecah di sela-sela isaknya, “Nayara nggak mungkin ninggalin aku kayak gini.”Namun tubuhnya tak mampu bergerak.Dokter Melati memberi isyarat pada perawat.“Pindahkan Ibu Nayara ke ICU. Siapkan ventilator dan monitor lengkap.”Perawat langsung masuk kembali ke ruang operasi, menyiapkan brankar. Ketika pintu kembali terbuka, Nayara dibawa keluar.Bukan lagi Nayara yang tadi menggeliat kesakitan sambil memanggil nama suaminya dengan manja, kini tubuh pucat itu tak bergerak, wajahnya tertutup masker oksigen, rambutnya tergerai acak menempel pada kening berkeringat dingin. Infus menjuntai di kiri kanan, selang-selang kecil menempel di dada, dan monitor berg

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 165. Melahirkan

    Beberapa Bulan Kemudian Hujan mengetuk kaca jendela kamar seperti jarum-jarum gelisah. Malam itu dingin, padahal kalender baru menunjukkan awal bulan kesembilan kehamilan Nayara. Namun tubuhnya berbeda, makin berat, pegal, dan napasnya pendek-pendek. Di ranjang, Nayara mengerjap, memegangi perutnya. “Mas.” Suaranya lirih, pecah oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam dari dalam. “Sakit sekali.” Lampu meja menyala dalam sekejap, Devanka bangun dengan ekspresi panik. “Sakit di mana? Perutnya kenapa?” “Perutku kayak ditarik, Mas. Sakit banget.” Devanka langsung turun ranjang, menopang tubuh istrinya. “Sayang, lihat aku. Tarik napas, ya, pelan-pelan aja biar tenang.” Nayara meremas lengan suaminya. “Enggak bisa, Mas, tolong ….” Gelombang kontraksi mendadak, terasa cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Nayara bahkan tidak bisa berdiri, untuk bergerak saja rasanya seluruh tenaganya lenyap. Hanya bisa menangis sambil meremas tangannya sendiri. Gelombang kont

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 164

    “Ya, Pak Bimo?” Di seberang, terdengar embusan napas berat, lalu suara penyidik yang biasanya tenang kini bergetar tipis. “Pak Devanka, maaf menghubungi Bapak lagi. Ada perkembangan baru, sangat mendesak.” Devanka menegakkan bahu. “Apa lagi?” Hening sepersekian detik. Nayara menggenggam ujung dress-nya, menahan napas. “Riona ditemukan meninggal, Pak.” Devanka membeku. “A-apa?” Nayara spontan menutup mulutnya. Penyidik melanjutkan. “Riona bunuh diri di dalam sel. Petugas jaga mendapati dia sekitar lima belas menit lalu.” Devanka menatap kosong ke halaman yang barusan penuh tawa Nayara. “Bagaimana bisa?” tanyanya lirih bercampur dingin, seperti air es yang retak. “Kami sedang kumpulkan semua kronologi,” kata Pak Bimo cepat. “Tapi gambaran awal begini, Pak ... pukul 16.10, Riona masih terlihat duduk diam di sudut sel. Petugas perempuan memberinya air minum, tidak menunjukkan gejala bertindak yang membahayakan, hanya menangis sesekali. Pukul 16.28, CCTV menangkap d

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 163

    Lorong kantor polisi menguarkan bau kopi dan kertas basah. Devanka berjalan dengan langkah tegap, setelan hitamnya memotong udara pagi yang lembap. Beberapa polisi yang lewat refleks merapikan topi atau berdiri lebih lurus, auranya memang begitu, memaksa orang lain bersikap rapi tanpa perlu bicara. Seorang penyidik keluar dari ruang interogasi. “Pak Devanka?” Devanka mengangguk. “Bagaimana hasilnya?” Penyidik itu menatap berkas di tangannya sebelum menjawab. “Sudah ada perkembangan. Riona mengaku semuanya karena dipaksa papanya. Paksaannya sudah dari jauh hari, tekanannya cukup berat sehingga dia nggak ada pilihan lain selain nurut.” Devanka tetap diam, wajahnya tak berubah. Penyidik melanjutkan, “Dan soal motif utama, jelas. Harlan punya dendam pribadi karena Bapak pernah menolak kerja sama bisnisnya.” Devanka hanya menarik napas tipis. “Itu aku sudah duga.” Polisi berdeham panjang, lalu menambahkan. “Ada info baru, Pak, setelah kami cocokkan data, identitas, dan rekam j

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 162

    Raka menyetir lebih hati-hati dalam perjalanan pulang kali ini, trauma rem mendadak di pelataran rumah tadi masih membayangi. Begitu gerbang mansion terbuka otomatis, Raka sempat bersiul pelan. “Kalau rumah segede ini masih bisa dimasukin orang buat nyebar racun, ya, ampun ... saya resign aja kali.” Mobil Devanka berhenti. Bosnya turun tanpa banyak bicara. Aura dingin itu masih ada, tapi sudah lebih terkendali setelah Harlan dan Riona resmi diborgol. Raka buru-buru mengekor. “Pak, kalau nanti mereka bebas karena pengacaranya licik—” “Mereka tidak akan bisa bebas!” seru Devanka tegas. Raka langsung mengangkat tangan. “Baik, Pak. Saya percaya seratus persen. Tadi mereka pucet kayak kertas fax, Pak.” Devanka hanya menghela napas tipis lalu melangkah ke ruang keluarga. Tampak Seno duduk di sofa dengan sweater abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan beliau sudah bersiap tidur tapi menunda demi menunggu kabar. Begitu melihat Devanka datang, mata tuanya langsung menaja

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status