Share

Memilih Hunian Baru

Keesokan harinya seperti janji Bang Nanda kemarin, pukul delapan pagi dia sudah sampai di hotel tempatku dan Bang Ridwan menginap. Bang Ridwan masih duduk menikmati kopi paginya bersama sepotong roti di restoran hotel. Aku menghampiri Bang Nanda di tempat parkir dan mengajaknya untuk sarapan. 

“Boleh deh, ngopi pagi dulu,” sambut Bang Nanda yang berjalan di sampingku menuju restoran hotel yang terletak di samping lobi.

Aku mengambil beberapa potong semangka dan buah melon, kemudian mengambil segelas air putih. Bang Nanda yang berdiri di sampingku dengan segelas kopi hitam mengernyitkan dahinya.

“Sehat banget menu sarapanmu, Kana,” kekeh Bang Nanda kemudian menghampiri Bang Ridwan.

“Kopi aja nih?” tanya Bang Ridwan pada Bang Nanda saat aku bergabung bersama mereka.

“Udah makan tadi, tapi kalo kopi mah enggak bisa ditolak,” jawab Bang Nanda.

“Nanti mau lihat yang mana dulu nih? Mau lihat apartemen dulu atau rumah?” Bang Nanda beralih padaku.

“Jauhan yang mana?” Aku bertanya balik.

“Jauhan rumah kalau soal jarak, tapi tenang aja, aku sudah survei, masih di tengah kota kok,” jawab Bang Nanda.

Okay, lihat rumah dulu deh baru lihat-lihat apartemen di dekat sini.”

Aku juga sudah survei via G****e Maps, tetapi soal rincian perumahan yang aku dapatkan belum tahu pastinya. Kalau melihat jarak dari rumah sakit masih dekat apartemen yang akan kami survei hari ini, tetapi tidak ada salahnya untuk melihat-lihat dahulu rumah yang disewakan di Semarang Timur itu.

Selesai sarapan kami langsung menuju rumah yang akan disurvei. Bang Nanda juga sudah mengirim pesan kepada pemilik rumah. Saat sampai, rumah kecil dengan gaya minimalis itu tampak indah.

Aku kemudian melihat-lihat bagian dalamnya, harga yang ditawarkan juga tidak terlalu tinggi. Padahal lokasi rumahnya benar-benar masih di tengah kota dan jarak ke rumah sakit tempat rujukanku nanti juga tidak lebih dari lima belas menit.

Setelah berdiskusi dengan Bang Ridwan, Kak Dinah dan Kak Maya, tahun pertama ini aku hanya akan menyewa rumah atau apartemen, kalau dirasa nyaman barulah nanti membeli rumah atau apartemen, tergantung keuanganku nanti. Aku juga harus memikirkan biaya perjalanan yang sudah aku susun, juga biaya pengobatan yang kuperkirakan akan menguras tabungan.

Awalnya aku tertarik untuk menyewa rumah di daerah Rejosari ini, tetapi setelah melihat rumah tersebut yang lumayan luas untuk ukuran satu orang, aku membatalkannya. Aku tidak mau tinggal di tempat luas sendirian lagi, seperti yang aku jalani saat di rumah keluarga. 

Aku dan Bang Ridwan dibawa Bang Nanda berkeliling di kawasan Simpang Lima. Di sana ada beberapa apartemen yang disewakan, mungkin karena di pusat kota, harga sewa yang ditawarkan cukup tinggi, menguras kantong sekali, walaupun ada diskon kalau aku membayar lunas satu tahun.

Bang Nanda kemudian mengusulkan untuk melihat satu apartemen di daerah Tegalsari, karena daftar apartemen dalam catatanku sudah habis, aku mengiyakan. 

Setelah melihat beberapa tipe apartemen yang ditawarkan akhirnya aku memilih satu unit studio di lantai tujuh. Aku dan Bang Ridwan segera menyelesaikan proses penyewaan dan membayar biaya sewa untuk satu tahun.

Apartemen yang disediakan sudah siap huni, bahkan aku sudah bisa menempati apartemen baruku setelah menandatangani perjanjian dan membayar sewa hari ini.

Saat di perjalanan aku segera menghubungi Kak Dinah. Aku mengirim alamat lengkap apartemen tadi untuk keperluan pengiriman barang-barangku yang masih ditinggal di rumah. Aku juga membuka aplikasi untuk memproses tiket pesawat dan segera mengirim gambar e-tiket kepada Kak Dinah.

Aku jadi bersemangat sekarang, karena mereka akan segera menyusul ke semarang besok siang, tetapi tiba-tiba kepalaku jadi sakit. Rasa sakitnya membuatku menjatuhkan ponsel dari tangan dan membuat Bang Ridwan menoleh.

“Kamu enggak mabuk kan, Kana?” tanya Bang Nanda.

Saat mengangkat kepala kembali aku temukan wajah khawatir Bang Ridwan.

“Kana enggak pa-pa, pusing dikit aja,” jawabku seraya membalas tatapan khawatir Bang Ridwan, juga segera melirik ke arah Bang Nanda yang melihatku melalui rear-vision mirror.

“Kalo gitu aku antar ke hotel dulu deh, ya,” saran Bang Nanda.

“Enggak pa-pa, kok. Kana ikut dong, masa ditinggal sendirian di hotel, merana banget jadinya,” pintaku. 

Bang Nanda tertawa, dan Bang Ridwan mau tak mau ikut tersenyum mendengar ucapanku.

Okay, nanti pesan yang sehat-sehat aja deh, ada pilihan selain kopi kok. Atau cokelat hangatnya aja, kata temanku enak lho,” sambung Bang Nanda.

Aku menganggung sambil menahan nyeri di kepala dan mengalihkan diri dengan melihat jalanan yang sedikit padat di kawasan Kota Lama sore ini. Bang Nanda lalu memarkirkan mobil dan kami bertiga berjalan menuju sebuah kafe dengan nuansa rustic ala Eropa. 

Aku sudah tertarik untuk memesan affogato–menu dengan single espresso dan es krim vanilla, aku bisa menyantap es krim vanillanya, untuk single espresso-nya bisa aku hibahkan ke Bang Ridwan. Namun sayang, Bang Ridwan sudah pasang tampang melarang, aku akhirnya hanya memesan jus jeruk dan croissant. Mendengar keputusan akhirku itu senyum Bang Ridwan terlukis kembali pada wajahnya.

Malam itu kami habisnya di kawasan Kota Lama, topik pembicaraan lebih banyak membahas tentang keperluan yang harus aku siapkan. Mulai dari mobilitasku selama di Semarang, Bang Nanda sudah menawarkan diri untuk antar jemput, tetapi aku menolak dengan halus karena aku masih bisa menggunakan layanan taksi online yang tentunya mudah didapatkan di kota besar seperti Semarang.

Aku tidak mungkin menjadikan Bang Nanda supir pribadi dadakanku, dia punya kesibukan dan pekerjaan yang harus dikerjakan, akan sangat merepotkan dirinya kalau mau ke mana-mana aku harus diantar.

***

Keesokan harinya Bang Nanda masih menyempatkan diri untuk menemani kami pergi ke tempat penyewaan mobil, setelah itu dia pamit untuk bekerja.

“Jangan sungkan-sungkan telepon aku, Kana. Kerjaanku santai kok, kamu tau lah,” ucap Bang Nanda sebelum kami berpisah di tempat rental mobil.

Aku mengangguk, kemudian Bang Ridwan berpamitan dengan Bang Ridwan. Setelah menyelesaikan keperluan menyewa mobil, aku dan Bang Ridwan segera kembali ke hotel. Dua koper besarku perlu diantar ke apartemen baru agar kamar di hotel bisa lebih luas saat kedatangan Kak Dinah, Kak Maya, Kak Puspa beserta para keponakanku. Selesai dengan koper-koper besar, aku dan Bang Ridwan segera meluncur ke bandara. 

Liburan akhir tahun ini sepertinya akan seru, Bang Ridwan kemarin malam mengusulkan liburan tambahan, dari Semarang kami akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Aku malam tadi jadi tidak bisa tidur nyenyak, selain karena berburu kamar hotel murah di area Borobudur dan Yogyakarta nanti, sudah jadi kebiasaanku kalau sedang senang-senangnya, maka mata ini tidak akan mudah terlelap.

“Sudah bereskan, ya. Maaf, Dek, jadi dadakan. Abang mikirnya mumpung di Semarang, jadi sekalian aja kita ke Yogya.”

“Kana senang kok.”

“Jadwal pemeriksaan ulangmu bagaimana?” tanya Bang Ridwan saat kami telah memasuki tempat parkir bandara.

“Kana belum bikin janji. Nanti kalau liburan dan beberes apartemennya sudah selesai baru Kana bikin janji. Tenang aja, Bang, obat dari Dokter Tanto cukup buat satu bulan kok.”

Aku mencoba menenangkan Bang Ridwan yang sering memperlihatkan wajah khawatirnya saat menemukanku menahan rasa sakit di kepala.

Aku dan Bang Ridwan segera menuju ke area kedatangan, dari jauh aku dapat menangkap kehebohan Allisya dan Dian. Di belakang mereka ada Alifa, Kak Puspa, Kak Maya dengan Mega dalam gendongannya, dan Kak Dinah yang berjalan di samping seorang porter yang membantu membawakan barang bawaan mereka semua.

Allisya berlari ke arahku saat matanya melihat kehadiranku dan Bang Ridwan. Dia memelukku erat, terlihat sekali kalau keponakanku yang satu ini sangat gembira. Wajahnya sangat berseri-seri, mungkin karena ini baru pertama kalinya dia bisa mengingat sedang liburan ke luar pulau, padahal saat kecil dia sudah pernah jalan-jalan ke pulau Jawa saat menghadiri kelulusan Bang Ridwan.

“Kata Tante Diah, Bang Dian malam tadi enggak bisa tidur loh, Tante,” oceh Allisya di sampingku.

“Siapa yang nanya, Allisya. Kamu juga enggak bisa tidur,” sahut Alifa.

“Kakak sampai ikutan enggak tidur nyenyak tadi malam,” sambung Alifa lagi.

“Udah ah, mau liburan masih sempat aja berantemnya.” Kak Puspa menengahi Allisya dan Alifa yang sudah siap akan adu mulut.

Dua puluh menit kemudian barulah kami pergi dari bandara, setelah berdiskusi panjang dan alot dengan ketiga keponakanku, terutama Allisya dan Dian yang tetap ngotot ingin beli minuman dan makanan ringan di bandara. Keributan yang nantinya akan sangat aku rindukan dari mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status