LOGIN"Apa yang kalian berdua lakukan?" tanya Mela dengan suara yang bergetar. Matanya mulai berair karena menahan air mata yang berusaha keluar. Jantungnya terasa seperti ditusuk-tusuk dengan jarum yang tajam. Rasa sakit yang menusuk ke dalam hatinya membuat napasnya menjadi lebih berat.
Damar menyudahi ciumannya dengan kesal. Ia menatapnya dengan tatapan dingin yang belum pernah dilihat Mela sebelumnya. "Kita harus bicara," katanya sambil menarik tangan Mela keluar ruangannya. Damar menarik Mela ke lorong kantor yang sepi. "Aku tidak bisa melanjutkannya lagi," katanya dengan tenang. Tak lupa dengan senyum manis pria itu yang bertengger di bibirnya. "Aku akan menikah dengan Lisa," Kata-kata itu menghantam Mela, seperti pukulan keras yang tak terduga dan membuat seluruh tubuhnya terasa lemah, serta napasnya terhenti sejenak. Matanya menatap pria yang dicintainya ini untuk mencari petunjuk apakah semua ini hanya lelucon belaka. "Apa? Mengapa?" tanya Mela dengan nada bergetar karena tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Di antara banyak wanita di luar sana, mengapa kamu memilih sepupuku, hah?!" Pertanyaan itu keluar dari bibir Mela dengan nada yang penuh kecewa dan kesedihan, seperti ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang tak masuk akal ini. Tangan Mela langsung memegang erat kerah kemeja Damar. "Saat ini Lisa jauh lebih kaya darimu dirimu," jawab Damar dengan santai dan melepaskan tangan Mela dari kerah kemejanya. "Orang tuamu meninggalkanmu dengan hutang, bukan warisan. Lisa bisa memberiku kehidupan yang tidak bisa kau berikan," Air mata mengalir deras di pipi Mela sehingga membentuk garis-garis basah yang berkilauan di bawah cahaya lampu. "Damar, bagaimana bisa kau mengatakan itu? Aku mencintaimu!" Tangisan Mela semakin keras. Ia menutup wajahnya dengan tangan untuk menyembunyikan rasa sakit yang tak tertahankan. "Aku mencintaimu, Damar!" ucap Mela yang terpotong oleh isak tangis yang semakin keras. Seolah-olah hatinya sedang disobek menjadi ribuan keping yang tak bisa disatukan kembali. "Cinta tidak bisa membeli mobil mewah," kata Damar dengan nada dingin sambil berjalan menjauhi Mela tanpa menoleh ke belakang. Setiap langkah yang diambil Damar terasa seperti pukulan bagi Mela. Mela tetap berdiri di tempat. Air matanya masih mengalir deras sementara dia menatap sosok Damar yang semakin menjauh hingga akhirnya dia menghilang dari pandangan. Beberapa hari kemudian, Mela terbangun di kamarnya karena mendengar suara kegaduhan di lantai bawah. Mela menggosok-gosok matanya yang masih berat karena kurang tidur. Lalu berjalan menuju tangga untuk melihat apa yang sedang terjadi. Saat ia mencapai lantai bawah, Mela kaget melihat paman, bibi, dan Lisa berdiri di ruang tamu dengan wajah-wajah yang membuatnya kesal setengah mati. Lisa tampak santai dengan senyum kecil di wajahnya seolah-olah sedang menikmati pertunjukan yang menarik. Bibi memasang wajah tanpa ekspresi yang jelas. Matanya yang kosong dan bibir yang terkatup rapat langsung memberikan kesan bahwa dirinya tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Namun, paman terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum lembut dan mata yang penuh kasih sayang kini terlihat dipenuhi kesombongan. Mata paman yang biasanya teduh kini membelalak dengan rasa kemenangan seolah-olah dirinya telah mencapai puncak kejayaannya. "Kenapa kalian kemari? Ini terlalu pagi untuk bertamu," kata Mela dengan nada sebal karena teringat kejadian beberapa hari lalu masih sangat segar di ingatannya. Mela menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap Lisa dengan mata yang tajam. Ia masih kesal dengan keputusan Damar yang lebih memilih Lisa daripada dirinya. Paman melangkah maju. Suaranya yang keras dan menggelegar berkata, "Perusahaan ayahmu telah menjadi milikku! Sekarang, kamu keluar dari rumah ini!" Pria itu menatap Mela dengan mata dingin dan tanpa perasaan seolah-olah Mela bukanlah keponakannya sendiri. Mela terkejut dengan pernyataan paman, tapi dia tidak menunjukkan rasa takut. Dengan suara yang tegas, dia membalas, "Tidak mungkin perusahaan ayah jatuh di tangan paman karena aku adalah pewaris utama Ayah. Aku juga sedang melunasi hutang perusahaan Ayah," Paman tertawa keras dan sinis. Suaranya menggema di ruang tamu dan membuat Mela merasa tidak nyaman. "Kamu pikir uangmu cukup untuk melunasi hutang perusahaan yang sudah menggunung itu?" ucapnya dengan nada yang penuh ejekan sambil menggelengkan kepala. "Kamu pikir perusahaan kecilmu bisa menanggung hutang perusahaan besar milik ayahmu?" Paman melangkah lebih dekat ke Mela. Wajahnya yang merah padam karena kemarahan membuat Mela merasa terintimidasi. "Jangan seperti orang bodoh," katanya dengan suara yang penuh celaan. "Kita tahu seperti apa kondisi perusahaan kecilmu itu," Paman menatap Mela dengan mata yang penuh ejekan seolah-olah dia sedang menikmati kesengsaraan Mela. ""Kamu tidak punya cukup uang, dan kamu tidak punya cukup kekuatan untuk melawan aku," ucap paman lagi sambil menatap Mela dengan mata yang penuh kepercayaan diri, seolah-olah dia sedang menikmati kekuasaannya. Suaranya yang keras dan nada yang penuh ejekan membuat Mela merasa dihina dan direndahkan. Tiba-tiba paman bersiul dengan nada yang nyaring. Dua sosok pria kekar yang entah dari mana dan dari kapan ada langsung masuk ke dalam ruang tamu. Mereka berdua memiliki tubuh yang besar, kuat, dan tinggi. Wajah mereka terlihat keras dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Paman menatap mereka dengan mata yang dingin dan langsung mengeluarkan perintah dengan suara yang tidak berbasa-basi. "Berikan pelajaran indah bagi keponakan tersayangku ini. Terserah kalian akan melakukan apa padanya," kata paman dengan nada yang dingin dan tanpa perasaan."Apakah kamu bisa melaporkan kegiatan Mela?" Pertanyaan itu ditujukan kepada salah satu pengawal kepercayaan milik Jevan. Jevan sengaja menyewa khusus pria itu untuk mengawasi Mela secara rahasia. Pria itu memiliki tubuh yang besar. Bahunya yang lebar dan padat tersembunyi di balik setelan hitamnya yang dipotong rapi. Hal ini justru membuat otot-ototnya semakin terlihat menonjol. Wajahnya keras yang ditandai dengan rahang kotak yang tegas dan mata sipit yang selalu waspada. "Jawab pertanyaanku!" perintah Jevan lagi dengan nada lebih tinggi. Ia sama sekali tidak suka dengan kebisuan pengawalnya yang berlarut-larut. Keheningan itu hanya menambah kecemasan Jevan tentang apa yang sedang dilakukan Mela. Ia butuh laporan segera. Kemudian pengawal itu langsung berdiri kaku dengan ekspresi seriusnya yang kini terlihat sedikit gelisah. Ia jelas merasa tertekan karena gagal dalam tugas yang seharusnya mudah. "Nyonya sulit sekali untuk kita buntuti, Tuan!" ucap pengawal itu dengan nada me
"Dimana adik aku, si Hana?!" teriak Javier pada ayahnya. Suaranya meledak penuh amarah dan kecemasan di ruang kerja ayahnya yang mewah dan sunyi. Teriakan itu bukan hanya karena frustrasi, melainkan karena rasa panik yang nyata. Awalnya, Javier berencana akan mengajak Hana makan malam di restoran favorit Hana, sebuah tempat kecil dan tenang di sudut kota. Rencana ini sudah ia susun setelah ia seharian penuh berjuang membungkam para media, bernegosiasi, dan memberikan uang tutup mulut agar segera menghilangkan berita perselingkuhan Lisa dengannya. Namun, ia hanya menemukan tempat itu apartemen Hana kosong ketika ia pulang kesana untuk menjemput Hana makan malam. Pintu apartemen Hana tidak terkunci, lampu dapur masih menyala, tetapi Hana tidak ada. Tidak ada catatan yang ditinggal. Tiada pesan apapun. Hanya keheningan yang menyesakkan. Insting pertama Javier langsung menunjuk pada satu-satunya orang yang selalu mencoba mengendalikan setiap aspek kehidupan mereka berdua, yaitu ayahny
"Paman!" Djewo membalikkan badannya dengan gerakan lambat dan penuh perhitungan. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak terkejut. Ia sudah menduga Mela akan datang. Perempuan itu ada di pemakaman Haris dan berdiri tak jauh dari makam yang masih baru. Seolah-olah kehadiran Mela sudah Djewo prediksi sebagai bagian dari skenario yang lebih besar yang sudah ia susun di kepalanya. Djewo memang sudah menantikan Mela menghampirinya. Wajah Djewo yang keras terlihat tenang dan bahkan ia sempat melayangkan senyum mencibir yang meremehkan. Ia mengenakan setelan jas abu-abu mahal yang kontras total dengan suasana duka dan tanah yang basah. Pilihan pakaiannya yang mencolok adalah disengaja seolah-olah ia ingin menampilkan aura kekuasaan yang tak tergoyahkan bahkan di tempat peristirahatan terakhir. Di hadapan kematian, Djewo tetap ingin menjadi yang paling dominan. Djewo melangkah mendekat. "Keponakan Paman ini datang," ujar Djewo dengan nada suaranya yang terdengar seperti seo
"Malam ini akan berakhir menarik," Lisa menatap bayangannya di cermin. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sudah siap. Sorot matanya yang tajam memancarkan tekad yang kuat. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa setiap detail telah sempurna. "Aku yakin bahwa aku sempurna," bisik Lisa sambil menghembuskan napas perlahan. Lisa mengenakan gaun malam berwarna emerald green yang mewah dan terbuat dari satin tebal. Gaun itu memeluk lekuk tubuhnya dengan elegan dan presisi. Meskipun memamerkan sosoknya, gaun tersebut tetap berhasil menonjolkan profesionalisme yang menggoda dan berkelas. Potongan A-line yang panjang mengalir hingga ke lantai dan memberikan ilusi ketinggian dan gerakan yang anggun. Seluruh penampilannya memancarkan aura berkelas dan mahal, sebuah statement visual yang sengaja ia kirimkan kepada Jevan. "Hanya orang bodoh yang tidak tergoda denganku," ucap Lisa pelan sambil memperhatikan make up wajahnya. Make up yang Lisa gunakan pun tebal. Ia memasang bulu mata pal
"Apakah kamu atau ayahmu adalah dalang dibalik kematian Haris Haris itu?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Damar. Nada suaranya tidak lagi terdengar bujukan manis atau rayuan konyol, tetapi ketegasan yang dingin dan penuh kecurigaan. Damar menoleh ke belakang, ke arah istrinya. Damar menunggu balasan Lisa yang sibuk memakai masker wajah di depan meja rias mewah mereka. Lisa tampak santai seolah pembunuhan Haris hanyalah berita gosip murahan di kantor mereka. "Kenapa kau bertanya begitu, sayang?" jawab Lisa. Suaranya Lisa sedikit teredam oleh lapisan masker wajah lumpur yang tebal. Ia tidak menoleh dan fokusnya hanya pada kehalusan kulitnya. Lisa tampak benar-benar tidak terganggu, sibuk merapikan lapisan masker di sekitar pelipisnya. Bagi Lisa, pertanyaan tentang pembunuhan itu sama pentingnya dengan selembar tisu kotor di lantai kamar mandi kantor. "Aku melihat wajah Javier kesal tadi di kantor," ucap Damar sambil berjalan mendekat ke arah Lisa. Langkahnya tenang, tapi terasa
"Ta da! Apakah kamu suka?" Suara Damar terdengar ceria sampai nyaris kekanak-kanakan sehingga memecah ketegangan yang masih menyelimuti ruang kerja Mela. Mela menaikkan sebelah alisnya setelah mendengar pertanyaan Damar yang baru saja menyajikan makan siang di atas meja kopi kecil di kantornya. Damar terlihat bangga berdiri di samping nampan yang penuh dengan hidangan. Ada kotak sushi premium dengan penataan yang artistik, sup miso hangat, dan bahkan sebotol kecil sake non-alkohol. "Saya tidak minum alkohol," tolak Mela dingin. Sorot matanya Mela tetap tajam dan menusuk. Ia memang sama sekali tidak berminat menyentuh makanan ataupun minuman yang dibawa Damar. Ide berbagi hidangan dengan pria yang mungkin terlibat dalam kematian Haris terasa menjijikkan. Mela tidak bergerak dari kursinya untuk menjaga jarak fisik dan emosional dari Damar. Damar hanya tersenyum tipis. Dirinya sama sekali tidak gentar dengan penolakan dingin Mela. Ekspresi tenang itu justru menunjukkan bahwa Dama







