Share

Kejutan Akhir Tahun

Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.

Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar. 

Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk menikmati keindahan pantai selatan yang berhadap langsung dengan Samudra Hindia itu. Keempat keponakanku kegirangan saat bisa berlarian di pantai yang luas serta tidak henti-hentinya menyantikan lagu ‘Naik Delma’ yang sedikit Allisya dan Dian ubah liriknya saat kami naik delma seraya menyusuri pantai.  

Sorenya kami menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu universitas negeri di Yogyakarta, membiarkan Bang Ridwan bernostalgia dengan perjuangannya dahulu. Malamnya kami pergi ke Alun-Alun Kidul untuk mencari kudapan malam. 

Pada hari ketiga kami di Yogyakarta, sebelum memuaskan jiwa belanja para ibu-ibu, Bang Ridwan membawa kami melihat Keraton Yogyakarta. Setelah itu Bang Ridwan mengantar Kak Diah, Kak Puspa dan Kak Maya ke Pasar Beringharjo. Aku memilih untuk menggendong Mega, mengambil area aman di luar pasar bersama keempat keponakanku.

Malam terakhir di Yogyakarta kami habiskan di hotel, menikmati keramaian Malioboro dari rooftop, saat itulah aku mendapatkan kejutan ulang tahunku. Mereka ternyata telah menyiapkan semuanya. Bang Ridwan menjadi otak rencana kejutan malam ini, kemudian dikompori oleh istrinya sendiri untuk melanjutkan perjalanan karena dia kangen ingin menyantap gudeg di Yogyakarta.

***

Empat hari liburan bersama mereka terasa sangat singkat, sekarang aku harus mengantarkan mereka ke bandara di Semarang. Seperti biasa, mata Kak Diah dan Kak Maya selalu basah jika bersangkutan dengan kata perpisahan. Aku memeluk mereka satu per satu, Bang Ridwan paling lama memelukku.

“Jangan pernah enggak angkat telepon dari Abang, ya,” bisik Bang Ridwan.

“Abang akan telepon Dedek tiap hari,” sambungnya.

“Biasa aja, Bang. Enggak usah berlebihan, kayak biasa aja,” pintaku.

“Enggak, kali ini enggak bisa seperti biasanya,” tolak Bang Ridwan.

Aku hanya bisa mengangguk, tidak bisa membantah permintaan Bang Ridwan. Aku kemudian melirik Alifa yang berdiri paling dekat dengan kami. 

“Kamu kenapa jadi ikutan sedih, Sayang?” tanyaku saat memeluknya sekali lagi.

Kali ini dia tidak protes saat ada yang memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’.

“Enggak pa-pa, kok. Mata Alifa perih aja,” sahut Alifa.

Mungkin karena sudah memasuki usia remaja, dia jadi sedikit mengerti situasiku. Aku sempat mendengarnya bertanya tentang tumor otak pada Kak Puspa selama kami liburan beberapa hari ini. Meskipun Kak Puspa menolak untuk menjawab pertanyaan putri sulungnya, aku tahu Alifa akan mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. 

Aku melambaikan tangan lebih lama pada perpisahan kali ini, bahkan aku masih melambaikan tangan saat pintu yang memisahkanku dengan mereka tertutup dan mereka menghilang dalam kerumunan penumpang lain.

Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya dengan cepat, menolak air mata yang akan tumpah pada perpisahan kali ini. Aku segera memesan taksi online saat merasakan sakit pada kepalaku, aku harus mulai menata kehidupanku di Semarang.

***

Aku segera menata apartemen baruku. Barang-barang di rumah lama yang dikirim melalui ekspedisi belum datang, jadi aku menata seadanya. Perlu waktu satu minggu untuk menatanya agar sesuai dengan seleraku, aku ingin menghadirkan ruangan yang bisa menunjang pekerjaanku. 

Beres dengan urusan menata hunian baru, aku kembali bekerja, memeriksa pekerjaan Dila yang aku percayai untuk meng-handle tulisan-tulisan selama aku sibuk dengan kepindahan dan masa liburan akhir tahunku. 

Saat berkenalan denganya empat bulan yang lalu, aku sangat mengagumi puisi-puisi yang Dila buat. Dia mahasiswi sastra di salah satu universitas negeri di Semarang. Sebuah kebetulan yang aku syukuri, jadi aku bisa bertemu dengannya secara langsung tahun ini. Besok aku membuat janji dengan Dila untuk membicarakan pekerjaan kami. 

Aku punya beberapa klien yang memerlukan bantuan membuatkan artikel untuk blog pribadi dan website usaha mereka. Aku awalnya mengerjakan seorang diri, hingga aku kewalahan karena juga harus menulis novel.

Selain membuat artikel untuk beberapa klien, aku juga punya blog pribadi yang sekarang malah lama sudah tidak aku kelola. Untungnya, walaupun sudah lama tidak mengeluarkan artikel terbaru, tulisan-tulisanku masih tetap ada yang membaca, dan dolar demi dolar masih tetap mengalir ke rekeningku.

Pekerjaan ini aku pilih sejak memutuskan menemani Ayah  di rumah, pekerjaan yang membawaku terus berkembang. Aku yang awalnya kesusahan untuk mengetikkan kalimat pertamaku setiap akan membuat suatu tulisan, mulai bisa menyesuaikan diri dengan bantuan para mentor menulis yang memberikanku banyak masukan dan motivasi. 

“Mbak Kana,” sapa seseorang.

“Hai, Dila. Ayo duduk!” pintaku padanya.

“Kok mukanya tegang sih, atau kamu lagi sakit, ya?” tanyaku setelah melihat wajah Dila yang sedikit pucat.

“Gugup dikit, Mbak. Lagi kayak wawancara kerja,” jawab Dila.

Aku terkekeh, “Santai aja, kan kita sudah lumayan kenal lama, walaupun masih di dunia maya dan via chat.”

Dila tersenyum dan mengubah posisi tubuhnya yang tadi sangat tegap menjadi lebih santai. Aku menyarankan untuk makan terlebih dahulu, oleh karena itulah aku meminta bertemu saat jam makan siang, agar obrolan lebih santai. Pekerjaan harus dibicaran setelah perut kenyang, kalau perut kosong mana bisa mikir, otak jadi mandek. 

Selesai makan, aku mulai mengeluarkan beberapa catatan dan masukan untuk tulisan Dila. Selama mengambil liburan kemarin, aku memercayakan sepenuhnya pada Dila untuk membuat artikelnya sendiri. Sebelumnya Dila hanya bertugas mengecek tulisanku, memeriksa kesalahan penulisan sebelum artikel diserahkan pada klien-klienku.

Untuk urusan tata bahasa baku Dila tidak ada masalah, dia hanya perlu menyesuaikan diri untuk peralihan yang cepat antara topik artikel satu ke topik lainnya yang memiliki cara penyampaian yang berbeda. Tipe tiap klien berbeda, tentu jenis artikel untuk mereka memiliki ciri khasnya masing-masing, dan hal ini yang masih membuat Dila kewalahan. 

Aku memakluminya, karena Dila sama sepertiku dahulu saat pertama kali terjun ke dunia penulis konten. Aku bahkan lebih parah saat memulai, ada banyak hal yang harus aku pelajari. 

“Aku sudah sering ikut pelatihan dan seminar kepenulisan, tapi masih sering mumet kalau harus menulis artikel dari awal. Apalagi masalah riset kata kunci untuk tulisan,” ungkap Dila.

“Enggak pa-pa, nanti juga terbiasa kalau sudah sering nulis. Dari semua artikel yang Dila bikin kemarin, Dila lebih suka materi yang mana?” tanyaku.

“Aku suka sama blognya Mbak Erika, Mbak. Aku akhir-akhir ini juga lagi suka baca artikel kesehatan.”

Mbak Erika seorang nutritionist yang memiliki blog pribadi, karena harus mengurus keluarga di rumah dan pekerjaannya di rumah sakit, dia jadi kurang memperhatikan blog yang dia bangun sejak masih di bangku kuliah. Dia termasuk klien pertamaku, aku mulai membuatkan artikel untuk blognya saat melanjutkan pendidikan masterku dahulu.

Dari blog Mbak Erika inilah aku mulai terinspirasi untuk mengubah pola makanku. Penyakit yang bersarang di kepalaku saat ini bisa jadi sebuah peringatan atas gaya hidupku yang kurang sehat dan terlalu acuh tak acuh terhadap kewajibanku menjaga kesehatan.

“Kalau begitu, bagaimana kalau Dila mulai handle artikel untuk blognya Mbak Erika. Nanti fee Dila aku tambah, enggak lagi buat freelance,” usulku.

“Beneran, Mbak. Apa enggak kecepatan? Aku masih perlu banyak belajar.”

“Belajarnya sambil jalan aja, ya. Belajar sambil nulis. Nanti bantu aku nyari penulis freelance tambahan juga, ya,” pintaku.

“Buat bantu handle medsos, jadi Dila nanti fokus menyunting tulisan dariku dan membuat artikel untuk blog Mbak Erika aja,” sambungku lagi.

“Siap, Mbak,” sahut Dila seraya membuat catatan pada buku kecilnya.

Selain membantuku menyunting tulisan, Dila juga aku percaya untuk mengelola satu akun media sosial untuk komunitas yang aku buat sesuai dengan bidang pendidikanku. Aku bisa cari mahasiswa akhir yang tertarik dengan dunia tulis menulis untuk membantuku mengelolanya. Aku juga kadang kasihan dengan Dila yang harus membaca materi tulisan dan membuat rencana postingan yang bukan bidangnya. 

Entah aku masih bisa mengelolanya nanti sesuai impianku atau tidak, setidaknya aku sudah memulai dan tidak bisa membatalkannya begitu saja. Aku masih punya waktu untuk membentuk tim yang nanti bisa aku percaya untuk mengelola komunitas pendidikan impianku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status