Hurf!Kuhembus nafas lega. Coba saja kalau sampai Gunawan berani mecat suamiku. Jangan mentang-mentang sudah kaya, dia bisa berbuat seenaknya. Takkan pernah aku biarkan dia berbuat sesukanya pada keluargaku, terlebih pada Hasan!"Lah, terus ... kalau Bapak nggak kerja, kita hidup pake apa, Pak?" tanyaku. Hati mulai penasaran, jangan-jangan suamiku mau di jadikan bos di perusahaannya. Ya ... dikasih jabatan apa gitu."Ya dari Hasan lah, Bu."Aku mendengus kesal mendengar penuturan suamiku. Semua-semua mau di limpahkan pada Hasan. Padahal sudah enak, meskipun cuma jadi supir, tapi Gunawan kasih gaji yang lumayan besar padanya. Kerjanya juga tidak berat-berat amat, pake acara berhenti ini si Bapak. Apa dia pikir Hasan itu tidak butuh uang apa? Apalagi Hasan sudah punya Iren, pastilah dia mau membahagiakan pacarnya.**** Hari berganti hari, kuliat Hasan semakin tidak bersemangat untuk menjalani hidupnya. Anakku itu acuh seperti tidak ada gairah. Bulu-bulu halus mulai kelihatan tumbuh d
"Mila mana, Bu?" tanya Mas Gun sesaat setelah Aminah dan Ibunya menghempaskan badan di sofa. Kedua wanita berbeda usia itu duduk berdampingan. "Masih di kamar, Yah. Mau isya'an dulu katanya." Aku menggerakkan mulut membentuk huruf O. Bisa juga tuh si Mila. Sepertinya anak yang alim. "Ayo ... monggo diminum dulu." ucapan Mas Gun mengalihkan ku dari menebak-nebak seperti apa Mila, anak mereka.Tanpa basa–basi, tanganku menggapai cangkir yang baru di letakkan Aminah di atas meja. "Oh iya, San. Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya mas Gun. Aku yang baru saja ingin menyeruput teh, melirik pada Hasan. "Baik, Om," ucap Hasan singkat, cepat dan padat."Bagus," ucap Gunawan. Ya ella ... satu ucapan Hasan, satu juga yang dia balas."Nanti, setelah menikah, perusahaan biar kamu yang jalankan, saya mau pensiun." Hampir saja aku tersedak teh panas. Aroma melati tersedot oleh hidung naik langsung ke otak. Cepat kuletakkan cangkir ke atas meja. Rasa nikmat yang baru saja menyentuh lidahku, kini
"Bukan itu, Bun. Mila hanya mau bersama Nenek di sisa-sisa waktu. Sebelum mengabdi sebagai istri."Uh ... dasar! Mengabdi sebagai istri? Aku terkekeh dalam hati mendengar ucapan Mila. Aku menoleh pada Hasan, kulihat raut wajahnya bias saja. Tidak ada raut senang dan tersanjung. "Iya, baiklah, Nduk. Kamu bisa tinggal sama Nenekmu, tapi setelah itu kamu harus ikut ke manapun suamimu perg setelah menikahi." "Inshaa Allah, Yah. Sama kalau boleh, Mila ...." Ucapannya terhenti. Seperti ragu ingin meneruskan kata-kata. Apa lagi ini! Hatiku deg-degan kembali. Sebel rasanya! Terlalu banyak permintaan. "Mila hanya ingan akad nikah saja, tanpa resepsi, Yah," ucapnya lagi meneruskan kata yang sempat terputus, lalu segera menunduk. Dasar! Enak saja ia berucap! Tidak mau resepsi? Apa dia pikir dia menikah sama patung? Hasan adalah anak lelakiku satu-satunya, pasti aku mau merayakan hari bersejarahnya itu.Hem! Aku berdeham, memancing perhatian! Semua orang menoleh padaku. "Bagaimana de
Kuseret langkah kaki menuju teras mendatangi Zulfa. Tak kupedulikan lagi teriakkan Ibu yang mengomel di dapur. Mau makan atau tidak terserah mereka saja. Yang penting, aku sudah menyediakan makanan untuk mereka. "Sudah siap, Sayang?" tanyaku pada Zulfa. Putriku itu duduk di kursi teras sambil memainkan jarinya. "Sudah, Bunda," jawabnya pelan."Bentar ya. Bunda pesan ojek dulu," ucapku seraya menghempaskan badan di kursi sebelah Zulfa. Tanganku merogoh tas mencari ponsel.Aku menatap Zulfa yang duduk di sebelahku. Gadis kecilku itu diam, tapi wajahnya terlihat sedih. Ku elus kepala anakku yang tertutup jilbab. Kasian dia, pagi-pagi sudah mendengar keributan antara Nenek dan Ibunya. "Zulfa kenapa, Nak?" tanyaku. Zulfa hanya menggeleng, kepalanya masih tetap tertunduk. "Ya, sudah ... ayo kita berangkat. Itu ojeknya sudah datang." Aku berdiri lalu mengulurkan tangan pada Zulfa. Kebetulan ojek pesananku juga sudah sampai. "Bunda ... Bunda jangan sedih ya. Ufa akan selalu sama
Merasa bosan iseng aku membuka aplikasi biru, sekedar mengalihkan pikiran. Sebenarnya aku tidak begitu aktif di sosial media, hanya sekedar pelempiasan dikala bosan, itu pun hanya melihat status teman-teman dan kabar berita. Tak ada yang menarik, segera kututup aplikasi biru dan beralih ke aplikasi hijau. Aku memicingkan mata tatkala melihat status Mas Hasan. Statusnya di unggah tadi pagi. Gambar tangan dua orang berbeda kelamin sedang bertaut, statusnya tanpa keterangan. Aku screen shut statusnya. Siapa tahu, suatu saat akan berguna. "Akan ku kumpulkan bukti sebelum bertindak, Mas. Diamku bukan berarti aku bodoh."Aku menggenggam ponsel dengan begitu kuat. "Bu, Ibu!" seru Lita tiba-tiba sudah di depanku. Gadis berjilbab ungu itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata. "Astagfirullah ... kamu kebiasaan ya, Lit," ucapku sambil mengelus dada. Lita cengengesan. "Habisnya ... Ibu melamun. Dari tadi aku panggil nggak nyahut-nyahut," ucapnya. "Oh iya, Bu. Kemarin ada pel
Lita memang mengetahui masalah rumah tanggaku dengan Mas Hasan. Bukan aku yang memberitahu, tapi Lita pernah melihat sendiri perlakuan Ibu dan Mas Hasan padaku. Waktu itu Lita sedang main ke rumahku, tapi belum juga masuk ke dalam rumah, gadis itu sudah mendengar omelan Ibu. Lita langsung pulang tidak jadi main. Esoknya saat di toko ia langsung bertanya masalahnya.Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi, setelah mendudukkan Zulfa di kursi depan samping supir. Ku panaskan sebentar mobil lalu membawa roda empat ku itu menuju taman. "Bun, Ufa mau main ayunan boleh?" tanya Zulfa, tangannya menunjuk ayunan yang ada di tengah taman. "Boleh, Sayang, tapi hati-hati ya, Nak." Zulfa mengangguk dan langsung berlari menghampiri ayunan. Di sana sudah ada seorang anak perempuan sedang bermain sendiri. Dari kejauhan aku memperhatikan. Anakku begitu senang bermain ayunan. Dia pun mulai ngobrol dengan anak yang ada di sebelahnya. Anakku memang mudah sekali bergaul, dia anak yang sup
Hampir KeceplosanKuhentikan langkah kaki, dan menarik tangan Zulfa yang sedang kugandeng, hingga Zulfa juga menghentikan langkahnya. Aku berjongkok mensejajarkan badanku dengan Zulfa."Sayang, kita itu hanya nginap di toko. Nanti juga kita pulang ke rumah, Nak. Zulfa nggak boleh ngomong kayak gitu, Nenek itu nggak marah. 'Kan Nenek kalau ngomong memang begitu, suaranya kencang."Zulfa mengangguk pelan. Kuangkat kembali badan berdiri, lalu mengajak Zulfa meneruskan langkah. Bagaimana pun, aku tidak mau Zulfa membenci Neneknya.Sampai di toko, aku membuka pintu separoh, lalu masuk dan menutup kembali pintu kaca itu, menguncinya dari dalam, lalu mencabut anak kunci. Biar nanti kalau Lita datang, dia bisa masuk menggunakan kunci yang ada padanya."Sayang, kamu masuk mandi ya. Bunda juga mau mandi ini," ucapku menyuruh Zulfa masuk ke kamarnya untuk mandi. Setelah putriku itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, aku menyeret langkah menuju kamarku.Baru saja membuka pintu kamar. Aku di
Drama Apa lagi, Ren?Aku tersenyum miring mendengar pertanyaan Mas Hasan. Kutatap dia yang juga menatapku dengan rahang mengeras. Dia mencurigai ku, padahal dialah yang pantas untuk dicurigai."Aku tidak bersama siapapun. Jadi tidak ada yang perlu aku jelaskan. Bukankah kamu sendiri yang bilang, Mas. Jangan pernah ikut campur urusanku."Aku meninggalkan Mas Hasan, Ibu, dan tamu silumannya itu. Meladeni mereka tidak akan pernah ada habisnya. "Dasar menantu durhaka! Tidak punya akhlak!" Ku abaikan makian Ibu yang menggema ke seluruh ruangan.Belum sempat aku masuk ke dalam kamar, Mas Hasan menarik tanganku. Ternyata ketiga manusia itu mengikutiku sampai ke depan pintu."Kita belum selesai, Mila! Kamu harus menjelaskan, sama siapa kamu di taman!" bentaknya. Ya Tuhan ... tolong lepaskan aku dari keluar toxic ini. "Astaga, Hasan ... wanita apa yang telah kamu nikahi ini. Benar-benar tidak berguna. Bisa-bisanya dia enak-enak di luar sama laki-laki lain, sementara kamu di rumah kelaparan.