Share

9. Leo

Jam makan siang, Hardy sengaja mencari Gloria dan duduk di sampingnya. Teman-teman yang duduk semeja dengannya satu per satu pergi, seolah-olah sengaja meninggalkan mereka berdua. Hardy tak peduli, dia hanya ingin mengatakan satu hal pada Gloria, “Malem minggu nanti, batalin acara peresmian pertunangan.”

“Kenapa?”

“Gua ngga mau nikah sama lu.”

Gloria mendengkus. “Kena pelet, lu?”

Hardy menuang kuah sup ke nasinya sambil berkata, “Lu yang kena pelet, mau aja disuruh kawin sama gua.”

Gloria membalas dengan tawa sinis. “Bilang aja, lu mau maen-maen sama cewek itu, kan?”

“Cewek mana?”

Toge.”

Hardy terbahak. “Napa? Insecure punya lu kecil?”

“Huh, sorry!” balasnya, menyendokkan sambal ke dalam nasi sup.

“Ini ngga ada hubungannya sama dia. Gua ngga setuju sama perjodohan ini. Ngga ada ceritanya nikah jadi jalan buat ngembangin perusahaan. Kita bukan aset, Glo.”

Gloria tak menjawab. Tangannya mengambil kerupuk udang di nampan Hardy. “Sekarang ngga usah mikirin soal perusahaan. Pertanyaannya, lu mau ngga sama gua?”

“Ngga," jawabnya mantap, "lu udah kaya adek gua. Ngga mungkin kawin sama adek sendiri. Emang lu mau?”

Kerupuk itu terasa tajam sekali di kerongkongan Gloria, hingga ia perlu minum air agar perihnya tak berasa. Dihelanya napas lalu disuapnya lagi nasi beserta sup ceker. “Tapi gua bukan adek lu,” jawabnya lirih sebelum sendok masuk ke mulut.

“Hmm, tapi buat gua, lu adek gua,” jawab Hardy sambil mengacak rambut Gloria. “Oke, Dek? Batalin acara satu itu,” katanya, kemudian mengambil jeruk dan susu kotak, lalu berjalan menuju meja tempat Leo dan anak-anak karate duduk, termasuk Milka.

Mereka terlihat mulai akrab. Milka sudah bisa tertawa bersama mereka meski tidak begitu lepas. Di lantai, dekat kakinya, duduk si kucing keemasan yang sedang memakan ceker ayam. “Hai,” sapa Hardy santai, dengan sengaja duduk di antara Milka dan Leo. 

Leo menatap kesal karena terpaksa minggir didorong Hardy, tetapi anak botak itu tak peduli. “Nih,” katanya, menyodorkan jeruk dan susu kotak kepada Milka, “bayaran yang waktu itu.”

“Oh, yang di kolam renang, ya? Makasih.”

“Udah selese makannya?” tanya Leo, sedikit membungkukkan badan agar dapat melihat wajah Milka yang terhalang Hardy.

“Ngga liat nasinya masih banyak?” balas Hardy disertai senyum meledek.

Leo menepuk meja. “Kalo udah selese, temui aku di klub. Ada yang mau kubicarakan.”

Anak-anak lain melihat heran pada Leo yang tiba-tiba berdiri dan pergi. “Ngga salah denger gua? Bang Leo ngomong pake aku kamu?” tanya Edi bingung.

Ari hanya mengedikkan bahu, menatap Sissy yang terlihat geram memandang punggung Leo hingga menghilang di balik pintu kantin.

***

Milka menyelesaikan makan siangnya, kemudian bersama Hardy dan anak-anak karate, menuju ruang klub. Ruangan kecil itu dipenuhi suara pukulan dan tendangan pada samsak ketika mereka tiba di sana. Leo menghentikan ayunan samsak begitu melihat Milka datang. Keringat bercucuran di keningnya. Baju seragam putihnya pun tampak seperti baru saja dicelupkan ke air. 

Leo menyeka keringat dengan wristband dan mengambil botol di atas dispenser. “Latihan, Bang?” tanya Edi agak heran. Mereka memang akan mengikuti turnamen karate tingkat kota, tetapi tak ada yang mengira, Leo akan berlatih sekeras itu hingga menyita waktu istirahatnya.

Pertanyaan Edi seolah-olah hanya angin lewat yang hilang melalui jendela. Tatapan Leo fokus pada Milka seorang. Setelah menenggak air dari botol, dengan tenang, ia berjalan ke arah Milka dan berkata, “Keramean di sini, ayo, ngobrol di luar.”

Suaranya yang datar terasa memberi tekanan lebih di atmosfer ruangan. Bahkan Hardy tak dapat berkata-kata. Dia tak punya alasan untuk mencegah Leo memandu jalan Milka ke luar ruangan.

Tanpa disangka, Milka yang biasanya tak mau mendengarkan perintah, dengan enteng mengikuti Leo. Hardy hanya bisa memandang punggung mereka dengan tangan terkepal.

***

“Kucingnya bener-bener ngikutin kamu,” kata Leo, membuka pembicaraan ketika mereka telah berada di luar ruangan.

Milka tersenyum, melirik kucing berbulu keemasan yang berjalan dengan sedikit berlari mengikuti langkahnya. 

“Mungkin kamu harus kasih dia nama,” kata Leo lagi, berjongkok, mengulurkan tangan ke depan mulut si kucing.

Di depan Leo, Milka juga ikut berjongkok, membelai kepala si kucing. “Siapa, ya, namanya?”

Leo tersenyum. “Terserah. Dia ngikutin kamu, kamu yang harusnya ngasih nama,” katanya, membelai lembut leher si kucing.

Kucing itu begitu menikmati belaian tangan mereka berdua hingga merebahkan diri di lantai. Milka tertawa geli melihat kelakuan manja si kucing. “Tapi aku ngga mau diikutin, aku juga ngga mau melihara dia. Harusnya yang mau melihara dia yang ngasih nama.”

Mata kucing itu terpejam, sepertinya ia telah tertidur. Leo menarik tangannya dan menatap Milka. “Mungkin dia sayang sama kamu, makanya ngikutin kamu. Apa salahnya ngebales rasa sayangnya dengan ngasih nama?”

Milka membalas tatapan Leo, tetapi hanya sejenak. Sedetik kemudian dia menunduk sambil mengalihkan perhatian pada kucing. “Goldy? Cocok buat bulunya yang kaya emas.”

“Nama yang bagus,” komentar Leo, mengajak Milka berdiri.

Gadis itu berdiri dan berjalan sedikit di belakang Leo. “Kenapa ngga jalan di sampingku?” tanya Leo.

Milka terkejut mendapat pertanyaan begitu, lalu sambil sedikit menunduk, mengambil posisi di samping Leo. “Aku mau minta maaf,” kata Leo, berhenti dan memutar tubuhnya sedikit hingga mereka berhadapan, “aku minta maaf udah ngegodain kamu waktu itu.”

Milka ternganga. Belum pernah sebelumnya ada laki-laki yang mengambil waktu khusus untuk meminta maaf karena sudah mengolok-oloknya. Ternyata apa yang dilakukan Hardy benar-benar mengubah segalanya, membuat Milka makin yakin untuk berhenti diam dan mulai melawan. Tekadnya makin kuat untuk belajar karate.

“Apa kamu mau maafin aku?” tanya Leo lembut.

Milka membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering. “Ya, tolong jangan diulangi lagi.”

Leo tersenyum lega. “Pasti. Ngga sama kamu, atau sama cewek mana pun.”

Milka membalas dengan senyum lebar. Ternyata melawan memang sangat berguna.

***

Pulang sekolah, Milka mengikuti pertemuan klub OSN. Dia dan Hamdan dibimbing oleh Pak Lukito memahami konsep-konsep biologi yang tersirat dalam paragraf-paragraf soal latihan. Satu soal, yang hanya berisi satu grafik ternyata butuh waktu hampir satu jam untuk menelaah satu per satu pilihan jawabannya. Milka merasa rambut dan otaknya keriting seketika. Lagi-lagi, dia merasa sangat bodoh.

“Ngga apa-apa,” kata Pak Lukito, menenangkan Milka, “ini baru pertama kali, kan? Banyak-banyak aja dipelajari konsep-konsep biologinya.”

Milka tak membantah, kepalanya hanya manggut-manggut. Dalam hati, kecemasan muncul juga, bagaimana kalau dia tak berhasil meraih medali emas? Apakah yang akan terjadi?

Gadis itu cepat-cepat menepis segala pikiran buruk. Semua sudah tercantum dalam kontrak. Jika ia tak berhasil meraih medali emas, maka seluruh beasiswa akan dicabut. Itu sama saja dengan tidak bisa sekolah lagi. Melihat SMA Kusuma Bangsa yang memiliki fasilitas begitu luar biasa, jelas tak mungkin Milka dapat melanjutkan sekolah di situ lagi.  

“Belajar bareng Hamdan, tuh. Dia udah biasa ikut olimpiade sejak SD,” lanjut Pak Lukito lagi, membuat Milka ternganga. Pantas dia terlihat begitu tenang dan begitu menguasai konsep-konsep dasar biologi saat mereka berdiskusi kemarin. 

Hamdan menoleh pada Milka dan berkata tanpa suara, “Lebay.”

Milka membalas dengan senyuman. Lebay atau tidak, dia memang perlu teman untuk belajar.  

Begitu kelas OSN selesai, Milka merasa kepalanya berat dan matanya perih. Tadinya dia mengira, ikut olimpiade sama saja dengan ikut lomba bidang studi lain, ternyata latihannya bisa seberat itu. Entah bagaimana dia bertahan dan lolos seleksi bertingkat mulai dari tingkat kota hingga propinsi agar bisa masuk ke tingkat nasional.

Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk sampai ke tahap itu, tak hanya buku-buku, tetapi juga waktu, dan uang tentunya. Milka berhenti untuk menghela napas. Untuk persiapan terakhir itu, dia hampir putus asa. 

Eongan halus disertai gesekan bulu lembut mengalihkan perhatiannya. Goldy menggosok-gosokkan kupingnya ke kaki Milka. Sambil tersenyum, gadis itu berjongkok dan membelai leher si kucing keemasan. “Kamu tunggu di sini, ya. Aku mau ke pasar dulu. Ada yang mau kubeli,” 

“Sekarang bisa ngomong sama kucing?” Suara Hardy kontan membuat Milka mendongak dan berdiri.

“Ngga,” jawab Milka, menepuk-nepuk kedua tangannya.

“Aku anter?”

“Anter?”

“Aku anter pulang, ayo.”

:”Ngga usah. Aku mau ke pasar,” balas Milka, mengambil ponsel dari kantungnya, berniat memesan ojol.

“Ke pasar? Jam segini emang masih buka?”

Milka melihat jam digital di layar ponselnya lalu mengembus napas. Sudah pukul lima sore, pasar mungkin sudah tutup.

“Mau beli apa, emang?”

“Aku ngga perlu ngasih tahu kamu, kan?” jawab Milka ketus.

Hardy tertawa geli. “Biar aku bisa nganterin kamu ke tempat lain buat beli barang yang sama.”

Milka menatap Hardy. Argumennya tidak salah, anak itu mungkin bisa memberi rekomendasi toko lain yang menjual barang serupa. “Sports bra,” jawabnya nyaris tak terdengar.

“Ha? Apa?”

Sports bra,” jawab Milka mengeraskan suaranya sedikit. Beberapa anak yang juga sedang mengambil motor di area parkir menoleh dan melontarkan senyum aneh. Dalam hati Milka mengumpat, pipinya pun merona merah tak tertahankan.

Hardy tertawa lagi. “Oke, kita bisa ke mall. Di sana pasti ada yang jual.”

Mata Milka membulat. “Mall?” Dia tahu apa yang disebut mall, tetapi tiap kali melihat gedung megah itu, hatinya selalu gentar. Rasanya terlalu mewah.  “Barang di sana pasti mahal-mahal,” ujarnya lirih.

“Ngga, kok, biasa aja,” jawab Hardy santai dan menyerahkan helm kepada Milka.

Milka mengembus napas. Berlari bukan perkara mudah baginya. Gravitasi seperti menarik-narik dadanya, dan itu sangat tidak nyaman. Dia butuh sports bra sekarang atau tidak akan pernah bisa berlari dengan baik. Belajar karate mungkin juga bakal lebih susah jika ia tak menggunakan penyangga dada yang tepat.

“Bengong?”

Sekali lagi, Milka mengembus napas. Ditatapnya Goldy yang menatap balik dengan pandangan memelas. “Tunggu, di sini, ya. Besok kita ketemu lagi,” katanya, lalu dengan enggan, dinaikinya motor Hardy. Lengkap sudah, tiga hari berturut-turut ia pulang bersama si anak botak. Setidaknya, sore itu ia mengenakan celana olahraga, pahanya bisa terlindungi.

Di sudut lain area parkir, Leo menatap mereka tajam.

***

Leo tiba di rumah ketika matahari hampir terbenam. Ibunya yang membuka pintu, melambaikan kunci mobil sambil berkata, “Hai, sorry, Ibu buru-buru. Di meja masih ada spicy wings, nanti kamu masak nasi sendiri, ya.”

Tanpa menunggu balasan, Ibu masuk mobil dan menyalakan mesin. Leo melambaikan tangan tanpa ekspresi. Sudah biasa seperti itu, dia harus mengerti. Semua yang dilakukan Ibu adalah untuk mereka berdua.

Leo membuka pintu rumah dan menghela napas. Rumah mereka terasa terlalu besar dan kosong, hanya cocok sebagai pencitraan bagi seorang top seller jaringan MLM. Dilepasnya sepatu di depan pintu, seperti biasa, diempaskannya tubuh ke sofa dan diraihnya remote control untuk menyalakan televisi lima puluh inci yang tertempel di dinding. 

Dengan sembarangan, dilepasnya kaus kaki dan dilemparnya sesuka hati. Tak perlu terlalu teratur di rumah, kalau tak mau Bi Onah minta berhenti bekerja karena tidak ada pekerjaan. Ibu pasti akan pulang malam sekali, mungkin ketika Leo sudah lelap tertidur, dia tak peduli.

Acara televisi tidak ada yang menarik. Diraihnya ponsel, dibukanya aplikasi chat. Dikirimnya satu pesan pada Milka, “Kenapa tadi ngga dateng?”

Ditatapnya layar ponsel beberapa saat. Pesan yang dikirimkannya masih belum dibaca. Diputar-putarnya ponsel dengan dua jari. Otaknya menjalin cerita, menebak-nebak ke mana gadis itu pergi bersama Hardy. Kalau jam segitu, dia belum bisa membuka ponsel dan membaca chat, kemungkinan mereka masih di jalan. Perjalanan selama itu, tak mungkin untuk ke rumah Milka, memang sejauh apa rumahnya?

Dilihatnya lagi layar ponsel. Belum ada notifikasi masuk. Pesannya pun belum ditandai sebagai sudah dibaca.

Leo mendengkus. Dengan kesal dilemparkannya ponsel ke sofa, lalu berlalu ke kamar untuk mandi. 

Di wastafel, pandangannya tertuju pada perban yang menutupi luka di kening. Ingatannya kembali melayang pada telaga jernih di mata Milka. Leo merasa seperti orang gila. 

Dibukanya perban dengan kasar dan dibersihkannya bagian yang tersayat. Rasanya sedikit perih. “Tahan dikit,” terngiang lagi suara Milka, mengalun lembut di telinganya.

Gerakan tangan Leo terhenti. Dipejamkannya mata. Apakah normal selalu teringat gadis itu? Seolah-olah, dia selalu mengikuti langkahnya ke mana pun pergi. Bahkan kemarin malam, Milka juga masuk ke dalam mimpinya. 

Diembuskannya napas keras. Persetan! Dibubuhkannya salep dan ditutupnya kembali dengan perban. 

Setelah mengeringkan rambut dan berpakaian, dia beralih ke meja makan untuk menghabiskan sayap pedas yang tadi disebutkan Ibu. Di bawah tudung saji, dia menemukan satu kotak berisi sepuluh sayap ayam berbumbu. 

Ibu pasti memesannya dari restoran lagi. Sudah biasa begitu. Ibunya terlalu sibuk untuk memasak. Memenuhi pundi-pundi uang adalah prioritas utama sejak kematian ayahnya sepuluh tahun lalu. Leo sudah terbiasa sendirian di rumah dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ibu harus bertemu prospek, meeting dengan director, meeting dengan manager, lalu entah meeting apa lagi.

Tidak ada yang gratis di dunia ini. Segala kemudahan dan kemewahan yang Leo rasakan adalah buah dari kerja keras Ibu. Juga buah dari pengorbanannya mengurus diri sendiri bertahun-tahun.

Dia layak mendapatkan semua ini, demi apa pun. Dia sudah berkorban banyak sekali. Hampir tak pernah bicara dengan Ibu, adalah pengorbanan terbesar baginya. Biar saja! Toh, tiap kali dapat bonus jalan-jalan ke luar negeri atau ke mana pun, dia adalah orang pertama yang diajak Ibu.

Sekarang, setelah Ibu menjadi salah satu dari sepuluh beauty consultant teratas di Indonesia, dia pun harus memberikan pengorbanan yang lain lagi. Terlihat bahagia, kapan pun harus tampil di media. Huh! Benar-benar pencitraan yang luar biasa.

Denting dari ponsel bergema di antero ruangan. Cepat-cepat ia beranjak ke sofa, mengambil ponselnya yang berpendar. Sebuah notifikasi chat dari Milka. Setelah menjilat dan melap  ujung-ujung jari ke baju, diusapnya layar dengan penuh semangat. “Maaf, Bang, tadi ada kelas di klub OSN.”

Leo duduk di sofa dan membalas, “Kita lagi ada tanding buat milih ketua klub yang baru. Kamu harus hadir ngasih dukungan. Kamu anak karate, kan?”

“Maaf, Bang. Besok aku hadir kalo ngga ada kelas.”

“Inget itu! Kalo mau jadi masuk klub, kamu harus ikut semua kegiatannya. Itu namanya tanggung jawab.”

“Iya, Bang.” Milka sama sekali tidak membantah, membuat Leo kehabisan kata-kata untuk membuatnya tetap fokus pada chat. Dia masih berpikir, gadis itu pastilah sedang bersama Hardy.

Leo mungkin tidak berada di antara mereka, tetapi dia bisa menguasai fokus Milka melalui chat. “Jangan lupa besok pagi. Jangan sampe telat lagi.”

“Iya, Bang.” Lalu status Milka langsung berubah dari online menjadi last seen 18:38.

Leo membanting diri dengan malas ke sofa. Sendiri lagi, waktunya jalan-jalan ke PlayerUnknown's Battlegrounds!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status