MasukLima tahun kemudian ....
Intan langsung membuka mata kala dia merasa kecupan hangat menyentuh keningnya. Didapatinya wajah suaminya yang sedang tersenyum begitu dekat dengan wajahnya. "Selamat pagi, Sayangku." Intan refleks tersenyum simpul mendapati perlakuan demikian dari suaminya. "Selamat pagi juga, Mas," balasnya. Sebelum akhirnya wanita itu tersadar sesuatu. Dia mengerjap-ngerjap lalu menegak di atas tempat tidur. "Eh, ini udah siang, ya?" Lalu dia menatap suaminya. "Kamu udah siap mau kerja, ya ampun, aku bangun kesiangan." Bima hanya tersenyum tenang. "Kamu pasti kecapekan kan semalam." "Maaf, ya, Mas, aku nggak siapin baju kamu. Oh, engg ... kamu udah sarapan?" Bima malah tertawa melihat gelagat istrinya yang seperti orang kelimpungan. "Aku bisa sarapan pas mau berangkat ke kantor nanti. Kamu kalau masih capek lanjut tidur aja. Nggak usah pikirin aku, aku bisa sendiri kok, ini aku udah mau berangkat." Bima berusaha menenangkan istrinya. "Maaf, ya, Mas." Intan memandangi suaminya dengan tak enak hati. "Ngapain minta maaf, sih. Udah lanjut tidur aja." Bima sangat mengerti istrinya itu sering merasa kelelahan karena banyaknya tugas rumah dari mamanya yang harus istrinya kerjakan. Bima sebenarnya seringkali melarang Intan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Intan ngotot dan Bima tak bisa memaksakan kehendaknya. "Nggak, aku nggak mau tidur lagi, aku ...." "Kak Intaaannn!!!" Intan membelalak mendengar suara teriakan yang terdengar dari luar itu. Dia dan suaminya saling tatap. "Sarapan gue mana sih kok nggak ada apa-apa di meja makan. Ini udah jam berapa, ya ampun!!" Intan pun tersadar akan kesalahannya. "Ya ampun, Mas, gara-gara aku bangunnya kesiangan, aku jadi nggak siapin sarapan buat Mischa." Intan bergegas turun dari kasur dan membuka pintu kamar, bahkan dia tak menghiraukan suaminya yang memanggilnya. Intan tergesa mendatangi adik iparnya di meja makan, di mana arah suara itu berasal. Di sana terlihat seorang gadis cantik berpenampilan seksi duduk menghadap meja makan dengan wajah kesal. "Maaf, Mischa, aku agak kesiangan bangun, ngantuk banget soalnya tadi malam ...." "Enak aja ya bilang maaf telat bangun." Mischa menyergah. "Harusnya bangun lebih pagi dari kami, bukannya enak-enakan tiduran." Intan yang tak kuasa mendebat Mischa dan terbiasa dengan perlakuan itu langsung menjawab. "Maaf, Mischa, aku bisa siapin sarapan kamu sekarang, ya. Kamu mau sarapan apa?" "Udah telat! Jam kerja gue tuh padat tauk, bentar lagi mau foto shoot, nih!" "Nggak pa-pa, aku bisa siapin sekarang, bentar, ya--" "Nggak usah." Larangan Mischa membuat gerakan Intan terhenti dan wanita itu kembali menatap gadis di hadapannya dengan sabar. "Mood gue udah rusak pagi-pagi gara-gara Kak Intan." Mischa hendak berjalan meninggalkan Intan, tapi dia berbalik lagi seolah baru teringat sesuatu. Gadis berusia sembilan belas tahun itu menatap kakak iparnya penuh peringatan. "Ingat, ya, lain kali jangan sampai telat bangun. Gue nggak suka Kak Intan leyeh-leyeh aja di rumah ini seolah nyonya di rumah ini. Kak Intan tuh bukan siapa-siapa kalau nggak nikah sama Kak Bima ..." "Eh, ada apa ini ribut-ribut." Bima tiba-tiba muncul menginterupsi pertengkaran itu. Mischa menoleh dan agak terkejut melihat kakaknya. Bima menatap Mischa tajam. "Mischa, kenapa sih kamu sering ngomongnya kasar begitu sama kakakmu? Nggak boleh loh, ya, kamu harus sopan, dong." "Dia bukan kakak aku," ketus Mischa masih dengan wajah juteknya. "Kenapa kamu marah-marah? Bikin sarapan sendiri bisa kan? Nggak usah kebiasaan merintah-merintah Kak Intan." "Mas, udah. Aku nggak pa-pa, kok." Intan melerai. Tapi agaknya Bima tak memedulikan Intan dan terus menegur adiknya. "Kakak nggak suka ya sikapmu begitu sama Kak Intan." "Kak Intan bikin sarapan dulu, ya, kamu tunggu di sini, ya," ucap Intan lagi, berusaha melerai Bima dan Mischa. "Nggak usah, gue mau pergi aja, malas banget." Dengan wajah kesal gadis itu melenggang pergi meninggalkan Bima dan Intan. Bima benar-benar tak habis pikir melihat sikap adiknya itu. "Mas, kamu kenapa begitu, sih?" tegur Intan kemudian membuat Bima menatapnya. "Begitu gimana? Wajar kan kalau aku tegur dia? Aku nggak suka sikapnya begitu sama kamu. Kebiasaan dia tuh, ajaran dari Mama juga." Bima masih kesal. "Ya udah mending sekarang kamu berangkat kerja loh, nanti telat, belum sarapan juga kan?" Bima mengangguk. Dia berpamitan dengan istrinya dan mengecup kening istrinya dengan mesra sebelum akhirnya pergi ke kantor. Selepas kepergian suaminya, air mata Intan yang sejak tadi dia tahan pun meluruh seketika. Semenjak bayinya meninggal dalam perut karena dia jatuh dari ketinggian, sikap keluarga suaminya berubah seratus delapan puluh derajat. Sejak itu dia sering menghadapi tekanan dan kata-kata kasar dari keluarga suaminya, dia bisa terima. Namun, jika mereka mengungkit masa lalu Intan, perasaan wanita itu selalu sensitif. Memang benar apa yang dikatakan Mischa, semuanya benar. Hanya saja, Intan berharap harusnya adik iparnya itu tak mengungkit-ungkit soal itu lagi. Kalau bukan karena sikap suaminya, Intan pasti tak akan mampu bertahan sampai sejauh ini. Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, Intan berusaha fokus dengan kegiatannya. Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata. "Ngapain sih aku dengerin omongan Mischa. Dia kan masih muda dan dia begitu juga karena pengaruh dari mamanya. Jadi wajar ajalah, harusnya aku nggak masukkan ke hati omongannya. Mending sekarang aku mandi dan masak deh." *** "Ya ampun Intan, kenapa ayam gorengnya bisa gosong begini?!" Intan yang saat itu tengah sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, serta-merta menghentikan aktivitasnya dan buru-buru kembali ke dapur. Dia pun terkejut melihat gorengannya gosong di atas minyak. "Maaf, Ma, tadi masakannya aku tinggal jadinya ..." "Makanya jangan ditinggal-tinggal. Aduh gimana sih kamu, udah tua juga masih kayak pengantin baru aja. Masak aja nggak becus!" Telinga Intan sudah kebal mendengar omelan ibu mertuanya setiap hari. Memang begitulah ibu mertuanya, kerjaannya memantau aktivitasnya setiap hari, kalau dia melakukan kesalahan sedikit saja, keluarlah omelan-omelan itu. Namun, selama ibu mertuanya tak mengungkit masa lalunya, Intan berusaha tak akan sakit hati. "Maaf, Ma. Aku tadi sibuk masukin pakaian ke mesin cuci, makanya jadi gosong begini. Aku masak baru lagi, ya, Ma." Intan pun sibuk mengangkat ayam gosong itu ke dalam piring. "Oh iya Mama tadi dengar dari Mischa katanya kamu nggak bikinin dia sarapan, ya, karena telat bangun?" Mirawati tak menanggapi dan membicarakan hal lain. Wanita paruh baya yang masih mengenakan pakaian tidur itu bersidekap dada memperhatikan menantunya dengan sinis. "I-iya, Ma." Intan menjawab tanpa menghentikan aktivitasnya. Mirawati menghela napas. "Kamu ini gimana sih, nggak becus banget kerjanya." "Maaf, Ma." Hanya itu saja yang bisa Intan ucapkan. Lalu ucapan ibu mertuanya yang selanjutnya tak Intan bayangkan akan terucap dan membuatnya begitu sakit. "Kamu nggak lupa kan Intan, kenapa kami masih menerima kamu di sini? Kamu tuh menantu yang nggak berguna. Udah nggak bisa kasih keluarga kami keturunan, miskin lagi, malu-maluin aja kamu tuh. Jadi satu-satunya yang bisa kami manfaatkan dari kamu sekarang ya tenaga kamu. Dan itu terserah kamu juga, kalau kamu masih betah tinggal di sini, ikuti aturan di rumah ini. Kalau enggak silahkan pergi dari rumah ini." Diam-diam rupanya Bi Iyem menguping percakapan Mirawati dan Intan dari ambang pintu ruang tengah yang menghubungkan dapur. Sungguh, dia selalu kasihan melihat majikan mudanya diperlakukan seperti itu oleh nyonya besarnya. Meskipun orang rumah ini memperlakukan Intan layaknya pembantu seperti dirinya, dia tetap menghormati Intan dan menganggapnya majikan seperti yang lainnya. Iyem merasa sikap Mirawati itu keterlaluan. Ingin rasanya dia menolong, tapi saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa selain memendam rasa iba. "Iyem, ngapain kamu di sini?" Iyem tersentak begitu mendapati nyonya besar sudah berdiri di hadapannya, entah sejak kapan. "Hmm anu, Nyonya ...." "Kamu nguping, ya?" Mirawati melotot menatap asisten rumah tangganya itu. "Maaf, Nyonya. Tapi saran saya sebaiknya Nyonya ndak perlu terlalu keras sama Bu Intan, biar bagaimana pun kan dia menantu Nyonya sendiri. Saya kasihan lihatnya, Nyonya. Bu Intan dibiarkan ngurus pekerjaan rumah sendiri, mana bisa sambil-sambilan begitu, berat, Nyonya." "Kenapa kamu jadi ngatur saya?" Sergahan itu membuat Iyem terdiam. "Saya mau bersikap bagaimana dengan orang rumah ini bukan urusan kamu. Yang penting gaji kamu lancar, udah itu aja kan? Nggak usah sok ngurusin yang lain." Iyem tahu, apa yang dia lakukan ini hanyalah sia-sia. Nyonya tak mungkin mau mendengarkannya. Dia hanya terlalu kasihan dengan nasib majikan mudanya itu. "Ingat, ya, kamu jangan sekali-kali bantu dia. Kamu kan udah punya pekerjaan sendiri. Tugas kamu bersihkan area depan, dia area dapur." "I-iya, Nyonya." "Awas kamu, ya, kalau sampai ketahuan bantuin dia, gaji kamu saya potong!" Sesungguhnya ancaman itu tak pernah membuat Iyem takut, bahkan jika dia dipecat sekali pun. Selama ini dia diam hanya menghargai majikannya itu, bukan karena takut. Dia juga masih ingin menemani majikan mudanya, Intan. Diam-diam Intan juga mendengarkan percakapan ibu mertuanya dengan Bi Iyem. Dia agak terharu mengetahui Bi Iyem peduli dengannya. Sikap Bi Iyem demikian membuatnya terenyuh. Namun, kata-kata ibu mertuanya itu memang menyakitkan. Ucapan dokter di masa lalu beserta ucapan-ucapan ibu mertuanya pun terngiang lagi. "Bayi yang meninggal di dalam perut Bu Intan mengakibatkan kerusakan pada leher rahim Bu Intan. Hal itu membuatnya kemungkinan besar tidak bisa hamil lagi. Kalau pun bisa sangat sulit." "Kamu denger apa kata dokter, kamu udah nggak bisa hamil lagi. Kamu nggak bisa menjaga cucu saya dengan baik, benar-benar menantu nggak berguna kamu!" "Kamu tuh menantu yang nggak berguna. Udah nggak bisa kasih keluarga kami keturunan, miskin lagi, malu-maluin aja kamu tuh. Jadi satu-satunya yang bisa kami manfaatkan dari kamu sekarang ya tenaga kamu. Dan itu terserah kamu juga, kalau kamu masih mau betah tinggal di sini, ikuti aturan di rumah ini. Kalau enggak silahkan pergi dari rumah ini ...." Intan sedih mengingat tragedi itu. Sebenarnya Intan masih punya keyakinan kalau dia bisa hamil lagi kelak, tapi ibu mertuanya sudah memvonisnya mandul selama-lamanya. "Hanya demi Mas Bima aku bisa bertahan sampai sejauh ini," gumamnya seiring dengan air mata yang jatuh membasahi pipi.Tiga hari kemudian.Mira sudah sadar dan membuka matanya. Adalah Tasya orang pertama yang melihatnya saat orang tua itu membuka mata. Dan pada saat itu Tasya langsung menghampiri mamanya dengan heboh, dan Tasya mendapati mamanya menatapnya penuh tanya dengan pandangan berkaca-kaca seakan bertanya kenapa dia bisa seperti ini sekarang?Tasya pun mengerti perasaan mamanya. Dia lantas menjelaskan sambil menangis. Tasya menyaksikan sendiri mamanya meneteskan air mata waktu tahu dirinya terkena stroke dan tak akan bisa bergerak dan berbicara dalam waktu yang lama. Tasya pun mengerti seberapa terpukulnya hati mamanya mengetahui kondisinya. Tasya berusaha menenangkan mamanya dengan kalimat-kalimat penenang. Meski dia tahu hal itu tidak berpengaruh apa-apa.Setelah itu Tasya melapor pada Bima dan Mischa bahwa mama mereka sudah sadar. Mereka berdua pun menjenguk mamanya. Perasaan Bima sangat terpukul waktu pertama kali melihat mamanya meneteskan air mata. Rasanya dia tidak bisa mengatakan apa p
Malam itu juga, Mischa mengajak Bima ke rumah sakit tempat mamanya mereka dirawat. Di sana, di depan ruang rawat inap Mira, Tasya menunggu sejak tadi. Wanita itu juga terlihat sedih sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat Bima dan Mischa datang. "Tasya gimana keadaan Mama?" Tasya langsung mendongak begitu mendengar pertanyaan itu. Begitu melihat kakaknya, bukannya langsung menjelaskan keadaan Mama mereka, Tasya justru menatap Bima penuh amarah. Wanita itu berdiri. "Ini semua gara-gara kamu tahu nggak? Kamu benar-benar anak durhaka, Kak, kamu jahat, kamu lebih mentingin istri kamu daripada Mama kamu sendiri!" Mischa terkejut melihat reaksi Tasya yang malah marah-marah, terlebih Bima. "Kak, sebaiknya kakak jangan marah-marah dulu, ini rumah sakit." Mischa berusaha menenangkan. "Keadaan Mama gimana, Kak. Kita berdua ke sini pengin liat Mama, bukan buat berantem." Tasya menatap Mischa kesal. "Mama kecelakaan begini gara-gara nyusulin dia, kan?" Tasya menunjuk Bima. "
"Hai, Rani." Bima balas menyapa untuk menghargai gadis itu. Gadis itu mengingatkannya dengan Maya. Mendapat respons, gadis di hadapannya ini pun tersenyum kian lebar. "Nama kamu siapa, Mas?" tanyanya kemudian. Bima hampir lupa menyebutkan namanya. "Nama saya Bima," jawabnya kemudian. Rani mengangguk-angguk. "Nama yang bagus. Kamu sendirian aja?" "Iya, seperti yang kamu lihat."Rani lalu melirik cocktail di hadapan Bima. "Kamu nggak pesan minum yang lain?" Bima yang mengerti maksud pertanyaan itu langsung menggeleng. "Aku udah pesan yang ini, yang ini aja."Rani tersenyum. "Okey, aku mau pesan dulu, mau temenin aku nggak?" Gadis itu bertanya dengan manja. Bima terdiam memperhatikannya sebelum akhirnya menggeleng. "Aku udah pesan minum," ucapnya sekali lagi. Dia menegaskan tidak ingin menemani gadis itu."Sayang sekali," respons sang gadis sambil tersenyum. "Padahal kalau kamu mau, kita bisa minum bareng, kan? Dan setelah itu mungkin kita ...." Gadis itu lalu membelai dadanya lemb
Intan menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Perasaannya benar-benar hancur. Kehadiran suaminya itu benar-benar membuatnya semakin hancur. Dia masih kecewa dan belum bisa memaafkan. Saat dia sibuk menangis, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Lalu disusul suara ibunya. "Intan, buka pintunya, Nak. Ibu mau ngomong."Intan terdiam menatap pintu itu ragu, apakah harus membukakan ibunya pintu atau tidak. Lagi pula apa lagi yang mau ibunya itu bicarakan?"Intan!" Suara dan ketukan pintu itu kembali terdengar. Intan pun terpaksa berdiri untuk membukakan ibunya pintu. Dan begitu pintu dibuka, Intan yang tak kuasa menahan tangisnya di depan ibunya langsung menghambur ke pelukan ibunya. "Ada apa, Nak?" tanya Risma amat khawatir sambil mengusap tubuh belakang Intan. ***"Sebaiknya kamu pikirkan kembali keputusanmu," ucap Risma akhirnya setelah mendengar semua cerita anaknya. Dan sebenarnya tanpa Intan bercerita pun Risma tahu karena dia mendengar pertengkaran anak dan menantunya itu.
Intan membelalak setengah tak percaya. "Apa, Mas? Jadi kamu udah percaya kalau aku nggak selingkuh?" Bima mengangguk. "Aku percaya, Intan. Maafkan aku, aku salah." Bima kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan penyesalannya. "Tapi kamu tahu dari mana, Mas?" "Dari Mama. Aku dengar percakapan Mama dan kedua adikku. Ternyata dari awal mereka memang sengaja merencanakan ini semua. Mereka sengaja memfitnah kamu agar aku benci sama kamu dan menceraikan kamu. Supaya aku mau menikahi Maya." Bima menjelaskan panjang lebar pada istrinya tentang apa pun yang baru dia ketahui. Intan pun tak kalah syok. "Tega banget Mama, Mas." Lagi air mata membasahi pipinya. "Aku atas nama Mama minta maaf, Intan. Aku juga kecewa sama Mama dan nggak nyangka Mama berencana sampai sejauh itu untuk memisahkan kita."Intan menggeleng. "Dari awal aku kasih tahu kamu itu cuman fitnah, Mas, dari awal aku udah ngomong. Tapi kamu nggak percaya sama aku. Sekarang kamu baru begini sama aku? Pura-pura nggak nyangka sama
"Jadi kondisi rumah tangga kamu dan Bima sudah separah itu, Intan, sampai-sampai kamu memutuskan pergi dari rumah?" Risma menatap anaknya tak percaya. Kali ini masalah rumah tangga anaknya itu benar-benar serius.Intan akhirnya bercerita panjang lebar pada ibunya setelah mereka masuk ke dalam rumah. Kebetulan sore itu ibunya baru saja tutup warung. Dan Risma benar-benar tidak menyangka Intan sampai berpikir untuk menginap di rumahnya.Intan mengangguk sembari menangis sejak tadi. "Iya, Bu. Aku udah nggak tahu lagi harus gimana sekarang. Aku nggak tahu harus mengadu ke siapa lagi kalau bukan sama ibu, aku rasanya benar-benar nggak kuat, Bu."Risma mengusap bahu anaknya sembari menghela napas. "Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu nggak bosan-bosannya memberitahu kamu untuk terus membesarkan rasa sabar. Karena dari kesabaran itu kita akan temukan keajaiban, jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Kamu harus yakin setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya.""Iya, Bu, tapi mau samp







