Share

7. After War

Matahari makin redup saat mereka tiba di hutan kota. Tempat itu begitu sepi, kuping Milka seperti berdenging dipenuhi suara jangkrik. Pohon-pohon rimbun yang menaungi hutan membuat suasana menjadi temaram dan sedikit menakutkan.

Pelan-pelan, Milka melangkahkan kaki di atas guguran dedaunan kering. Beberapa ekor nyamuk terbang di sekitar telinganya, menambah parah suara denging yang sudah dibuat jangkrik. Sekolah mereka memang tidak berada di tengah kota, tetapi tingkat polusinya tak beda jauh dengan kota. Namun, di hutan itu, jejak-jejak polusi tersebut seolah-olah memudar. 

Udara terasa lebih segar sekaligus lebih lembap. Hamdan berkali-kali menepuk tangan dan pipi sendiri dengan kesal. “Golongan darahmu AB?” tanyanya sambil tak berhenti menepuk-nepuk dan menghalau nyamuk.

“Ngga tahu, kenapa emang?”

“Nyamuk-nyamuk ngga suka goldar AB.”

“Oya? Goldarmu apa? Kayanya nyamuk-nyamuk cinta mati sama kamu?”

“A,” balas Hamdan di tepi kesabarannya. Dalam hati ia merutuk diri sendiri, kenapa mau saja mengikuti Milka. Ibunya pasti menunggu di rumah dengan was-was. Dia harus menjaga adik-adik dan membantu beliau menyiapkan makan malam serta, yang paling penting, memberinya waktu istirahat setelah seharian mengurus rumah dan anak-anak tanpa asisten. Namun, yang terjadi, dia malah mengikuti anak baru itu masuk hutan demi menemui Lionhead

Hamdan heran, mengapa dia harus khawatir jika Milka masuk hutan sendirian. Berbagai pikiran buruk berkeliaran di benaknya. Mungkin saja Lionhead memanggil gadis itu untuk mengompensasi kekalahan mereka dari anak-anak Sabang. Mungkin saja, mereka menganggap bahwa Milka, sebagai salah satu anggota mereka, juga harus merasakan pedihnya kekalahan.

Harusnya, dia tak perlu khawatir. Lionhead tak akan berani menyentuh pacar Hardy. Biarpun ketua gengnya adalah Leo, tetapi siapa pun tahu, bahwa Hardy sebenarnya lebih berkuasa. Mereka seperti dua matahari di Kusuma Bangsa. Katanya, dulu hanya ada Leo, lalu Hardy datang dan berhasil mengalahkan si ketua geng itu. Namun, dia menolak untuk memimpin Lionhead, akibatnya anak itu pun menjadi matahari besar yang sinarnya menenggelamkan matahari kecil, Leo.

Langkah Hamdan terhenti begitu melihat gerombolan anak-anak Lionhead duduk tak beraturan dengan muka tak keruan. Baju mereka terlihat kotor, warnanya bercampur antara tanah, debu, dan darah. Milka meneguk ludah, ikut berhenti tepat di belakang pundak Hamdan. Hatinya gentar melihat situasi yang tampak seperti area penampungan korban perang. Tidak salah juga, mereka memang korban perang. 

“Heh! Sini, lu! Bantuin ngobatin luka!” Sissy menyeru Milka yang mematung bingung.

Milka mengangguk, dan melangkah mendekati Sissy. Diedarkannya pandang ke sekeliling, anak-anak lelaki saling merawat luka dengan obat-obatan yang tadi disiapkan Sissy. Leo mendekatinya, mengambil gulungan perban, dan memandangnya sinis. “Ngapa, lu, bengong?”

Suara dalam Leo membuat Milka makin gemetar. “B-bang ….”

“Apa?” balasnya tajam.

“Jidatnya ….” Milka menjawab takut-takut, menunjuk luka yang masih melelehkan darah di kening Leo. “Sini aku obatin ….”

Leo menepis tangan Milka. “Urusin yang lain dulu!”

Milka kembali melihat ke sekeliling. Semua sepertinya sudah tertangani. Hamdan juga sudah sibuk membersihkan luka seorang anak lelaki. 

Milka mengambil kapas dan alkohol yang tersisa dari ransel Sissy. Dikejarnya Leo dan ditahannya lengan anak lelaki itu. “Yang lain udah pada dirawat lukanya. Tinggal luka di jidat Abang itu yang belum. Abang ngga bisa ngebersihinnya sendiri, kan?” Milka berkata dengan menahan gemetar.

Leo terdiam. Suara Milka terdengar sangat tulus, membuatnya hanya bisa menurut ketika gadis itu menyuruh duduk. Dengan hati-hati, diusapnya kening Leo menggunakan kapas yang sudah dibubuhi alkohol.

Leo berjengit sedikit menahan perih ketika kapas menyentuh lukanya. “Tahan dikit,” bisik Milka lembut.

Anak lelaki itu kembali membuka mata, menatap mata Milka yang terlihat seperti telaga di latar hijau dedaunan. Telaga itu terlihat begitu segar dan dalam, membuatnya ingin merengkuh dan menyelaminya hingga ke dasar. Mendadak, ia merasa sangat haus, dan ingin meminum air telaga itu sampai mampus.

“Okay, selesai,” ujar Milka diiringi senyum mengembang sambil mengagumi perban yang sudah rapi menutupi garis luka di kening Leo.     

Leo mendeham, sadar bahwa telaga itu hanya ada dalam khayalannya. “Aku haus,” katanya pelan sekali.

Milka terkejut mendengar suara Leo barusan. Apakah dia tidak salah dengar? Leo terdengar begitu lembut, seperti permen kapas merah muda yang meleleh di mulut.

“Oh, ini,” kata Milka, mengambil botol minum yang tersampir di bagian samping ranselnya.

“Aku juga haus!” Hardy menyambar botol itu sebelum sempat terambil oleh Leo. 

Leo menyeringai sinis, melihat Hardy menenggak isi botol hingga tandas.

Milka hanya ternganga, memandang Hardy yang seperti muncul dari dalam tanah lalu merebut botol semena-mena. Diperhatikannya anak lelaki itu dengan saksama. Pakaiannya memang berantakan dan terlihat kotor berbaur dengan tanah. Namun, tidak ada tanda-tanda luka sedikit pun. Seolah-olah dia tak pernah berada di arena tawuran sama sekali.

“Makasih,” kata Hardy, menyerahkan botol minum kembali pada Milka.

Milka tak enak hati menatap Leo. “Eh, Hamdan kayanya bawa minum juga, deh.”

“Ngga usah! Gua ….” Kalimat Leo terhenti karena satu botol minum muncul di hadapannya. 

“Nih, punya gua masih ada,” kata Sissy menyodorkan botol miliknya.

Leo mengamati Sissy sejenak lalu mengambil botol yang disodorkan dan menenggak isinya sampai habis. “Udah beres semua?” tanyanya kepada Sissy, menyerahkan botol dan kembali duduk di tanah berlapis guguran dedaunan.

“Udah, tinggal dikit lagi. Gimana?” Sissy balik bertanya.

“Mereka pada ketangkep. Kita banyak yang luka. Kayanya kalo mau nyerang balik, ngga bakal cepet-cepet,” balas Leo.

“Ngomong-ngomong, kenapa kalian berantem sebenernya?” tanya Milka yang, setelah mendengar suara lembut Leo, sudah tidak terlalu takut lagi berhadapan dengannya.

Leo melirik Hardy. “Mereka nyerang, kita mempertahankan diri,” jawab Hardy diplomatis.

Leo mendengkus, mengelus dagunya dengan telunjuk. “Gara-gara lu bentrok sama mereka kemaren,” imbuhnya tajam.

“Kenapa kamu bentrok sama mereka?” tanya Milka polos.

Hardy mematahkan ranting yang sedang dimainkannya dengan jari. Seorang berjaket kulit hitam di sampingnya memalingkan muka, memungut ranting kecil dari tanah dan memainkannya di antara jari-jari. Seorang lagi meregangkan tangan pergi sambil mengeluarkan bungkus rokok dari kantongnya.

“Kenapa?” Milka mendesak.

“Apa semua harus ada alasannya? Aku cuma lagi pengen olahraga,” balas Hardy malas.

“Olahraga?” Suara Milka meninggi. “Kaya gini kamu bilang olahraga?”

Leo memandang Milka, menyembunyikan tawa kecilnya. Ujung bibir Sissy terangkat sedikit, matanya menatap Milka sejenak lalu memalingkan muka.

“Udahlah, kalo udah gini, alesan jadi ngga penting ….”

 “Trus apa yang penting buatmu?” potong Milka cepat, “kamu bentrok sama mereka kemaren, trus hari ini mereka bales dendem. Trus temen-temenmu pada luka. Apa ini yang kamu mau?”

Tangan Hardy mengepal, mulutnya mengatup rapat.

“Apa masalah ini ngga bisa diomongin?” lanjut Milka lagi, “sampe musti pada berantem bawa senjata tajem kaya gitu?” Suaranya makin tinggi, membuat semua orang menoleh.

Leo menatap Hardy tajam. Yang ditatap bergeming menatap guguran dedaunan di bawah kakinya. “Udah malem! Ayo, pulang!” katanya, tiba-tiba berdiri dan pergi.

Milka ternganga. Dia tak habis pikir, permasalahan apa yang layak diselesaikan dengan tawuran.

Hardy berhenti dan menoleh sedikit pada Milka. “Kamu butuh diseret biar pulang?”

Milka mengernyit, tak mengerti maksud ucapan Hardy. “Aku bisa pulang sendiri.”

“Ngga usah ngeyel! Cepetan pulang!”

“Biar aku yang anter nanti,” Leo menengahi.

Hardy menatap Leo tajam. Dengan mengentak, dia berbalik dan menarik tangan Milka cepat.

“Aku bisa pulang sendiri!” sentak Milka tak kalah keras hingga pegangan Hardy yang memang tidak kuat pun terlepas.

Hardy terdiam, otaknya bekerja keras mencari kalimat yang tepat. Berdasarkan pengalaman, ia tahu, Milka tak bisa diperintah, tetapi mudah dibujuk. “Kita ngga tahu, anak-anak Sabang masih berkeliaran di mana. Kalo ketemu kamu, mereka pasti bakal nyerang kamu. Kaya kemaren waktu di pangkalan angkot ngetem, apa kamu udah siap?” bujuknya lembut.

Kata-kata Hardy ada benarnya, Milka belum siap jika harus menghadapi gerombolan seperti kemarin lagi. Dialihkannya pandangan kepada Hamdan, tetapi anak lelaki itu hanya menatap balik dalam diam. 

Milka menghela napas. Ditatapnya langit yang semakin gelap dan cahaya merah yang meluas di ufuk barat. Ada sedikit rasa takut menggelitik hatinya. Bagaimana kalau kejadian kemarin terjadi lagi? Dia tak mau membayangkan, tak mau pula berandai-andai. “Okay,” katanya lemah. Dalam hati, tekadnya untuk belajar bela diri makin kuat. Biarpun masuk klub karate sama saja bergabung dengan Lionhead, ia tak peduli. Yang penting, dia bisa melawan ketika ada yang menyerang.

Sekali lagi, Milka duduk di bangku belakang motor sport yang posisinya didesain lebih tinggi dari tempat duduk pengemudi. Roknya pun terangkat sedikit, memamerkan sebagian pahanya yang putih. Dia malu sekali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak lupa membawa celana olahraga esok hari. Namun, kemudian sadar, besok belum tentu dia akan naik motor yang sama lagi.

“Langsung pulang?” tanya Hardy setelah mereka jalan beberapa meter.

“Ya.”

“Makan dulu, yuk, laper.”

Milka menarik napas. Dia tahu bagaimana rasanya menahan lapar semalaman. Baru saja malam sebelumnya, dia nyaris tak bisa tidur karena kelaparan. Untung masih bisa bangun tepat waktu dan berangkat lebih cepat. 

Dia sendiri sudah menyisihkan pisang dan susu jatah makan siang dari sekolah. Harusnya cukup untuk makan malam karena dia harus berhemat demi mengeluarkan si kucing malang dari klinik. Namun, berkaca dari kejadian malam sebelumnya, makan satu kentang panggang saja ternyata tidak cukup menahan lapar sampai pagi dan itu buruk sekali. 

Hardy berbelok dan berhenti di sebuah rumah makan Padang. “Di sini dijamin ngga ada wine,” katanya setelah membuka dan meletakkan helm di bagian depan motor.

Dua buah motor berhenti di samping kiri dan kanan mereka. Milka mengenali yang berhenti di sebelah kanan. Itu adalah motor yang digunakan Hardy untuk mengantarnya pulang kemarin.

“Kamu perlu digendong turun dari motor?” Pertanyaan Hardy mengejutkannya.

Milka diam, menimbang-nimbang apa yang perlu dilakukan. Tanpa diperkirakannya, Hardy mencengkeram pinggangnya dan mengangkatnya turun dari motor.

“Hei!”

“Kamu berat juga,” kata Hardy tak acuh. Milka membalasnya dengan tatapan kesal.

“Ayo!” Lagi-lagi Hardy menarik tangannya tanpa permisi, membuat Milka makin kesal.

“Sebenernya maumu apa, sih?” sentaknya dengan suara tinggi, “aku, kan, blom bilang kalo aku mau makan.”

“Blom? Sekarang, bilang!” perintahnya.

“Ngga!”

“Oh, lagi diet? Biarpun berat, aku masih sanggup gendong kamu keliling lapangan. Tenang aja,” katanya, kembali menarik tangan Milka.

Milka mengentakkan lagi tangannya hingga pegangan Hardy terlepas. “Aku ngga suka ditarik-tarik kaya gini,” ucapnya dengan nada tinggi.

Fine! Ayo, makan,” balas Hardy, mengangkat kedua tangannya.

Milka mengembus napas kesal. Dari kejauhan suara adzan terdengar sayup-sayup. “Apa mau salat dulu?” tanya Hardy penuh perhatian.

“Lagi ngga,” balas Milka ketus.

“Okay, ayo, makan. Aku laper,” katanya, memandang dua orang lelaki yang masih duduk di atas motor mereka sambil memeluk helm masing-masing. Kedua orang itu kemudian berdiri hampir bersamaan dan memilih menu di counter pemesanan.

Milka masih bergeming di tempatnya. Tak bisa dimungkiri, dia pun lapar, tetapi mengingat kucing malang yang sedang menunggu di klinik, ia jadi ragu. Apalagi, harga menu di rumah makan Padang bisa melebihi anggaran makannya.

“Kamu bener-bener diet?” tanya Hardy, melipat tangan di dada tepat di hadapannya.

“Aku ngga laper,” jawab Milka lemah, tetapi perutnya malah berontak, menyuarakan hal sebaliknya.

Hardy tertawa. “Kamu harus lebih banyak lagi belajar bohong. Aku yang traktir. Ayo,” ajaknya mengulurkan tangan dengan telapak tangan terbuka ke atas.

Milka menghela napas. Dia tak punya pilihan lain yang lebih baik. Kelaparan tengah malam itu menyakitkan. Mengabaikan tangan Hardy yang terulur, Milka berjalan melewatinya, masuk ke rumah makan.

***

Duduk di meja rumah makan, Hardy  memperhatikan Milka yang hanya menunduk sejak masuk ruangan. Dia bahkan tak memesan apa pun, membiarkan Hardy memilihkan apa pun untuknya. Setelah Hardy meletakkan piring berisi nasi rames di hadapannya pun, Milka tetap tak bicara.

Hardy membiarkannya. Di jam makan siang, dia memperhatikan Milka kembali memasukkan jatah susu dan buahnya ke dalam tas. Kemarin, dia berpikir, itu karena Milka adalah orang yang sangat perhitungan. Namun, karena melihat kondisi rumah kos yang ia tempati, Hardy berpikir mungkin perhitungan bukan alasannya. Dia menebak, gadis itu sedang berusaha berhemat.

“Gimana kabar kucingnya?” tanya Hardy, berusaha mencari topik yang aman untuk memecah keheningan.

Milka mendongak. Hardy terkejut melihat matanya yang berkaca-kaca. “Rendangnya ngga enak?” tanyanya pelan.

Gadis itu menggeleng, menghela napas panjang seolah-olah sedang berusaha menarik air yang telanjur mengumpul di pelupuk mata. “Enak,” katanya pelan sekali dengan suara agak serak, “enak banget.”

Kening Hardy mengerut. “Trus? Kamu nangis?”

Milka memaksakan seulas senyum yang terlihat jelek di wajah manisnya. “Aku benci kamu,” jawabnya lirih.

Hardy mengembus napas lega. “Aku tahu.”

Gadis itu tertegun sesaat, matanya jelas memperlihatkan keterkejutan.

“Gara-gara wine itu, kan?”

Milka memalingkan muka.

“Aku kasih tahu, aku ngga gampang mabok. Aku cuma mabok kalo emang lagi pengen dan ngga tahan lagi.” Hanya ketika keinginan untuk mati terasa begitu mendesak dan dia tak sanggup lagi menahannya. 

“Dan kemaren, aku ngga niat buat mabok. Aku mau nganter kamu. Aku ngga akan mabok kalo mau nganter cewek naik motor.” Sebenarnya, kemarin adalah kali pertama dia benar-benar berniat mengantar seorang gadis pulang.   

Milka mendengkus. “Tetep aja, kamu suka mabok.”

Hardy mencuci tangannya di mangkok kobokan lalu mengeringkannya dengan lap tangan handuk yang tersedia di meja. “Kalo aku janji ngga akan mabok lagi, apa kamu mau berhenti benci sama aku?”

Milka melontar senyum sinis. “Emangnya kamu butuh aku ngga benci sama kamu?”

Hardy tertegun. “Pertanyaan bagus,” katanya nyaris tak terdengar. Untuk beberapa saat ia tak menjawab, hanya memandang Milka yang kembali menunduk dan fokus pada nasi rendang di piringnya. Hingga selesai mengantar Milka pulang dan kembali ke rumah, Hardy masih tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status