Share

Pengakuan

Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.

Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.

“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.

Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.

“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.

“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan.

Aku mulai memikirkan beberapa alasan yang bisa aku ucapkan kepadanya, tetapi aku hanya menemukan jalan buntu. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit, ada nyeri yang mulai mengganggu penglihatan, mengaburkan sedikit pandanganku.

Saat Bang Nanda kembali duduk di depanku, ada hening yang membuat kami berjarak. Ada kecanggungan yang aku rasakan di antara kami, Bang Nanda lalu menyibukkan diri dengan ponselnya. Sampai segelas kopi diantar di depan Bang Nanda tidak ada pembicaraan yang terjadi di antara kami.

Sakit di kepalaku makin menjadi, aku sempat menunduk beberapa kali, berusaha untuk menahan nyeri yang terasa seperti menghimpit kepalaku. Bang Nanda meletakkan ponselnya dengan posisi terbalik tidak jauh dari gelas kopinya, dia lalu memandangku seraya menghela napas. 

“Anggap aja aku enggak dengar apa-apa. Kalau kamu merasa kurang nyaman, aku antar kamu pulang, ya,” tawar Bang Nanda.

Tentu saja aku tidak bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku masih mencoba untuk mencari alasan yang bisa aku ucapkan dengan tepat kepadanya, ada beberapa kalimat yang bisa aku pikirkan, tetapi tenggorokanku seperti tersekat untuk mengungkapkannya.

“Wajahmu pucat, Kana. Aku antar pulang, ya. Kita ngobrolnya lain kali saja,” pinta Bang Nanda.

Aku menggeleng, tidak ada kesempatan lain kali, aku harus mengucapkan sesuatu sebelum keadaannya semakin canggung.

“Kana mau cerita ke Bang Nanda kalau semuanya sudah selesai,” ungkapku, akhirnya.

Entah kalimat seperti apa itu, aku pun tidak mengerti kalimat ambigu yang baru saja aku ucapkan.

“Sudah selesai, kapan? Kapan waktu sudah selesai itu? Sudah selesai untuk apa? Atau aku masih orang asing bagimu ya, Kana?” Bang Nanda menyerbuku dengan banyak pertanyaan.

Hanya satu jawaban jujur untuk semua pertanyaan itu, aku hanya tidak mau membuat Bang Nanda kerepotan. Namun, ketidaksengajaan malam ini membuatku harus mengatakan lebih cepat tentang penyakitku kepadanya. Bang Nanda tipe pria perhatian yang bisa membuat nyaman orang-orang di sekitarnya. Bahkan bagi aku yang baru berkenalan beberapa tahun dengannya.

“Apa kamu pindah ke Semarang juga untuk berobat?” tanyanya lagi.

Aku menganggung, mencoba memberanikan diri kembali menatap matanya saat kami bicara.

“Kana … aku … aku enggak mau Bang Nanda memandangku dengan tatapan khawatir juga. Beberapa bulan terakhir, setiap aku menceritakan penyakitku, semua orang memberikan reaksi yang sama, mereka jadi memperlakukanku berlebihan,” terangku padanya, mencoba mengatakan apa yang harus aku katakan pada Bang Nanda.

“Lalu kamu mau aku bereaksi seperti apa, Kana?”

“Aku juga tidak tau, aku juga ….” Ucapanku tersendat, sakit di kepalaku makin menjadi.

Sakitnya sudah menjalar ke leher, membuatku harus memejamkan mata untuk menangani kesakitanku.

“Kana, aku antar pulang dulu, ya,” pinta Bang Nanda.

Saat membuka mata, aku lihat Bang Nanda sudah berjongkok di sampingku, dia menatapku dalam, membuatku menuruti permintaannya. Dalam mobil aku lebih sering memejamkan mataku, mencoba mengurangi rasa sakit sampai aku bisa mengusirnya dengan obat yang lupa kubawa saat pergi malam ini.

“Aku antar sampai atas, ya,” ucap Bang Nanda.

Aku membuka mata, menyadari kalau kami sudah di area parkir apartemen.

“Tidak ada tolak menolak, Kana. Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Bang Nanda lagi.

Bang Nanda lalu mematikan mesin mobilnya, segera turun dan membukakan pintu mobil untukku. Inilah yang aku khawatirkan dari perlakuan Bang Nanda kepadaku kalau tahu lebih awal tentang penyakitku. Namun, mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mengulang waktu untuk menarik ucapan yang tidak sengaja Bang Nanda dengar.

“Ini bukan memperlakukan kamu berlebihan kok, Kana,” canda Bang Nanda dengan senyum jenakanya.

Aku hanya bisa meliriknya sekilas, kemudian mengikuti arahannya untuk segera beristirahat.

“Istirahat dulu, ya. Tenang aja, aku enggak akan memperlakukanmu berlebihan, enggak se-ekstrim tiap jam harus tau kabar kamu,” candanya lagi setelah kami sampai di depan pintu apartemenku dan dia pamit untuk pulang.

Ucapannya hanya bertahan beberapa jam, keesokan harinya Bang Nanda sudah menanyakan kabarku dan meminta jadwal kapan aku melakukan pengobatan. Dia bersikeras ingin menemaniku saat pergi ke rumah sakit. 

Aku tidak bisa menolak permintaanya, maka seminggu kemudian saat aku harus berkonsultasi dengan Dokter Acha, aku harus bisa sabar menerima perlakuannya yang menurutku sedikit berlebihan.

“Bagaimana dengan sakit kepalanya, Kana?” tanya Dokter Acha pada sesi konsultasi hari ini.

“Makin sering, Dok,” sahutku.

“Kapan rencananya kamu akan mulai jalan-jalan? Berapa lama? Biar nanti saya bisa perkirakan obatnya dan akan segera saya buatkan surat keterangan dokternya.”

“Bulan depan, Dok. Enggak lebih dari dua minggu.”

“Mau jalan-jalan ke mana?” tanya Bang Nanda tiba-tiba, memotong sesi tanya jawabku dengan Dokter Acha.

“Bukannya kamu harus melakukan perawatan, kenapa malah jalan-jalan?” tanya Bang Nanda lagi.

“Sepertinya kamu belum cerita rencana jalan-jalanmu dengan pacarmu ya, Kana?”

“Dia bukan pacarku, Dok,” sanggahku.

“Dia adik ketemu gede, Dok. Enggak mungkin jadi pacar,” sanggah Bang Nanda juga.

“Kalian enggak sedang di zona abang-adek, kan?” tanya Dokter Acha seraya memicingkan matanya, menatapku dan Bang Nanda bergantian.

Bang Nanda dan aku hanya bisa tertawa dengan pertanyaan konyol Dokter Acha. Ya mungkin karena sikap Bang Nanda yang terlalu berlebihan tadi bisa membuat orang yang melihat kami jadi salah paham.

“Eh tapi, kamu ngapain jalan-jalan, Kana. Udah … berobat aja dulu baru jalan-jalan,” usul Bang Nanda setelah bisa menghilangkan tawanya.

“Tuh, Kana … diminta berobat dulu sama abang ketemu gedenya.” Dokter Acha masih ingin bercanda rupanya.

“Tetap enggak bisa, Dok. Aku sudah buat rencananya,” tolakku.

“Kok enggak bisa, kamu harus berobat dulu, Kana,” desak Bang Nanda yang sekarang sudah memegang lenganku, mencoba menghadirkan wajah memohon yang sangat susah kutolak itu.

“Tenang aja, selama Kana jalan-jalannya enggak ke hutan atau tempat sepi, melakukan perjalanan bisa jadi terapi personal yang menunjang pengobatan Kana selanjutnya,” sela Dokter Acha, mencoba menengahi perdebatan kecil dadakanku dengan Bang Nanda.

“Bisa begitu ya, Dok?” tanya Bang Nanda.

Dokter Acha mengangguk, “Atau kamu nemanin Kana jalan-jalan aja, biar enggak khawatir terus saat jauh darinya.”

Mulai lagi, Dokter Acha bisa juga kalau bercanda. Namun, bercandanya enggak main-main, membuatku segera menggelengkan kepala ke arahnya, memberikan kode kalau aku hanya ingin jalan-jalan sendiri.

“Tapi sepertinya adek ketemu gedemu enggak mau deh,” ucap Dokter Acha seraya mengarahkan pandangan Bang Nanda kepadaku.

“Enggak ada paksa memaksa, ya. Kana pokoknya mau jalan sendiri,” tolakku langsung saat Bang Nanda memandangku.

Bang Nanda masih memelas, dan aku masih tetap pada pendirianku. 

“Kenapa harus jalan sendirian sih, Kana? Kenapa enggak jalan selesai berobat dulu? Siapa yang nanti nolong kalau terjadi apa-apa ke kamu?” ucap Bang Nanda setelah menghela napas.

“Kana masih takut saat membayangkan kalau nanti melakukan pengobatan dan harus dioperasi. Aku takut membayangkan Kana yang mulai melupakan semua kenangannya.” Aku berusaha mengutarakan alasan penundaan pengobatan yang aku pilih.

“Meskipun kamu berpeluang untuk melupakan semuanya, orang-orang di sekitarmu akan terus membuat kenangan indah kalau kamu memiliki semangat untuk sembuh, Kana,” ucap Dokter Acha, yang disambut anggukkan dari Bang Nanda.

“Kana tetap ingin jalan-jalan, Dok. Oleh karena itulah Kana perlu bantuan Dokter Acha untuk memberikan surat keterangan Dokter agar bisa melakukan perjalanan. Kana janji enggak akan kelelahan dan tahu diri kapan harus beristirahat,” mohonku lagi.

Dokter Acha akhirnya mengangguk, menyetujui permintaanku. Aku masih menangkap wajah kurang setuju dari Bang Nanda atas keputusanku. Namun, dia tidak bisa mendiamkanku lama-lama, dan aku juga tidak bisa berlama-lama dalam situasi canggung tanpa adanya candaan dari Bang Nanda.

“Pokoknya nanti harus lapor tiap hari,” perintah Bang Nanda saat mobil yang ia bawa sudah memasuki tempat parkir rumah makan di daerah Kampung Kali.

“Jangan kayak Bang Ridwan, please. Kapan Kana bisa menikmati waktu jalan-jalannya kalau harus laporan ke banyak orang tiap hari,” keluhku.

“Baiklah … baiklah, secukupnya juga enggak pa-pa, deh. Daripada kamu enggak kasih kabar sama sekali,” kekeh Bang Nanda.

“Nah, gitu dong.”

Belum apa-apa aku sudah harus bikin daftar laporan perjalanan. Apa aku perlu membuat pesan otomatis? Kalau semua orang minta dikasih kabar saat aku melakukan perjalanan nanti, kapan aku bisa menikmati solo travelling-ku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status