Tak lama, dua orang lelaki mengucap salam. Gadis itu pun menjawab salam dan segera ke luar karena sudah tahu, bahwa pemilik kos akan segera datang. Tampak dua orang lelaki berkulit putih. Saat melihat mereka berdua, Leher Fitri terasa panas. Kalung yang dia pakai bergetar."Maaf, Mba. Saya adalah anak pemilik rumah kos ini, Ibu meminta kami untuk mengambil uang kos," kata Rendra. Fitri memandang Soleh lekat. Kalung yang dipakainya pun semakin bergetar dengan cepat. Lelaki itu hanya meliriknya sekilas, lalu mengacuhkannya.'Pasti lelaki ini pemilik ajian itu,' batin Fitri.Rendra dan Soleh saling tatap. Pasalnya, gadis itu hanya diam mematung memandangi Soleh. Soleh yang jengah di tatap seperti itu, lalu mendehem."E ... Maaf, ini Mas uang kekurangannya," sahutnya.Rendra menerima uang tersebut dan mengucapkan terima kasih, lalu pamit meninggalkan Fitri."Cieeee ... Kayanya dia suka sama sepupuku yang rupawan ini," ledek Rendra."Ngawur aja kamu. Itu ilmu di dalam kalungnya yang membu
Fitri dan Sari saling bertukar pandang mendengar ucapan pemuda yang baru saja datang itu."Ayo bantu ibu, Jun," ajak wanita itu."Berapa biaya makan kami tadi, Bu?" tanya Fitri.Pemilik warung menyebutkan harga, Fitri segera membayar dan bergegas pergi kembali ke kos bersama Sari. Sesekali kepalanya melihat ke arah langit.Sari tampak bingung dengan sikap Fitri yang seolah mengerti dengan apa yang diucapkan oleh pemuda itu dan juga aneh selalu menatap ke arah langit dan menoleh ke belakang dengan wajah ketakutan."Fit, emangnya kamu bisa liat hantu?" tanya Sari."Boro-boro bisa liat hantu, kalau malam denger suara air galon bunyi sendiri aja takut. Seolah-olah ada hantu dan dia bilang lagi haus hahaha," jawab Fitri.Gadis itu berusaha menutupi ketakutannya dengan candaan. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Tentu saja Fitri tidak menyebutkan jika dirinya mampu. Dia sekarang bisa melihat mahluk halus karena ilmu yang disembunyikan pada sebuah benda yang menggantung di lehernya.Tiba-tiba a
"Aaaa ..." teriak Rendra.Tubuhnya terjatuh ke samping karena di dorong oleh Wahini. Lelaki itu meringis kesakitan.Bola api yang menyerang Rendra kini menghantam pintu rumahnya. Anehnya, api itu padam dengan sendirinya saat menyentuh pintu.Mata Rendra terbelalak ketakutan melihat sesosok iblis yang sangat tinggi yang keseluruhan tubuhnya berwarna merah menyala, bahkan kini bola matanya yang juga berwarna merah sedang memandang ke arahnya."Matilah!" teriak Jenggala Manik.Lima buah bola api keluar dari telapak tangan Manik Jenggala, ukurannya sebesar bola kaki kini bergerak sangat cepat mengarah kepada Rendra, Rahayu, Trisula kembar serta Soleh.Soleh melompat ke depan, membaca sebuah doa, lalu mengangkat tangannya ke atas seolah menggenggam sesuatu."Cambuk Sewu Geni, keluarlah!" perintah Soleh.Tiba-tiba saja sebuah cemeti berukuran besar sudah berada di dalam genggamannya. Soleh memukulkan benda yang ada di genggamannya itu di udara, sesuai dengan namanya, cemeti itu mengeluarkan
"Hahahaha, menggelikan sekali. Manusia penakut sepertimu akan menghukumku? Lucu sekali," cemooh Jenggala.Rendra mengucapkan basmalah, lalu mulai menyerang. Manik Jenggala yang meremehkan Rendra pun terkena tusukan di mata kirinya.Raungan Jenggala Manik pun menggema. Cairan berwarna hijau kemerahan berbau sangat busuk pun mengalir dari arah matanya."Kurang ajar!" pekik Jenggala Manik.Kini iblis itu menyerang dengan senjatanya yang berbentuk gada, namun, saat akan mendekati targetnya, benda itu berubah menjadi pedang. Rendra menangkis dengan tongkat di tangannya. Percikan api pun membakar pohon dan beberapa pondok kayu yang berada tak jauh dari mereka.Rendra menendang paha Jenggala Manik dan iblis itu terjatuh karena memang tenaganya sudah terkuras saat menghadapi Rahayu."Aku akan kembali dan akan membunuhmu!" teriak Jenggala Manik.Sosok itu pun menghilang. Petir masih menyambar dan hujan deras menghiasi malam itu. Lolongan anjing mulai terhenti.Tubuh Rendra kembali ke ukuran se
“Ya, ini aku. Apa kau merindukanku?” tanya Kunit. Posum berpindah tempat dan menyandarkan kepalanya di bahu Kunit sahabatnya itu. Tentu saja hanya menyandarkan kepala, karena tidak bisa merentangkan tangan untuk memeluk. Rendra menoleh ke kanan dan kirinya, tidak ada tampak siapapun berada halaman itu. Yang ada hanyalah halaman yang tampak kacau dari beberapa tanaman serta bunga kesayangan ibunya, yang rusak akibat pertempuran itu. Wajahnya tampak cemas, karena, jika Ratri melihat hal ini pasti akan marah besar. “Ibu pasti ngamuk kalau lihat ini.” Gumamnya kesal, sambil berlalu meninggalkan Wunisa yang masih saja mengomel. Suasana desa itu terasa sunyi dari nyanyian binatang malam. Hanya suara air hujan yang menari di atas atap dan suara guruh yang sesekali terdengar menghiasi malam. Desau angin sesekali menggoda dengan membelai dedauan yang di lewatinya. Udara sangat dingin, Rendra melipat kedua tangannya di dada dan melangkah masuk ke dalam kamar. Sesampainya di sana, lelaki itu
“Saya adalah wujud dari pusaka Kembang Wijaya, Tuan,” jawabnya. Soleh menatap lelaki itu, wajah itu akrab sekali baginya. seperti pernah mengenalnya, entah di mana. Rendra pun bertanya kepada lelaki itu, apa yang harus dilakukannya. “Saya tidak bisa mengatakan apapun, Tuan. Hanya anda yang mengetahui bagaimana caranya,” tutur lelaki itu. Sosok wujud dari pusaka itu pun menghilang, Rendra duduk bersila di atas tempat tidurnya. Lelaki itu memejamkan matanya lalu fokus mencari jawaban di dalam diamnya. Sinar berwarna putih keperakan yang menyilaukan kembali keluar dari dalam dadanya. Tubuh Wahini dan Wahiru yang sedang duduk bersila melayang lalu berhenti tepat di depannya. Rendra membuka mata, kedua telapak tangannya di letakkan di dada keduanya. Jeritan kesakitan terdengar saat sinar putih itu masuk ke dalam tubuh Wahini dan Wahiru. Lelaki itu terbayang perjuangan keduanya, air matanya menitik karena terharu. Benaknya terus saja merutuki dirinya yang penakut. Rasa bersalah bergela
Fitri menoleh ke arah suara, wanita itu kini sudah berada di sisinya dan menatapnya seolah akan menelannya saat itu juga. Gadis itu menelan air liurnya dengan susah payah, wajahnya kini pucat. Saat akan menjawab, Fitri melihat mata wanita yang menyapanya itu sudah berubah menjadi hitam gelap seperti malam kelam. Sari menyikut lengan Fitri, gadis itu tergagap. “Maafkan saya, Bu. Gugup sekali dan juga saya lapar karena belum sarapan,” tutur Fitri. “Panggil saya Bu Sinta, pemilik supermarket ini. Baiklah, maju ke depan dan perkenalkan dirimu,” perintah Sinta. Fitri pun memperkenalkan dirinya kepada karyawan lainnya. Kemudian satu persatu karyawan itu memperkenalkan dirinya berikut dengan jabatannya. Tampak seorang lelaki tampan berkulit putih menatapnya tajam. “Baiklah, Fitri hari ini berada di bagian pembelian sebagai kasir, menggantikan Hilda yang tidak masuk selama seminggu. Panji, dia adalah anggotamu, ajari dengan baik,” titah sinta. Lelaki itu mengangguk pelan dan tampak tak a
Wajah Fitri memerah, napasnya tersengal seiring dengan dadanya yang naik turun. Cekikan itu semakin kencang, bahkan paru-parunya seakan ingin meledak. ‘Allahuakbar ... Allahuakbar, Lailahailallah,’ ucap Fitri di dalam batinnya. Gadis itu memejamkan matanya dengan air mata menetes. Brak. Tubuh Fitri terhempas ke belakang, saat cahaya biru melesat keluar dari balik bajunya. Tangan yang mencekiknya menghilang, begitu juga dengan kepala tanpa tubuh yang berada di atas mejanya itu. “Alhamdulillah ... “ ujar Fitri. Gadis itu lalu mengambil sebuah cermin untuk melihat lehernya. Tampak jelas bekas cekikan berada di sana. Fitri kembali terkejut, tatkala sesosok nenek berada di belakangnya. Gadis itu segera membalikkan tubuhnya, tidak ada apapun. Dia kembali melihat cermin, sosok itu masih berada di sana. Sosok itu seakan mengatakan sesuatu kepadanya. Rasa takut membuat tangan gadis itu gemetar, sehingga cermin yang berada di tangannya pun ikut bergetar. Fitri berusaha meneguk salivanya de