MasukIndira menggertakkan rahangnya, mencoba menahan amarah yang sudah menumpuk di dada. Suasana rumah masih diselimuti bau bunga kamboja dan dupa dari para pelayat yang belum lama pergi. Namun kini, suasana berubah tegang. Tatapan ayahnya, Kusman, yang mabuk dan berbau alkohol, membuat tubuh Indira gemetar antara marah dan jijik.“Bapak jangan ngaco!” suaranya meninggi, matanya berkilat. “Utang-utang itu bukan karena Ibu! Itu karena Bapak, karena judi dan minuman Bapak yang nggak pernah berhenti!”Kusman mendengus kasar. “Kamu tahu apa, hah? Kamu enak di kota, kerja, makan dari uang orang kaya! Sementara di sini, Bapak yang harus tanggung semuanya!”Indira berdiri, suaranya pecah di udara yang hening. “Tanggung? Apa yang Bapak tanggung? Ibu yang dulu kerja siang malam! Adik-adik kelaparan, Bapak malah nongkrong di warung dan habisin uang kiriman yang seharusnya buat obat Ibu!”Kusman menatapnya tajam, matanya merah dan penuh kemarahan. “Uang itu uang siapa, hah? Uang dari kamu juga bukan,
Radit mengerjap pelan begitu langkah kakinya berhenti di ujung dapur. Pandangannya tertuju pada sesuatu yang tak seharusnya ia lihat—Bara keluar dari kamar Indira dengan langkah pelan dan hati-hati, seolah takut membangunkan seseorang di dalam sana.Alis Radit langsung bertaut. Ia mengenal Bara sejak kecil, tahu betul gerak-gerik adik sepupunya itu. Kali ini, tatapan Bara saat menutup pintu kamar pelayannya itu terlalu gelisah, terlalu canggung. Seperti seseorang yang baru saja melakukan sesuatu yang tak pantas.Radit tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di balik pilar, mengamati dari kejauhan sampai Bara benar-benar berlalu dan menghilang di tikungan koridor. Namun pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya.“Kenapa dia keluar dari kamar Indira sepagi ini?” gumamnya pelan. “Jangan bilang—”Ia menahan napas, menepis pikiran buruk yang mulai tumbuh liar di kepalanya. Ia tahu Bara punya masalah dengan Bella, tapi Radit tidak pernah menduga bahwa masalah
Indira menutup telepon dengan tangan gemetar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi tanpa bisa dibendung. Tubuhnya lunglai, jatuh berlutut di lantai dingin kamar itu. Semua yang ia dengar barusan seperti mimpi buruk yang menampar kesadarannya.Ibu koma.Ayah kembali ke meja judi.Adik-adiknya terlantar.Semua doa dan kerja kerasnya terasa sia-sia. Uang yang dikirim selama ini, yang ia sisihkan dari hasil kerjanya dengan merelakan harga diri, lelah dan keringatnya, ternyata tak sampai pada orang yang seharusnya menerima.“Ya Tuhan...” bisiknya di antara isak. “Kenapa harus begini...”Ia memeluk lututnya erat, seperti mencari kehangatan dalam kesendirian. Dalam tangis yang pecah malam itu, ia tahu satu hal, ia harus pulang. Apa pun yang terjadi, ia tidak bisa tinggal diam di sini.Setelah cukup lama terisak, Indira menegakkan tubuhnya dengan sisa tenaga. Matanya sembab, tapi tekadnya mulai terbentuk. Ia menatap foto kecil ibunya yang selalu ia bawa di dalam dompet. Wajah lembut it
"Aku akan bicara dengannya besok saja. Aku mau istirahat dulu, Tan." "Ya sudah. Kamu istirahat sana," ucap Mayang pada keponakannya itu. *** Pagi itu, udara di halaman rumah besar keluarga Bara terasa hangat oleh sinar matahari. Celine berlarian di taman, sementara Indira sibuk menyapu daun-daun yang gugur di sekitar kolam ikan. Sesekali gadis itu tersenyum kecil melihat tingkah Celine yang ceria. “Non, hati-hati nanti jatuh,” ujar Indira lembut sambil menatap gadis kecil itu. Celine tertawa. “Nggak apa-apa, Kak Indi. Nih, lihat!” Ia melompat kecil di atas batu pijakan taman. Dari arah pintu belakang, Mayang datang menghampiri Celine dan Indira. Di belakangnya, seorang pria muda dengan wajah teduh dan pakaian rapi mengikuti langkahnya. “Indira, sini sebentar,” panggil Mayang. Indira buru-buru menghampiri. “Iya, Nyonya?" Mayang menatap ke arah pria di sampingnya. “Kenalin, ini Radit. Papanya Celine, keponakan saya. Dia baru saja pulang dari luar negeri.” Indira spon
Indira terisak mendengar fakta itu. “Saya... saya cuma makan bareng Mas dokter. Saya menangis bukan karena—"“Aku tahu,” bisik Bara lirih. “Tapi aku tetap tidak suka melihatnya. Bukankah aku sudah peringatkan. Kalau kamu nggak boleh dekat-dekat dengan pria lain. Kalau kamu tidak boleh bersentuhan dengan pria lain.""Saya tidak bersentuhan dengan—"Hmphh...Setelah itu, semua logika seolah hilang. Bara mencium bibirnya dengan kasar, penuh emosi, seolah melampiaskan semua amarah, cemburu, dan kerinduan yang selama ini tertahan. Indira mencoba menolak, tapi lemah.Ciuman itu bukan kelembutan, melainkan ledakan. Bara menghancurkan jarak, menghancurkan batas. Dalam keheningan yang semakin larut, mereka kembali terjebak dalam pusaran yang sama, antara hasrat, kepemilikan dan cinta yang belum pernah diakuinya.Tangan Bara melepaskan pakaian Indira dengan begitu piawai, tanpa melepaskan ciumannya. Terlihat tubuh Indira yang masih putih mulus itu, tampak kurus, tapi pada bagian dua buah sintal
Tak kuat menahan keinginan untuk memakan rujak. Indira nekad pergi keluar rumah, meskipun sebelumnya Bara sudah mengingatkan padanya untuk diam di rumah saja hari ini dan beristirahat."Tuan Bara pasti nggak akan perduli, aku istirahat di rumah atau tidak. Lagian aku nggak akan pergi lama-lama," gumamnya.Ia pun mencari tukang rujak pada sore itu dan akhirnya menemukannya. Tukang rujak dipinggir jalan, berjejeran dengan pedagang lain. Ada pedagang martabak yang baru buka, pedagang nasi goreng dan makanan lainnya. Semua terlihat lezat dimata Indira, akan tetapi, yang membuatnya tergoda adalah rujak dari pedagang di sana."Pak, rujaknya dua bungkus ya. Satunya makan di sini, satunya dibawa pulang. Pengen pedes.""Boleh Mbak. Tunggu sebentar ya," kata pedagang itu ramah. Ia pun menunjukkan kepada Indira, satu kursi di sana yang kosong."Duduk dulu di sini, Mbak.""Makasih ya Pak." Indira manut, ia duduk di atas kursi itu. Tatapannya tak lepas dari pedagang yang sedang mengulek bumbu ruja







