Home / Rumah Tangga / Desahan yang Didengar Anakku / Bab 5 Membongkar Isi Lemari ART

Share

Bab 5 Membongkar Isi Lemari ART

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2024-05-16 14:43:03

Selama ini dua ruangan itu memang berhasil terhindar dari pantauan CCTV. Aku memasang hari ini demi mendapatkan fakta. Aku harap cerita Meysa hanya keliru dan Mas Dani masih tetap setia padaku.

Dua orang pria itu memang mengerjakan tugas dengan baik, mereka keluar dari rumah sepuluh menit lebih awal sebelum kepulangan Santi.

"Ibu, ini belanjaannya." Suara Santi mengagetkanku. Ia menyerahkan paper bag yang berisi belanjaan yang aku pinta.

"Terima kasih," ucapku basa-basi.

"Memangnya Ibu Tari mau kemana?" tanyanya. Santi nampak duduk di dekat Meysa. Dia mengusap lembut rambut purtiku.

"Ke Bali," jawabku singkat.

Raut wajah Santi terkejut. "Berapa lama, Bu?"

"Dua hari," jawabku lagi, masih singkat. Perasaanku tiba-tiba berubah dingin pada Santi, padahal gadis itu belum tentu bersalah.

Ya Tuhan, maafkan aku. Setelah semuanya terbukti, aku akan meminta maaf pada Santi atas sikapku ini.

"Wah liburan ya, Bu. Saya sendirian dong di rumah." Wajah Santi nampak sendu.

"Kamu tidak sendiri. Mas Dani tidak ikut kok."

Aneh sekali wajah Santi seketika menyeringai senang setelah mendengar jawabanku yang terakhir. Tak ada balasan apa-apa, gadis itu terlihat senyum-senyum dengan pandangan tak tentu arah.

Santi meninggalkan ruangan, dia beranjak ke ruangan yang lain.

"Ma, kok Papa gak ikut. Nanti dipijitin Mba Santi lagi, kasian Papa kesakitan lagi nanti," protes Meysa dengan polosnya. Putri kecilku itu terlihat yakin dengan ceritanya, maka aku pun yakin dengan rencanaku.

"Tidak apa-apa, Mey. Mama sudah bilang pada Papa. Papa gak akan dipijitin Mba Santi lagi. Kita liburan saja ya bersenang-senang. Jangan berpikiran buruk." Kupeluk tubuh mungil Meysa. Kuusap punggungnya. Menenangkan perasaannya agar menghapus pikiran buruknya.

Setelah menitipkan rumah dan Mas Dani pada Santi, sore ini aku berdalih terbang ke Bali. Padahal posisiku yang sebenarnya bersembunyi di Jakarta di rumah sepupuku. Meysa sempat protes, namun aku berhasil membuat pengertian padanya.

Malam ini dadaku berdebar resah. Malam ini aku siap memantau rekaman CCTV di rumahku yang sudah terhubung dengan leptop pribadiku.

Layar monitor leptop menampilkan semua sudut ruangan di rumahku yang nampak sepi. Tak terlihat Mas Dani mau pun Santi. Tak ada suara perbincangan bahkan suara rintihan seperti yang diceritakan Meysa. Aku gusar, resah sendirian.

Apa yang tengah terjadi dengan keluargaku? Aku merasa pekat tentang kecurigaan pada Mas Dani. Namun sampai saat ini masih saja kesulitan mendapatkan bukti.

"Mas, kamu dimana?" Aku menempelkan ponsel pintar dan bertanya pada Mas Dani melalui sambungan telepon.

"Aku sedang di luar. Kamu bisa cek CCTV 'kan, Tari? Aku sedang meeting dengan client," jawab Mas Dani di seberang sana.

Apa! Mas Dani kok bisa tahu kalau aku bisa mengecek CCTV rumah? Ya ampun. Pantas saja rumah sepi. Lalu dimana Mas Dani? Apa dia malah bersama Laura?

Dadaku kian menggebu resah hingga gugup dan memilih menyudahi sambungan telepon. Dua hari dua malam tak ada bukti rekaman mencurigakan apa pun. Aktivitas di rumah terlihat berjalan seperti biasanya tak ada yang aneh.

Aku memutuskan pulang karena Meysa tak bisa libur terlalu lama. Mungkin memang tak terjadi apa-apa antara Santi dan Mas Dani. Aku berusaha tetap tenang.

***

Di sofa ruang tengah aku duduk seraya menyenderkan kepala pada bahu kursi. Hari ini libur ke kantor sebab hari minggu. "San, stok belanjaan sudah habis. Kamu belanja ya ke super market," perintahku pada Santi.

"Loh biasanya kan Bu Tari yang belanja," balas Santi menatapku aneh.

"Saya gak enak badan. Tolong kamu yang belanja ya," pintaku. Kali ini aku tak membuat alasan. Badan terasa gak enak sementara stok kebutuhan dapur habis.

"Mas, kamu mau kemana?" Diwaktu yang bersamaan Mas Dani keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapih.

"Mau ganti ban mobil," jawab Mas Dani.

"Sekalian antar Santi belanja mau gak?" Kali ini aku meminta pada Mas Dani.

Mendengar permintaanku, Mas Dani dan Santi nampak tercengang lalu saling melempar tatapan.

"Apa-apaan sih kamu, Tar. Masa iya aku antar belanja pembantu," tolak Mas Dani. Tapi raut wajahnya biasa saja, tidak menampakan kekesalan.

"Stok kebutuhan dapur habis, Mas. Aku sedang tak enak badan. Kalau Santi naik angkutan umum kan kasihan," terangku.

"Gak apa-apa, Bu Tari. Saya bisa naik angutan umum kok," timpal Santi setelah lama terdiam.

"Gak apa-apa, biar saya antar saja," sahut Mas Dani akhirnya.

Entah kenapa batinku begitu kuat pada Santi. Hanya saja aku tak punya bukti apa-apa.

Deru mobil sudah menyala. Dari jendela kamar, terlihat Santi masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan. Kendaraan roda empat yang dikemudikan Mas Dani melaju meninggalkan rumah.

Setelah itu, aku pergi ke dapur karena tenggorokan terasa haus. Ketika langkah mendekat pintu kamar Santi, kedua kaki ini menunda langkah. Aku melirik kamar yang berukuran tiga meter di sampingku. Entah kenapa hati merasa kuat ingin masuk ke dalamnya.

Tatkala handle pintu diputar, pintu kamar Santi terkunci. Gegas aku mengambil kunci serep yang kusimpan rapih, kunci serep ini hanya aku yang tahu.

Aku berhasil masuk ke kamar Santi berkat kunci serep. Kamar gadis itu cukup rapih dan wangi. Tak kusangka pernak-perniknya pun mewah. Ini kali pertama aku masuk kamar permbantuku. Aku tahu ini tidak sopan, tapi hanya ingin membuktikan kalau Santi adalah gadis yang baik. Aku menolongnya karena orang tua Santi telah tiada. Aku menjadikannya pembantu guna membantu ekonominya.

Tak lama, pandanganku beralih pada lemari di sampingku. Kulihat kuncinya masih menggantung hingga aku bisa membukanya.

Mengejutkan, isi lemari Santi berisi pakaian yang mewah. Aku melihat brand pakaian Santi sama dengan brand yg aku pakai. Dadaku kian menggebu. Dari mana Santi membeli pakaian semahal ini? Jumlahnya bahkan sama dengan isi lemariku.

Kemudian tatapanku beralih pada laci yang berada di bagian atas pakaian Santi. Aku menarik laci itu yang isinya bahkan membuat jantung seakan berhenti berdegup.

Aku mengambil isi laci berupa perhiasan yang mirip seperti milikku yang hilang satu tahun lalu. Mulutku menganga karena terkejut. Tak ada yang menyamai perhiasan itu sebab peninggalan almarhum mamaku yang dipesan husus. Dari mana Santi mendapatkannya? Bukankah dulu Mas Dani pun sudah menyatakan hilang?

Setelah perhiasan, aku juga melihat beberapa alat kontrasepsi berupa pil di dalam laci Santi. Untuk apa dia menggunakan alat kontrasepsi? Bukankah Santi masih gadis?

Alat kontrasepsi itu bahkan berdampingan dengan beberapa gepok uang yang bernilai empat puluh juta. Lututku gemetar melihatnya. Pikiranku langsung lari kemana-mana.

"Mustahil!" Aku menepis. Rasanya mustahil Santi memiliki uang sebanyak itu.

"Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status