Share

Bab 2

Tiga tahun yang lalu...

Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.

Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok.

"Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas.

"Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.

Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk.

"Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.

Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau bahas apa, sih?"

Damas menghela nafas. "Akhir-akhir ini aku kepikiran buat nikah sama kamu Nay ... kamu pasti kepikiran juga, kan?" tanyanya lagi.

Nayla tersenyum. "Umurku udah 24 tahun, Dam ... bohong kalau aku bilang nggak kepikiran," ucapnya.

"Aku mau merantau, Nay."

Nayla tertegun, memandang Damas bingung. Apa hubungannya merantau dengan membahas pernikahan?

"Aku mau cari modal, sekalian buat biaya pernikahan kita," lanjut Damas menjelaskan, "aku mau mewujudkan pernikahan impian kamu."

"Kenapa harus merantau? Kenapa nggak kerja di sini aja?"

"Kamu, kan, tau gaji di sini nggak seberapa, Nay ... belum lagi aku harus bantu biaya kehidupan kami ... uang yang didapat nggak bakalan cukup, Nay."

Nayla diam saja. Tidak tau harus menjawab apa.

"Cuma setahun sampai dua tahun aja, Nay ... setelah uangnya terkumpul, aku pulang dan ngelamar kamu."

"Ibu sama Bapak kamu nggak bisa bantu?" tanya Nayla, membayangkan jauh dari Damas saja ia tidak sanggup, "maksudku bukan minta, tapi minjam ... aku bakal bantu kamu mulangin uang itu nanti setelah kita nikah."

"Andai bisa begitu, Nay," lirih Damas, meski tidak menjelaskan Nayla sudah tau apa maksudnya.

"Berangkatnya kapan, kalau kamu pergi?" tanya Nayla setelah diam beberapa saat.

"Lusa," sahut Damas, "aku berangkat bareng Rusli," tambahnya kemudian.

Nayla diam. Lagi. Tidak tau harus bicara apa. Damas tampak tertekan. Mungkin benar-benar memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Nayla, dan kehidupan keluarganya.

"Pergilah," ucap Nayla pelan. Dengan berat hati ia mencoba mengizinkan.

"Kamu ngizinin aku?" tanya Damas memastikan.

Nayla mengangguk. "Iya."

Damas merasa terharu, ia genggam tangan Nayla lembut. "Terima kasih, Nay ... aku bakalan kerja dengan giat supaya bisa pulang cepat dan segera menikah sama kamu."

Nayla tersenyum saja, lalu mengangguk.

Dua hari telah berlalu. Saat ini Nayla sedang berada di rumah Damas, berkumpul dengan keluarga Damas untuk mengantar kepergian pria itu.

"Kamu hati-hati di jalan, ya, Nak ... kalau udah sampai jangan lupa kabari ibu," kata ibu Damas mengantarkan pria itu ke depan pintu.

"Iya, buk," sahut Damas, "ibu sama bapak juga kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Damas," tambahnya.

"Tenang aja ... ibu sama bapak, nggak perlu kamu pikirkan," sambut bapak Damas sembari menepuk pundak pria itu pelan.

"Ibu sama bapak cuma bisa antar kamu sampai sini," kata ibu Damas berusaha menahan air mata, "biar Nayla yang ngantar kamu sampai pelabuhan."

Damas mengangguk. Sungkeman pada kedua orang tuanya berpamitan. Damas berangkat ditemani Nayla. Tiba di tempat sudah mendapati Rusli duduk menunggunya.

"Aku telat?" tanya Damas pada Rusli.

"Enggak," sahut Rusli, "langkahmu pas karna nggak perlu nunggu lama." Rusli bangkit dari duduknya. "Ayo!" ajaknya. "Oh, mau perpisahan dulu, ya?" tanyanya menggoda Nayla dan Damas, lalu berjalan lebih dulu masuk ke dalam kapal.

Damas menggenggam tangan Nayla lalu tersenyum lembut. "Kamu hati-hati di sini, ya ... kalau aku udah sampai, aku bakalan langsung hubungi kamu." Damas mengecup kening Nayla, mengusap lembut kepala gadis itu kemudian.

"Kamu yang hati-hati di sana ... jangan lupain aku."

Damas mengangguk. "Aku pergi, ya."

Nayla mengangguk. Tersenyum samar memandangi Damas yang berjalan masuk ke dalam kapal. Seketika pandangan Nayla buram oleh genangan air mata yang siap mengalir.

Terompet tanda kapal akan segera berangkat pun berbunyi. Nayla melambaikan tangan pada Damas. Perlahan air mata pun menetes di pipinya.

Nayla menjatuhkan tubuhnya, berjongkok. Memukul-mukul dadanya yang seketika terasa sesak. Isakan tangis pun tidak lagi mampu ia tahan. Damas sudah pergi, meninggalkan Nayla seorang diri dengan rasa rindu yang semakin menambah rasa sesak itu. Dua tahun. Nayla bahkan sudah merindukan Damas, bahkan sebelum pria itu pergi.

Dengan wajahnya yang basah Nayla mendongak memandang seseorang yang saat ini menyentuh kedua lengan atasnya dan menariknya untuk berdiri.

"Mas Alga," suara Nayla bergetar. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa ia tahan.

"Ayo, pulang," ajak Alga, berjalan berdampingan dengan Nayla, memapah gadis itu.

Nayla menoleh ke belakang, melihat kapal yang Damas tumpangi sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.

Rasa rindu semakin tidak sanggup untuk Nayla tahan. Air mata pun terus mengalir membasahi pipinya. Tubuhnya seketika terasa lemah hingga tidak sanggup untuk ia gerakkan. Hanya berguling di dalam kamar sembari menatapi fotonya bersama Damas.

"Kalau aku udah pulang nanti, kamu mau oleh-oleh apa?" tanya Damas sehari sebelum keberangkatannya.

"Belum juga pergi, udah cerita oleh-oleh aja."

Damas terkekeh. "Itu persiapan supaya aku cepat pulang."

Nayla mendesah. "Belum juga pergi, udah cerita pulang aja."

Dimas terkekeh lagi. Menarik Nayla dalam pelukannya. Nayla menyandarkan kepala di dada Damas.

"Belum apa-apa, tapi aku udah kangen kamu aja," kata Damas mengikuti cara bicara Nayla.

Tak menggubris gurauan Damas, Nayla mendongakkan kepala untuk melihat Damas. "Kamu nggak bakalan ngelirik cewek lain di sana nanti, kan?"

Damas tertawa. "Kamu lucu banget, sih," ucapnya mencubit pipi Nayla gemas.

"Sakit, Damas," Nayla menepis tangan Damas hingga lepas dari pipinya.

Damas tertawa. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. Tapi sesaat kemudian senyumnya mereda, berganti dengan raut bingung.

"Kenapa, Nay?"

Nayla tersenyum samar. "Kayaknya aku bakalan kangen masa-masa berdua sama kamu, Dam."

"Jelaslah!" seru Damas percaya diri, "jahat banget kalau kamu sampai nggak kangen sama aku."

Nayla melirik Damas tajam, membuat pria itu seketika diam. Menampilkan giginya, cengengesan. Perlahan kepala Damas menunduk, mengecup mata Nayla bergantian.

"Biar nggak kebiasaan," bisiknya.

Nayla memalingkan wajah, menyembunyikan senyumnya.

"Kalau mau senyum, senyum aja ... nggak usah ditahan."

"Ih, apaan, sih!" Nayla mencubit pinggang Damas. Bukannya kesakitan, pria itu malah tertawa kegirangan. Melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Nayla, memeluk tubuh gadis itu erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status