Share

Destiny's Dance
Destiny's Dance
Penulis: Artemzee

1. Amplop di Meja

Dua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.

“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.

Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.

“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri.

"Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.

Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.

Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran.

"Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.

Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perkataan ayahnya. Jemari lentik wanita itu tanpa sadar mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Ayah, kita memang tidak pernah membicarakan hal ini lebih dalam. Tapi, aku sudah pernah bilang kalau aku tidak mau menikah."

Barron kembali menatap putrinya dengan lekat. "Nak, aku sadar dengan kondisiku sekarang. Aku tak akan selamanya menjadi kepala suku, aku butuh calon pemimpin," jelas pria paruh baya itu. Ya, Barron memang seorang kepala suku dan saat ini kondisi Kesehatannya cukup mengkhawatirkan. Itulah alasan mengapa ia ingin mempunyai penerus.

"Ada aku. Aku bisa—"

"Tidak!" Barron memotong kalimat Ankaa. "Ayah tak akan pernah mau kau naik menjadi kepala suku," tegasnya. Dalam pandangan Barron sebagai pria, menjadi kepala suku bukanlah hal yang mudah. Jabatan ini penuh tanggung jawab. Dia khawatir dengan kondisi Ankaa nantinya.

Mendengar hal tersebut Ankaa tampak kesal. "Aku bisa, Ayah. Kita tidak butuh orang lain, karena aku bisa menggantikanmu," desak wanita itu, "Aku belajar pagi, siang, malam untuk suku ini. Aku mau suku ini mendapat pemimpin yang baik," ucap Ankaa lagi, berusaha meyakinkan sang ayah.

"Maksudmu, saat ini aku tidak baik dalam memimpin, begitu?" tanya Barron bercanda.

Ankaa menghela napas panjang. "Bukan seperti itu juga," bantahnya, "aku hanya ingin mereka dapat balasan yang impas. Kita tidak bisa menolak fakta bahwa mereka juga ikut memajukan suku ini. Kalau tidak ada mereka semua, jadi apa kita," jelas Ankaa menggebu-gebu.

Dari kecil, Ankaa sudah diperlihatkan dengan kepemimpinan Barron dan ia sangat mengidolakan sang ayah. Sejak saat itu ia bertekad akan menjadi pemimpin yang lebih baik daripada ayahnya. Itulah kemauannya yang sampai saat ini ia perjuangkan.

"Tidak harus mengorbankanmu menjadi pemimpin, 'kan?" tanya Barron dengan perasaan khawatir.

"Percaya padaku, aku bisa dan pasti bisa. Mungkin ... akan lebih baik dari masa pimpinanmu," ucap Ankaa sembari tersenyum lebar.

Barron membalas senyuman sang putri. Namun, di dalam hatinya masih menolak keras Ankaa menjadi pemimpin kelak. Sang putri harus menikah dan dia harus membujuknya agar segera menikah. Kalau masih menolak, mau tidak mau akan ada sedikit paksaan.

Selesai makan Barron menuju ruang kamar tidurnya. Lampu sengaja dimatikan agar Ankaa mengira ia sudah tertidur. Pria tua itu menyalakan lampu meja, ia mengambil secarik kertas dari dalam laci. Barron mengambil pena dari tempat tinta, kemudian mulai menulis.

"Aku butuh bantuanmu, teman," gumam Barron sambil menorehkan pena.

Hampir sama dengan Barron, Ankaa juga masih terjaga. Pikiran wanita itu berkelana. Bagaimana caranya meyakinkan Barron agar dia setuju mengangkat dirinya sebagai pemimpin selanjutnya.

"Menurutmu bagaimana?" tanya Ankaa kepada kucing yang hinggap di jendela beberapa saat ketika ia membuka jendela. Namun, si kucing hanya mengeong menjawab pertanyaan itu.

Ankaa lalu tersenyum. "Aku percaya takdir. Dan takdirku ialah meneruskan kepemimpinan ayah."

Saat kucing tersebut lompat keluar, Ankaa segera menutup jendela. Segera ia memadamkan lampu, naik ke atas ranjang dan tidur. Besok adalah hari yang sibuk untuknya.

**

"Nak, aku pergi ke rumah teman sebentar," pamit Barron begitu ia keluar kamar.

Ankaa yang sedang membuka tirai jendela agar cahaya matahari masuk pun langsung menghampiri sang ayah. "Teman? Aku baru tahu ayah memiliki teman?" ungkapnya heran.

Barron menjentikkan jarinya ke dahi sang putri pelan, kemudian pergi tanpa membalas kalimat Ankaa.

"Oh iya, amplopnya di atas lemari ayah. Seperti biasa," ucapnya sebelum melangkah keluar pintu.

"Ayah, aku juga nanti akan keluar!" seru Ankaa dari dalam rumah.

"Aku akan kembali secepatnya!" sahut Barron.

Ankaa mengembuskan napas dan melemaskan bahu. Kemudian setelah memastikan semua tirai terbuka, ia mengambil sapu dan kemoceng. Disebabkan rumahnya lebar dan banyak ruang juga hanya ada dirinya sendiri yang bersih-bersih, alhasil perlu memakan waktu yang cukup lama.

Ketika wanita itu tengah membereskan rumah, tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Astaga! Aku terlambat!" Anka berteriak panik. Ia lantas meninggalkan alat bersih-bersih di sudut ruangan bersama dengan kotoran dari ruangan yang sempat disapunya begitu saja.

Wanita tersebut bergerak dengan cepat ke belakang rumah untuk membersihkan diri. Untuk hari ini biarkanlah ia jorok karena mandi tidak menggunakan sabun. Ankaa berganti baju dengan terburu-buru, kemudian ia melangkah cepat ke kamar sang ayah untuk mengambil amplop.

Wanita itu menarik sebuah kursi ke depan lemari, kemudian menaikinya. Tangannya terulur ke atas hendak menggapai sebuah kotak keranjang berisi banyak amplop yang akan dibagikan untuk anak-anak panti asuhan. Setelah berhasil menurunkan kotak keranjang, Ankaa segera mengembalikan kursi ke tempat semula. Namun, pergerakannya terhenti saat melihat sesuatu di atas meja tulis ayahnya.

Kedua alis indah sang wanita bertaut kencang. Matanya tertuju lekat ke arah sehelai amplop yang tergeletak di sana. "Amplop apa lagi itu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status