Home / Rumah Tangga / Derita Istri yang Difitnah Mandul / 1. Kebahagiaan yang Terenggut

Share

1. Kebahagiaan yang Terenggut

Author: Aprillia D
last update Last Updated: 2025-04-13 18:54:03

Lima tahun kemudian ....

Intan langsung membuka mata kala dia merasa kecupan hangat menyentuh keningnya. Didapatinya wajah suaminya yang sedang tersenyum begitu dekat dengan wajahnya.

"Selamat pagi, Sayangku."

Intan refleks tersenyum simpul mendapati perlakuan demikian dari suaminya. "Selamat pagi juga, Mas," balasnya. Sebelum akhirnya wanita itu tersadar sesuatu. Dia mengerjap-ngerjap lalu menegak di atas tempat tidur. "Eh, ini udah siang, ya?" Lalu dia menatap suaminya. "Kamu udah siap mau kerja, ya ampun, aku bangun kesiangan."

Bima hanya tersenyum tenang. "Kamu pasti kecapekan kan semalam."

"Maaf, ya, Mas, aku nggak siapin baju kamu. Oh, engg ... kamu udah sarapan?"

Bima malah tertawa melihat gelagat istrinya yang seperti orang kelimpungan. "Aku bisa sarapan pas mau berangkat ke kantor nanti. Kamu kalau masih capek lanjut tidur aja. Nggak usah pikirin aku, aku bisa sendiri kok, ini aku udah mau berangkat." Bima berusaha menenangkan istrinya.

"Maaf, ya, Mas." Intan memandangi suaminya dengan tak enak hati.

"Ngapain minta maaf, sih. Udah lanjut tidur aja."

Bima sangat mengerti istrinya itu sering merasa kelelahan karena banyaknya tugas rumah dari mamanya yang harus istrinya kerjakan. Bima sebenarnya seringkali melarang Intan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Intan ngotot dan Bima tak bisa memaksakan kehendaknya.

"Nggak, aku nggak mau tidur lagi, aku ...."

"Kak Intaaannn!!!"

Intan membelalak mendengar suara teriakan yang terdengar dari luar itu. Dia dan suaminya saling tatap.

"Sarapan gue mana sih kok nggak ada apa-apa di meja makan. Ini udah jam berapa, ya ampun!!"

Intan pun tersadar akan kesalahannya. "Ya ampun, Mas, gara-gara aku bangunnya kesiangan, aku jadi nggak siapin sarapan buat Mischa." Intan bergegas turun dari kasur dan membuka pintu kamar, bahkan dia tak menghiraukan suaminya yang memanggilnya.

Intan tergesa mendatangi adik iparnya di meja makan, di mana arah suara itu berasal. Di sana terlihat seorang gadis cantik berpenampilan seksi duduk menghadap meja makan dengan wajah kesal.

"Maaf, Mischa, aku agak kesiangan bangun, ngantuk banget soalnya tadi malam ...."

"Enak aja ya bilang maaf telat bangun." Mischa menyergah. "Harusnya bangun lebih pagi dari kami, bukannya enak-enakan tiduran."

Intan yang tak kuasa mendebat Mischa dan terbiasa dengan perlakuan itu langsung menjawab. "Maaf, Mischa, aku bisa siapin sarapan kamu sekarang, ya. Kamu mau sarapan apa?"

"Udah telat! Jam kerja gue tuh padat tauk, bentar lagi mau foto shoot, nih!"

"Nggak pa-pa, aku bisa siapin sekarang, bentar, ya--"

"Nggak usah." Larangan Mischa membuat gerakan Intan terhenti dan wanita itu kembali menatap gadis di hadapannya dengan sabar. "Mood gue udah rusak pagi-pagi gara-gara Kak Intan." Mischa hendak berjalan meninggalkan Intan, tapi dia berbalik lagi seolah baru teringat sesuatu. Gadis berusia sembilan belas tahun itu menatap kakak iparnya penuh peringatan. "Ingat, ya, lain kali jangan sampai telat bangun. Gue nggak suka Kak Intan leyeh-leyeh aja di rumah ini seolah nyonya di rumah ini. Kak Intan tuh bukan siapa-siapa kalau nggak nikah sama Kak Bima ..."

"Eh, ada apa ini ribut-ribut." Bima tiba-tiba muncul menginterupsi pertengkaran itu.

Mischa menoleh dan agak terkejut melihat kakaknya.

Bima menatap Mischa tajam. "Mischa, kenapa sih kamu sering ngomongnya kasar begitu sama kakakmu? Nggak boleh loh, ya, kamu harus sopan, dong."

"Dia bukan kakak aku," ketus Mischa masih dengan wajah juteknya.

"Kenapa kamu marah-marah? Bikin sarapan sendiri bisa kan? Nggak usah kebiasaan merintah-merintah Kak Intan."

"Mas, udah. Aku nggak pa-pa, kok." Intan melerai.

Tapi agaknya Bima tak memedulikan Intan dan terus menegur adiknya. "Kakak nggak suka ya sikapmu begitu sama Kak Intan."

"Kak Intan bikin sarapan dulu, ya, kamu tunggu di sini, ya," ucap Intan lagi, berusaha melerai Bima dan Mischa.

"Nggak usah, gue mau pergi aja, malas banget." Dengan wajah kesal gadis itu melenggang pergi meninggalkan Bima dan Intan. Bima benar-benar tak habis pikir melihat sikap adiknya itu.

"Mas, kamu kenapa begitu, sih?" tegur Intan kemudian membuat Bima menatapnya.

"Begitu gimana? Wajar kan kalau aku tegur dia? Aku nggak suka sikapnya begitu sama kamu. Kebiasaan dia tuh, ajaran dari Mama juga." Bima masih kesal.

"Ya udah mending sekarang kamu berangkat kerja loh, nanti telat, belum sarapan juga kan?"

Bima mengangguk. Dia berpamitan dengan istrinya dan mengecup kening istrinya dengan mesra sebelum akhirnya pergi ke kantor.

Selepas kepergian suaminya, air mata Intan yang sejak tadi dia tahan pun meluruh seketika. Semenjak bayinya meninggal dalam perut karena dia jatuh dari ketinggian, sikap keluarga suaminya berubah seratus delapan puluh derajat. Sejak itu dia sering menghadapi tekanan dan kata-kata kasar dari keluarga suaminya, dia bisa terima. Namun, jika mereka mengungkit masa lalu Intan, perasaan wanita itu selalu sensitif.

Memang benar apa yang dikatakan Mischa, semuanya benar. Hanya saja, Intan berharap harusnya adik iparnya itu tak mengungkit-ungkit soal itu lagi.

Kalau bukan karena sikap suaminya, Intan pasti tak akan mampu bertahan sampai sejauh ini.

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Intan berusaha fokus dengan kegiatannya. Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata. "Ngapain sih aku dengerin omongan Mischa. Dia kan masih muda dan dia begitu juga karena pengaruh dari mamanya. Jadi wajar ajalah, harusnya aku nggak masukkan ke hati omongannya. Mending sekarang aku mandi dan masak deh."

***

"Ya ampun Intan, kenapa ayam gorengnya bisa gosong begini?!"

Intan yang saat itu tengah sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, serta-merta menghentikan aktivitasnya dan buru-buru kembali ke dapur.

Dia pun terkejut melihat gorengannya gosong di atas minyak. "Maaf, Ma, tadi masakannya aku tinggal jadinya ..."

"Makanya jangan ditinggal-tinggal. Aduh gimana sih kamu, udah tua juga masih kayak pengantin baru aja. Masak aja nggak becus!"

Telinga Intan sudah kebal mendengar omelan ibu mertuanya setiap hari. Memang begitulah ibu mertuanya, kerjaannya memantau aktivitasnya setiap hari, kalau dia melakukan kesalahan sedikit saja, keluarlah omelan-omelan itu. Namun, selama ibu mertuanya tak mengungkit masa lalunya, Intan berusaha tak akan sakit hati.

"Maaf, Ma. Aku tadi sibuk masukin pakaian ke mesin cuci, makanya jadi gosong begini. Aku masak baru lagi, ya, Ma." Intan pun sibuk mengangkat ayam gosong itu ke dalam piring.

"Oh iya Mama tadi dengar dari Mischa katanya kamu nggak bikinin dia sarapan, ya, karena telat bangun?" Mirawati tak menanggapi dan membicarakan hal lain. Wanita paruh baya yang masih mengenakan pakaian tidur itu bersidekap dada memperhatikan menantunya dengan sinis.

"I-iya, Ma." Intan menjawab tanpa menghentikan aktivitasnya.

Mirawati menghela napas. "Kamu ini gimana sih, nggak becus banget kerjanya."

"Maaf, Ma." Hanya itu saja yang bisa Intan ucapkan. Lalu ucapan ibu mertuanya yang selanjutnya tak Intan bayangkan akan terucap dan membuatnya begitu sakit.

"Kamu nggak lupa kan Intan, kenapa kami masih menerima kamu di sini? Kamu tuh menantu yang nggak berguna. Udah nggak bisa kasih keluarga kami keturunan, miskin lagi, malu-maluin aja kamu tuh. Jadi satu-satunya yang bisa kami manfaatkan dari kamu sekarang ya tenaga kamu. Dan itu terserah kamu juga, kalau kamu masih betah tinggal di sini, ikuti aturan di rumah ini. Kalau enggak silahkan pergi dari rumah ini."

Diam-diam rupanya Bi Iyem menguping percakapan Mirawati dan Intan dari ambang pintu ruang tengah yang menghubungkan dapur. Sungguh, dia selalu kasihan melihat majikan mudanya diperlakukan seperti itu oleh nyonya besarnya. Meskipun orang rumah ini memperlakukan Intan layaknya pembantu seperti dirinya, dia tetap menghormati Intan dan menganggapnya majikan seperti yang lainnya.

Iyem merasa sikap Mirawati itu keterlaluan. Ingin rasanya dia menolong, tapi saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa selain memendam rasa iba.

"Iyem, ngapain kamu di sini?"

Iyem tersentak begitu mendapati nyonya besar sudah berdiri di hadapannya, entah sejak kapan. "Hmm anu, Nyonya ...."

"Kamu nguping, ya?" Mirawati melotot menatap asisten rumah tangganya itu.

"Maaf, Nyonya. Tapi saran saya sebaiknya Nyonya ndak perlu terlalu keras sama Bu Intan, biar bagaimana pun kan dia menantu Nyonya sendiri. Saya kasihan lihatnya, Nyonya. Bu Intan dibiarkan ngurus pekerjaan rumah sendiri, mana bisa sambil-sambilan begitu, berat, Nyonya."

"Kenapa kamu jadi ngatur saya?" Sergahan itu membuat Iyem terdiam. "Saya mau bersikap bagaimana dengan orang rumah ini bukan urusan kamu. Yang penting gaji kamu lancar, udah itu aja kan? Nggak usah sok ngurusin yang lain."

Iyem tahu, apa yang dia lakukan ini hanyalah sia-sia. Nyonya tak mungkin mau mendengarkannya. Dia hanya terlalu kasihan dengan nasib majikan mudanya itu.

"Ingat, ya, kamu jangan sekali-kali bantu dia. Kamu kan udah punya pekerjaan sendiri. Tugas kamu bersihkan area depan, dia area dapur."

"I-iya, Nyonya."

"Awas kamu, ya, kalau sampai ketahuan bantuin dia, gaji kamu saya potong!"

Sesungguhnya ancaman itu tak pernah membuat Iyem takut, bahkan jika dia dipecat sekali pun. Selama ini dia diam hanya menghargai majikannya itu, bukan karena takut. Dia juga masih ingin menemani majikan mudanya, Intan.

Diam-diam Intan juga mendengarkan percakapan ibu mertuanya dengan Bi Iyem. Dia agak terharu mengetahui Bi Iyem peduli dengannya. Sikap Bi Iyem demikian membuatnya terenyuh. Namun, kata-kata ibu mertuanya itu memang menyakitkan.

Ucapan dokter di masa lalu beserta ucapan-ucapan ibu mertuanya pun terngiang lagi.

"Bayi yang meninggal di dalam perut Bu Intan mengakibatkan kerusakan pada leher rahim Bu Intan. Hal itu membuatnya kemungkinan besar tidak bisa hamil lagi. Kalau pun bisa sangat sulit."

"Kamu denger apa kata dokter, kamu udah nggak bisa hamil lagi. Kamu nggak bisa menjaga cucu saya dengan baik, benar-benar menantu nggak berguna kamu!"

"Kamu tuh menantu yang nggak berguna. Udah nggak bisa kasih keluarga kami keturunan, miskin lagi, malu-maluin aja kamu tuh. Jadi satu-satunya yang bisa kami manfaatkan dari kamu sekarang ya tenaga kamu. Dan itu terserah kamu juga, kalau kamu masih mau betah tinggal di sini, ikuti aturan di rumah ini. Kalau enggak silahkan pergi dari rumah ini ...."

Intan sedih mengingat tragedi itu. Sebenarnya Intan masih punya keyakinan kalau dia bisa hamil lagi kelak, tapi ibu mertuanya sudah memvonisnya mandul selama-lamanya.

"Hanya demi Mas Bima aku bisa bertahan sampai sejauh ini," gumamnya seiring dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
kenapa nggak cerai aja sih? ntar suaminya jahat pula
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   99

    "Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?""Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya."Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas.Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara.""Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak mungkin nga

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   98

    Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!"Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya terd

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   98

    "Apa maksud kamu, Intan. Kenapa kamu bisa bilang gulai ini berbahaya?" tanya Mira setengah syok. Intan lagi-lagi terdiam. Mencari-cari alasan yang tepat untuk dia katakan. Sebelum akhirnya dia mengatakan. "Maaf, Ma. Aku nggak bisa bilang, tapi aku mohon Mama jangan makan gulai itu." Intan menggeleng kencang."Jangan mengada-ada kamu, Intan."Intan tahu ibu mertuanya mulai kesal dengannya, tatapan ibu mertuanya pun berubah tajam. Mira melirik Fara dengan tak enak hati sekilas, lalu kembali menatap menantunya. "Jangan beri malu keluarga ini, ya.""Aku nggak mengada-ada, Ma," jawab Intan. "Gulai itu memang berbahaya. Mama nggak boleh memakannya!""Intan, maaf sebelumnya." Fara mulai menegurkan membuat semua pasang mata yang ada di sana menatap ke arahnya, tak terkecuali Intan dan Mira. "Maksud kamu bilang makanan Tante berbahaya itu apa, ya. Makanan ini halal, kok, enak juga, nggak berbahaya sama sekali seperti yang kamu pikirkan. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Intan?" Fara me

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   97

    "Pokoknya kali ini rencana kita harus berhasil, nggak boleh gagal lagi." Kembali suara Tante Fara terdengar. "Kamu harus bantu aku, ya, Mas." "Makanya kamu harus hati-hati supaya nggak gagal lagi." Itu suara Om Arhan. "Jangan sampai ada yang tahu atau curiga dengan kita." Hening sesaat sebelum kembali suara Fara terdengar. "Iya. Ingat, Mas, semakin cepat kita menghancurkan keluarga ini, semakin cepat juga kita menguasai hartanya. Nggak masalah Maya nggak jadi istri kedua Bima, asal kita tetap bisa menghancurkan keluarga ini dan merebut hartanya." "Iya, iya." "Dan semua ini harus dimulai dari Mira. Kita harus bunuh Mira secepatnya. Induknya dulu, baru anak cucunya." "Iya, Ma, iya. Jangan bahas soal itu di sini. Kalau sampai ada yang dengar kan bisa bahaya banget, Ma," jawab Arhan. "Apalagi kalau mereka tahu bahwa Toni meninggal sebenarnya bukan karena kecelakaan dari pesawat, tapi kita yang bunuh. Rahasia itu, rahasia besar itu nggak ada yang boleh tahu." "Iya, Mas. Udah jangan

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   96. Rencana Bima dan Intan

    "Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?" "Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya." Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas. Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara." "Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak m

  • Derita Istri yang Difitnah Mandul   95. Kemarahan Ibu Mertua

    Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!" Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status