Share

Menelusuri Jejak Kenangan

Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan. 

Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.

Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bisa aku terima hari ini. 

***

Keesokan harinya, kami pergi ke apartemenku untuk menaruh beberapa barang yang dibelikan Kak Dinah dan Kak Maya untukku. Perjalanan kami lanjutkan ke Klenteng Sam Poo Kong, kemudian singgah di salah satu warung Soto Bangkong di dekat rumah sakit tempat Ibu dahulu pernah dirawat.

“Dulu sering makan di sini kalo lagi ganti giliran jaga sama Ayah,” cerita Kak Dinah yang matanya sudah akan menitikkan air mata.

Bukan hanya aku yang sentimental dengan kenangan tentang Ibu dan Ayah, kedua kakakku malah lebih parah kalau dibawa membahas tentang kenangan kedua orang tua kami, mereka lebih mudah memperlihatkan kesedihan dan air mata di depan umum.

Merasa cukup kenyang dengan Soto Bangkong, kami lalu pergi ke Lawang Sewu dan mampir ke salah satu toko lumpia untuk mengisi perut lagi sebelum menikmati sore di kawasan Kota Lama. Bagunan di daerah Kota Lama Semarang tidak pernah bosan untuk dilihat lagi dan lagi, ada keindahan dan daya tarik yang tidak bisa ditolak dari bangunan-bangunan tuanya.

Kami segera pulang setelah menyantap makan malam di salah satu rumah makan. Kami perlu isirahat sebelum besok melanjutkan perjalanan ke Magelang. 

***

Pukul sepuluh pagi shuttle bus yang akan membawa kami ke Magelang sudah tiba, kami segera meluncur ke Magelang untuk melihat Candi Borobudur. Dahulu, saat aku bisa kembali ke Semarang, aku belum sempat ke Borobudur, selain waktunya yang aku buat tidak sempat, aku juga tidak berani sendirian menelusuri jejak kenanganku di sana.

Dua jam perjalanan tidak terasa ketika pergi bersama keempat keponakanku, aku tetap terjaga bersama mereka hingga kami sampai di Magelang. Bang Ridwan lebih sering berbicara dengan supir. Aku beberapa kali menawarkan diri untuk mengasuh Mega, tetapi Kak Maya menolak, seolah tidak mau membuatku kelelahan. 

“Tenang aja, Mega kalau jalan rame-rame gini enggak banyak rewelnya kok,” ucap Kak Maya saat aku menawarkan diri untuk yang kelima kalinya.

Kak Dinah dan Kak Puspa lebih banyak tertidur, karena mereka berdua telah menelan obat anti mabuk beberapa menit sebelum kami meninggalkan Semarang. 

“Wawww, Mah … lihat deh! Kita sudah sampai,” seru Dian saat puncak Candi Borobudur terlihat dari kejauhan.

Dian berteriak girang, membangunkan Kak Dinah dan Kak Puspa yang masih terlelap karena pengaruh obat anti mabuk.

“Biasa aja sih,” sahut Alifa.

“Apanya yang biasa, besar banget candinya. Bang … Bang lihat deh,” seru Allisya yang sudah menempel pada kaca jendela shuttle bus seraya menunjuk ke arah Borobudur.

Aku mengikuti arah yang Allisya hebohkan, walaupun masih cukup jauh, bangunan megah Borobudur tidak bisa terbantahkan. Aku saat pertama kali melihatnya juga heboh bersama salah satu sepupuku. Aku dan salah seorang sepupuku bahkan pernah terpisah dari rombongan, dan masih tertawa girang saat kami diantar menemui orang tua kami yang menunggu dengan wajah cemas.

Lima menit kemudian shuttle bus yang mengantar kami tiba di salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari area Candi Borobudur. Aku sengaja memilih hotel tersebut agar kami bisa menikmati keindahan Borobudur dengan lebih dekat. Beruntungnya, supir yang mengantar kami sekeluarga ke Magelang menawarkan diri untuk mengantar hingga pintu masuk kawasan Candi Borobudur.

“Sekalian mau istirahat juga, Pak,” ucapnya pada Bang Ridwan.

“Kalau gitu kita makan siang barengan aja ya, Mas,” pinta Kak Dinah.

Tidak ada waktu istirahat untuk liburan kali ini, kami langsung menuju Borobudur setelah mengantar barang ke hotel dan menyantap makan siang. Bang Ridwan sudah akan memberikan uang tambahan kepada supir suttle bus yang telah berbaik hati mengantarkan kami, tetapi dia menolak.

“Enggak usah, Pak. Tadi saya makan juga sudah dibayarin, jadi enggak enak saya.”

“Terima kasih banyak, Mas,” ucap Bang Ridwan beberapa kali kepada supir.

Siang itu tidak terlalu terik, walaupun cukup panas untuk menelusuri kawasan depan candi yang luas. Belum sampai ke anak tangga pertama, Kak Diah, Kak Puspa dan Kak Maya yang menggendong Mega sudah kelelahan. Mereka bertiga lalu meminta untuk beristirahat sebentar. 

Bagi ketiga keponakanku yang sudah aktif tidak ada yang namanya lelah, mereka kemudian menarikku untuk segera naik. Kak Puspa sudah akan memarahi kedua anaknya agar tidak membuatku lelah, tetapi aku segera mengiyakan keinginan para keponakanku.

Akhirnya Bang Ridwan juga ikut bersamaku untuk meneruskan perjalanan. Sekarang kami kembali bersama ke candi Buddha terbesar ini, jadi aku tidak akan merasa kesepian dan harus mengenang perjalanan masa kecilku sendirian. 

“Dedek enggak lelah, ya?” tanya Bang Ridwan.

“Enggak lelah, kok. Ini yang namanya vitamin liburan,” sahutku bercanda.

Bang Ridwan lalu mencubit pipiku, tanpa kuduga dia merangkulkan lengannya ke bahuku. Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya akhir-akhir ini, dia jadi lebih sering memperhatikanku, menanyakan kabarku bahkan setelah kami bertemu sehari sebelumnya. 

Kalau dahulu jangan ditanya, satu kali sebulan sudah cukup banginya menanyakan kabarku. Pertanyaan Bang Ridwan saat menghubungiku tidak akan jauh dari bagaimana perasaanku menjalani apa yang sudah kupilih dan uang. Dia selalu bertanya apa aku perlu uang tambahan. Pertanyaan yang selalu aku suka, karena aku lebih suka ‘mentahan’ daripada barang yang kadang malah tidak terlalu kugunakan.

Ponsel Bang Ridwan bergetar saat kami sampai pada tingkatan teratas Borobudur, Kak Puspa memberi tahu kalau akan segera menyusul. Allisya dan Dian sudah berlarian dan saling mengintip di antara stupa.

Bang Ridwan bergabung bersama mereka, sekaligus meminta mereka untuk tidak berpencar terlalu jauh. Bisa kena marah para ibu kalau mereka hilang dari pengawasan Bang Ridwan. Aku mendekati Alifa yang asyik mengambil gambar pemandangan.

“Mau Tante fotokan,” tawarku.

“Alifa sukanya ngambil foto, Tante. Enggak suka difoto,” tolak Alifa.

Aku tertawa geli mendengar jawabannya, makin banyak saja kesamaannya denganku.

Please, Tante, jangan bilang kalau kita samaan lagi,” mohon Alifa yang sekarang sudah membidik kamera ponselnya ke arahku.

Aku segera beranjak untuk mengambil ponsel Alifa untuk melihat hasil bidikannya.

“Tenang aja, Tante. Hasil bidikan Alifa estetik kok,” ucapnya lagi.

Aku tidak bisa membantah ucapannya saat melihat hasil potret Alifa. 

“Foto berdua, yuk!” ajakku.

Alifa mengangguk dan kami segera berswafoto, tak lama kemudian Allisya dan Dian bergabung. Mereka berdua jadi heboh juga ingin ikut berswafoto. Bang Ridwan menawarkan diri untuk memotret kami berempat, kemudian meminta Alifa yang paling bisa diandalkan untuk mengabadikan gambarku dan Bang Ridwan di Borobudur.

Beberapa saat kemudian, Kak Dinah, Kak Puspa, Kak Maya dan Mega bergabung. Bang Ridwan kemudian meminta salah satu pengunjung untuk mengambil potret kami di tingkat tertinggi dari Borobudur. Membuat satu kenangan indah di penghujung tahun.

***

Akibat terlalu bersemangat saat menjelajahi Borobudur kemarin, hari ini ketiga keponakanku hanya bermain ponsel dalam perjalanan kami ke Yogyakarta, sesekali kulihat Alifa mengurut betisnya. Kak Diah dan Kak Puspa tidak minum obat anti mabuk mereka lagi hari ini, takut kebablasan tidur di jalan. Dalam perjalanan ke Yogyakarta aku lebih sering berbincang dengan mereka.

Walaupun terlihat cuek, tetapi aku tahu Alifa menguping pembicaraan kami. Setelah tiba di Yogyakarta siang hari, kami memilih untuk pergi ke tempat makan dan kembali ke hotel untuk mengistirahatkan diri sebelum memulai perjalanan nanti malam. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status