Home / Romansa / Desahan di Kamar Pembantu / Bab 67. Lepaskan Mereka!

Share

Bab 67. Lepaskan Mereka!

Author: Davian
last update Last Updated: 2025-12-18 16:33:26

Bara seperti orang yang kehilangan pegangan malam itu. Di kamarnya yang luas dan sunyi, ia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada sisi ranjang. Lampu temaram membuat bayangannya memanjang di dinding. Tangannya gemetar memegang ponsel, membuka galeri foto lama dirinya dan Bella, tertawa di pantai, berpelukan di balkon apartemen, saling menatap dengan mata penuh janji.

Ia tertawa kecil. Lalu tawa itu berubah menjadi isak yang pecah tanpa suara.

“Apa kurangku Bella?” gumamnya lirih, seolah bertanya pada bayangan sendiri. "Segalanya, bahkan dunia ini sudah ku berikan untukmu."

Kenangan itu datang bergulung-gulung, tak mau diusir. Saat ia pertama kali jatuh cinta, saat ia berjuang mati-matian demi Bella, menepis siapa pun yang mendekat. Ia pernah begitu yakin. Begitu bangga. Begitu percaya. Namun, kini—semuanya terasa menjijikkan. Dikhianati setelah ia memberikan segalanya.

Bara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata mengalir tanpa izin. Sesekali ia tertawa pahit, seolah me
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Davian
Kalau sehari 1 berarti authornya lagi ada halangan
goodnovel comment avatar
Davian
Sehari 2 sekarang kak, tunggu aja malaman ya
goodnovel comment avatar
Adi Nur aziz
jujur jd males baca nya klu sehari hy tambah 1 episode
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 77. Tidak Akan Bertemu

    Panggilan masuk dari Dewa membuat Indira tersenyum kecil. Sudah hampir enam tahun, pria itu selalu konsisten menanyakan kabar anak-anaknya. Bukan sekadar basa-basi, tapi perhatian yang tulus dan tidak memaksa.“Assalamualaikum, Indira,” suara Dewa terdengar hangat di seberang sana.“Waalaikumsalam, Mas. Gimana kabarnya?” tanya Indira sambil duduk di tepi ranjang.“Aku baik. Aku mau nanya… Nathan sama Nala gimana? Kesehatan mereka?”Indira menghela napas lega. “Baik. Nala sempat kecapekan kemarin, tapi sekarang sudah stabil. Nathan seperti biasa, dia bicara seperti orang dewasa,” ujarnya sambil tersenyum.Dewa ikut tertawa kecil. “Syukurlah. Oh iya… kamu ingat kan? Minggu depan ulang tahun mereka yang ke enam.”Indira terdiam sejenak. Jantungnya berdenyut pelan. “Aku sadar. Bahkan sudah aku tandai di kalender. Kamu selalu ingat ulang tahun mereka ya, Mas?" “Aku cuma mau ingetin, dan aku sudah anggap mereka seperti anakkku sendiri. Dan… ya, aku mau bilang terima kasih juga, Dir. Kamu k

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 76. Setelah 6 Tahun

    "Nala! Jangan lari-lari, nanti dimarahin Mama! Diem disini, Nala!" ujar seorang anak laki-laki berparas tampan, hidung mancung, kepada seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua. Anak perempuan itu berlari-lari di tengah rumah."Mama kan ndak ada. Mama ndak akan marah."Anak perempuan itu tersenyum santai sambil berlari-lari lagi dan memainkan bonekanya. Ia terlihat manis, menggemaskan, ceria. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih kalem dan santai duduk di atas sofa sambil memegang buku.Ia tampak sakit kepala melihat saudara kembarnya terus berlari-lari. Nathan, ia adalah nama anak laki-laki itu dan Nala adalah saudarinya."Nanti kamu kecapean, kambuh lagi, gimana Nala? Jangan bandel deh!" tegur Nathan pada saudarinya."Gak akan!" tegas Nala dengan bibir mencebik dan lidah menjulur keluar, mengejek saudaranya.Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah. Terserah kamu deh. Bandel emang.""Nathan ndak asyik, ndak suka main sama Nathan," kata Nala sebal."Nala juga

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 75. Bahagia Di Atas Derita

    Tangisan Indira menggema di ruang sidang itu. Suaranya serak, dadanya naik turun menahan amarah dan putus asa yang bertumpuk menjadi satu. Namun hukum tak bekerja dengan air mata, apalagi dugaan tanpa bukti. Hakim mengetuk palu dengan wajah datar, seolah keputusan itu hanyalah formalitas belaka.Para terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman sesuai peran mereka. Dua di antaranya mendapat hukuman mati. Sisanya penjara seumur hidup. Ruang sidang riuh sesaat, lalu sunyi kembali. Tepuk tangan tak ada. Kepuasan pun nihil, sebab dalangnya tidak tertangkap. Bahkan dokter yang akan mengaborsinya juga hilang entah kemana. Bebas dari hukuman. Indira berdiri terpaku. Tangannya dingin. Lututnya gemetar.“Bukan itu… bukan itu yang aku mau…” lirihnya nyaris tak terdengar. "Belum cukup." Mereka memang dihukum. Tapi dalangnya bebas. Bella, wanita yang berada di balik semua kebiadaban itu, tak tersentuh sedikit pun. Namanya juga tidak disebut. Keadilan terasa pincang.Dewa menggenggam tangan Indira erat s

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 74. Lolos ...

    "Maumu apa Bella?" tanya Mayang pada akhirnya pasrah. Ia harus menjaga rahasia ini. Kalau Bara sampai tahu, ia terlibat dengan semua ini. Bara pasti akan membencinya.Bella tersenyum miring. "Bantu aku Ma. Ya, anggap saja simbiosis mutualisme. Mama bantu aku, aku bantu Mama.""Jangan berbelit-belit! Ngomong aja mau kamu apa, hah?" sentaknya emosi."Orang-orang suruhanku yang membakar adik-adik Indira dan menculiknya. Jangan biarkan mereka sampai menyebut namaku, Ma.""Bagaimana bisa saya melakukan itu, Bella?" tanya Mayang bingung.Bella mengendikkan kedua bahunya sambil tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dimengerti oleh Mayang. "Mama punya koneksi polisi kan? Mama tinggal bungkam saja mulutnya. Dengan uang atau apapun. Yang penting kita selamat, Ma."Benar, Mayang memang punya koneksi yang cukup dekat ke kepolisian. Namun, jika ia menggunakan koneksi tersebut, maka mungkin saudara mendiang suaminya akan mengetahui hal ini."Mama gak bisa bantu aku? Kalau gitu Bara—""Oke. Saya a

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 73. Gerimis Duka

    Indira berdiri tegak, meski lututnya bergetar hebat. Tangannya masih menahan pergelangan Bu Mayang di udara. Sentuhan itu dingin, bukan karena lemah—melainkan karena kemarahan yang dipaksa terkunci.“Cukup,” ulang Indira, suaranya serak namun tegas. “Jangan pernah sentuh saya lagi.”Mayang tertawa kecil, sinis. “Berani sekali kamu, ya? Pembantu sepertimu berani melawan?”Indira menatap wanita paruh baya itu lurus-lurus. Untuk pertama kalinya, tidak ada rasa takut. Tidak ada tunduk. Yang ada hanya luka yang sudah terlalu penuh untuk ditahan.“Saya memang miskin,” ucap Indira pelan, tiap katanya seperti disayatkan satu per satu. “Saya memang pembantu. Tapi saya bukan pembunuh. Dan saya bukan sampah seperti yang Ibu katakan.”“Kurang ajar!” Bu Mayang meronta, tapi Indira sudah melepaskan tangannya.Bara melangkah maju. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. “Indira, jangan kurang ajar sama mama saya.”Indira menoleh. Tatapan mereka bertemu—tatapan yang dulu penuh harap, kini hanya menyisa

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 72. Hancur dan Terluka

    "Mas ... tolong bilang kalau ini nggak bener. A-aku pasti cuma mimpi kan? Adik-adikku, mereka masih ada, kan?" tanya Indira dengan buliran air mata yang tak mau berhenti mengalir dari kedua bola matanya. Ia menatap Dewa yang masih duduk di sampingnya.Dewa tidak langsung menjawab, tapi saat raut wajahnya berubah pucat dan matanya yang berkaca-kaca. Indira merasakan sesak "Indira, maafin aku ya?"Indira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak. Andi, Elin, Risa. Mereka pasti masih hidup. Mereka nggak mungkin ninggalin aku, Mas. Ini mimpi, pasti."Tampaknya Indira masih tidak percaya dengan hal yang baru saja menimpanya. Padahal dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ketiga adiknya terbakar dan tidak bernapas. Akan tetapi, Indira tidak bisa menerima kenyatannya."Indira, kamu harus kuat. Aku tahu ini berat, tapi—""MAS DEWA BOHONG! MAS DEWA JANGAN BICARA BEGITU! ADIK-ADIKKU BAIK-BAIK AJA! MEREKA PASTI LAGI NUNGGU AKU PULANG SEKARANG!" jerit Indira histeris.Dadanya terasa amat sesak, s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status