Share

8. Kita Saingan

“Ditunggu Bapak di perpus, Mas,” kata Pak Karna ketika Hardy tiba di rumah.

Dibukanya jaket dan diserahkannya kepada Pak Karna. “Bilang sama dia, aku capek, mau tidur,” balasnya tak acuh.

“Tapi ….”

Hardy langsung berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Pak Karna yang memandang punggungnya sembari menghela napas.   

Setelah mandi dan berganti pakaian, sebuah ketukan halus menghentikan Hardy dari niatnya untuk tidur. “Hardy,” suara lembut Mama terdengar mengiringi ketukan pintu.

Dibukanya pintu dengan agak malas. “Mama belum tidur?” tanyanya, mempersilakan Mama masuk.

“Capek banget hari ini?” tanya Mama, duduk di kursi meja belajar, tak jauh dari tempat tidur.

Hardy duduk di tepi tempat tidur, menghadap Mama dengan tenang. “Ya,” jawabnya santai.

“Sampe ngga bisa ketemu Papa sebentar aja?”

“Aargh!” Hardy meregangkan tubuh dan berbaring di tempat tidur dengan tangan terentang ke atas. Ditatapnya langit-langit yang ditempeli wallpaper bergambar bintang-bintang dari kertas fluorescent. Dia ingat, bintang-bintang itu adalah usul dari Kak Latif yang sangat memahami ketertarikannya pada benda-benda langit. Kak Latif memang sangat pandai mendesain ruangan. Bisa dibilang, seluruh ruangan di villa ini adalah rancangannya. Setiap sudut menyuarakan jejaknya.

“Hardy?” desak Mama lagi masih dengan suara yang sangat lembut.

“Ya.”

“Ya?”

“Aku ngga mau ketemu dia,” jawab Hardy akhirnya. Pertemuan terakhir mereka berawal dan berakhir tidak menyenangkan. Diliriknya Mama yang menatap teduh. Benaknya bertanya-tanya apakah Mama tahu soal istri baru orang tua itu?

“Temuilah,” kata Mama lagi, pindah duduk tepat di sampingnya, “kamu tahu, gimana sibuknya Papa. Dia khusus datang ke sini buat ketemu kamu, loh. Mama aja ngga ditanya sama Papa.”

Hardy mendecak. Dia menegakkan tubuh dan mengubah posisi duduknya hingga menghadap Mama. “Aku ngga mau ketemu dia ….” Ditatapnya mata Mama yang teduh. Mulutnya ingin sekali bercerita soal pertemuan mereka di hotel kemarin, tetapi hati kecilnya menolak.

“Papa sayang sama kamu, makanya dia ....”

Dengkus keras keluar dari hidung Hardy. “Udahlah, Ma. Ngga usah ngebelain lagi. Semua salah dia. Apanya yang sayang? Palingan dia nganggep aku salah satu asetnya.”

“Hardy ….”

“Udah, aku mau tidur.” Tanpa menunggu jawaban, dia merangkak menuju bantal dan menarik selimut menutupi tubuh.

Mama menghela napas lalu membantu Hardy menyelimuti tubuhnya. “Besok, janji kamu bakal ngobrol sama Papa?” pungkasnya, mengelus sedikit rambut Hardy.

Hardy tak menjawab. Ditatapnya Mama yang tersenyum dan berlalu. “Kenapa Mama masih hormat sama dia?”

Langkah Mama terhenti. Dengan penuh tanya, ia menatap putra satu-satunya. “Karena Papa masih suami Mama,” jawabnya tegas.

“Kalo dia bukan suami Mama, Mama ngga akan hormat sama dia?”

Mama hanya menjawab dengan senyuman. 

Hardy segera duduk dan melanjutkan pertanyaan, “Kalo gitu, kenapa Mama ngga pisah aja?”

Senyum tipis Mama kemudian seperti dicelup kesedihan. “Ngga semudah itu, Hardy,” ujarnya lirih, “tidurlah. Besok, jangan lupa ngobrol dulu sama Papa sebelum berangkat.” Mama melempar senyum lagi, berusaha menghapus jejak-jejak kesedihan. Dimatikannya lampu dan ditutupnya pintu.

Hardy membanting tubuh ke kasur, memandang bintang-bintang yang seolah-olah berpendar di langit-langit. “Sampe kapan mau kaya gini, Kak?” Ditutupnya dengan lengan kanan, mata yang mulai berkaca-kaca.

*** 

Pagi itu, Mama memindahkan lokasi sarapan ke taman. Sudah lama mereka tak sarapan di taman, mungkin sejak Kak Latif meninggal. Benak Hardy bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Jejak-jejak embun masih tersisa di dedaunan. Halimun tipis masih menyelimuti sebagian bumi. Dengan penuh kehati-hatian, ia melangkah menuju meja putih di tengah taman, tempat Mama sudah duduk bersama orang tua itu, menunggu sarapan disajikan. “Tidur nyenyak?” tanya Mama dengan senyuman yang terasa seperti kebohongan.

Hardy hanya mengangguk tanpa kata-kata lalu duduk di bangku yang masih kosong. Pelayan menyajikan panekuk lapis berisi krim dan buah-buah segar. Diteguknya sedikit susu segar hangat yang dihidangkan di samping piringnya. 

“Papa ke sekolahmu kemarin,” kata Papa sambil mengiris panekuk. Krim putih mengintip keluar begitu pisau menghujam hingga ke dasar piring.

“Apa ngga bisa kita makan dulu?” Mama menyela sebelum Hardy menjawab, “hmm, mawarnya wangi banget, ya, pagi-pagi gini?”

Hardy melirik pada deretan semak mawar yang dijadikan semacam pagar untuk memisahkan area meja makan mereka dengan bagian taman lain. Bunga-bunga merah muda itu terlihat sangat cantik di antara dedaunan hijau segar. Matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya. Cahayanya terbiaskan indah oleh tetes-tetes embun yang masih enggan menguap.

“Oya, Mama panen rosella kemarin. Ini udah dijadiin teh. Ada yang mau?” tanya Mama, menuangkan cairan kemerahan ke dalam gelas kecil, “katanya, rosella bisa menurunkan hipertensi, loh.”

Hardy menutup mulutnya agar panekuk yang sedang dikunyah tidak muncrat. Mama mengucapkan menurunkan hipertensi sambil melirik lelaki tambun di depannya. Tak perlu ahli bahasa untuk memahami maksudnya. Orang tua itu baru kembali dari sekolah kemarin, dia pasti sudah siap menyemburkan api kemarahan.

Tak ada kata-kata lagi di antara mereka, masing-masing fokus mengiris dan mengunyah. Campuran panekuk dan krim yang manis ditingkahi rasa asam segar dari raspberry dan blueberry pecah di mulut Hardy. Dihirupnya udara bersih dalam hangat matahari pagi. Sudah lama ia tak melihat taman bunga penuh warna seperti pagi itu, meski gaun yang dikenakan Mama masih berwarna putih.

“Enak?” tanya Mama kepada Hardy.

Hardy mengangguk. Dia tak bisa mengerti apa yang membuat Mama terlihat sangat berbeda. Apakah karena lelaki di hadapannya yang akhirnya datang lagi setelah entah berapa lama? 

Diliriknya Mama yang tampak tenang mengiris dan menyuap panekuk. Tak terlihat jejak kesedihan di sana, tetapi hati kecil Hardy seperti menyalakan alarm. Sesuatu telah terjadi, sesuatu yang tidak ia pahami. 

“Sudah.” Lelaki tua itu meletakkan pisau dan garpu di atas piringnya dan membersihkan sudut-sudut mulutnya dengan serbet. “Kausudah?” dia bertanya kepada Hardy.

Hardy tahu, itu kode untuk memulai pembicaraan penting. DIletakkan pisau dan garpu di atas piring yang masih menyisakan seperenambelas panekuk. “Ya. Aku siap.”

“Habiskan dulu sarapanmu,” sela Mama lagi.

Hardy mengambil garpu dan menusukkannya pada panekuk. Dengan sekali membuka mulut, seluruh bagian panekuk itu sudah berpindah. Diangkatnya tangan untuk mempersilakan orang tua yang sudah tak sabar itu bicara. 

“Kaumasih mau sekolah atau tidak?”

Hardy menyeringai. “Ngga,” jawabnya tenang.

“Mau jadi apa kau kalau tak sekolah?”

Hardy mengedikkan bahu. “Ngga pake sekolah juga, aku tetap ahli waris Kusuma Tekstil, kan?”

Lelaki paruh baya itu melampang meja hingga piring-piring di atasnya sedikit terlonjak. “Kaupikir memimpin perusahaan sama dengan mimpin geng berandalan?”

“Okay, kalo gitu, aku ngga layak jadi pimpinan perusahaan. Buang aja aku.”

“Hardy ….” Mama menyentuh lengan Hardy yang terasa hangat terkena sinar matahari.

Hardy menarik tangannya dan meminum habis susu di gelas. “Okay, cuma itu? Aku mau berangkat sekarang,” katanya, berdiri dan menenteng ranselnya, “oya, satu lagi. Aku ngga mau dijodohin, jadi mending dari sekarang, batalin rencana perjodohan sama Glo.”

Lelaki separuh baya itu terperangah. Mulutnya terbuka lebar dengan kening mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Apa masih kurang jelas?”

“Kautahu kenapa kalian dijodohkan?”

“Untuk memperkuat posisi perusahaan.”

“Nah ….”

“Nah, aku bukan aset perusahaan. Lagian, harusnya Kak Latif, kan, yang dijodohin?”

Tangan lebar lelaki tua itu mengepal. Hardy tak sepenuhnya salah. Kesepakatan perjodohan memang terjadi antara dua keluarga bukan dua individu. Keluarga Kanigara tidak memiliki anak lelaki sebagai penerus trah maupun perusahaan, mereka membutuhkan seorang menantu yang memiliki posisi cukup kuat agar tidak oleng karena godaan harta. Wisnu Kusuma Wijaya datang menawarkan salah seorang anak lelakinya. Bagi Kanigara, tak penting yang mana, yang penting adalah anak lelaki itu cukup cakap untuk nantinya mengurus perusahaan.

Awalnya memang Latif yang diincar, tetapi karena anak itu memilih menghabisi nyawa sendiri sebelum sempat berguna bagi keluarga, pilihan terpaksa jatuh pada Hardy. Sialnya, anak lelaki kedua ini sulit sekali diatur. Wisnu menatap geram putranya yang memandang tak acuh. Detik itu juga, ia ingin meninju mulutnya.

“Okay,” kata Hardy lagi, “segera batalin, atau aku yang lakuin di pesta malam minggu nanti.” Kemudian dia meninggalkan taman tanpa kata-kata lagi.

Wisnu kembali menghadap istrinya. “Dara,” panggilnya kesal, “kaubilang, kau sudah mengurusnya?”

Adara meraih gelas rosellanya dengan anggun. “Kautahu, dia memang keras kepala sejak kecil,” katanya setelah meneguk isi gelas beberapa kali.

“Apa kau tak bisa mendidiknya?”

Adara menatap balik suaminya. “Wisnu, mendidik adalah tanggung jawab Ayah, bukan Ibu. Apa kausudah tunaikan tanggung jawabmu?” balasnya tenang, “tugasku sekarang adalah merawat bunga-bunga. Kautahu, tiap bunga tumbuh dengan cara berbeda dan butuh perlakuan yang berbeda pula. Ah, kau pasti sudah tahu, buktinya Latif dan Hardy tumbuh sehat dalam pengawasanmu.” Kemudian ia berdiri, meninggalkan suaminya di meja sendiri.

***

Milka mengambil amplop bertuliskan Pekan 1 dari laci meja belajarnya. Ditimangnya lembar kertas itu sebelum dibukanya dengan enggan. Satu amplop berisikan lembar-lembar uang kertas yang dianggarkan untuk biaya makan selama sepekan. Dipejamkannya mata demi menghilangkan keraguan. Hatinya sudah bertekad bulat, kucing itu harus dilepaskan.

Niatnya memang begitu, melepaskan kucing kampung itu segera setelah keluar dari klinik. Namun, si kucing bukannya pergi, malah mengikuti langkahnya menuju sekolah. MIlka berhenti, si kucing ikut berhenti. Milka berjalan, si kucing ikut berjalan. Akhirnya gadis itu pasrah, dibiarkannya si kucing berbulu keemasan itu mengikuti langkahnya.

Pagi itu, ia tidak menuju perpustakaan. Subuh-subuh Leo sudah mengirimkan chat untuk menemuinya di lapangan sekolah pukul tujuh, satu jam sebelum jam pelajaran pertama di mulai. “Tes Ketahanan,” begitu bunyi chat-nya.  

Milka berangkat dengan pakaian olahraga, agar nanti bisa langsung melaksanakan tes, apa pun itu. Tanpa disangka, tak seperti kemarin, Leo sudah menunggu di lintasan lari lapangan sekolah. “Telat semenit,” katanya tanpa mengubah posisi duduk.

MIlka melongo, mengecek jam di ponselnya. Benar, terlambat semenit. “Maaf,” katanya sungguh-sungguh.

“Taro ranselmu di sana, trus lari satu putaran,” perintah Leo.

Mulut Milka sedikit terbuka mendengar Leo tak lagi memanggiilnya dengan sebutan lu. Namun, ia diam saja dan meletakkan ranselnya di tepi lapangan, tempat yang ditunjuk anak itu. Si kucing keemasan pun mengikutinya ke tepi lapangan. Dengan berjongkok, dia berbisik pada si kucing, “Tunggu di sini, aku mau lari.”

Si kucing tentu saja tak mengerti, dia hanya balas menatap Milka tepat di matanya. Gadis itu kemudian kembali ke hadapan Leo yang memberi perintah lanjutan, “Pemanasan dulu.” Kemudian dia memandu Milka melakukan pemanasan. Setelahnya, dia melepas gadis itu untuk berlari mengeliingi lapangan sendirian, sementara dia duduk di tepi lapangan.

Hardy datang ketika Milka telah berlari setengah putaran. Dia langsung mengambil posisi di samping Leo yang baru saja menyulut rokok. “Tumben, lu ngga telat,” sapanya, mengulurkan rokok yang baru diisap sekali.

“Males kelamaan di rumah, gua,” balas Hardy, menerima rokok dan mengisapnya dalam satu tarikan napas dalam. “Sekarang tesnya pagi?” Dengan dagu, dia menunjuk Milka yang sedang berlari pelan di lintasan.

Leo menerima rokok dari tangan Hardy dan mengisapnya dalam. “Kasian, kepanasan siang-siang.”

Hardy terbahak tak tertahankan. “Tumben, lembek lu.”

Leo mengepulkan asap ke udara, memandang Milka yang terlihat kesulitan berlari dengan dada besarnya. “Lu ngga beneran suka sama dia, kan?” tanyanya dengan nada lebih rendah.

Hardy menoleh, berusaha menatap mata Leo yang tak lepas dari Milka. “Maksud lu?” 

“Kalo lu ngga suka sama dia, biar buat gua.”

Hardy mengernyit. “Kalo gua suka?”

Leo menoleh. Mata mereka bertatapan. “Kita saingan.”

Hardy menyipitkan matanya. “Emang lu suka beneran sama dia?”

Leo menyembunyikan tawanya dalam isapan rokok, kembali memalingkan pandangan kepada Milka yang masih susah payah berlari dengan langkah kecil-kecil. Pemuda itu tidak yakin benar soal perasaannya. Dia hanya ingin mereguk kesegaran dari telaga di matanya.

Tak ada angin berembus di antara mereka. Hanya cahaya matahari menghangatkan lintasan lari. Namun, yang sampai ke tangan Hardy adalah rasa panas.  “Kalo gitu, kita saingan,” balasnya.

Tanpa menoleh, Leo mengangguk. “Batalin soal motor. Gua bakal ngajak dia ke ultahnya Glo, bukan demi motor.” Kemudian dia mematikan rokok dan berdiri menyongsong Milka dengan sebotol air mineral di tangan.

Milka menyelesaikan satu putarannya dengan napas terengah. Bertumpu pada lutut, dia membungkuk sambil mengatur napas. Leo berdiri di depannya, menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja dibukakan. “Pertama kali lari?” tanyanya.

Gadis itu menegakkan punggung, mengangguk, dan mengambil air mineral dari tangan Leo. “Makasih,” katanya di tengah napas yang belum utuh sepenuhnya.

“Duduk dulu,” ajak Leo, mengambil posisi duduk di lintasan lari, “latihan terus kaya gini tiap hari sampe kamu ngga secapek ini lagi. Abis itu baru kita latihan dasar.”

Milka menoleh, menatap Leo yang baginya terdengar aneh. 

“Kenapa?”

Milka menggeleng dan meminum airnya lagi.

“Kalo udah dingin, mandi, ganti baju. Bentar lagi masuk,” kata Leo lagi.

Hardy mendekat, dan berdiri di hadapan mereka. Rasanya ada yang terbakar melihat Leo dan Milka tampak begitu akrab. Ingin dia membawa Milka lari dari sana, tetapi gadis itu tak suka dipaksa hingga Hardy hanya bisa menahan diri dalam kepalan tangan. 

“Kenapa?” tanya Milka bingung melihat ekspresi Hardy yang begitu kaku.

Tak ada jawaban. Hardy bergeming, menatap Milka tanpa kata-kata. Perhatiannya baru teralih ketika seekor kucing berbulu keemasan melangkah naik ke pangkuan Milka dan bergelung di dekat perutnya.

Milka tertawa geli, membelai kucing itu penuh sayang. Hardy teringat sesuatu dan berjongkok, ikut membelai kepala kucing keemasan itu. “Apa ini yang waktu itu bikin kamu telat?” tanyanya.

Milka mengangguk. “Tadinya mau kulepas aja, tapi dia malah ngikutin sampe sini,” katanya di sela tawa, “kamu suka kucing?”

Hardy tak membantah, hanya menggumam sambil terus membelai leher si kucing. Sekilas, ia melontarkan senyum tipis penuh tantangan pada Leo.

Anak lelaki itu membalas dengan tawa sinis. “Udah, ayo, ganti baju!” perintahnya pada Milka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status