Masuk“Bulan madu kalian tetap harus dilanjutkan,” ucap Dian—Mama Devanka dengan tegas, duduk di sofa ruang tamu bersama suaminya.
Nayara hanya diam di samping Devanka. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menahan seluruh guncangan batin yang nyaris meledak sejak mereka tiba kembali di penthouse. “Ada perubahan jadwal,” lanjut Seno—pria paruh baya dengan setelan rapi dan raut gahar penuh wibawa itu. “Penerbangan diundur dua hari, kami sudah atur ulang. Akan ada orang kepercayaan Papa yang dampingi kalian selama di sana.” Devanka tak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, bahkan tak sedikit pun melirik Nayara. Dian menghela napas berat, lalu menatap sang putra. “Dev, Mama mohon ... untuk kali ini, jangan buat istrimu terluka lagi. Mama ikut sedih kalau seperti ini.” Tak ada reaksi dari Devanka. Hanya kedipan matanya yang terlihat lambat dan senyum kecut terukir enggan di bibirnya. “Kami pulang dulu, Nayara,” ucap Dian sambil menyentuh pipi sang menantu. “Kamu istirahat, ya. Tadi Mama taruh teh jahe di dapur buat kamu minum nanti, biar kamu tenang.” Nayara hanya mengangguk pelan. Suaranya tercekat, tak kuasa menyahut. Begitu kedua orangtua Devanka keluar dari pintu, atmosfer ruangan langsung berubah drastis. Sunyi. Tegang. Devanka beranjak bangkit, menyandarkan diri di dinding sejenak, lalu menatap Nayara dari atas ke bawah dengan pandangan dingin dan tajam. “Kau puas?” katanya lirih, tapi terasa seperti tamparan di udara. Nayara menunduk. “Aku nggak tahu Mama Papa datang ” “Kelakuanmu ini kekanak-kanakan, kau mengundang mereka ikut campur ke dalam pernikahan ini.” “Mas pikir aku nyaman begini?” Nayara menatapnya dengan mata berkaca, suaranya gemetar hebat. “Mas pikir aku bahagia harus pulang ke sini lagi dan diperlakukan seperti nggak ada harga dirinya? Aku juga nggak mau ....” Wajah Devanka menggelap. Ia melangkah mendekat satu langkah. “Kalau kau nggak kabur, aku nggak perlu repot menjemputmu seperti penculik.” “Kalau Mas tidak memperlakukanku seperti sampah, aku juga tidak akan kabur!” Mata Devanka menyipit. “Diam. Kau tidak punya hak bicara seolah kau korban!” Tubuh mungil itu menggigil hebat, air mata menitik deras meluapkan ketakutan setelah melontarkan perlawanannya. Nayara menggigit bibir, hatinya teramat nyeri saat tak ada celah untuk berontak. Tanpa berkata-kata lagi, Devanka mengambil jasnya dari sandaran kursi. “Aku keluar.” “Ke mana?” “Bukan urusanmu.” Pintu ditutup keras di belakangnya, membuat Nayara terlonjak. Ia terduduk di sofa, lalu mengubur wajahnya dalam telapak tangan. Air mata jatuh, entah ke berapa kalinya hari itu. Ia baru hendak menarik napas panjang ketika suara notifikasi dari ponsel mengejutkannya. Pesan dari nomor tak dikenal. [Kamu nggak apa-apa?] Nayara mengerutkan alis. "Nomor siapa ini?" [Aku tadi lihat kamu dibentak dan dibawa masuk mobil di jalan depan gang rumah kontrakan. Kamu masih inget aku nggak, Nay? Ini Rayan.] Deg! Nama itu menggetarkan hati Nayara. Rayan—teman lamanya semasa sekolah, laki-laki yang dulu pernah menyatakan cinta padanya, tapi ditolak baik-baik olehnya karena situasi keluarganya sedang kacau. [Aku tadi nekat ngikutin karena khawatir kamu kenapa-kenapa. Sekarang aku ada di depan gedung apartemen tempat kamu dibawa.] Tangan Nayara bergetar membaca pesan terakhir itu. "Nekat benget dia. Kalau Mas Devanka tahu gimana?" Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dan menyeka wajahnya cepat-cepat. Ia turun ke lobi dengan hoodie menutupi sebagian wajahnya. Dan benar saja, Rayan berdiri di luar pintu kaca lobi dengan hoodie abu-abu dan celana jeans. Sorot matanya khawatir begitu melihat Nayara muncul. “Nayara!” ucapnya, langsung mendekat. "Udah lama nggak lihat kamu setelah Ayahmu sakit dan aku ke luar kota, gimana kabarmu sekarang?" “Kamu kenapa ngikutin aku?” Nayara balik bertanya, netranya melirik kesana-kemari berharap suaminya sudah benar-benar pergi dari gedung ini. “Maaf. Aku tahu ini nekat, tapi aku takut kamu kenapa-kenapa. Tadi yang bawa kamu mobil mewah, dan kamu juga nangis-nangis. Aku nggak bisa tinggal diam,” sahut pria itu, deru napasnya masih terdengar ngos-ngosan. Mata Nayara memanas lagi. “Aku baik-baik aja …,” ucapnya pelan. Rayan mendekat, tapi masih menjaga jarak sopan. “Laki-laki yang bawa kamu tadi siapa? Kenapa kamu bisa ada di sini? Kalau kamu nggak nyaman, kamu bilang aja sama aku. Aku bantu nyari tempat tinggal lain.” Belum sempat Nayara merespons, suara berat tiba-tiba menyentak gendang telinganya. “Hebat.” Nayara membeku, lekas menunduk menyembunyikan wajahnya. Rayan memutar kepala. Di belakang mereka, berdiri Devanka, menatap tajam dengan mata nyalang, satu tangan masih memegang kunci mobil. “Aku tinggal sebentar, kau sudah main belakang?” “Bukan begitu—” “Tutup mulutmu!” Rayan menggeser kakinya, memasang badan di hadapan Nayara. “Anda siapa? Kenapa kasar banget sama temen saya? Ini temen—” “Teman?” Devanka melangkah maju, memotong cepat ucapan Rayan. “Yakin?” Nayara maju cepat, berdiri di antara keduanya. “Tolong jangan salah paham! Rayan cuma khawatir karena lihat aku diusir Bu Lilis tadi, dia … dia nggak tahu apa-apa soal kita, Mas!” Tatapan Devanka hanya terfokus padanya sekarang. Matanya begitu dingin dan membakar. “Naik.” “Mas, Tolong—” “Naik sekarang, atau aku seret kau.” Wajah Nayara memucat. Sementara Rayan melangkah mundur. “Nayara, dia siapa? Nggak usah ikut kalau nggak nyaman.” “Diam!” bentak Devanka. “Jangan ikut campur.” Nayara menghela napas, lalu menunduk dan berbisik ke Rayan, “Terima kasih … tapi tolong jangan cari aku lagi. Ini suamiku, aku sudah menikah dan aku harus patuh sebagai istri.” Ia berjalan pelan mengikuti Devanka yang sudah melangkah lebih dulu ke lift tanpa peduli perasaannya. Sesaat sebelum pintu lift menutup, Nayara sempat menoleh, mata Rayan masih menatapnya penuh kekhawatiran. "Kenapa baru datang sekarang?" batinnya sendu.Tiga minggu berlalu, hari-hari terasa seperti satu garis panjang tanpa tanggal bagi Devanka. Lorong rumah sakit sudah seperti bagian dari hidupnya, ia hafal bunyi pintu otomatis ICU, hafal suara monitor yang sering berubah ritme, hafal bau antiseptik yang menusuk seperti pengingat bahwa istrinya belum kembali padanya.Meski kedua bayi sudah diperbolehkan pulang seminggu lalu, Devanka tetap tinggal di rumah sakit. Dian dan Seno membawa pulang cucu-cucu mereka, merawatnya dengan perhatian penuh. Setiap hari video call masuk ke ponsel Devanka, Dian menunjukkan si kecil yang baru selesai mandi, atau Seno menimang si bayi perempuan yang suka menguap kecil. Namun, Devanka tak sanggup memberi nama pada mereka tanpa persetujuan sang istri.“Aku tunggu Nayara bangun dulu, Ma,” jawaban itu selalu keluar dengan suara seraknya, dan Dian tak pernah memaksa lagi.Pagi itu, jam tujuh lewat sedikit, Devanka masuk ke ruang ICU. Udara dinginnya membuat kulitnya merinding, tapi ia tidak pernah lupa m
Lorong rumah sakit seperti menelan suara Devanka. Kata 'koma' bergema berkali-kali dalam kepalanya, memantul di rongga dada, menghantam keras seperti batu. Ia berdiri mematung, tak tahu harus memegangi bagian mana dari dirinya yang terasa paling hancur.Tangannya gemetar, napasnya seperti tersangkut di kerongkongan.Ucapannya tercekat, pecah di sela-sela isaknya, “Nayara nggak mungkin ninggalin aku kayak gini.”Namun tubuhnya tak mampu bergerak.Dokter Melati memberi isyarat pada perawat.“Pindahkan Ibu Nayara ke ICU. Siapkan ventilator dan monitor lengkap.”Perawat langsung masuk kembali ke ruang operasi, menyiapkan brankar. Ketika pintu kembali terbuka, Nayara dibawa keluar.Bukan lagi Nayara yang tadi menggeliat kesakitan sambil memanggil nama suaminya dengan manja, kini tubuh pucat itu tak bergerak, wajahnya tertutup masker oksigen, rambutnya tergerai acak menempel pada kening berkeringat dingin. Infus menjuntai di kiri kanan, selang-selang kecil menempel di dada, dan monitor berg
Beberapa Bulan Kemudian Hujan mengetuk kaca jendela kamar seperti jarum-jarum gelisah. Malam itu dingin, padahal kalender baru menunjukkan awal bulan kesembilan kehamilan Nayara. Namun tubuhnya berbeda, makin berat, pegal, dan napasnya pendek-pendek. Di ranjang, Nayara mengerjap, memegangi perutnya. “Mas.” Suaranya lirih, pecah oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam dari dalam. “Sakit sekali.” Lampu meja menyala dalam sekejap, Devanka bangun dengan ekspresi panik. “Sakit di mana? Perutnya kenapa?” “Perutku kayak ditarik, Mas. Sakit banget.” Devanka langsung turun ranjang, menopang tubuh istrinya. “Sayang, lihat aku. Tarik napas, ya, pelan-pelan aja biar tenang.” Nayara meremas lengan suaminya. “Enggak bisa, Mas, tolong ….” Gelombang kontraksi mendadak, terasa cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Nayara bahkan tidak bisa berdiri, untuk bergerak saja rasanya seluruh tenaganya lenyap. Hanya bisa menangis sambil meremas tangannya sendiri. Gelombang kont
“Ya, Pak Bimo?” Di seberang, terdengar embusan napas berat, lalu suara penyidik yang biasanya tenang kini bergetar tipis. “Pak Devanka, maaf menghubungi Bapak lagi. Ada perkembangan baru, sangat mendesak.” Devanka menegakkan bahu. “Apa lagi?” Hening sepersekian detik. Nayara menggenggam ujung dress-nya, menahan napas. “Riona ditemukan meninggal, Pak.” Devanka membeku. “A-apa?” Nayara spontan menutup mulutnya. Penyidik melanjutkan. “Riona bunuh diri di dalam sel. Petugas jaga mendapati dia sekitar lima belas menit lalu.” Devanka menatap kosong ke halaman yang barusan penuh tawa Nayara. “Bagaimana bisa?” tanyanya lirih bercampur dingin, seperti air es yang retak. “Kami sedang kumpulkan semua kronologi,” kata Pak Bimo cepat. “Tapi gambaran awal begini, Pak ... pukul 16.10, Riona masih terlihat duduk diam di sudut sel. Petugas perempuan memberinya air minum, tidak menunjukkan gejala bertindak yang membahayakan, hanya menangis sesekali. Pukul 16.28, CCTV menangkap d
Lorong kantor polisi menguarkan bau kopi dan kertas basah. Devanka berjalan dengan langkah tegap, setelan hitamnya memotong udara pagi yang lembap. Beberapa polisi yang lewat refleks merapikan topi atau berdiri lebih lurus, auranya memang begitu, memaksa orang lain bersikap rapi tanpa perlu bicara. Seorang penyidik keluar dari ruang interogasi. “Pak Devanka?” Devanka mengangguk. “Bagaimana hasilnya?” Penyidik itu menatap berkas di tangannya sebelum menjawab. “Sudah ada perkembangan. Riona mengaku semuanya karena dipaksa papanya. Paksaannya sudah dari jauh hari, tekanannya cukup berat sehingga dia nggak ada pilihan lain selain nurut.” Devanka tetap diam, wajahnya tak berubah. Penyidik melanjutkan, “Dan soal motif utama, jelas. Harlan punya dendam pribadi karena Bapak pernah menolak kerja sama bisnisnya.” Devanka hanya menarik napas tipis. “Itu aku sudah duga.” Polisi berdeham panjang, lalu menambahkan. “Ada info baru, Pak, setelah kami cocokkan data, identitas, dan rekam j
Raka menyetir lebih hati-hati dalam perjalanan pulang kali ini, trauma rem mendadak di pelataran rumah tadi masih membayangi. Begitu gerbang mansion terbuka otomatis, Raka sempat bersiul pelan. “Kalau rumah segede ini masih bisa dimasukin orang buat nyebar racun, ya, ampun ... saya resign aja kali.” Mobil Devanka berhenti. Bosnya turun tanpa banyak bicara. Aura dingin itu masih ada, tapi sudah lebih terkendali setelah Harlan dan Riona resmi diborgol. Raka buru-buru mengekor. “Pak, kalau nanti mereka bebas karena pengacaranya licik—” “Mereka tidak akan bisa bebas!” seru Devanka tegas. Raka langsung mengangkat tangan. “Baik, Pak. Saya percaya seratus persen. Tadi mereka pucet kayak kertas fax, Pak.” Devanka hanya menghela napas tipis lalu melangkah ke ruang keluarga. Tampak Seno duduk di sofa dengan sweater abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan beliau sudah bersiap tidur tapi menunda demi menunggu kabar. Begitu melihat Devanka datang, mata tuanya langsung menaja







