“Nayara!”
Suara yang menggema dari arah jalan utama itu membuat Nayara menoleh. Ia baru saja selesai membersihkan seluruh sudut rumah yang berdebu karena cukup lama tidak dibersihkan. Buru-buru Nayara meletakkan sapu di dekat pintu saat menyadari ibu pemilik rumah kontrakan yang datang. Wajahnya tampak masam dan kedua tangan bersedekap. “Kamu balik ke sini mau ngapain?” Nayara menunduk sopan. “Saya mau tinggal lagi di sini, Bu.” “Kamu nggak bisa tinggal lagi di sini, rumah ini statusnya udah saya kontrakin ke orang lain. Waktu bapakmu meninggal, kamu pergi nggak pamit, sewa nggak dibayar juga. Sekarang tahu-tahu balik, dan minta tinggal gratisan?” “Maaf, Bu. Saya waktu itu memang belum bisa pikir panjang. Saya lagi butuh tempat sekarang, saya akan cari kerja dulu, setelah itu saya bisa bayar,” ucap Nayara dengan suara bergetar. Bu Lilis melengos. “Lha kamu kira hidup segampang itu, Dek? Ini kota besar, bukan dunia sinetron. Kalau dalam minggu ini kamu belum punya uang buat bayar, angkat kaki dari sini. Saya udah janjiin ke orang lain.” Nayara benar-benar mengira ia akan merasa lebih baik begitu meninggalkan apartemen suaminya. Dia pikir, pulang ke rumah sewanya dulu akan jadi titik awal untuk bangkit. Dia sudah pergi dari Devanka. Sudah menyerah pada semua yang menindas dan melukainya. Namun bahkan di tempat ini, hidup tetap tak memberinya ruang bernapas. Ia menghela napas berat. Terpikir besok akan cari pekerjaan, tetapi pekerjaan apa yang bisa memberinya upah banyak dalam satu minggu? Dia tak punya siapa-siapa. Tak bisa minta tolong ke siapa pun. Tangannya meraba dompet, uang tinggal sedikit. Semua gerak geriknya tak lepas dari pengawasan Bu Lilis, membuat wanita paruh baya itu semakin mencibir. “Makanya ... orang miskin tuh jangan gaya, Nayara! Rumah kontrak aja telat bayar, utang belum lunas, sekarang balik-balik mau numpang lagi?! Enak banget hidup!” Bu Lilis terus mengomel, bahkan menarik koper kecil Nayara yang tak jauh dari pintu dan melemparkannya ke halaman. “Apa kamu kira ini tempat penampungan?! Kamu udah kabur waktu bapak kamu meninggal, saya anggap itu lari dari tanggung jawab. Sebenarnya saya muak buat terima kamu lagi!” “Cukup!” Suara berat dan dingin itu membuat keduanya menoleh. Mata Nayara membelalak. Bibirnya bergetar. Jantungnya berdetak kencang saat melihat pria itu berdiri di sana. Suaminya ada di sini? Bagaimana bisa? Dengan raut tegas tanpa gurat senyum sedikitpun, Devanka berjalan ke arahnya dan sesekali melirik wajahnya. Perasaan Nayara sudah tidak karuan. Ia tidak tahu harus merasa lega atau takut atas kehadiran pria itu. Apa mungkin selamanya ia tidak bisa pergi dari Devanka? “Ada apa ini?” tanya Devanka kemudian. Bu Lilis mendengus. “Kamu siapa?” “Suaminya,” ujar pria itu tanpa basa-basi. Bu Lilis mendelik kaget. “Oh … ya udah, bilangin ke istrimu ini. Kontrak rumah udah habis. Dia punya utang dua bulan, belum bayar! Saya kira kabur, makanya sekarang saya usir. Udah cukup dia dan bapaknya hidup di sini gratisan!” Mata Devanka menyipit, ekspresinya tak terbaca. “Berapa utangnya?” “Dua juta setengah, plus satu bulan ke depan kalau mau tinggal di sini lagi.” Tanpa banyak bicara, Devanka mengambil dompet dan menyerahkan uang tunai. “Saya lunasi semuanya. Jangan ganggu dia lagi.” Meski terkejut, Bu Lilis buru-buru merebut uang itu, lalu mendengus dan pergi begitu saja tanpa terima kasih. Setelah wanita itu hilang dari pandangan, Devanka menoleh tajam ke arah Nayara. Sorot matanya gelap. “Kau ini bisa apa selain nyusahin?!” Nayara mencoba berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tidak bisa bicara, tubuhnya lemas. “Kau ke sini karena Calysta? Harusnya kau tahu batas dan nggak pantas punya perasaan lebih!” maki Devanka bertubi-tubi. Nayara masih diam. Tidak ada gunanya berbicara saat semuanya hanya dianggap salah. “Naik mobil sekarang. Kita pulang,” ucap Devanka tajam. “Buat apa? Mas nggak pernah anggap aku, apa bedanya kalau aku di sini?” tanya Nayara dengan suara bergetar menahan tangis. Pria itu kembali membalikkan badan, tatapan matanya kian menghunus tajam. “Seharusnya pernikahan ini memang nggak ada, kan, Mas? Seharusnya Mas juga senang aku memilih pergi.” Devanka menghela napas panjang. Jika bukan tuntutan mamanya, ia juga enggan menyetir jauh ke tempat ini dan membayar utang Nayara, ucapan barusan membuatnya semakin muak. “Kau berani jawab sekarang?” “Menjawab atau tidak, Mas akan tetap merendahkanku.” Seringai tipis muncul di bibir tampan itu. “Jangan sok! Atau kurobek mulutmu kalau masih bikin masalah!” Devanka menarik pergelangan tangan Nayara dengan kasar, tak peduli istrinya kesakitan sepanjang jalan menuju mobil. Ia mengambil koper yang tergeletak di halaman dan melemparkan ke dalam mobil, begitu juga Nayara yang dipaksa masuk. Detik berikutnya, kendaraan mewah itu melaju kencang menuju penthouse yang tak lebih dari penjara bagi Nayara. Rupanya, sekuat apapun usahanya, takdir tetap membawanya kembali ke tangan Devanka. Pintu penthouse terbuka. Devanka dan Nayara masuk, suasana tegang masih menggantung di antara mereka. “Nayara ....” Suara hangat mama mertuanya menyambutnya pertama kali. Wanita paruh baya itu langsung memeluk Nayara dengan erat. Tangannya mengusap pelan punggung sang menantu. “Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” bisiknya lembut. Nayara tidak sanggup menjawab. Sementara Devanka berdiri di belakang mereka, diam dengan rahang mengeras. Namun, dari sorot matanya, jelas dia tak suka. “Tenang, Mama sudah usir Calysta. Dia nggak akan ganggu kamu lagi. Dan Mama sudah ancam Devanka juga, kalau dia berani sakiti kamu lagi, Mama dan Papa akan kasih hukuman yang lebih berat.” Ucapan wanita itu membuat Nayara mengangkat kepala perlahan. Ternyata dirinya dicari bukan karena suaminya menginginkannya, tetapi atas dasar paksaan mertuanya. Pantas saja Devanka bisa tahu rumah lamanya, pasti mertuanya juga yang mengatakan. Mustahil pria angkuh itu mau cari tahu sendiri, sedangkan untuk menjemput saja harus diancam. ‘Sampai kapanpun, mungkin Mas Devanka memang nggak pernah menginginkan aku. Dia hanya takut kehilangan posisinya sebagai ahli waris.’Berbeda dengan Dian yang sibuk memanjakan menantunya, Seno justru melangkah mendekat ke arah putranya. Tatapannya serius, meski tetap berusaha ramah di depan keluarga.“Dev, Papa mau bicara sebentar soal perusahaan.” Nada suaranya rendah, seolah tak ingin terdengar oleh Dian maupun Nayara.Devanka menghela napas singkat, lalu menggeleng. “Nggak sekarang, Pa. Aku mau langsung ke kantor.”Seno mengerutkan kening. “Langsung? Baru turun pesawat, kamu pasti masih jet lag. Istirahat dulu, at least satu-dua jam. Besok pun masih bisa kita bahas.”“Enggak, Pa.” Devanka berdiri, merapikan jas yang tadi sempat ia buka. “Ada yang harus aku selesaikan segera. Aku nggak bisa nunda.”Seno menatap lekat wajah putranya, menyadari gurat pucat yang jelas terlihat. “Tapi kamu pucat banget. Jangan maksain diri.”Devanka tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja.” Ia lalu menoleh ke bodyguard yang berdiri di sisi pintu. “Siapkan mobil, antar aku ke perusahaan sekarang.”“Baik, Tuan.”Dian sempat menahan, “Dev, m
Nayara menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang sudah sejak kemarin menumpuk. Namun begitu Yoona makin menjadi-jadi, kesabarannya habis. Ia menurunkan kacamata hitamnya, menatap tajam dengan mata yang masih sembab.“Udah cukup, Mbak!” jawab Nayara lirih, tapi menusuk. “Saya nggak peduli kamu siapa, ya ... Yoona, Calysta, atau siapa pun yang pernah ada di masa lalu suami saya. Mau kalian punya seribu cerita sekalipun, itu urusan kalian. Saya berdiri di sini sebagai istrinya, dan ikatan kami berdasar pada hukum agama dan negara. Mau sejuta kenangan kalian pun, tetap saya pemenangnya. Titik!”Yoona tersentak, lalu tertawa kecil, sinis. “Istrinya? Hahaha … jadi kamu bangga banget jadi istri Devanka? Padahal jelas-jelas dia masih bisa digoda kapan aja. Kamu itu cuma pelengkap, Sayang. Bisa saja kamu bukan satu-satunya, tapi hanya salah satunya, kan?”Nayara berdiri dari kursinya, tegak menatap Yoona. Wajahnya pucat karena lelah, tapi sorot matanya tajam dan anggun. “Kalau memang
Begitu mobil berhenti di depan villa, Devanka langsung turun. Gerbang terkunci rapat, lampu taman padam, dini hari benar-benar sepi. Ia cepat-cepat membuka pintu utama dengan kunci cadangan.“Semoga Nayara belum bangun,” gumamnya, meski nada suaranya berat, lebih seperti doa cemas.Langkahnya menapak tangga, jantung berdegup liar. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya beku.Nayara tergeletak di lantai, bersandar lemah di tepi ranjang. Rambut berantakan, pipi basah bekas air mata, bibir pucat.“Nayara?!” suara Devanka pecah. Ia berlari, berlutut, mengguncang tubuh istrinya. Kulitnya dingin. “Astaga!”Ia buru-buru mengangkat Nayara ke ranjang, memeluk erat, lalu mencari minyak kayu putih di laci. Dengan tangan gemetar ia menggosokkan ke dada, leher, kaki istrinya. “Sayang, bangun … tolong buka mata.”Namun Nayara tetap terpejam. Hanya bibirnya bergerak kecil tanpa suara.Devanka panik. Ia meraih ponselnya—mati. Baterai habis. “Sial!” desisnya. Kakinya menginjak benda keras kala tak se
Nayara duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Lampu kamar sudah diredupkan, selimut menyelimuti setengah tubuhnya. Kantuk sebenarnya mulai menekan matanya, tapi ia bersikeras menahan diri."Mas belum pulang juga, udah jam berapa ini? Apa urusannya se-urgent itu sampai nggak pulang-pulang?" gumamnya seraya mengusap mata memaksa untuk tetap terbuka.Ia menatap layar ponsel yang mati-nyala, jemarinya menggulir layar berulang tanpa arah. Sekadar membuka galeri, menatap foto mereka berdua. Senyum Devanka di sana membuat hatinya hangat, meski kini ada getir menyelip.“Aku mau kasih tahu kabar bahagia ini langsung ke Mas,” bisiknya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Napasnya tersendat, senyum tipis mengembang. “Aku hamil, Mas pasti seneng banget. Ah, tapi Mas malah nggak pulang-pulang.”Detik berikutnya, benda pipih itu bergetar di genggamannya. Notifikasi pesan masuk dari nomor asing. Alisnya bertaut bingung “Siapa ini jam segini?” gumamnya.Dengan jempol bergetar, ia membuka
“Ibu … ini sudah saya belikan,” ucap staf villa itu saat baru saja kembali, ia membawa kantong plastik kecil dari apotek. “Saya beli beberapa jenis tespek, biar lebih meyakinkan. Tapi sebaiknya dicoba besok pagi, ya, Bu. Hasilnya lebih akurat kalau pakai urine pertama setelah bangun tidur.” Nayara mengangguk cepat, tangannya bergetar saat menerima kantong itu. “O-oke, terima kasih banyak.” “Ya, Bu. Tidak perlu khawatir, tidur cepat saja malam ini dan besok bangun langsung tespek. Jangan begadang, Bu.” Nayara tersenyum manis. “Iya, saya ke kamar dulu.” Ia naik ke kamarnya dengan langkah pelan, kantong plastik itu ia peluk erat. Sesampainya di kamar, Nayara menatap benda itu lama. Dadanya berdebar kencang, napasnya tersengal. “Besok pagi katanya … tapi, aku nggak bisa nunggu,” bisiknya. Dengan tangan gemetar, ia membuka bungkus tespek pertama. Plastik bening robek, lalu batang putih kecil itu sudah tergenggam. Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan duduk di kloset. Gera
“Mas, sudahlah ... aku pusing,” bisiknya lirih,menghentikan ucapan suaminya. Jemarinya meremas pelan tepi ujung bajunya. “Aku mau ke kamar aja. Kepalaku mendadak pening, rasanya nggak kuat kalau berdiri atau duduk lama.”Tanpa banyak bicara, pria itu langsung meraih lengan istrinya dengan lembut “Ayo ke kamar kalau begitu, bair nanti makanannya diantar saja sama stafnya,” jawabnya.Ia menggiring Nayara menuju kamar. Langkah Devanka tegap, tapi perlahan, menyesuaikan langkah istrinya yang mulai limbung. Sesampainya di kamar, ia membantu Nayara naik ke ranjang, menyingkap selimut, lalu membiarkan istrinya berbaring.Nayara menutup mata, wajahnya lelah. “Aku tidur dulu ya, Mas.”Devanka mengangguk tipis. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap kepala istrinya perlahan, jemarinya bergerak tenang di antara helaian rambut yang basah oleh keringat tipis. Napas Nayara mulai teratur, tubuhnya tenggelam dalam buaian mimpi.Beberapa menit Devanka hanya diam, menatap wajah istrinya yang damai. Namun