"Selamat ulang tahun yang ke lima puluh lima tahun, Ma." Intan mengucapkan ulang tahun pada ibu mertua tercintanya. "Semoga Mama panjang umur, sehat selalu, bahagia selalu dan pastinya selalu sayang sama kami. Pokoknya aku doakan yang terbaik buat Mama. Dan ini hadiah dari aku dan Mas Bima buat Mama." Intan lalu mengulurkan tootbag berisi hadiah ulang tahun untuk sang mertua.
Mirawati, sang mertua, tersenyum lalu mengintip isi tootbag itu. Ternyata di dalamnya ada sekotak perhiasan, barang berharga favoritnya. "Kalian selalu tahu kesukaan Mama. Makasih, ya, Intan," jawabnya kemudian. "Sama-sama, Ma," "Kamu memang menantu Mama yang paling baik," pujinya lagi. "Selamat ulang tahun juga ya, Ma." Bima, sang anak pertama ikut mengucapkan. "Aku doain yang terbaik buat Mama. Kami bahagia bisa hadir dan berkumpul di acara bahagia Mama ini. Iya kan, Sayang?" Bima lalu merangkul istrinya yang mengangguk mengiyakan. Tasya, sang anak kedua juga tak mau kalah dari kakaknya ikut mengucapkan mamanya ulang tahun. Serta memberi hadiah berupa perhiasan mahal, darinya dan Risyad, suaminya. Begitu juga dengan Mischa, putri ketiga sekaligus putri bungsu Mirawati. Mereka berlomba-lomba menarik perhatian sang mama tercinta. Malam itu, di sebuah restoran mewah ulang tahun Mirawati, wanita paruh baya yang usianya genap lima puluh lima tahun, dirayakan. Hari itu menjadi hari yang membahagiakan baginya. Seluruh anggota keluarganya berkumpul menghadiri acara ulang tahunnya. Siapa pun bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajah awet muda milik Mirawati. Dia menatap anak dan menantunya satu persatu dengan haru. "Mama nggak tahu lagi harus mengucapkan apa sama kalian yang selalu perhatian sama Mama, selain terima kasih." "Mama harusnya nggak ngomong gitu," sahut Bima. "Karena udah kewajiban kita berbakti sama Mama setelah apa yang sudah Mama berikan sama kami selama ini. Bahkan ini belum ada apa-apanya dibanding jasa Mama selama ini. Papa udah nggak ada. Dan aku sebagai anak nggak mau kehilangan momen membahagiakan orang tuaku lagi seperti aku yang kehilangan momen bersama Papa," jelasnya panjang lebar. Mendengar anaknya mengungkit soal suaminya, wajah Mira yang tadi tersenyum kini sedikit murung. Dia pun jadi teringat dengan mendiang suaminya yang telah meninggal akibat kecelakaan pesawat di masa lalu. Suaminya itu begitu baik, seandainya dia masih hidup, dia pasti juga ikut merayakan ulang tahun ini, bahkan suaminya yang selalu menyiapkan kejutan untuk ulang tahun Mira. "Udah, Ma. Jangan sedih, yang penting di sini ada kami yang selalu ada buat Mama." Tasya berusaha menghibur mamanya kala dilihatnya wajah sang ibu mulai murung. "Iya, Ma. Tugas kami berbakti kepada Mama." Intan, istrinya Bima, ikut menimpali. Fokus Mirawati lalu beralih pada Intan dan tersenyum menatap menantu kesayangannya itu. "Kamu cuman menantu Mama, tapi kamu baik banget sama Mama." Mirawati lalu tertawa, mengalihkan pandangan ke perut Intan yang buncit. "Kalian bener, harusnya hari ini Mama bahagia banget, karena nggak cuman dapat kado dan perhatian dari kalian. Tapi juga calon cucu laki-laki dalam kandungan kamu." Intan tersenyum dan menunduk, ikut memandangi perut buncitnya yang kini tengah dipegang ibu mertuanya. "Sehat-sehat ya cucu Eyang." Mirawati bicara pada bayi dalam kandungan itu. Lantas dia menatap menantunya. "Jaga kandunganmu, ya, Intan. Kamu harus jaga kesehatan. Usia kandunganmu sudah enam bulan, beberapa bulan lagi kamu lahiran. Mama nggak sabar mau menyambut cucu kesayangan Mama." Intan tak kalah bahagia mendengarnya. "Iya, Ma. Insya Allah bayi ini akan lahir dan hadir di tengah keluarga kita dengan sehat. Dia pasti senang punya Eyang, dan Onty-onty yang baik dan menyayanginya." Intan lalu mengusap perutnya. Mira tertawa mendengarnya. "Mama jadi benar-benar nggak sabar nunggu momen itu tiba. Makasih, ya, Intan, udah kasih Mama cucu laki-laki. Makasih juga, Bima." Mira tersenyum memandangi anak dan menantunya bergantian. Bima tersenyum bahagia. Selanjutnya mereka bercakap-cakap tentang kebahagiaan di masa depan. Sementara Tasya sejak tadi hanya menatap pemandangan itu dengan penuh rasa iri. "Mama." Lalu dia tersadar ketika, Keisya, anaknya yang berusia enam tahun dan tengah menikmati kue ulang tahun sejak tadi memanggilnya. Tasya pun menunduk menatap anaknya. "Iya, Sayang?" "Eyang kok ngomongnya gitu?" Tasya mengerjap-ngerjap tak mengerti. "Ngomong apa, Sayang?" "Eyang kok bilang dedek bayi dalam kandungan Tante Intan cucu kesayangan? Memangnya Eyang nggak sayang sama Keisya?" Mendengar pertanyaan itu, rasanya membuat darah Tasya mendidih. Apalagi ucapan mamanya itu ternyata didengar oleh Keisya. Dia tak habis pikir bisa-bisanya mamanya bicara seperti itu di depan Keisya. Mama tidak memikirkan perasaan Keisya. Namun, Tasya berusaha menahan emosinya di depan anaknya dan tetap tersenyum tenang. "Eyang sayang juga kok sama Keisya," jawabnya kemudian. "Terus kenapa Eyang ngomong gitu, Ma?" "Eyang kan sayang sama semua cucunya. Jadi semua cucunya bakal jadi cucu kesayangan Eyang, gitu maksudnya, Sayang." Lalu dia sedikit berbisik pada anaknya. "Lagi pula, ya, Eyang itu cuman basa-basi aja di depan Tante Intan, biar dia senang." "Gitu, ya, Ma?" Keisya masih terlihat bingung. "Iya. Udah kamu jangan pikirin itu. Habisin aja kuenya." "Tasya, kamu ngomong apa sih sama Keisya? Anak sekecil dia mana ngerti." Risyad, suaminya tiba-tiba menegur. Namun, Tasya tak menghiraukan. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Jujur ucapan anaknya sedikit banyak mengganggu pikirannya. Membuatnya semakin iri saja dengan Intan yang bisa menghasilkan anak laki-laki. Sementara dirinya, anak pertamanya perempuan dan sampai detik ini dia belum hamil lagi. Dan kalau dia hamil, mamanya menuntut anak lelaki darinya. Dan selama ini dia akui mamanya itu memang tidak terlihat begitu menyayangi Keisya karena Mira menganggap Keisya anak nakal yang menyebalkan. Memang begitu penting peran anak laki-laki dalam keluarga mereka. Karena kelak anak lelaki itu yang akan menjadi penerus perusahaan di keluarga mereka. Saat ini Intan sedang mengandung anak lelaki, yang itu artinya Intan akan semakin disayang oleh Mama, Intan jadi disayang di keluarganya. Bahkan mungkin nanti, anak itu akan menjadi pewaris yang memimpin perusahaan mereka kelak. Tasya benci hal itu. Tasya melihat Intan pergi menuju toilet, lalu dia pun menyusul kakak iparnya itu. *** "Kamu jangan senang dulu, Intan." Tasya bersidekap dada, mencegat kakak iparnya begitu keluar dari pintu toilet. Tasya mengangkat dagunya, menatap kakak iparnya dengan angkuh. Sorot matanya seolah mengatakan 'jangan coba-coba rebut perhatian Mama dari aku' Melihat keberadaan adik iparnya itu tentu saja membuat Intan terkejut bukan main. "Ya ampun, Tasya, kamu sejak kapan ke sini?" tanya Intan kemudian sambil melihat keadaan sekitar mereka. Toilet itu sepi, hanya ada mereka berdua. Tak memedulikan perkataan kakak iparnya barusan, Tasya kembali bicara. "Aku nggak bosan memberitahu kamu Intan kalau Mama baik sama kamu itu hanya karena kamu tengah mengandung anak laki-laki. Kalau enggak, kamu udah dicampakkan dari dulu. Jadi nggak usah ngerasa paling bahagia." Tasya menatap Intan tajam. Mendengar itu, Intan, yang sudah terbiasa tak terkejut lagi. Wanita itu selalu bersabar tiap mendapat perlakuan tak menyenangkan dari adik iparnya. Sikap adik iparnya itu sudah menjadi makanan baginya. Intan mencoba tersenyum. "Memangnya salah, ya, kalau aku merasa bahagia?" Intan malah bertanya demikian membuat Tasya sengit. "Kamu pastinya nggak lupa kan gimana dulu Mama memperlakukan kamu? Mama nggak pernah suka sama kamu," lanjut Tasya lagi. "Jadi kamu nggak usah sok merasa paling spesial di keluarga ini hanya karena kamu sedang mengandung anak laki-laki. Saat ini kamu boleh aja merasa berada di atas awan, Intan. Tapi aku pastikan kebahagiaanmu nggak akan bertahan lama. Mama bisa aja baik sama kamu, tapi aku dan Mischa nggak akan pernah suka sama kamu. Kami nggak pernah sudi punya kakak ipar kayak kamu." Intan terdiam mendengarnya. Rasanya berapa kali pun dia menjelaskan, adik iparnya itu tak pernah mau percaya padanya. Jadi rasanya percuma saja dia bicara. Selanjutnya, Tasya melempar senyum sinis, lalu keluar dari toilet itu. Selepas kepergian Tasya, Intan menatap wajahnya di depan cermin. "Intan, kamu harus kuat, ya. Kamu harus sabar ...." Lalu wanita itu tersenyum. Begitulah cara Intan menguatkan dirinya setiap hari kala dia mendapat tekanan dan perlakuan tak menyenangkan dari keluarga suaminya. Dari awal keluarga suaminya memang tidak menyukainya. Dari awal masuk ke keluarga ini, Intan sudah tahu apa risikonya. Intan sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk. Dan sampai sejauh ini dia mampu menghadapi semuanya. Karena Intan punya keyakinan di dalam hati, suatu saat nanti seluruh keluarga suaminya pasti akan menerimanya dan menyukainya. Untuk saat ini dia bersyukur, ibu mertuanya sudah bisa menerimanya. Dan dia yakin, kelak kedua adik iparnya juga pasti bisa menerimanya dengan baik. *** Waktu terus berlalu. Intan menjalani hari-harinya dengan bahagia. Dia tak sabar menunggu kelahiran si buah hati yang nanti akan membuat keluarga ini makin bahagia. Intan tersenyum mengusap perut buncitnya sambil duduk di pinggir kasur. "Terima kasih, ya, Sayang. Kamu sudah hadir di perut Mama. Kehadiranmu sangat berarti buat Mama. Kamu yang berjasa buat Mama. Semenjak adanya kamu, hidup Mama semakin bahagia. Mama jadi nggak sabar pengin lihat kamu cepat-cepat besar dan lahir ke dunia ini. Kehadiran kamu nanti nggak hanya disambut sama Mama dan Papa, tapi juga sama eyang putri, onty-onty yang baik, mereka semua akan sangat menyayangimu, Nak." Intan mengajak bayinya bicara dan dia tertawa kala merasakan perutnya bergerak-gerak, bayinya meresponsnya. Sungguh kebahagiaan yang Intan rasakan karena kehadiran bayi itu tak bisa diungkap dengan kata-kata. Sampai kejadian yang membawa malapetaka dalam hidupnya datang. Waktu itu Intan sedang mengemasi kamarnya. Meski sedang hamil, Intan masih senang beberes rumah. Kehamilan tak membuatnya malas. Setelah menyapu kamar, Intan hendak mengampar tikar di lantai kamarnya itu. Akan tetapi ternyata tikarnya berada di atas lemari pakaian yang tinggi. "Ya ampun tinggi banget. Itu pasti Mas Bima, deh, yang simpan." Intan menghela napas. "Hmm gimana ya ngambilnya?" Sebuah ide langsung muncul saat dia melihat kursi plastik di kamarnya. Intan tersenyum. "Bukan Intan namanya kalau kehabisan ide." Wanita yang sedang hamil tua itu pun tanpa ragu mengambil kursi itu dan mendekatkannya ke lemari, tepat di bawah tikar plastik itu berada. Selama hamil tua, Intan memang cukup sering mengerjakan pekerjaan rumah yang berat. Dia pikir tak masalah karena kandungannya sudah kuat. Dan itu terbukti mengingat selama ini kandungannya baik-baik saja. Karenanya dia juga tidak ragu untuk menaiki kursi plastik demi mengambil tikar plastik yang ada di atas lemari. Pelan-pelan, Intan pun naik ke atas kursi plastik itu. Lalu tangannya terulur ke atas lemari untuk mengambil tikar yang tergulung. Ketika tangannya sedikit lagi mencapai ujung tikar itu, tiba-tiba sesuatu yang entah apa jatuh dari atas dan menimpa bahunya. Intan spontan menjerit dan meronta-ronta karena hal itu. "Cicak! Cicak!" jerit dan ketakutannya semakin menjadi kala tahu apa yang menimpanya. Akibatnya tubuh Intan yang berdiri di atas kursi itu kehilangan keseimbangan. Dan tanpa bisa ditahan, Intan beserta perutnya yang buncit jatuh menghantam kerasnya lantai ubin. Intan pingsan setelah berteriak kesakitan. Mendengar suara teriakan, Mirawati datang ke kamar dengan wajah panik. Kepanikannya menjadi melihat tubuh Intan menelungkup di atas lantai dan tak sadarkan diri. "Ya ampun, Intan!" Mirawati berjongkok, menjerit histeris menyadari Intan sedang hamil besar. Dia membalikkan tubuh Intan dan memegangi perut buncit menantunya. "Cucuku! Ya Allah cucuku!"Halo, Readers, aku bawa cerita baru nih? Gimana prolognya? Tertarik nggak buat baca bab selanjutnya? Ikuti terus, ya. Dan jangan lupa simpan cerita ini di library kalian, biar mudah dapat notif kalau aku update. Thankyou.
"Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?""Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya."Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas.Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara.""Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak mungkin nga
Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!"Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya terd
"Apa maksud kamu, Intan. Kenapa kamu bisa bilang gulai ini berbahaya?" tanya Mira setengah syok. Intan lagi-lagi terdiam. Mencari-cari alasan yang tepat untuk dia katakan. Sebelum akhirnya dia mengatakan. "Maaf, Ma. Aku nggak bisa bilang, tapi aku mohon Mama jangan makan gulai itu." Intan menggeleng kencang."Jangan mengada-ada kamu, Intan."Intan tahu ibu mertuanya mulai kesal dengannya, tatapan ibu mertuanya pun berubah tajam. Mira melirik Fara dengan tak enak hati sekilas, lalu kembali menatap menantunya. "Jangan beri malu keluarga ini, ya.""Aku nggak mengada-ada, Ma," jawab Intan. "Gulai itu memang berbahaya. Mama nggak boleh memakannya!""Intan, maaf sebelumnya." Fara mulai menegurkan membuat semua pasang mata yang ada di sana menatap ke arahnya, tak terkecuali Intan dan Mira. "Maksud kamu bilang makanan Tante berbahaya itu apa, ya. Makanan ini halal, kok, enak juga, nggak berbahaya sama sekali seperti yang kamu pikirkan. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Intan?" Fara me
"Pokoknya kali ini rencana kita harus berhasil, nggak boleh gagal lagi." Kembali suara Tante Fara terdengar. "Kamu harus bantu aku, ya, Mas." "Makanya kamu harus hati-hati supaya nggak gagal lagi." Itu suara Om Arhan. "Jangan sampai ada yang tahu atau curiga dengan kita." Hening sesaat sebelum kembali suara Fara terdengar. "Iya. Ingat, Mas, semakin cepat kita menghancurkan keluarga ini, semakin cepat juga kita menguasai hartanya. Nggak masalah Maya nggak jadi istri kedua Bima, asal kita tetap bisa menghancurkan keluarga ini dan merebut hartanya." "Iya, iya." "Dan semua ini harus dimulai dari Mira. Kita harus bunuh Mira secepatnya. Induknya dulu, baru anak cucunya." "Iya, Ma, iya. Jangan bahas soal itu di sini. Kalau sampai ada yang dengar kan bisa bahaya banget, Ma," jawab Arhan. "Apalagi kalau mereka tahu bahwa Toni meninggal sebenarnya bukan karena kecelakaan dari pesawat, tapi kita yang bunuh. Rahasia itu, rahasia besar itu nggak ada yang boleh tahu." "Iya, Mas. Udah jangan
"Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?" "Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya." Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas. Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara." "Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak m
Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!" Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya te