Malam itu setelah tragedi Maya terkena tumpahan kuah sup panas, Arhan sekeluarga buru-buru pamit pulang, bahkan mereka tak sempat menyelesaikan makan malam yang seharusnya menyenangkan itu. Mereka hendak membawa anaknya langsung ke rumah sakit.
Mira pun memarahi menantunya habis-habisan. Dia menyeret Intan secara paksa ke ruang tamu seakan Intan adalah seekor binatang. Sementara Bima mengiringi ibunya sejak tadi, dia takut ibunya menyakiti Intan. Sedangkan Tasya dan Risyad hanya menguping pertengkaran itu dari jauh. "Puas kamu sudah menghancurkan makan malam kami! Kamu pasti sengaja kan mempermalukan saya begitu di depan kolega saya?!" Mira menatap Intan melotot seakan bola matanya hendak keluar. Intan yang sejak tadi tertunduk menjawab dengan takut. "Enggak, Ma." Dia menggeleng kencang-kencang. "Sama sekali enggak. Aku beneran nggak sengaja!" "Bohong kamu!" Mira menyentakkan tangan Intan hingga terasa sakit dan membuat Intan meringis. "Ma, bisa nggak sih, Ma, nggak usah sekasar itu sama Intan," tegur Bima yang sejak tadi tak lagi mampu melihat sikap mamanya terhadap Intan. Mira serta-merta menatap Bima. "Intan udah keterlaluan, Bima. Dia udah menumpahkan sup panas di kaki Maya, anak kolega kita. Mau taruh di mana muka Mama. Untung aja tadi dia nggak nuntut macam-macam. Kalau nggak siapa yang mau tanggung jawab! Kamu mau?!" tanyanya kemudian pada Intan. "Tapi Intan kan nggak sengaja, Ma. Dan Intan itu istri aku. Mama jangan berlebihan gitu, dong." "Berlebihan kamu bilang? Dia udah menumpahkan kuah panas sama anak orang, Bima. Kamu sadar nggak kesalahan istrimu itu?!" "Tetap aja, Ma. Aku nggak suka Mama bersikap begitu sama Intan. Dia istri aku!" "Istri yang nggak berguna!" Lantas Mira kembali fokus pada Intan. "Kenapa sih kamu senang bikin masalah di keluarga saya, sengaja ya kamu bikin darah saya tuh mendidih. Kamu sengaja lakukan itu karena kamu iri sama Maya, iya, kan?" Intan terdiam mendengarnya. Memang sebenarnya tadi dia salah fokus karena mendengar ucapan Tasya yang mengatakan Maya lebih pantas menjadi kakak iparnya sampai dia tak sengaja menumpahkan sup. Dia sungguh tak menyangka kalau kuah sup itu akan mengenai kaki Maya. Hatinya sungguh sakit mendengar ucapan adik iparnya itu. Namun, meskipun begitu, dia tak bermaksud menyakiti Maya, sungguh. Intan menggeleng sambil menangis. "Enggak, Ma. Aku nggak sengaja." "Bohong kamu!" "Ma, udahlah, jangan nuduh Intan seperti itu. Intan nggak mungkin sejahat yang ada di pikiran Mama." Lagi Bima yang membela. "Saya nggak ngomong sama kamu, kamu diam, ya." Mira begitu berang hingga dia berkata begitu dengan anaknya sendiri. "Tapi aku nggak bisa diam aja dong, Ma, melihat Mama begitu sama istriku." "Terus aja kamu belain istrimu itu." Mira mendorong Intan hingga tubuhnya menghantam Bima. "Ya jelas dong, Ma, aku belain istri aku." Bima lalu menatap istrinya yang sudah menangis. "Aku minta kamu masuk aja ke kamar sekarang." Permintaan Bima terdengar tegas dan tak ingin ditolak. Intan pun menurut masuk ke kamar dengan hati yang sedih. Mira melotot menatap anak sulungnya tak habis pikir. "Kenapa kamu suruh masuk istrimu. Mama belum selesai ngomong sama dia!" "Apalagi sih yang harus diomongin nggak ada," jawab Bima. "Apa yang menimpa Maya itu murni musibah bukan maunya kita apalagi Intan. Lagian, Ma, aku tahu kok, sikap Mama begitu ke Intan bukan karena kesalahannya sama Maya, tapi karena memang Mama nggak suka sama Intan. Mama belum bisa nerima dia." "Nah, itu kamu pintar." "Kenapa sih Mama nggak bisa nerima Intan? Mau sampai kapan, sih, Ma?" Mira menatap anaknya tak habis pikir. "Dari awal kalian menikah Mama memang udah nggak setuju sama latar belakang keluarganya yang miskin dan nggak jelas bapaknya. Apalagi sekarang dia mandul, nggak bisa kasih kamu keturunan. Mama nggak akan pernah bisa nerima dia. Mama heran kenapa kamu masih mau mempertahankan dia, belain dia mati-matian lagi." "Harus berapa kali sih, Ma, aku jelaskan, Intan nggak mandul. Dokter bilang dia masih ada kemungkinan untuk punya anak." "Tapi buktinya udah lima tahun nggak hamil-hamil juga." "Jadi cuman karena asumsi Mama itu Mama jadi benci sama Intan dan berhak memperlakukan dia seperti itu?" "Memang kamu mau nggak punya anak sampai tua? Mikir, dong, Bima. Jangan dibutakan sama cinta. Perempuan di luar sana banyak yang jauh lebih baik daripada dia. Yang kedudukannya lebih tinggi yang sederajat sama kita. Dan yang paling penting subur. Dan Mama yakin kalau kamu cerai dari dia banyak perempuan di luar sana ngantri buat jadi istri kamu--" "Berhenti ngomong begitu, Ma. Berhenti meminta aku buat lepasin Intan dan memilih perempuan lain di luar sana, karena itu nggak mungkin." Bima menggeleng. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan mamanya itu. "Mama benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Bima." "Aku juga nggak ngerti sama jalan pikiran Mama. Kenapa Mama melihat seseorang cuma dari latar belakang? Mama memangnya nggak ingat kita dulu kayak gimana? Mama sendiri yang cerita ke aku dan Tasya kalau orang tua Mama dulu miskin juga kan? Sampai akhirnya Mama ketemu Papa yang mau menikahi Mama hingga Mama memiliki semua ini." Mira terkejut tak menyangka mendengar kalimat itu. Dia nyaris berbisik dengan tatapan melotot. "Kenapa kamu jadi bahas-bahas masa lalu kita?" "Maaf, Ma, aku nggak bermaksud ngebahas. Aku cuman mau ngingetin Mama tentang siapa kita dulu. Supaya Mama nggak lupa diri dan harusnya Mama tahu gimana rasanya jadi orang miskin." Mira makin berang mendengarnya. "Kamu ini, ya, makin lama makin kurang aja sama Mama. Kamu pasti terpengaruh sama istrimu itu kan? Kamu belain dia sampai ngatain Mama begitu! Kurang ajar sekali kamu!" "Maaf, Ma, aku nggak bermaksud melawan Mama. Tapi sikap Mama ke Intan itu memang udah keterlaluan dan aku nggak bisa terima. Dan aku juga nggak mau Mama lupa diri." "Benar-benar keterlaluan kamu, Bima." Mira menjerit melihat Bima yang kemudian berlalu meninggalkannya. Tasya yang menguping sejak tadi lalu muncul menghadap mamanya. Dia mengusap bahu mamanya. "Ma, udah, Ma, tenang. Mama udah tua, jangan terlalu sering emosi. Apalagi gara-gara mereka. Yang ada nanti Mama jatuh sakit." Mira menoleh pada Tasya. "Lihat kelakuan kakakmu. Makin hari makin kurang ajar aja dia sama Mama." "Iya, Ma. Aku ngerti perasaan Mama. Dan itu semua gara-gara Kak Intan. Pasti dia yang sudah mengompori Kak Bima buat melawan Mama. Benar-benar keterlaluan dia itu!" Sementara itu Intan yang sejak tadi mendengar pertengkaran suami dan ibu mertuanya hanya bisa menangis seorang diri di dalam kamar. Dia selalu berharap pada Tuhan untuk diberi kesabaran yang luas dalam menjalani pernikahan yang penuh tekanan ini. "Sayang, kamu belum tidur?""Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam keluarga kami. Kamu juga udah banyak mengu
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan."Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok."Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?""Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam keluarga kami. Kamu juga udah banyak mengubah Bima.
"Kami habis dari jalan-jalan, Ma. Mas Bima tadi ngajakin aku belanja terus kita ke tempat treatment bentar, dan ...." Intan melapor pada ibu mertuanya ke mana saja mereka pergi bak anak kecil yang melapor pada orang tuanya. Sebenarnya apa yang Bima dan Intan lakukan itu adalah hal yang sangat wajar jika bagi pasangan lain. Namun, bagi mereka tidak. Karena Mira tidak mengizinkan Intan bersenang-senang seperti belanja dan jalan-jalan. Dia tidak mengizinkan menantunya itu bahagia, walaupun hanya sesaat, walaupun dengan kebahagiaan yang amat sangat sederhana. Sudah lama memang Bima tidak melakukan hal itu karena takut dengan ibunya. Namun, malam ini Bima melanggar semuanya. Wajah Intan masih terlihat tegang setelah selesai bicara dengan Mira. Dia siap untuk hadapi kemarahan sang ibu mertua untuk yang kesekian kalinya. Namun, Mira malah tersenyum. "Iya, nggak pa-pa, kok. Mama cuman khawatir aja tadi kalian nggak ngasih kabar, sih, kirain kalian ada masalah atau dalam bahaya, kan? Mama