Sedetik kemudian aku sudah sadar dari rasa kaget saat mendengar suara erangan anak itu yangh meringis kesakitan. Dengan segera aku duduk di samping Mas Adi lalu membuka kaos yang menutup perutnya. Ada banyak luka memar yang jelas bukan karena benturan mobil. Luka di tubuh anak ini seperti habis di pukul oleh benda tumpul. Ada yang sudah hampir menghilang. Tapi, ada juga luka baru yang membuat kulitnya berubah menjadi biru dan kemerahan. “Ya Allah mas. Sepertinya anak ini korban kekerasan orang tuanya.” Mas Adi tidak menanggapi perkataanku. Karena dia juga baru menatap wajah anak itu yang sangat mirip dengan wajahnya dan Nasya. “Mas.” Tanganku menepuk bahu Mas Adi beberapa kali hingga membuatnya sadar. “Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Sekarang kita harus membawa anak ini ke rumah sakit dulu. Kasihan dia.” Mas Adi menganggukan kepala lalu menggendong anak itu menuju mobil kami. Anak itu di letakan di kursi belakang. Aku memasangkan sabuk pengaman untuknya. Wajah anak itu ter
“Bu, bukan apa-apa mas. Tadi aku hanya kaget karena ada kecoak jadi nggak sengaja menjatuhkan gelas. Siapa anak yang sedang bermain bersama Nasya mas? Apa dia keponakannya Mbak Nada? Kok aku nggak pernah lihat ya.” Aneh sekali suara Rumi terdengar sangat khawtir. Seolah-olah dia ketakutan melihat Karina dari layar hp. “Bukan. Ceritanya panjang Rum. Nama anak itu Karina. Aku dan Nada tadi menolongnya saat dia jatuh di depan mobil kami. Karena Karina akan kami ang..” Aku segera menggelengkan kepala pada Mas Adi agar tdak menceritakan hal ini lebih dulu pada Rumi. “Kenapa kamu berhenti mas? Karina akan di apakan?” Tanya Rumi lagi. “Ehm. Kami akan menanggung biaya rawat Karina. Kasihan dia badannya sampai luka-luka.” Terang Mas Adi tidak menjelaskan semuanya pada Rumi. Melihat sikap Rumi yang seperti itu aku hanya khawatir jika dia akan menghalang-halangi proses adopsi Karina. Pada Nasya yang merupakan anak kandung Mas Adi saja dia cemburu. Apalagi pada Karina? Bisa mencak-mencak tida
“Apa maksud kalian? Kenapa Karina harus di bawa?” Aku menarik tangan Rumi yang sudah hendak menggendong tubuh mungil Karina. Nasya berusaha melindungi adiknya dengan memeluk tubuh Karina yang bergetar ketakutan. Walaupun tadi mengatakan ingin membawa Karina, wajah Rumi justru menatap tajam ke arah anak itu. Seolah-olah Rumi sangat membenci Karina. “Jangan ikut campur mbak. Ini masalahku dan Mas Adi.” Kepalaku menoleh pada Mas Adi yang diam saja di belakang tubuh Rumi. Raut wajahnya sangat datar. Berbanding terbalik dengan kemarin saat kami memutuskan untuk mengadopsi Karina menjadi anak kami. Adik maduku itu berhasil mengambil paksa tubuh Rumi dari pelukan Nasya lalu menyerahkannya pada Mas Adi. Rumi dan Mas Adi sudah berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Aku berlari mengejar mereka. Tangis Karina yang menyanyat hati terus memanggil namaku. “Ibuuu. Ibuuuu Karina nggak mau pergi. Tolong Karina Bu.” Teriak Karina sambil memukul tubuh Mas Adi dengan tangan kecilnya. Namun, seberap
Rupanya Mas Adi juga punya dugaan yang sama denganku. Entah kenapa Mas Adi bisa berpikir seperti itu. Aku sendiri hanya punya firasat dari wajah Karina yang sangat mirip dengan Mas Adi dan Nasya. Di tambah lagi dengan golongan darah Karina juga sama dengan Mas Adi. Selain itu, tidak ada hal lain yang membuatku curiga. Karena aku sama sekali tidak ingin berprasangka buruk pada adik maduku. Meskipun sudah banyak sekali luka yang Rumi goreskan untukku dan Nasya selama tiga tahun ini. “Aku sendiri punya firasat yang sama mas. Cuma aku lihat dari wajah Karina yang sama seperti kamu dan Nasya. Di banding wajah Rahman yang sama sekali tidak mirip dengan kamu dan Rumi. Maaf jika aku harus mengatakan ini mas. Semakin besar wajah Rahman hanya sekilas saja mirip seperti Rumi. Berbeda saat masih bayi dulu.” Ungkapku jujur. Tapi, tidak ada kekecewaan di mata Mas Adi setelah aku bicara tentang hal itu. “Aku mengerti maksudmu dek.” Mas Adi menghela nafasnya sejenak. “Darimana kamu curiga jika Kar
“Karena aku sudah membawa Ibu Karina kesini, cepat kalian serahkan Karina pada Ibunya. Aku sudah mendengar cerita dari suami wanita ini jika Ayah Karina yang melakukan penganiayaan. Bukan Ibunya.” Ucap Rumi tanpa mempedulikan keberadaan Pak Aris yang menjadi tamu kami. Membuat aku merasa sangat tidak enak karena Pak Aris harus menonton drama keluarga kami di pagi hari. “Kita bicarakan hal ini nanti. Kamu bisa membawa masuk Ibunya Karina ke dalam ruang keluarga dulu Rum. Aku dan Mas Adi masih ada urusan dengan Pak Aris.” Terangku sambil menunjuk tumpukan kertas di atas meja yang sudah di keluarkan Mas Adi. Tanpa menjawab perkataanku, Rumi sudah menarik tangan wanita itu untuk masuk ke dalam ruang keluarga. Aku mengeluarkan hp untuk mengaktikan sesuatu. Setidaknya rumah Papa dan Mama sudah di lengkap dengan peralatan canggih seperti kamera CCTV dan alat perekam. Sehingga kami bisa memantau siapapun yang masuk ke rumah ini. “Maaf jika tadi ada sedikit gangguan Pak Aris.” Kata Mas Adi
“Jangan bicara sembarangan mbak. tentu saja Mbak Rahmi itu Ibunya Karina. Kenapa kamu malah bicara melantur.” Bukan Rahmi yang bicara. Melainkan Rumi. Aneh sekali karena raut wajah Rumi tampak sangat ketakutan. Kenapa dia tidak bisa sedikit berakting saat berani membawa Rahmi ke rumah ini?“Bisa jadikan. Karena mana ada Ibu kandung yang tega menyiksa anaknya sendiri sampai seperti itu.” Ucapku yang membuat Rumi terdiam. Aku bisa melihat tangan Rumi yang terus menyenggol paha Rahmi.“Nada benar Rum. Kami tidak bisa menyerahkan Karina begitu saja pada Ibu kandungnya karena Karina sudah mengalami penganiayaan. Bahkan Karina sama sekali tidak mau menyebut nama Ibunya sendiri karena takut.” Kata Mas Adi membelaku. “Apa bukti kalian jika saya melakukan penganiayaan pada Karina? Saya akui jika selama ini saya hanya diam saja selama suami saya memukul Karina. Tapi, saya terpaksa diam karena jika saya bergerak, suami saya akan semakin keras memukul anak kami. Setelah Karina kabur saya baru sa
“Kamu keterlaluan sekali mas. Kenapa kamu juga harus melakukan hal ini? Karina itu bukan anak kalian. Apa susahnya sih menyerakah Karina pada Ibu kandungnya.” Lagi-lagi Rumi yang lebih dulu berseru tidak terima. Rahmi ha ya diam saja seolah menunggu intruksi dari Rumi.“Entahlah. Aku hanya merasa sudah menemukan ikatan batin dengan Karina, Rum. Lagian Nada sudah mengatakan jika dia akan menggunakan penghasilannya sendiri untuk biaya hidup Karina. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Apa yang membuat kamu begitu takut seperti itu Rum?” Tanya Mas Adi datar membuat Rumi hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Maaf. Saya rasa tidak perlu melakukan hal itu. Karena saya bisa membuktikan jika bukan saya yang sudah menganiaya Karina.” Sela Rahmi memotong percakapan di antara Mas Adi dan Rumi. “Baiklah. Aku ijinkan kamu untuk bertemu dengan Karina. Tapi, jika Karina tidak mau jangan paksa dia lagi. Karena kami akan tetap melaporkan hal ini pada pihak kepolisian.” “Bagaimana jika Karina mau pergi b
Aku masih membalas pesan para pelanggan yang hendak membeli barang dagangan dari pabrik milik Papa dan Mama hingga adzan dhuhur terdengar berkumandang. Mas Adi masih belum pulang ke rumah. Pesan terakhir yang aku terima adalah dia sedang ada di rumah sakit untuk melakukan tes dna. Kakiku melangkah keluar menuju kamar anak-anak. Setelah sholat dhuhur dan makan siang aku ingin mengajak mereka untuk melihatku membungkus barang pesanan pelanggan. Tidak ada suara Nasya dan Karina yang terdengar dari luar. Membuatku sedikit khawatir kenapa tidak ada suara percakapan mereka jika sedang bermain. Tanganku lalu mengetuk pintu kamar mereka pelan. Tok… tok… tok… “Nasya, Karina, Ibu masuk ya.” Tidak ada jawaban dari dalam yang membuatku segera membuka pintu. Cklek Rasa khawatir itu seketika luruh saat melihat tubuh kecil Nasya dan Karina tertidur di atas karpet. Saat ini memang waktunya jam tidur siang untuk Nasya. Biasanya sebelum dhuhur Nasya akan menghabiskan waktunya untuk bermain bersama