Dua bulan sebelum pernikahan …. “Kalau kau mencintainya, sebaiknya segera menikahinya. Jangan sampai Thania mendapat tuduhan gila ini lagi dan lagi, Melvin!” ucap Andrew tegas, dengan sorot mata tajam yang mengarah langsung ke sahabatnya. Ia adalah satu-satunya pria yang tahu betul bagaimana Melvin sesungguhnya memendam perasaan dalam terhadap Thania—perasaan yang tak pernah benar-benar ia akui, bahkan pada dirinya sendiri. Melvin berdiri dengan gelisah di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kota yang mulai diselimuti senja. Langit berwarna jingga keemasan, namun hatinya justru digelayuti awan kelabu. Ia membalikkan badan tiba-tiba, matanya merah karena emosi yang mendidih. “Bagaimana jika memang benar, Thania menyukai ayahku? Dia ingin merebut Papa dari Mama? Kau lihat, Andrew! Dia masuk ke dalam kamar hotel bersama ayahku!” teriak Melvin frustasi, suaranya menggema hingga ke langit-langit ruangan. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia tak bisa menoleransi satu pun
“Aku tahu aku sudah membuatmu lelah. Tapi aku ingin memperbaikinya, Thania. Aku hanya … tidak tahu bagaimana caranya,” lanjut Melvin. Thania masih belum menjawab. Ia meletakkan gelasnya pelan, lalu mengusap perutnya dengan gerakan melingkar. Ia menarik napas dalam, sebelum akhirnya menatap Melvin dan berkata, “Aku sudah memaafkanmu, Melvin. Tapi maaf tidak selalu berarti semua kembali seperti semula. Kau harus membuktikan kalau hatimu cukup kuat untuk menjaga kami. Aku dan anak kita.” Melvin menganggukkan kepalanya. “Ya. Beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku sungguh-sungguh meminta maaf padamu. Aku tidak akan mengulangi kesalahan bodohku itu.” Thania menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Kalau begitu, apa kau bisa menceritakan tentangmu dan Joana? Yang akhirnya harus terikat bahkan hingga saat ini?” tanyanya ingin tahu tentang masa lalu Melvin dan Joana. Melvin menarik napasnya dalam-dalam sebelum menceritakan semuanya. “Kejadian itu terjadi saat aku berusia tujuh tah
“Astaga, Melvin!” Mata Thania membulat, nyaris tak percaya ketika melihat tubuh Melvin yang limbung dan tak sadarkan diri dipapah oleh Davian masuk ke rumah.Melvin benar-benar terlihat kacau. Bajunya kusut, wajahnya pucat dengan semburat merah karena alkohol, dan aroma menyengat dari tubuhnya langsung memenuhi udara sekitar.Davian menyeretnya dengan susah payah menuju kamar, dan Thania mengikuti di belakang dengan langkah ragu dan hati yang berdesir pelan.Davian meletakkan tubuh Melvin ke atas tempat tidur dengan sedikit dorongan karena berat tubuh kakaknya yang hampir tidak memberi perlawanan. Keringat bercucuran di pelipisnya, dan napasnya memburu.“Apa yang terjadi padanya, Davian?” tanya Thania dengan suara serak, matanya tak lepas dari wajah Melvin yang tampak lelah, seperti habis bertarung dengan dunia dan kalah telak.Davian mengatur napas sejenak sebelum menjawab. “Dia mabuk. Sudah dua hari ini kerjaannya hanya minum dan mengurung diri. Semua pekerjaan dilimpahkan ke Regina
“Apa ini?” gumamnya sarat dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.Seluruh kamar dipenuhi bunga mawar merah segar—di atas tempat tidur, di meja rias, bahkan kelopak-kelopaknya berserakan seperti salju merah yang jatuh di lantai marmer tersebut.Aroma manis bunga itu menusuk hidung, begitu kuat hingga hampir terasa menyengat.Thania menatap sekeliling, lalu melangkah hati-hati, takut menginjak kelopak-kelopak itu. Pandangannya tertumbuk pada sebuah buket besar di atas tempat tidurnya.Di antara lilitan plastik bening dan pita satin, terselip sepucuk surat kecil.Ia menghela napas perlahan, lalu meraihnya. Thania membuka surat itu dan mulai membaca.‘Hatimu yang seluas samudera ini, apakah bisa memberiku kesempatan? I love you, my wife. Hanya kau duniaku. Aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu.’Sekilas senyum sinis melintas di bibirnya. Ia menyunggingkan senyum kecil, bukan karena tersentuh, tapi karena merasa geli bercampur muak.“Apa dia jadi tukang gombal sekarang?” gumamnya d
“Apa kau gila?” teriak Davian keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kau tidur dengan Joana? Di mana otakmu, Melvin? Kau ingin mati, hah?!”Nada suaranya memecah malam seperti petir yang menyambar. Melvin berdiri tak jauh darinya, tubuhnya tampak lunglai, wajahnya kusut tanpa arah.Ia mengangkat tangan, mencoba menenangkan adiknya.“Aku tidak tidur dengan Joana, Davian,” katanya cepat, berusaha menjernihkan kekeliruan yang sudah terlanjur membakar emosi Davian. “Hanya... tertidur di apartemennya.”“Sama saja!” teriak Davian kembali, lebih keras dari sebelumnya.Ia mendekat, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan gerakan frustasi. Tangannya menggigil karena terlalu marah, dan wajahnya kini tak lagi sekadar kesal — tapi kecewa dan muak.“Tidak sama, Davian,” sergah Melvin, suaranya mulai meninggi, tapi bukan karena ingin membantah, melainkan karena dirinya mulai putus asa.“Aku lelah, aku mengantuk dan akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Sementara Joana tidur di kamarnya. Ti
Melvin melangkah perlahan ke dalam kamar, tangannya membawa nampan kecil berisi segelas susu ibu hamil.Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi Thania yang baru saja bangun. Rambut Thania masih kusut, matanya sembap seperti habis menangis, dan ekspresinya datar, tanpa semangat.“Ini…,” ucap Melvin pelan, menyerahkan segelas susu itu.Thania hanya mengambil gelas tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada senyum, hanya sepasang mata kosong yang menatap sekilas sebelum kembali jatuh ke arah lantai.Ia lalu melangkah ke sofa dengan gerakan malas dan berat, lalu duduk sambil meminum perlahan susu yang diberikan suaminya.Melvin memperhatikan gerak-gerik Thania dengan hati yang terasa semakin hancur. Wajahnya lesu, sorot matanya kusam, dan tubuhnya terlihat seperti kehilangan arah.Dia berdiri beberapa saat tanpa tahu harus berbuat apa, lalu akhirnya duduk di samping istrinya denga