"Sayang, kamu belum tidur?"
Intan yang menangis sambil duduk di kasur sejak tadi, tersentak mendengar suara suaminya. Cepat dia mengusap air matanya dan menoleh. "Belum, dong, Mas." Intan memaksakan senyum. Bima berjalan mendekatinya. Pria itu memperhatikan wajahnya lamat-lamat. Lalu memegangi pipi Intan. "Kamu nangis?" Intan diam saja. Lalu mengalihkan pandangannya ke lain arah. Bima tahu tak seharusnya dia bertanya demikian. "Maafin Mama, ya, Sayang." Intan menatap Bima. "Kamu kenapa gitu, sih, sama Mama, Mas? Kamu nggak perlu sampai melawan mamamu segitunya cuman buat belain aku." "Cuman itu yang bisa aku lakukan, Sayang. Aku nggak mungkin diam aja lihat istriku disakitin. Mama terlalu kejam sama kamu. Harusnya Mama bisa perlakuan kamu layaknya anak sendiri." Bima lalu memeluk istrinya. "Aku nggak pa-pa, Mas," ucap Intan dalam pelukan. "Makasih, ya, kamu selalu stand up buat aku." "Sebagai suami yang sangat mencintai kamu, udah seharusnya aku begitu. Malah aku merasa apa yang aku lakukan ini belum ada apa-apanya. Maafin aku, ya, Sayang." Intan menghela napas. Lalu melepas pelukannya dan menatap suaminya lekat-lekat. "Kenapa sih, kamu senang ngomong gitu. Kamu selalu merasa nggak ngelakuin apa-apa buat aku. Padahal itu udah lebih dari cukup buat aku. Aku nggak akan mampu bertahan sampai sejauh ini, Mas, kalau nggak ada kamu." Bima tersenyum. "Makasih, ya, udah bertahan demi cinta kita. Aku nggak mau kamu pergi. Aku nggak bisa tanpa kamu." Bima lalu mengecup kening istrinya itu. Sikap Bima yang seperti inilah yang mampu membuat Intan bertahan. *** "Sampai mati pun Mama nggak akan sudi kamu menikah dengan perempuan nggak jelas itu!" "Dia bukan perempuan nggak jelas, Ma. Dia perempuan baik-baik. Dia bahkan sangat baik dibanding perempuan lain yang aku kenal selama ini." "Bima, kamu sadar, dong. Jangankan pekerjaan bapaknya, bapaknya siapa dan di mana aja kamu nggak tahu, kan? Jadi bagaimana bisa kamu begitu yakin kalau dia perempuan baik-baik? Bibitnya bisa aja bibit nggak bener." Pertengkaran itu terdengar jelas di pendengaran Intan meski mungkin mereka sudah berusaha meredamnya. Dan itu membuat hati Intan bagai dihantam palu bertubi-tubi sampai dia tak mampu lagi membendung tangisnya. "Kita sama-sama nggak tahu, Ma. Jadi gimana Mama bisa yakin kalau bibitnya nggak bener? Lagian aku udah kenal sama ibunya dan ibunya orang baik. Intan sendiri orangnya juga baik, Ma. Dan yang paling penting aku bahagia sama dia." "Jadi kamu tetap kekeh mau menikahi perempuan nggak jelas itu?!" "Udah, Ma. Stop bilang kalau Intan perempuan nggak jelas! Aku nggak suka Mama menghardik calon istriku." "Jadi kamu tetap lebih memilih menikahi dia dari pada memikirkan perasaan Mama? Mama nggak akan pernah merestui hubungan kalian. Ingat itu, Bima!" "Aku akan tetap menikahi Intan dengan atau nggak ada restu Mama." "Kurang ajar sekali kamu, Bima!" Selanjutnya tak terdengar lagi sahutan dari Bima. Hanya suara Mira yang teriak-teriak berang. Sampai Intan mendapati Bima sudah berdiri di sampingnya, entah sejak kapan. Intan yang terkejut refleks mengusap air mata di pipinya. "Kamu kenapa nangis?" tanya Bima tampak terkejut. Intan yang tak kalah terkejut berusaha menetralkan wajahnya seolah semua baik-baik saja. Lantas perempuan itu menggeleng. "Ayo, kita pergi dari sini." Bima sudah memegang tangan Intan, tapi Intan tetap berdiri di tempatnya, membuat Bima menoleh padanya. "Apalagi?" "Mama kamu gimana?" "Kenapa Mama?" "Aku tahu Mama kamu nggak setuju dengan pernikahan kita. Mama kamu nggak suka sama aku." Bima terdiam mendengar kalimat itu terlebih kesedihan di wajah calon istrinya tak dapat disembunyikan. Detik itu pun Bima mengerti kalau Intan sudah mendengar semuanya. "Kita akan tetap menikah," jawab Bima akhirnya. Namun, Intan malah menggeleng. "Aku nggak bisa menikah sama kamu tanpa restu Mama kamu." "Tapi, Intan ...." "Aku mohon, jangan abaikan restu orang tua. Aku nggak mau nikah sama kamu tanpa restu orang tua kamu!" Mata Intan seketika membuka lebar. Napasnya tersengal dengan keringat telah membanjiri pelipisnya. Saat dia menatap plafon kamarnya yang sangat dia kenali hingga beberapa detik kemudian, barulah dia tersadar, tragedi itu ternyata hanya mimpi. Tragedi masa lalu itu, kejadian awal mula perjuangan dirinya dan Bima untuk mendapatkan restu Mira. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lalu, entah kenapa selalu muncul di dalam mimpinya. Selama ini Intan sering memimpikan kejadian-kejadian masa lalu bagaimana keluarga suaminya dari awal memang tidak menyetujui pernikahan mereka. Mimpi itu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui hidup Intan. Membuatnya tidak tenang. Intan bangun dari pembaringan, menarik napas lalu menghembuskannya, berusaha menenangkan dirinya. "Sayang, kamu kenapa bangun?" Gumaman Bima yang tidak jelas terdengar. Intan menoleh mendapati suaminya memandanginya dalam keadaan berbaring dan mata memicing. Pria itu lantas ikut bangun dan masih menanyakan hal yang sama. "Mas aku mimpi buruk," adunya. "Mimpi buruk apa?" tanya Bima lembut seraya mengusap puncak kepala istrinya. Rambut hitam nan panjang Intan terlihat berantakan. Lalu dia mengusap dahi istrinya yang mengkilap. "Mimpi itu, Mas. Mimpi kejadian itu, yang biasa ...." Bima pun mulai mengerti apa yang barusan istrinya mimpikan. Intan selalu bercerita jika dia memimpikan masa lalu buruk itu. Bima menghela napas. "Kamu bisa mimpi kejadian itu lagi mungkin karena kamu memikirkannya terus. Apalagi tadi Mama habis marah-marah sama kamu, kan? Maafin Mama, ya?" Intan hanya diam. Bosan rasanya dia mendengar kalimat itu. Tanpa Bima meminta pun dia selalu memaafkan, berusaha ikhlas dan terima semuanya. "Ya udah kita lanjut tidur aja. Jangan dipikirkan lagi, ya." Bima lantas memeluk istrinya. Dalam pelukan sang suami, Intan berkata. "Mas, mau sampai kapan begini? Aku kangen sama sikap Mama yang dulu," bisiknya sambil terisak mengenang bagaimana baiknya mama mertuanya dulu. Dan dia rindu akan masa-masa itu. Kapan masa-masa itu bisa kembali lagi? Dan apakah mungkin itu bisa terjadi? Entah sampai kapan dia mampu bertahan dalam pernikahan yang penuh tekanan ini."Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam keluarga kami. Kamu juga udah banyak mengu
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan." Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok." Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?" "Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam kelua
"Dosa Mama begitu besar sama kamu." Mira melanjutkan ucapannya ketika menantunya tak menjawab. "Mama juga mengerti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi kali ini Mama sungguh-sungguh ingin berdamai sama kamu. Mama mau minta maaf sama kamu, Intan."Intan sungguh bingung kenapa sikap ibu mertuanya itu tiba-tiba berubah. Intan masih bertanya-tanya. Dan Intan tak berani mempercayainya, tapi ibu mertuanya kini terlihat sungguh-sungguh. Maka dia pun menjawab. "Iya, Ma. Aku selalu maafin Mama, kok."Mira tersenyum senang. "Sungguh? Kamu betulan maafin Mama? Semudah itu?""Tanpa Mama minta maaf pun aku selalu maafin kesalahan Mama. Tapi kalau aku boleh tahu kenapa tiba-tiba Mama mau baikan sama aku?" Intan tak kuasa memendam rasa penasarannya. "Begini Intan. Semenjak Bima minta maaf sama Mama kemarin, Mama sabar sesuatu. Setelah Mama merenung, Mama baru sadar nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Karena selama ini kamu udah banyak jasa dalam keluarga kami. Kamu juga udah banyak mengubah Bima.
"Kami habis dari jalan-jalan, Ma. Mas Bima tadi ngajakin aku belanja terus kita ke tempat treatment bentar, dan ...." Intan melapor pada ibu mertuanya ke mana saja mereka pergi bak anak kecil yang melapor pada orang tuanya. Sebenarnya apa yang Bima dan Intan lakukan itu adalah hal yang sangat wajar jika bagi pasangan lain. Namun, bagi mereka tidak. Karena Mira tidak mengizinkan Intan bersenang-senang seperti belanja dan jalan-jalan. Dia tidak mengizinkan menantunya itu bahagia, walaupun hanya sesaat, walaupun dengan kebahagiaan yang amat sangat sederhana. Sudah lama memang Bima tidak melakukan hal itu karena takut dengan ibunya. Namun, malam ini Bima melanggar semuanya. Wajah Intan masih terlihat tegang setelah selesai bicara dengan Mira. Dia siap untuk hadapi kemarahan sang ibu mertua untuk yang kesekian kalinya. Namun, Mira malah tersenyum. "Iya, nggak pa-pa, kok. Mama cuman khawatir aja tadi kalian nggak ngasih kabar, sih, kirain kalian ada masalah atau dalam bahaya, kan? Mama