Masuk"Terima kasih, lho, ya, udah pada datang memenuhi undangan saya malam ini."
Mirawati tampak senangnya sebab koleganya datang sekeluarga menghadiri undangannya. Fara dan Arhan membawa gadis semata wayangnya, Maya. Begitu pun dengan keluarganya, hampir semua anggota keluarganya hadir seperti Bima, Tasya dan Risyad. Mereka yang juga menjadi bagian dari perusahaan tentu ikut hadir untuk merayakan pencapaian perusahaan mereka. Kini mereka duduk mengelilingi meja makan panjang dan mewah itu. "Ya pasti datang, dong, kita kan harus merayakan kesuksesan kerja sama kita," jawab Fara tak kalah antusias. Ya, perusahaan Mira dan Fara yang bergerak di bidang industri pakaian sukses bekerja sama mengeluarkan brand baru dan fashion baru yang diharapkan nanti bisa disenangi masyarakat luas. "Bukan apa-apa. Rencananya saya mau ajak kalian makan di restoran, cuman saya lagi malas, jadinya ke rumah saya aja, nggak pa-pa kan?" "Rumah kamu ini lebih mewah daripada gedung restoran, Mira," Arhan, suami Fara menyahuti dan langsung disetujui oleh istrinya. "Senang bisa berkunjung ke rumah mewah kamu ini." "Ah kalian bisa aja." "Serius, lho, Mira," sahut Fara lagi. "Iya." Arhan meyakinkan. "Apalagi masakan menantumu ini nggak kalah enak sama masakan restoran bintang lima." Arhan melirik aneka makanan yang tersaji di sepanjang meja itu. Namun, Mira serta-merta diam mendengar Arhan memuji masakan menantunya. Begitu pula dengan Tasya yang memutar bola matanya malas. Sejak tadi dia dan suaminya diam saja mendengarkan percakapan itu, tak punya kesempatan untuk menyela. Bima yang sejak tadi diam pun langsung tertawa mendengar istrinya dipuji. "Terima kasih, Om. Intan memang senang masak. Apalagi masak banyak kayak gini." Bima berkata demikian karena tak mau orang lain salah paham kenapa istrinya yang justru memasak makan malam untuk mereka. "Apalagi kalau dia bisa ikut bergabung sama kita." "Nggak perlu." Mira langsung membantah saran Fara. "Kenapa?" "Dia nggak mau gabung. Lagian dia emang hobinya masak aja. Oh iya dari tadi kita ngobrol-ngobrol aja, ayo cicipin dong masakan menantu saya. Maya silakan cicipi." Mira langsung menatap Maya yang sejak tadi diam saja. Gadis itu hanya tersenyum yang membuatnya tampak makin manis. "Iya, Tante." Bima melirik ke arah mamanya sekilas, kurang berkenan dengan apa yang barusan mamanya katakan tentang istrinya. "Semuanya, cobain, dong. Bima, kamu makan juga, dong." Bima seketika gelagapan saat ibunya menatap ke arahnya dan dia pun menjawab singkat. Mira baru tersadar sesuatu ketika dia menatap sajian itu. "Sepertinya ada yang kurang, nih. Apa, ya? Oh iya, sop ayamnya belum. Intan!!" Tak lama kemudian Intan muncul. "Iya, ada apa, Ma?" "Sop ayamnya mana? Belum, ya?" "Ada, Ma. Baru masak. Aku ambilin, ya." "Ya udah cepat bawa ke sini." Meski berusaha berbicara dengan tenang, tapi Bima tetap bisa merasakan nada ketus dan ketidaksukaan dalam gaya bicara mamanya terhadap Intan. Bima harap tamu mereka tidak menyadari itu. "I-iya, Ma." Intan menjawab sebelum akhirnya kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan yang diminta. Mira lalu menatap tamunya dan tersenyum tak nyaman. "Silahkan di makan dulu aja apa yang ada. Bima kamu mau ke mana?" tanyanya kemudian saat melihat Bima berdiri dan berjalan entah hendak ke mana. "Aku mau ke toilet," dalihnya dan langsung pergi. Rupanya Bima mendatangi istrinya yang sibuk menyalin sop ayam di dapur. "Sayang, ada yang bisa aku bantu?" Intan yang fokus dengan kegiatannya agak tersentak mendengar suara suaminya yang tiba-tiba. Dia pun menoleh. "Mas, kamu ngapain ke sini," bisiknya sambil melotot. "Aku mau bantu kamu. Biar aku aja yang bawa ke sana." Intan tersenyum. "Makasih, Mas. Tapi nggak usah. Kamu ke sana aja nanti Mama nyariin. Aku nggak pa-pa, kok." "Aku mau bantu--" "Jangan, Mas." Tatapan Intan yang mengatakan tak ingin dibantah membuat Bima mengerti dan akhirnya pria itu pun mengalah. "Maafin aku, ya. Aku sebenarnya nggak mau kamu kayak gini." Ucapan Bima terdengar menyesal. Namun, Intan tak memedulikannya dan tetap fokus dengan pekerjaannya. "Sekali lagi maafin aku." Bima lalu mengecup kepala istrinya sebelum dia kembali bergabung di meja makan. Bima memang tak pernah ikhlas melihat istrinya diperlakukan demikian oleh keluarganya sendiri, tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak selain membantu atau membela istrinya saat ditekan. "Andai aja Maya bisa jadi menantu saya, ya." Bima mendengar ibunya bicara demikian ketika dia tiba di sana. Dia terkejut dan tak mengerti mengapa ibunya bicara demikian, tapi dia diam saja dan mendengarkan lebih lanjut. "Kamu kan udah nggak punya anak laki-laki. Mana mungkin Maya bisa jadi menantu kamu," jawab Fara sambil tertawa merasa lucu. Menganggap omongan Mira hanyalah candaan. Ya, seharusnya memang hanya candaan. Karena Mira tidak punya anak lelaki selain Bima, apalagi seumuran Maya. Mira yang menyadari Bima telah kembali melirik sekilas ke arah anak sulungnya itu. "Ya, mana tahu kan nanti ke depannya bisa. Saya pasti bangga banget punya menantu seperti Maya ini. Udah cantik, cerdas, sempurna." "Kamu mungkin nggak punya menantu seperti Maya, tapi kamu punya anak gadis yang nggak kalah membanggakan, cantik, cerdas, sukses juga, itu si Mischa," balas Fara memuji anak bungsunya. "Ke mana dia? Kenapa nggak gabung sama kita?" "Dia selebritis. Biasalah sibuk. Kamu gimana Maya, mau nggak kira-kira menjadi menantu Tante?" Kembali Mira membahas Maya. Dia menatap anak gadis itu dengan kagum. Sementara gadis di hadapannya hanya tersenyum malu-malu. Sejujurnya gadis itu bingung menjawab apa, pun tak mengerti maksud pembicaraan itu. Tasya senang mendengar percakapan itu. Dia mengerti maksud ucapan mamanya. Di saat yang sama dia melihat Intan muncul dari dapur sambil membawa semangkuk sup. Dia pun menyahut. "Maya emang cantiknya kebangetan. Dan yang paling penting nggak cuman cantik, tapi juga cerdas, independen. Perempuan yang kayak gitu yang pantas jadi kakak ipar aku. Yah, walau pun umurnya terlalu muda sih untuk jadi kakak ipar aku." Tasya lalu cekikikan. Sementara Maya malah mematung mendengar ucapan yang nyaris terang-terangan itu. Jadi kakak iparnya? Apa maksudnya? Bima spontan menegur. "Tasya, apa maksud ucapan kamu--" "Aww, kaki aku ...." Maya tiba-tiba merintih kesakitan. Gadis itu tertunduk memegangi kakinya di bawah meja. Melihat aksi Maya semua yang ada di sana jadi panik. Semua perhatian tertuju padanya. "Kaki kamu kenapa, Sayang?" Fara menatap anaknya dengan khawatir. "Maaf, aku nggak sengaja." Intan menatap Maya penuh rasa bersalah. Rupanya sup yang dibawa Intan, entah bagaimana caranya, tak sengaja tumpah dan mengenai kaki Maya yang ada di bawah meja. "Aww! Ma, kakiku perih! Panas!" jerit Maya kian menjadi. Mira langsung menatap tajam ke arah menantunya. "Intan, kamu ...." Intan sudah siap dengan kemungkinan paling buruk yang terjadi.Baca terus bab-bab selanjutnya ya, Readers, thankyou. Semoga kalian suka.
Tiga hari kemudian.Mira sudah sadar dan membuka matanya. Adalah Tasya orang pertama yang melihatnya saat orang tua itu membuka mata. Dan pada saat itu Tasya langsung menghampiri mamanya dengan heboh, dan Tasya mendapati mamanya menatapnya penuh tanya dengan pandangan berkaca-kaca seakan bertanya kenapa dia bisa seperti ini sekarang?Tasya pun mengerti perasaan mamanya. Dia lantas menjelaskan sambil menangis. Tasya menyaksikan sendiri mamanya meneteskan air mata waktu tahu dirinya terkena stroke dan tak akan bisa bergerak dan berbicara dalam waktu yang lama. Tasya pun mengerti seberapa terpukulnya hati mamanya mengetahui kondisinya. Tasya berusaha menenangkan mamanya dengan kalimat-kalimat penenang. Meski dia tahu hal itu tidak berpengaruh apa-apa.Setelah itu Tasya melapor pada Bima dan Mischa bahwa mama mereka sudah sadar. Mereka berdua pun menjenguk mamanya. Perasaan Bima sangat terpukul waktu pertama kali melihat mamanya meneteskan air mata. Rasanya dia tidak bisa mengatakan apa p
Malam itu juga, Mischa mengajak Bima ke rumah sakit tempat mamanya mereka dirawat. Di sana, di depan ruang rawat inap Mira, Tasya menunggu sejak tadi. Wanita itu juga terlihat sedih sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat Bima dan Mischa datang. "Tasya gimana keadaan Mama?" Tasya langsung mendongak begitu mendengar pertanyaan itu. Begitu melihat kakaknya, bukannya langsung menjelaskan keadaan Mama mereka, Tasya justru menatap Bima penuh amarah. Wanita itu berdiri. "Ini semua gara-gara kamu tahu nggak? Kamu benar-benar anak durhaka, Kak, kamu jahat, kamu lebih mentingin istri kamu daripada Mama kamu sendiri!" Mischa terkejut melihat reaksi Tasya yang malah marah-marah, terlebih Bima. "Kak, sebaiknya kakak jangan marah-marah dulu, ini rumah sakit." Mischa berusaha menenangkan. "Keadaan Mama gimana, Kak. Kita berdua ke sini pengin liat Mama, bukan buat berantem." Tasya menatap Mischa kesal. "Mama kecelakaan begini gara-gara nyusulin dia, kan?" Tasya menunjuk Bima. "
"Hai, Rani." Bima balas menyapa untuk menghargai gadis itu. Gadis itu mengingatkannya dengan Maya. Mendapat respons, gadis di hadapannya ini pun tersenyum kian lebar. "Nama kamu siapa, Mas?" tanyanya kemudian. Bima hampir lupa menyebutkan namanya. "Nama saya Bima," jawabnya kemudian. Rani mengangguk-angguk. "Nama yang bagus. Kamu sendirian aja?" "Iya, seperti yang kamu lihat."Rani lalu melirik cocktail di hadapan Bima. "Kamu nggak pesan minum yang lain?" Bima yang mengerti maksud pertanyaan itu langsung menggeleng. "Aku udah pesan yang ini, yang ini aja."Rani tersenyum. "Okey, aku mau pesan dulu, mau temenin aku nggak?" Gadis itu bertanya dengan manja. Bima terdiam memperhatikannya sebelum akhirnya menggeleng. "Aku udah pesan minum," ucapnya sekali lagi. Dia menegaskan tidak ingin menemani gadis itu."Sayang sekali," respons sang gadis sambil tersenyum. "Padahal kalau kamu mau, kita bisa minum bareng, kan? Dan setelah itu mungkin kita ...." Gadis itu lalu membelai dadanya lemb
Intan menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Perasaannya benar-benar hancur. Kehadiran suaminya itu benar-benar membuatnya semakin hancur. Dia masih kecewa dan belum bisa memaafkan. Saat dia sibuk menangis, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Lalu disusul suara ibunya. "Intan, buka pintunya, Nak. Ibu mau ngomong."Intan terdiam menatap pintu itu ragu, apakah harus membukakan ibunya pintu atau tidak. Lagi pula apa lagi yang mau ibunya itu bicarakan?"Intan!" Suara dan ketukan pintu itu kembali terdengar. Intan pun terpaksa berdiri untuk membukakan ibunya pintu. Dan begitu pintu dibuka, Intan yang tak kuasa menahan tangisnya di depan ibunya langsung menghambur ke pelukan ibunya. "Ada apa, Nak?" tanya Risma amat khawatir sambil mengusap tubuh belakang Intan. ***"Sebaiknya kamu pikirkan kembali keputusanmu," ucap Risma akhirnya setelah mendengar semua cerita anaknya. Dan sebenarnya tanpa Intan bercerita pun Risma tahu karena dia mendengar pertengkaran anak dan menantunya itu.
Intan membelalak setengah tak percaya. "Apa, Mas? Jadi kamu udah percaya kalau aku nggak selingkuh?" Bima mengangguk. "Aku percaya, Intan. Maafkan aku, aku salah." Bima kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan penyesalannya. "Tapi kamu tahu dari mana, Mas?" "Dari Mama. Aku dengar percakapan Mama dan kedua adikku. Ternyata dari awal mereka memang sengaja merencanakan ini semua. Mereka sengaja memfitnah kamu agar aku benci sama kamu dan menceraikan kamu. Supaya aku mau menikahi Maya." Bima menjelaskan panjang lebar pada istrinya tentang apa pun yang baru dia ketahui. Intan pun tak kalah syok. "Tega banget Mama, Mas." Lagi air mata membasahi pipinya. "Aku atas nama Mama minta maaf, Intan. Aku juga kecewa sama Mama dan nggak nyangka Mama berencana sampai sejauh itu untuk memisahkan kita."Intan menggeleng. "Dari awal aku kasih tahu kamu itu cuman fitnah, Mas, dari awal aku udah ngomong. Tapi kamu nggak percaya sama aku. Sekarang kamu baru begini sama aku? Pura-pura nggak nyangka sama
"Jadi kondisi rumah tangga kamu dan Bima sudah separah itu, Intan, sampai-sampai kamu memutuskan pergi dari rumah?" Risma menatap anaknya tak percaya. Kali ini masalah rumah tangga anaknya itu benar-benar serius.Intan akhirnya bercerita panjang lebar pada ibunya setelah mereka masuk ke dalam rumah. Kebetulan sore itu ibunya baru saja tutup warung. Dan Risma benar-benar tidak menyangka Intan sampai berpikir untuk menginap di rumahnya.Intan mengangguk sembari menangis sejak tadi. "Iya, Bu. Aku udah nggak tahu lagi harus gimana sekarang. Aku nggak tahu harus mengadu ke siapa lagi kalau bukan sama ibu, aku rasanya benar-benar nggak kuat, Bu."Risma mengusap bahu anaknya sembari menghela napas. "Kamu yang sabar, ya, Nak. Ibu nggak bosan-bosannya memberitahu kamu untuk terus membesarkan rasa sabar. Karena dari kesabaran itu kita akan temukan keajaiban, jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Kamu harus yakin setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya.""Iya, Bu, tapi mau samp







