Share

Tidak Bisa Lepas

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2025-07-23 19:34:21

“Nayara!”

Suara yang menggema dari arah jalan utama itu membuat Nayara menoleh. Ia baru saja selesai membersihkan seluruh sudut rumah yang berdebu karena cukup lama tidak dibersihkan.

Buru-buru Nayara meletakkan sapu di dekat pintu saat menyadari ibu pemilik rumah kontrakan yang datang. Wajahnya tampak masam dan kedua tangan bersedekap.

“Kamu balik ke sini mau ngapain?”

Nayara menunduk sopan. “Saya mau tinggal lagi di sini, Bu.”

“Kamu nggak bisa tinggal lagi di sini, rumah ini statusnya udah saya kontrakin ke orang lain. Waktu bapakmu meninggal, kamu pergi nggak pamit, sewa nggak dibayar juga. Sekarang tahu-tahu balik, dan minta tinggal gratisan?”

“Maaf, Bu. Saya waktu itu memang belum bisa pikir panjang. Saya lagi butuh tempat sekarang, saya akan cari kerja dulu, setelah itu saya bisa bayar,” ucap Nayara dengan suara bergetar.

Bu Lilis melengos. “Lha kamu kira hidup segampang itu, Dek? Ini kota besar, bukan dunia sinetron. Kalau dalam minggu ini kamu belum punya uang buat bayar, angkat kaki dari sini. Saya udah janjiin ke orang lain.”

Nayara benar-benar mengira ia akan merasa lebih baik begitu meninggalkan apartemen suaminya.

Dia pikir, pulang ke rumah sewanya dulu akan jadi titik awal untuk bangkit. Dia sudah pergi dari Devanka. Sudah menyerah pada semua yang menindas dan melukainya. Namun bahkan di tempat ini, hidup tetap tak memberinya ruang bernapas.

Ia menghela napas berat. Terpikir besok akan cari pekerjaan, tetapi pekerjaan apa yang bisa memberinya upah banyak dalam satu minggu? Dia tak punya siapa-siapa. Tak bisa minta tolong ke siapa pun.

Tangannya meraba dompet, uang tinggal sedikit. Semua gerak geriknya tak lepas dari pengawasan Bu Lilis, membuat wanita paruh baya itu semakin mencibir.

“Makanya ... orang miskin tuh jangan gaya, Nayara! Rumah kontrak aja telat bayar, utang belum lunas, sekarang balik-balik mau numpang lagi?! Enak banget hidup!”

Bu Lilis terus mengomel, bahkan menarik koper kecil Nayara yang tak jauh dari pintu dan melemparkannya ke halaman.

“Apa kamu kira ini tempat penampungan?! Kamu udah kabur waktu bapak kamu meninggal, saya anggap itu lari dari tanggung jawab. Sebenarnya saya muak buat terima kamu lagi!”

“Cukup!”

Suara berat dan dingin itu membuat keduanya menoleh.

Mata Nayara membelalak. Bibirnya bergetar. Jantungnya berdetak kencang saat melihat pria itu berdiri di sana.

Suaminya ada di sini? Bagaimana bisa?

Dengan raut tegas tanpa gurat senyum sedikitpun, Devanka berjalan ke arahnya dan sesekali melirik wajahnya.

Perasaan Nayara sudah tidak karuan. Ia tidak tahu harus merasa lega atau takut atas kehadiran pria itu.

Apa mungkin selamanya ia tidak bisa pergi dari Devanka?

“Ada apa ini?” tanya Devanka kemudian.

Bu Lilis mendengus. “Kamu siapa?”

“Suaminya,” ujar pria itu tanpa basa-basi.

Bu Lilis mendelik kaget. “Oh … ya udah, bilangin ke istrimu ini. Kontrak rumah udah habis. Dia punya utang dua bulan, belum bayar! Saya kira kabur, makanya sekarang saya usir. Udah cukup dia dan bapaknya hidup di sini gratisan!”

Mata Devanka menyipit, ekspresinya tak terbaca. “Berapa utangnya?”

“Dua juta setengah, plus satu bulan ke depan kalau mau tinggal di sini lagi.”

Tanpa banyak bicara, Devanka mengambil dompet dan menyerahkan uang tunai. “Saya lunasi semuanya. Jangan ganggu dia lagi.”

Meski terkejut, Bu Lilis buru-buru merebut uang itu, lalu mendengus dan pergi begitu saja tanpa terima kasih.

Setelah wanita itu hilang dari pandangan, Devanka menoleh tajam ke arah Nayara. Sorot matanya gelap.

“Kau ini bisa apa selain nyusahin?!”

Nayara mencoba berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tidak bisa bicara, tubuhnya lemas.

“Kau ke sini karena Calysta? Harusnya kau tahu batas dan nggak pantas punya perasaan lebih!” maki Devanka bertubi-tubi.

Nayara masih diam. Tidak ada gunanya berbicara saat semuanya hanya dianggap salah.

“Naik mobil sekarang. Kita pulang,” ucap Devanka tajam.

“Buat apa? Mas nggak pernah anggap aku, apa bedanya kalau aku di sini?” tanya Nayara dengan suara bergetar menahan tangis.

Pria itu kembali membalikkan badan, tatapan matanya kian menghunus tajam.

“Seharusnya pernikahan ini memang nggak ada, kan, Mas? Seharusnya Mas juga senang aku memilih pergi.”

Devanka menghela napas panjang. Jika bukan tuntutan mamanya, ia juga enggan menyetir jauh ke tempat ini dan membayar utang Nayara, ucapan barusan membuatnya semakin muak.

“Kau berani jawab sekarang?”

“Menjawab atau tidak, Mas akan tetap merendahkanku.”

Seringai tipis muncul di bibir tampan itu. “Jangan sok! Atau kurobek mulutmu kalau masih bikin masalah!”

Devanka menarik pergelangan tangan Nayara dengan kasar, tak peduli istrinya kesakitan sepanjang jalan menuju mobil. Ia mengambil koper yang tergeletak di halaman dan melemparkan ke dalam mobil, begitu juga Nayara yang dipaksa masuk.

Detik berikutnya, kendaraan mewah itu melaju kencang menuju penthouse yang tak lebih dari penjara bagi Nayara.

Rupanya, sekuat apapun usahanya, takdir tetap membawanya kembali ke tangan Devanka.

Pintu penthouse terbuka. Devanka dan Nayara masuk, suasana tegang masih menggantung di antara mereka.

“Nayara ....” Suara hangat mama mertuanya menyambutnya pertama kali.

Wanita paruh baya itu langsung memeluk Nayara dengan erat. Tangannya mengusap pelan punggung sang menantu.

“Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?” bisiknya lembut.

Nayara tidak sanggup menjawab.

Sementara Devanka berdiri di belakang mereka, diam dengan rahang mengeras. Namun, dari sorot matanya, jelas dia tak suka.

“Tenang, Mama sudah usir Calysta. Dia nggak akan ganggu kamu lagi. Dan Mama sudah ancam Devanka juga, kalau dia berani sakiti kamu lagi, Mama dan Papa akan kasih hukuman yang lebih berat.”

Ucapan wanita itu membuat Nayara mengangkat kepala perlahan. Ternyata dirinya dicari bukan karena suaminya menginginkannya, tetapi atas dasar paksaan mertuanya.

Pantas saja Devanka bisa tahu rumah lamanya, pasti mertuanya juga yang mengatakan. Mustahil pria angkuh itu mau cari tahu sendiri, sedangkan untuk menjemput saja harus diancam.

‘Sampai kapanpun, mungkin Mas Devanka memang nggak pernah menginginkan aku. Dia hanya takut kehilangan posisinya sebagai ahli waris.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ros
Jangan takut nayara… lawan aja suami brengsek. Minta tinggal aja sm mertua nya. Atau papa mama nya devan, ancam devan kalo mau jd pewaris harus punya anak dl.
goodnovel comment avatar
Nona Storey
gas gas has
goodnovel comment avatar
Natasha
dia nyariin kepaksa aja
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 167

    Tiga minggu berlalu, hari-hari terasa seperti satu garis panjang tanpa tanggal bagi Devanka. Lorong rumah sakit sudah seperti bagian dari hidupnya, ia hafal bunyi pintu otomatis ICU, hafal suara monitor yang sering berubah ritme, hafal bau antiseptik yang menusuk seperti pengingat bahwa istrinya belum kembali padanya.Meski kedua bayi sudah diperbolehkan pulang seminggu lalu, Devanka tetap tinggal di rumah sakit. Dian dan Seno membawa pulang cucu-cucu mereka, merawatnya dengan perhatian penuh. Setiap hari video call masuk ke ponsel Devanka, Dian menunjukkan si kecil yang baru selesai mandi, atau Seno menimang si bayi perempuan yang suka menguap kecil. Namun, Devanka tak sanggup memberi nama pada mereka tanpa persetujuan sang istri.“Aku tunggu Nayara bangun dulu, Ma,” jawaban itu selalu keluar dengan suara seraknya, dan Dian tak pernah memaksa lagi.Pagi itu, jam tujuh lewat sedikit, Devanka masuk ke ruang ICU. Udara dinginnya membuat kulitnya merinding, tapi ia tidak pernah lupa m

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 166

    Lorong rumah sakit seperti menelan suara Devanka. Kata 'koma' bergema berkali-kali dalam kepalanya, memantul di rongga dada, menghantam keras seperti batu. Ia berdiri mematung, tak tahu harus memegangi bagian mana dari dirinya yang terasa paling hancur.Tangannya gemetar, napasnya seperti tersangkut di kerongkongan.Ucapannya tercekat, pecah di sela-sela isaknya, “Nayara nggak mungkin ninggalin aku kayak gini.”Namun tubuhnya tak mampu bergerak.Dokter Melati memberi isyarat pada perawat.“Pindahkan Ibu Nayara ke ICU. Siapkan ventilator dan monitor lengkap.”Perawat langsung masuk kembali ke ruang operasi, menyiapkan brankar. Ketika pintu kembali terbuka, Nayara dibawa keluar.Bukan lagi Nayara yang tadi menggeliat kesakitan sambil memanggil nama suaminya dengan manja, kini tubuh pucat itu tak bergerak, wajahnya tertutup masker oksigen, rambutnya tergerai acak menempel pada kening berkeringat dingin. Infus menjuntai di kiri kanan, selang-selang kecil menempel di dada, dan monitor berg

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 165. Melahirkan

    Beberapa Bulan Kemudian Hujan mengetuk kaca jendela kamar seperti jarum-jarum gelisah. Malam itu dingin, padahal kalender baru menunjukkan awal bulan kesembilan kehamilan Nayara. Namun tubuhnya berbeda, makin berat, pegal, dan napasnya pendek-pendek. Di ranjang, Nayara mengerjap, memegangi perutnya. “Mas.” Suaranya lirih, pecah oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam dari dalam. “Sakit sekali.” Lampu meja menyala dalam sekejap, Devanka bangun dengan ekspresi panik. “Sakit di mana? Perutnya kenapa?” “Perutku kayak ditarik, Mas. Sakit banget.” Devanka langsung turun ranjang, menopang tubuh istrinya. “Sayang, lihat aku. Tarik napas, ya, pelan-pelan aja biar tenang.” Nayara meremas lengan suaminya. “Enggak bisa, Mas, tolong ….” Gelombang kontraksi mendadak, terasa cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Nayara bahkan tidak bisa berdiri, untuk bergerak saja rasanya seluruh tenaganya lenyap. Hanya bisa menangis sambil meremas tangannya sendiri. Gelombang kont

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 164

    “Ya, Pak Bimo?” Di seberang, terdengar embusan napas berat, lalu suara penyidik yang biasanya tenang kini bergetar tipis. “Pak Devanka, maaf menghubungi Bapak lagi. Ada perkembangan baru, sangat mendesak.” Devanka menegakkan bahu. “Apa lagi?” Hening sepersekian detik. Nayara menggenggam ujung dress-nya, menahan napas. “Riona ditemukan meninggal, Pak.” Devanka membeku. “A-apa?” Nayara spontan menutup mulutnya. Penyidik melanjutkan. “Riona bunuh diri di dalam sel. Petugas jaga mendapati dia sekitar lima belas menit lalu.” Devanka menatap kosong ke halaman yang barusan penuh tawa Nayara. “Bagaimana bisa?” tanyanya lirih bercampur dingin, seperti air es yang retak. “Kami sedang kumpulkan semua kronologi,” kata Pak Bimo cepat. “Tapi gambaran awal begini, Pak ... pukul 16.10, Riona masih terlihat duduk diam di sudut sel. Petugas perempuan memberinya air minum, tidak menunjukkan gejala bertindak yang membahayakan, hanya menangis sesekali. Pukul 16.28, CCTV menangkap d

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 163

    Lorong kantor polisi menguarkan bau kopi dan kertas basah. Devanka berjalan dengan langkah tegap, setelan hitamnya memotong udara pagi yang lembap. Beberapa polisi yang lewat refleks merapikan topi atau berdiri lebih lurus, auranya memang begitu, memaksa orang lain bersikap rapi tanpa perlu bicara. Seorang penyidik keluar dari ruang interogasi. “Pak Devanka?” Devanka mengangguk. “Bagaimana hasilnya?” Penyidik itu menatap berkas di tangannya sebelum menjawab. “Sudah ada perkembangan. Riona mengaku semuanya karena dipaksa papanya. Paksaannya sudah dari jauh hari, tekanannya cukup berat sehingga dia nggak ada pilihan lain selain nurut.” Devanka tetap diam, wajahnya tak berubah. Penyidik melanjutkan, “Dan soal motif utama, jelas. Harlan punya dendam pribadi karena Bapak pernah menolak kerja sama bisnisnya.” Devanka hanya menarik napas tipis. “Itu aku sudah duga.” Polisi berdeham panjang, lalu menambahkan. “Ada info baru, Pak, setelah kami cocokkan data, identitas, dan rekam j

  • Dendam Pernikahan Pewaris Tampan    Bab 162

    Raka menyetir lebih hati-hati dalam perjalanan pulang kali ini, trauma rem mendadak di pelataran rumah tadi masih membayangi. Begitu gerbang mansion terbuka otomatis, Raka sempat bersiul pelan. “Kalau rumah segede ini masih bisa dimasukin orang buat nyebar racun, ya, ampun ... saya resign aja kali.” Mobil Devanka berhenti. Bosnya turun tanpa banyak bicara. Aura dingin itu masih ada, tapi sudah lebih terkendali setelah Harlan dan Riona resmi diborgol. Raka buru-buru mengekor. “Pak, kalau nanti mereka bebas karena pengacaranya licik—” “Mereka tidak akan bisa bebas!” seru Devanka tegas. Raka langsung mengangkat tangan. “Baik, Pak. Saya percaya seratus persen. Tadi mereka pucet kayak kertas fax, Pak.” Devanka hanya menghela napas tipis lalu melangkah ke ruang keluarga. Tampak Seno duduk di sofa dengan sweater abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan beliau sudah bersiap tidur tapi menunda demi menunggu kabar. Begitu melihat Devanka datang, mata tuanya langsung menaja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status