Share

6. Perang

Begitu bel istirahat pertama berbunyi, Milka segera keluar kelas, mencari klub karate untuk mendaftar sebagai anggota. Dia sudah memutuskan buat belajar bela diri. Untuk melawan, yang diperlukan bukan hanya keberanian, tetapi juga ilmu bela diri agar dapat menangani serangan fisik dengan mudah. 

Setelah bertanya-tanya, akhirnya ia sampai di sebuah ruangan berdinding cermin dengan matras menutupi hampir seluruh bagian lantai. Beberapa orang tampak duduk membentuk lingkaran dengan Leo sebagai fokus perhatian. Milka menelan ludah demi melihat orang yang hari sebelumnya telah berlaku sangat kasar kepadanya. “Ehm, per-misi,” sapanya agak takut.

Semua orang menoleh dengan tatapan penuh tanya. Milka mendeham, membersihkan kerongkongan yang tiba-tiba terasa sangat penuh. “Saya mau belajar karate, a-apa masih buka pendaftaran?”

Empat orang di sana memandang kepada Leo, mempersilakan menjawab. Leo menyeringai. “Mau jadi anggota?” tanyanya dengan nada menggoda, seketika Milka menciut dan merasa bahwa ia telah salah langkah.

Sekali lagi Milka mendeham, menarik napas, berusaha menenangkan detak jantung. “Ehm, ya.”

Leo menoleh pada anak perempuan di hadapannya. “Kasih link-nya.”

Gadis berambut kuncir kuda itu mengambil ponsel dari kantongnya lalu berdiri. “Ini,” katanya, menunjukkan barcode yang harus dipindai Milka.

Milka mengangguk dan mengambil ponselnya untuk memindai barcode. Kemudian duduk agak jauh dari mereka untuk mulai mengisi form pendaftaran. Ada lima anak yang sedang berbincang serius. Satu orang yang sedang berbicara adalah Leo, dua orang lagi adalah Edi dan Ari yang kemarin juga dapat hukuman membersihkan kolam renang. Dua orang lagi, murid perempuan yang tidak Milka kenal.

Mereka sedang membicarakan tentang pemilihan ketua klub yang baru dan rencana mengikuti turnamen. “Ini turnamen pertama kita, waktunya unjuk gigi. Ngga boleh disia-siain. Siapa yang mau jadi ketua tim?” tanya Leo, “ketua tim nanti juga jadi ketua klub gantiin gua.”

“Tanding aja, Bang, buat nentuin ketua klub,” usul Edi.

“Boleh, lu yang atur,” jawab Leo singkat.

Milka sudah menekan tombol submit dan memberitahukannya pada anak perempuan yang tadi memberi barcode. Leo memandangnya tajam, lalu berkata, “Sini, lu!”

Milka mengerut. Segala hal tentang Leo, entah mengapa, membuatnya takut. Tatapannya, suaranya, gerak-geriknya, bagi Milka seperti malaikat pencabut nyawa yang siap beraksi kapan pun. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju tempat mereka duduk.

“Hai, gua sekretaris klub, Vania,” kata anak perempuan yang tadi memberikan barcode, “panggil Nia aja.”

“Gua bendahara klub, Sissy,” anak perempuan berambut cepak di sampingnya memperkenalkan diri dengan nada tajam.

“Gua ketua klub sekarang,” kata Leo, “lu tahu siapa gua.”

Milka kembali menelan liur. Tentu dia tahu siapa Leo, orang yang selalu membuatnya gemetar sejak kemarin. Kemudian Edi dan Ari memperkenalkan diri sebagai penanggung jawab latihan.

“Sebelum resmi jadi anggota, lu musti lolos tes ketahanan dulu,” kata Leo dengan suara berat.

Milka menguatkan hati. “T-tes ketahan-an?” tanyanya dengan suara hampir tak terdengar.

“Ntar, pulang sekolah di lapangan.”

“I-iya, B-bang?”

Leo menyeringai. “Dah, sekarang beliin jus apel sana.”

“B-beli jus apel?”

“Iya, lu, kan, anak baru. Ngga ngasih hadiah sama senior? Beliin lima, buat konsumsi rapat,” titah Leo.

Milka bergeming. Otaknya berpikir keras. Dia mendaftar di klub karate untuk melawan perundungan, bagaimana mungkin malah mendapat perundungan? Seketika, dia merasa telah salah masuk klub. 

Dengan mengepalkan tangan, MIlka mengumpulkan keberanian. “S-saya ngga punya uang, B-bang.”

“Hhh! Payah!” Leo mengeluarkan uang lima puluh ribu dari kantong celananya. “Nih! Ngga pake lama!”

***

Leo menepuk pundak Hardy saat mereka antre makan siang. Tiap siswa Kusuma Bangsa hanya boleh mengambil satu nampan jatah makan siang, hingga semua orang harus mengantre dengan rapi untuk mendapat jatah masing-masing. 

“Cewek lu daftar klub karate,” kata Leo dengan senyum menggoda.

So?” balas Hardy, berusaha terlihat tak acuh meski menyadari maksud kata-kata Leo.

“Dia lebih milih gua daripada elu.”

Hardy mendecak, mengentakkan bahunya hingga pegangan Leo terlepas. Saat itu, Milka melewati mereka sambil mengangguk tipis pada Leo, membuat Hardy sedikit naik darah. Leo tertawa meledek. “See?”

Hardy tak membalas, memalingkan muka ke arah counter makan siang. Menu hari itu soto ayam dengan sambal dan kerupuk, tampaknya cukup menggoda selera. “Kalo lu bisa ngajak dia ke ultahnya Glo, baru gua percaya.”

Leo membelalak dan tertawa. “Gua dapet apa kalo beneran bisa?”

Hardy mendengkus. “Lu mau apa?”

“Motor lu.”

Deal!”

Leo terbahak, matanya menatap Milka penuh rencana.

***

Pulang sekolah, Milka sudah menunggu di tengah lapangan bola. Matahari terasa terik, membakar kulit. Dalam pikiran, dia berusaha menebak tes seperti apa yang dimaksud dengan tes ketahanan.

Dari kejauhan, dia melihat seorang anak lelaki bertopi berjalan mendekat. Milka sedikit mengembus napas kesal. “Hardy,” gumamnya. Dia tak habis pikir, mengapa sering sekali bertemu dengan anak itu.

Hardy memasuki lapangan bola sambil mengunyah permen karet. “Ngga panas?” tanyanya, melepas topinya dan memasangkannya di kepala Milka. Gadis itu berusaha melepas topi tapi Hardy menahannya dengan tangan tepat di ubun-ubun. “Pake topinya, ntar kulitmu kebakar.”

Milka menatap Hardy, berusaha mencerna apa yang barusan dilakukan anak lelaki di depannya itu. Leo datang bersama empat anak klub karate, menginterupsi perbincangan Milka dan Hardy. “Hoa, co cuit!” ledek Leo. “Udah siap?” katanya lagi pada MIlka.

Milka mengangguk mantap.

Leo memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki. “Masih pake rok?”

“Apa harus ganti baju?” Milka merasa kata-katanya sekarang lebih lancar. Diliriknya Hardy, apakah karena si botak itu dia merasa tenang?

“Kalo mau lari keliling lapangan pake rok, ngga apa-apa,” balas Leo.

 “Saya ngga bawa baju ganti, Bang ….”

“Bang!” Seorang anak lelaki berlari hingga tersungkur-sungkur mendekati mereka.

Mata Leo menyipit, melihat anak lelaki yang terlihat sempoyongan berlari ke arahnya. “Bang!” panggil anak itu sambil mengatur napasnya yang terengah, “kita diserang.”

Hardy teringat sesuatu. “Anak Sabang,” katanya.

Leo menatapnya dengan tatapan heran. 

“Gua bentrok sama anak Sabang kemaren.”

“T**k, ngga ngasih tahu, lu!” umpatnya berang, “siapin anak-anak!”

Sissy menyeru Milka, “Ikut!”

Milka terperangah bingung. “Ikut?” Dia sama sekali tak pernah berniat terlibat perkelahian dalam bentuk apa pun. Dia hanya ingin ikut klub karate, ingin belajar bela diri, bukan malah berhantaman dengan anak lain.

Sissy menarik tangannya tak sabar. Mereka berlari ke markas klub karate. Di sana, Leo membuka lemari besi di pojok ruangan dan mengeluarkan berbagai senjata dari dalamnya. Milka hanya bisa ternganga. Kepalanya berpikir cepat, dia telah salah memilih klub, benar-benar salah. 

Semua terlihat sibuk, Vania mengetikkan pesan broadcast untuk menyiagakan seluruh anggota Lionhead dan siapa pun yang mau ikut menghadang serangan. Sissy, mengeluarkan kotak P3K dan menumpahkan isinya ke dalam ransel. Edi dan Ari memilih senjata sementara Hardy membantu memasukkannya ke dalam ransel. 

“Heh! Anak baru! Bantuin Sissy!” perintah Leo membuat Milka hampir terlonjak.

Hardy melirik Milka yang gemetar. “Dia ngga ngerti apa-apa, biarin dia di sini,” katanya tenang.

“Heah! Ini gara-gara elu ngga ngasih tahu. Kita jadi ngga siap!”

Sorry, gua lupa.” Pikiran Hardy sedari pagi hingga siang dipenuhi Milka, hingga dia lupa untuk mengatur strategi bersama Leo. 

Beberapa anak lelaki datang seperti serbuan peluru, membuat MIlka harus minggir agar tidak tertabrak. Mereka langsung mengerubung Leo dan mendengar arahan sambil memasukkan senjata yang tersisa ke dalam ransel. 

MIlka bersandar di dinding cermin, menenangkan jantung sambil terus mencerna apa yang sedang terjadi. Hardy mendekatinya, menyentuh ubun-ubunnya yang masih tertutup topi. “Kamu ngga apa-apa?” tanyanya lembut.

Milka mendongak, mencari ketenangan dalam tatapan lelaki botak di hadapannya. Aroma mint yang menguar dari mulut Hardy, menyegarkan otaknya hingga seolah-olah baru bangun dari tidur. Perlahan digelengkannya kepala. “Ada apa ini?” tanyanya lemah.

Hardy tersenyum tipis. “Anak Sabang nyerang, kita mempertahankan diri. Gitu aja.” Meski dia tahu, kronologinya tidak tepat begitu.

Milka mengangguk. Detak jantungnya sudah mulai normal. 

Hardy mengambil topinya. “Tunggu di sini aja, oke?”

Milka mengangguk lagi. “Apa ini bahaya?”

Let’s go!” seru Leo, memimpin gerombolan anak-anak itu keluar.

Hardy hanya tersenyum, memasang topinya, dan mengedipkan mata, lalu pergi mengikuti Leo. Sambil jalan dirogohnya ponsel dari kantong, ditekannya speed dial nomor satu. “Siap-siap,” perintahnya.

Sissy memanggul ranselnya dan menarik tangan Milka lagi. “Ayo! Lu jadi back up paling belakang.”

Milka terseok-seok mengikuti Sissy. Mereka bertiga berada di barisan paling belakang dari gerombolan anak-anak lelaki yang berjalan penuh percaya diri dengan langkah lebar-lebar. “Kita mau ngapain?” tanya Milka masih berusaha menepis asumsinya tentang tawuran. 

Sissy sudah melepaskan tangannya dan bersiap turun tangga. Tiba-tiba Milka dibekap dari belakang dan ditarik masuk ke kelas. Gadis itu membelalak, sekuat tenaga berusaha meronta, tetapi tangan yang membekapnya terlalu kuat. “Diam,” bisik pembekap itu.

Milka terkejut. Dia mengenal suara itu, Hamdan.

Setelah suara langkah kaki berhenti, Hamdan baru melepaskan tangannya yang berkeringat. “Hamdan?”

“Ngapain kamu ikut sama mereka?”

Milka tak menjawab, bingung.

“Kalo guru-guru tahu kamu tawuran, beasiswamu bisa dicabut gitu aja.”

Milka terduduk lemas. Sejenak kemudian, teringat sesuatu. “Kok, kamu tahu aku dapet beasiswa.”

Hamdan bersila di depannya. “Semua yang ikut OSN pasti dapet beasiswa. Anak Kusuma Bangsa mana ada yang nilainya cukup buat ikut OSN?”

Milka menatap Hamdan, minta penjelasan lebih.

“Anak-anak sini, tuh, anak-anak buangan yang nilainya udah ngga keterima di mana-mana, ngga punya cukup duit buat nyogok, tapi lumayan kaya buat bayar uang sekolah di sini. Jadinya, ya, gitu, kerjanya tawuran mulu.”

Milka manggut-manggut, jantungnya sudah benar-benar tenang. “Tapi mereka tawurannya sistematis tau. Ada bagian depan, ada bagian tengah, trus ada bagian belakang yang nyiapin P3K.”

Hamdan tersenyum sinis. “Kalo sistematis, jadi bener, gitu?” Ditatapnya mata Milka penuh perhatian. “Mending ngga usah deket-deket sama Hardy. Kamu bakal keseret kaya ginian terus kalo deket-deket sama dia.”

MIlka ingin membantah, tapi apa yang dikatakan Hamdan tidak salah. “Kayanya aku jadi keseret gara-gara ikut klub karate, deh.”

“Hah? Kamu ikut klub karate?”

Milka mengangguk. “Kenapa?”

“Itu sama aja kamu ikutan Lionhead.”

Lionhead?”

Hamdan mendecak gelisah. “Lionhead, geng sekolah kita. Mereka yang provokasi tawuran mulu.”

Milka membelalak. “Trus, gimana, dong? Aku udah telanjur daftar.”

Hamdan mengembus napas putus asa. “Lah, gimana? Keluar aja, coba.”

“Emang bisa, ya?”

“Harusnya bisa. Bilang aja kamu udah ikutan klub OSN, jadi ngga bisa ikutan klub lain lagi.”

“Oh, ada aturan gitu?”

Hamdan mengedikkan bahu.

***

Milka tak berani pulang sore itu, khawatir akan terjebak di tengah tawuran lalu malah berakhir di kantor polisi, atau lebih buruk lagi, beasiswanya dicabut. Akhirnya, ia memutuskan untuk belajar bersama Hamdan di kelas hingga matahari terbenam. Anak lelaki berkacamata tebal itu ternyata memang sudah terbiasa belajar di kelas sepulang sekolah, ada atau tidak ada pertemuan klub OSN. “Rumahku terlalu berisik,” katanya.

Dia bercerita bahwa adiknya ada enam. Ayahnya pelaut dan tiap kali pulang, selang beberapa pekan, pasti ibunya hamil lagi. Dulu dia pikir ayahnya pasti bawa oleh-oleh rahasia berisi bayi yang dimasukkan ke perut ibunya. 

“Kalo kamu?” tanya Hamdan.

Milka menggeleng. “Aku ngga punya adek sama kakak,” jawabnya, berusaha tak terlihat sedih.

Hamdan manggut-manggut dan tersenyum. “Kalo mau, kamu boleh ambil salah satu adekku.” Mereka tertawa. Milka tahu, seburuk apa pun, keluarga tetaplah keluarga, tak akan ada yang bisa menggantikannya. Gadis itu menghela napas dan tersenyum, andai ayahnya bisa berlaku seperti ayah pada umumnya. 

*** 

Pukul lima sore, matahari mulai meluncur ke barat. Hamdan bersiap pulang. “Kamu ngga pulang?” tanyanya.

MIlka tak menjawab, hanya memandang langit yang terlihat agak mendung di luar jendela. “Kira-kira mereka udah selesai belum, ya?”  

“Tawuran ngga bakal lama-lama banget. Kalo lama, udah pada mati mereka,” jawab Hamdan.

Di luar, terdengar suara sirine bersahut-sahutan. “Nah! Polisi udah dateng,” kata Hamdan lagi, “ayo, pulang. Mereka pasti udah pada kabur sekarang.”

Milka mengangguk dan merapikan buku-bukunya. Sebuah panggilan telepon masuk ketika mereka hendak keluar kelas. Tanpa curiga, ditekannya tombol hijau untuk menerima telepon dari nomor tidak dikenal tersebut. “Ke hutan samping sekolah!” Suara seorang perempuan memberi perintah lalu panggilan ditutup.

“Siapa?” tanya Hamdan yang heran melihat MIlka ternganga setelah menerima telepon.

“Ngga tahu,” jawab Milka, sambil berusaha menebak siapa yang baru saja menelepon.

“Apa katanya?” tanya Hamdan agak cemas. 

“Ke hutan samping sekolah.”

Mata Hamdan menyipit. “Lionhead?”

Lionhead?”

“Polisi dateng, mereka mungkin kabur ke hutan kota.”

TIba-tiba, tangan Milka gemetar lagi. “Gimana, dong?”

Hamdan berkacak pinggang, matanya terlihat berpikir keras di balik kacamata. “Ngga usah ke sana, langsung pulang aja.”

“Tapi ….”

“Tapi apa?”

“Gimana kalo mereka butuh pertolongan?”

Hamdan mendecak. “Okelah, anggep mereka butuh pertolongan, tapi gimana kalo niat kamu nolongin malah bikin kamu dieluarin dari sekolah?”

Milka terdiam, berpikir lagi. Argumen Hamdan ada benarnya.

“Udahlah, ayo, kita pulang. Masalah kita udah banyak, ngga usah nambah-nambah masalah,” lanjut Hamdan, lalu melangkah keluar kelas.

Milka menghela napas. Argumen Hamdan memang benar, tetapi terasa ada yang salah di benak Milka. Dengan kepala penuh pikiran dan pertimbangan, ia melangkah mengikuti Hamdan, menuruni tangga hingga keluar gedung sekolah. 

“Kamu tahu di mana hutan samping sekolah?” tanyanya ketika mereka sudah berada di dekat gerbang.

“Pas di belakang perpus, apa kamu ngga liat dari jendela yang deket kita tadi?”

Milka menoleh, menatap gedung perpustakaan yang tampak megah menjulang tinggi tak jauh dari deretan pohon tabebuia yang sedang rimbun berbunga. “Berarti keluar gerbang, trus belok kanan, ya?”

Hamdan memandang Milka tak percaya. “Kamu mau ke hutan kota?”

“Kalo mereka butuh pertolongan, dan aku bisa nolong, aku akan ambil risiko buat nolongin mereka.”

Hamdan mendecak. “Bodoh!”

“Kamu mau ikut?”

Hamdan mengembus napas keras. “Aku lebih bodoh!”

Milka tertawa. “Kita bisa jadi tim yang hebat.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status