Ankaa, putri dari Kepala Suku Arconix yang mendiami wilayah Barat, surganya dunia. Berawal dari kondisi Barron yang kian memburuk, Ankaa belajar memahami kondisi wilayahnya agar dapat memimpin lebih baik lagi. Pada kenyataannya, keputusan Ankaa ditolak oleh Barron. Namun, Ankaa perempuan yang tidak bisa menerima penolakan Barron begitu saja. Perseteruan ini tanpa sengaja menarik pemuda dari wilayah Utara. Bukan sembarang pemuda, dia anak yang terlahir dari rahim penguasa wilayah Utara. Ameer dari Centaur merupakan anak terakhir di keluarga dan si pecinta pedang. Surat yang dikirim dari kediaman Kepala Suku Arconix ke kediaman Kepala Suku Centaur mengandung pesan tersirat yang menginginkan Ameer menikahi Ankaa karena Barron butuh calon pemimpin. Bagaimana dengan Ankaa? Haruskah ia memilih ambisinya atau menikah sesuai permintaan Barron? Semua bergantung pada Ankaa.
Lihat lebih banyakDua puluh menit sudah berlalu, wanita cantik milik Suku Arconix masih betah duduk di kursi kayu membaca buku. Tangannya tergerak menutup buku ketika ia mencium aroma sedap dari luar kamar.
“Ayah!” panggil Ankaa sambil melangkah keluar.
Barron menoleh, secangkir teh di kedua tangan ditaruhnya ke atas meja. Sakit yang menggerogoti pria itu tak menghentikan senyuman terbit di bibirnya ketika melihat sang gadis yang ia sayangi itu telah beranjak dewasa.
“Kemari, kemari! Duduk di sini," ajak Barron sembari menarik kursi kayu untuk Ankaa. Untuk malam ini pria tersebut akan melayani putrinya seperti saat dia belum bisa mengambil makan sendiri.
"Ayah mau apa?" Begitu pertanyaan yang keluar dari mulut Ankaa.
Ekspresi Barron tampak berubah serius. Tak ada lagi senyuman di wajahnya.
Sang putri kesayangan hanya melihat sorot mata sendu di hadapannya. Ia pun menjadi heran.
"Baiklah ... langsung saja. Aku mau kau menikah. Aku butuh penerus," ungkap Barron.
Ankaa tertawa pelan ketika mendengar perkataan ayahnya. Jemari lentik wanita itu tanpa sadar mengetuk-ngetuk permukaan meja. "Ayah, kita memang tidak pernah membicarakan hal ini lebih dalam. Tapi, aku sudah pernah bilang kalau aku tidak mau menikah."
Barron kembali menatap putrinya dengan lekat. "Nak, aku sadar dengan kondisiku sekarang. Aku tak akan selamanya menjadi kepala suku, aku butuh calon pemimpin," jelas pria paruh baya itu. Ya, Barron memang seorang kepala suku dan saat ini kondisi Kesehatannya cukup mengkhawatirkan. Itulah alasan mengapa ia ingin mempunyai penerus.
"Ada aku. Aku bisa—"
"Tidak!" Barron memotong kalimat Ankaa. "Ayah tak akan pernah mau kau naik menjadi kepala suku," tegasnya. Dalam pandangan Barron sebagai pria, menjadi kepala suku bukanlah hal yang mudah. Jabatan ini penuh tanggung jawab. Dia khawatir dengan kondisi Ankaa nantinya.
Mendengar hal tersebut Ankaa tampak kesal. "Aku bisa, Ayah. Kita tidak butuh orang lain, karena aku bisa menggantikanmu," desak wanita itu, "Aku belajar pagi, siang, malam untuk suku ini. Aku mau suku ini mendapat pemimpin yang baik," ucap Ankaa lagi, berusaha meyakinkan sang ayah.
"Maksudmu, saat ini aku tidak baik dalam memimpin, begitu?" tanya Barron bercanda.
Ankaa menghela napas panjang. "Bukan seperti itu juga," bantahnya, "aku hanya ingin mereka dapat balasan yang impas. Kita tidak bisa menolak fakta bahwa mereka juga ikut memajukan suku ini. Kalau tidak ada mereka semua, jadi apa kita," jelas Ankaa menggebu-gebu.
Dari kecil, Ankaa sudah diperlihatkan dengan kepemimpinan Barron dan ia sangat mengidolakan sang ayah. Sejak saat itu ia bertekad akan menjadi pemimpin yang lebih baik daripada ayahnya. Itulah kemauannya yang sampai saat ini ia perjuangkan.
"Tidak harus mengorbankanmu menjadi pemimpin, 'kan?" tanya Barron dengan perasaan khawatir.
"Percaya padaku, aku bisa dan pasti bisa. Mungkin ... akan lebih baik dari masa pimpinanmu," ucap Ankaa sembari tersenyum lebar.
Barron membalas senyuman sang putri. Namun, di dalam hatinya masih menolak keras Ankaa menjadi pemimpin kelak. Sang putri harus menikah dan dia harus membujuknya agar segera menikah. Kalau masih menolak, mau tidak mau akan ada sedikit paksaan.
Selesai makan Barron menuju ruang kamar tidurnya. Lampu sengaja dimatikan agar Ankaa mengira ia sudah tertidur. Pria tua itu menyalakan lampu meja, ia mengambil secarik kertas dari dalam laci. Barron mengambil pena dari tempat tinta, kemudian mulai menulis.
"Aku butuh bantuanmu, teman," gumam Barron sambil menorehkan pena.
Hampir sama dengan Barron, Ankaa juga masih terjaga. Pikiran wanita itu berkelana. Bagaimana caranya meyakinkan Barron agar dia setuju mengangkat dirinya sebagai pemimpin selanjutnya.
"Menurutmu bagaimana?" tanya Ankaa kepada kucing yang hinggap di jendela beberapa saat ketika ia membuka jendela. Namun, si kucing hanya mengeong menjawab pertanyaan itu.
Ankaa lalu tersenyum. "Aku percaya takdir. Dan takdirku ialah meneruskan kepemimpinan ayah."
Saat kucing tersebut lompat keluar, Ankaa segera menutup jendela. Segera ia memadamkan lampu, naik ke atas ranjang dan tidur. Besok adalah hari yang sibuk untuknya.
**
"Nak, aku pergi ke rumah teman sebentar," pamit Barron begitu ia keluar kamar.
Ankaa yang sedang membuka tirai jendela agar cahaya matahari masuk pun langsung menghampiri sang ayah. "Teman? Aku baru tahu ayah memiliki teman?" ungkapnya heran.
Barron menjentikkan jarinya ke dahi sang putri pelan, kemudian pergi tanpa membalas kalimat Ankaa.
"Oh iya, amplopnya di atas lemari ayah. Seperti biasa," ucapnya sebelum melangkah keluar pintu.
"Ayah, aku juga nanti akan keluar!" seru Ankaa dari dalam rumah.
"Aku akan kembali secepatnya!" sahut Barron.
Ankaa mengembuskan napas dan melemaskan bahu. Kemudian setelah memastikan semua tirai terbuka, ia mengambil sapu dan kemoceng. Disebabkan rumahnya lebar dan banyak ruang juga hanya ada dirinya sendiri yang bersih-bersih, alhasil perlu memakan waktu yang cukup lama.
Ketika wanita itu tengah membereskan rumah, tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Astaga! Aku terlambat!" Anka berteriak panik. Ia lantas meninggalkan alat bersih-bersih di sudut ruangan bersama dengan kotoran dari ruangan yang sempat disapunya begitu saja.
Wanita tersebut bergerak dengan cepat ke belakang rumah untuk membersihkan diri. Untuk hari ini biarkanlah ia jorok karena mandi tidak menggunakan sabun. Ankaa berganti baju dengan terburu-buru, kemudian ia melangkah cepat ke kamar sang ayah untuk mengambil amplop.
Wanita itu menarik sebuah kursi ke depan lemari, kemudian menaikinya. Tangannya terulur ke atas hendak menggapai sebuah kotak keranjang berisi banyak amplop yang akan dibagikan untuk anak-anak panti asuhan. Setelah berhasil menurunkan kotak keranjang, Ankaa segera mengembalikan kursi ke tempat semula. Namun, pergerakannya terhenti saat melihat sesuatu di atas meja tulis ayahnya.
Kedua alis indah sang wanita bertaut kencang. Matanya tertuju lekat ke arah sehelai amplop yang tergeletak di sana. "Amplop apa lagi itu?"
Kerumunan orang dari rumah kayu mulai keluar dengan senjata berbahaya di tangan mereka. Siap menyerang.Dion yang sudah mengerti langsung melukai kerumunan orang tersebut sebelum bisa menyentuh Ameer.Dion menyayat leher orang dengan cekatan. "Manusia tak berakal!"Dion berteriak, "Bisa-bisanya memanfaatkan orang!" Pedang ia hunuskan ke perut lawan sampai menembus punggung."Demi kesenangan kalian!" lanjutnya sembari loncat menuju target kemudian menyayat dadanya.Wanita baya hanya terkekeh di hadapan Ameer. Padahal, lehernya sudah terluka karena ujung pedang Ameer menusuk kulitnya."Anak muda, tidak apa-apa, serang saja aku," ujarnya kepada Ameer.Ameer menangkap lirikan mata wanita baya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan Ankaa berusaha membela diri dari laki-laki sekutu wanita baya. Juga Tumus, Tumus masih terjebak dengan pria besar berotot. Ameer ingin sekali menyalahkan tubuh Tumus yang kurus.
Selesai membicarakan urusan, Tumus berencana membawa Ameer dan Dion ke kedai makanan yang menurutnya hidangan di sana sangat lezat. Akan tetapi, kehadiran manusia asing mengusik pikiran dan matanya.. "Hei! Beraninya masuk rumah orang sembarangan!" tegur Tumus. Tangannya sudah membawa kemoceng penuh debu akan dilayangkan pada pemuda di samping Dion. "Izar?" panggil Ameer, kebingungan kenapa ada Izar di rumah Tumus. Tumus tersentak, keringat bercucuran mengetahui ia hampir memukul teman Ameer. Tangannya bergetar dan menjatuhkan menjatuhkan kemoceng. "Tuan ... tuan mengenalnya, ya? Maaf, saya tidak tahu," sesal Tumus. Ameer berjalan melewati Tumus menghadap Izar yang memelototinya. Dion hampir menarik kerah baju Izar karena bersikap tidak sopan kepada Ameer kalau tidak ditahan oleh si pencinta pedang itu sendiri. "Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanya Ameer galak. Izar menukikkan alis, jarinya menu
"Iya, malam itu aku khawatir. Lebih tepatnya khawatir dengan ayahnya. Jadi, aku pergi ke rumah kepala desa dan membantu Ankaa merawat Tuan Barron yang saat itu demam," jawab Ameer membalas pertanyaan Dion. "Hei, kau tidak tahu betapa paniknya aku saat itu. Pintu terkunci dan kau tidak ada," murka Dion. Sambil tersenyum Ameer memijat bahu Dion. "Maklumi saja, ya? Sekarang ayo kita bergerak sebelum ayahku menghukum kita." Dion dan Ameer memakai mantel polos penyamaran mereka. Ameer dan Dion menginjak tanah Barat tidak serta merta menjenguk Barron dan bertemu Ankaa. Ada yang harus ditemui oleh Luis akan tetapi karena suatu hal Luis harus mengirim Ameer dan Dion menemui seseorang itu. Di dunia ini tidak ada yang seratus persen sempurna. Begitu juga dengan wilayah Barat sendiri yang dijuluki surga dunia. Tanah yang Ameer pijaki sekarang sangat berbeda dengan tanah yang kemarin ia pijak. "Ameer, kita tidak menginjak wilayah lain 'kan?" tan
Petir dan guntur tidak sengaja membangunkan si tampan pecinta pedang. Tidak disangka badai berlangsung dari sore sampai malam. Angin kencang masuk melalui jendela, mengibarkan piyama Ameer. Dia berdecak pelan kemudian bangkit untuk menutup jendela. "Hah, aku sedikit terkejut, terbiasa melihat badai salju di Utara," ucap Ameer pelan. Wilayah Utara dikatakan tanah putih karena sebagian besar tertutupi salju—wilayah yang tidak ditinggali warga, hutan, dan sebagainya. Namun, pusat pemerintahan yang juga tempat tinggal Ameer tidak tertutupi salju dan salju akan turun kalau sudah waktunya. Ameer mengulum bibir ketika Barron dan Ankaa terlintas dalam pikirannya. "Perlukah aku mengecek keadaan mereka?" Tubuh Ameer menggigil. Kemudian ia tergerak mengambil mantel dan payung. Hatinya menyuruh ia pergi dan Ameer menurut. Pintu dikunci tanpa memikirkan bagaimana Dion akan keluar besok. "Aku ingin mengeluh karena badai ini, tetapi ini masih mendingan daripada badai salju," gerutunya. Jarak p
Dion membelalak mendengar panggilan tuan untuk Ameer. Bagi mereka, orang-orang Utara, panggilan tuan hanya untuk orang-orang yang sudah berumur. Seperti Barron dan Luis, dipanggil dengan tuan.Dion membekap mulutnya agar tidak keceplosan tertawa. "Dia memanggilmu tuan. Hmphhfftt.""Hish, diamlah," desis Ameer."Dion," panggil Ameer."Ya?" sahut Dion.Dion langsung terdiam, pasang badan. "Iya, kau masih sangat muda. Bugar, sehat, tam—tidak jadi," pujinya.Sejak kecil, Dion akan menjadi komplotan Ameer dalam beraksi. Ia juga hapal kebiasaan Ameer ketika dia melancarkan kejahilan. Saat Ameer berhasil menjahili orang, dia akan tersenyum lebar seperti anak kecil pertama kali bermain hujan.Seperti sekarang. Membuat Dion tidak berekspresi. "Sebenarnya, aku tadi mau bertanya apakah kau bersedia membantuku. Namun, sepertinya tidak usah, kau sudah menjawabnya,"Melampiaskan kekesalannya, Dion bangkit, berjalan ke arah Ameer dan mendorongnya dengan kuat membuat Ameer berdiri."Pergilah, temui t
Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang selalu memberimu perlindungan, kehangatan, dan kasih sayang terbujur tak berdaya di ranjang dan dikelilingi oleh orang-orang?Jangan tanyakan pada Ankaa. Tidak akan pernah menerima jawaban karena perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan. Ankaa mengusap dan memijat lengan Barron. Raut wajahnya sendu, tak ada sinar. Hanya tersisa awan mendung."Silakan, kepala suku ada di dalam," ucap salah satu bawahan Barron.Ucapan lirih itu masih bisa didengar Ankaa. Namun, wanita itu tidak terlalu memedulikannya. Kalau sudah seperti ini, fokusnya hanya pada Barron. Semua keinginan dan ambisi Ankaa musnah seketika mendengar Barron tak sadarkan diri.Rambut panjang sedada terurai begitu saja menampakkan gelombangnya yang indah di bagian bawah rambut. Akibat Ankaa yang selalu menguncirnya karena ia lebih suka menguncirnya. Namun, kali ini dibiarkan rambutnya terurai.Dari sudut mata, Ankaa bisa melihat buah tangan yang dibawa oleh tamu ditaruh di ranjang Ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen