Share

Dermaga Penantian
Dermaga Penantian
Penulis: Veny Agustina

Bab 1

Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.

Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu.

"Nayla!"

Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya.

"Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya.

"Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia."

"Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul. Bersikap seolah ia baik-baik saja.

"Sebenarnya siapa yang mau kamu bohongi, Nay?" tanya Alga membuat senyum Nayla seketika luntur, "oke, anggap aja karna hape kamu ilang ... tapi tiga tahun belakangan, dia tetap nggak ada kabarkan?" tanya Alga lagi, "kita anggap lagi karna hape kamu ilang dia jadi nggak tau nomor kamu yang baru ... tapi apa dia nggak bisa minta tolong sama orang tuanya buat minta nomor baru kamu itu, atau paling enggak buat nanyain kenapa kamu nggak bisa dihubungi? Kalian tetanggaan, kan?"

Dalam diam Nayla menatapi Alga. Nayla tau itu, tentu saja. Hanya saja selama ini ia menutup mata, beranggapan jika sang kekasih akan kembali, paling tidak menghubunginya. Tapi pada kenyataannya, setelah tiga tahun berlalu. Tidak ada tanda-tanda kalau kekasihnya akan kembali, bahkan sekedar kabarnya pun tidak pernah Nayla ketahui.

Alga menghela nafas. Turut merasakan kesedihan Nayla. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur gadis itu.

"Maaf, Nay ... maaf karna aku terlalu ikut campur dengan urusan pribadimu. Tapi sebagai sahabat, aku nggak tega liat kamu kayak gini. Aku cuma berharap kamu sadar kalau dunia ini nggak sekecil tempat kamu berdiri. Dunia ini jauh lebih luas dari yang kamu bayangkan, Nay ... jadi berhenti ngarepin sesuatu yang nggak belum tentu bisa kamu capai ... kamu harus bahagia, Nay."

Nayla mengulum bibir menahan tangis. Tapi Nayla tidak mampu menahan air mata yang semakin lama semakin mendesak hendak keluar. Sampai beberapa saat kemudian, wajah Nayla sudah basah oleh air mata.

Alga menarik Nayla dalam pelukannya. Mengusap punggung gadis itu, menenangkan.

"Menangis, lah, Nay, kalau itu bisa buat kamu lebih tenang ... tapi setelah itu, aku nggak mau liat kamu nangis apa lagi karna dia."

Tangisan Nayla semakin menjadi. Dalam pelukan Alga, ia terisak. Pilu. Entah sudah berapa lama gadis itu menangis. Tapi yang jelas, baju Alga sudah basah saja dibuatnya.

"Udah tenang?" tanya Alga saat isakan Nayla kian mereda. Saat ini mereka sudah duduk pada kursi di dermaga itu.

Nayla menarik diri, perlahan ia mengangguk lalu mengusap wajahnya dan menyeka air yang keluar dari hidungnya menggunakan ujung baju yang ia pakai. Alga tertawa dibuatnya.

"Aku punya sapu tangan, Nay," Alga mengambil sapu tangan itu dari saku belakang celananya lalu menyerahkannya pada Nayla. "Pakai ini."

Nayla menerima sapu tangan itu. Menyeka hidungnya sampai bersih.

"Makasih, Mas," Nayla menyodorkan sapu tangan itu pada Alga, tapi menarik sapu tangan itu kembali sebelum Alga berhasil mengambilnya, "aku pulangin kalau udah dicuci," tambahnya.

Alga tertawa lagi. Bahkan saat sedang bersedih pun, Nayla masih terlihat menggemaskan.

"Pulang sekarang?" tanya Alga. Nayla mengangguk.

Alga berdiri lebih dulu dan disusul oleh Nayla. Perlahan mereka menjauhi dermaga itu.

Nayla memandangi dermaga itu sebelum mereka benar-benar menjauh. Alga tidak tau apa makna dari ekspresi Nayla. Tapi yang jelas wajah itu menyorotkan kesedihan.

"Ayo," ajak Alga lagi. Meminta Nayla untuk naik ke motornya. Gadis itu selalu mengandalkan kakinya untuk sampai ke dermaga karena jaraknya pun tidak terlalu jauh dari tempat ia tinggal.

Seperti biasa. Tiga kali dalam seminggu Nayla akan mengunjungi dermaga itu, hanya untuk memuaskan rasa hatinya. Dan tiga jam sebelum langit gelap Nayla sudah berada di sana.

Tiga tahun lalu, Nayla mengantar kekasihnya yang hendak pergi merantau ke luar negeri. Saat itu sang kekasih mengatakan akan menghubungi Nayla setibanya ia di sana. Kekasihnya pun berkata tidak akan lama di sana. Kemungkinan hanya setahun atau dua tahun, hanya untuk mencari modal dan biaya pernikahan untuk mewujudkan pernikahan seperti yang Nayla impikan.

Tapi pada kenyataannya keadaan tidak sesuai rencana. Tidak sekali pun kekasih Nayla itu menghubunginya. Nayla bahkan tidak tau kapan ia sampai, dan tidak mengetahui kabar pria itu di sana setelah tiga tahun pergi. Rencana yang kekasihnya rancang itu pun sudah tidak sesuai dengan ekspektasi. Dan sekarang, tinggallah Nayla menunggu seorang diri tanpa sebuah kepastian. Menantikan seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkan kehadirannya lagi.

"Nayla!"

Nayla tersentak kaget. Alga memanggilnya cukup keras hingga membuat ia terkejut.

"Kamu melamun, ya?" tanya Alga memiringkan kepala melihat Nayla, "pantesan dipanggil-panggil nggak nyaut," ucap Alga dibuat geleng-geleng kepala.

Nayla tak acuh. Perlahan ia turun dari motor Alga lalu menghadap pria itu.

"Makasih, ya, Mas," ucap Nayla tulus.

Alga tersenyum, mengangguk saja. "Ya udah, aku pulang dulu, ya," pamitnya.

Nayla mengangguk. Memandangi kepergian Alga hingga hilang di sebuah tikungan.

Nayla berbalik. Kini berjalan menuju rumah dengan menatap lurus ke depan. Berusaha untuk tidak menoleh ke arah rumah kekasihnya yang berada tepat di samping rumahnya.

Nayla menghela nafas. Sepertinya pekerjaan pria itu lancar di sana. Hal itu dapat Nayla lihat dari keadaan rumah yang sudah jauh berubah setelah kepergian pria itu.

"Kalau Damas kerjanya enak di sana. Gajinya juga besar ... jauh beda dari di sini."

Damas, itulah nama kekasih Nayla. Dengan angkuh ibunya berbagi cerita pada tetangga yang bertandang ke rumahnya.

Langkah Nayla terhenti saat percakapan itu berhasil singgah di telinganya. Tapi kemudian ia berjalan lagi. Perlahan. Nayla ingin mencuri dengar percakapan orang-orang itu.

"Jadi soal rencana pernikahan Damas sama Nayla, gimana? Bukannya Damas merantau buat cari modal nikah, ya?" tanya salah seorang ibu-ibu di sana.

Nayla menajamkan pendengarannya. Pertanyaan itu yang ingin Nayla tau jawabannya. Akhirnya setelah sekian lama ada juga yang mewakilkan.

"Nggak penting itu," Ibu Damas mengibaskan tangan, "nikah bisa belakangan ... yang terpenting sekarang itu nyenengin orang tua dulu," tambahnya.

Nayla tertegun, seketika merasa kecewa. Mungkinkah seperti itu yang Damas pikirkan? Kalau pun iya, mengapa tidak memberitahukan Nayla? Mungkinkah pria itu berpikir jika Nayla akan melarang jika dirinya memprioritaskan orang tuanya lebih dulu?

Nayla menghela nafas. Sangat disayangkan jika Damas berpikiran seperti itu.

"Eh, ada Nayla ... dari mana, Nay?" tanya salah seorang ibu-ibu di sana. Barulah Ibu Damas pun menyadari kehadiran Nayla.

"Dari rumah temen, buk, " jawab Nayla tersenyum lebar. "Mari, buk," pamit Nayla hendak masuk ke dalam rumah.

"Nayla," tegur Ibu Damas, berlari kecil menghampiri dirinya. Nayla tidak menjawab, hanya memandangi ibu Damas saja. "Kamu denger yang ibu omongin tadi, ya?" tanya ibu Damas pada Nayla.

"Omongan yang mana, ya, Buk?" tanya Nayla pura-pura tidak tau.

Ibu Damas tersenyum. Bersyukur karena Nayla tidak mendengar percakapannya.

"Kamu yang sabar, ya," ibu Damas mengusap lengan Nayla, "sebentar lagi Damas pulang kok."

Nayla diam saja. Memasang wajah datar. Selalu saja seperti itu setiap kali mereka bertemu. Ibu Damas akan mengatakan kalau anaknya akan segera kembali. Tapi setelah tiga tahun berlalu pun, tidak ada kepastian dari ucapan itu.

"Iya, buk," sahut Nayla, sudah malas mendengar janji yang tak pasti itu. Tapi sesaat kemudian ia terpikir dengan apa yang Alga katakan padanya saat di dermaga, yang mengingatkan bagaimana harusnya Damas bersikap.

Nayla menatap ibu Damas lalu tersenyum.

"Damas sering ngehubungi ibu?" tanyanya.

"Ah, kalau itu sering ... hampir tiap hari."

"Boleh aku minta nomor dia?"

"Eee itu," ibu Damas tampak berpikir, "Damas nggak punya hape ... dia nelpon ibu pakek nomor tempat dia kerja." Ibu Damas beralasan.

"Bisa bangun rumah, tapi nggak bisa beli hape, ya."

"Kamu ngomong apa?" tanya ibu Damas, ia tidak dapat mendengar apa yang Nayla katakan karena gadis itu seperti berbisik.

Nayla menggeleng. "Nggak pa-pa, buk," ucapnya menyunggingkan senyum, "kalau Damas nelpon, bilang Nayla kirim salam ... kalau bisa bilangin juga sama Damas, jangan lama-lama, takutnya aku diambil orang." Nayla tersenyum lagi lalu berpamitan, "masuk dulu, ya, buk."

Senyum palsu di wajah Nayla seketika pudar, berganti dengan raut datar. Setidaknya setelah mendengar jawaban ibu Damas. Nayla sudah tau apa jawabannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status