Share

5. Kontak Mata Pertama

Bagaimana perasaanmu saat melihat orang yang selalu memberimu perlindungan, kehangatan, dan kasih sayang terbujur tak berdaya di ranjang dan dikelilingi oleh orang-orang?

Jangan tanyakan pada Ankaa. Tidak akan pernah menerima jawaban karena perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan. Ankaa mengusap dan memijat lengan Barron. Raut wajahnya sendu, tak ada sinar. Hanya tersisa awan mendung.

"Silakan, kepala suku ada di dalam," ucap salah satu bawahan Barron.

Ucapan lirih itu masih bisa didengar Ankaa. Namun, wanita itu tidak terlalu memedulikannya. Kalau sudah seperti ini, fokusnya hanya pada Barron. Semua keinginan dan ambisi Ankaa musnah seketika mendengar Barron tak sadarkan diri.

Rambut panjang sedada terurai begitu saja menampakkan gelombangnya yang indah di bagian bawah rambut. Akibat Ankaa yang selalu menguncirnya karena ia lebih suka menguncirnya. Namun, kali ini dibiarkan rambutnya terurai.

Dari sudut mata, Ankaa bisa melihat buah tangan yang dibawa oleh tamu ditaruh di ranjang Barron.

Badan Ankaa condong ke wajah Barron. "Ayah mau apa?" tanyanya pelan.

Barron hanya mengisyaratkan dengan kibasan tangan dan Ankaa tahu Barron menyuruhnya keluar. Ankaa sama sekali tidak melirik tamu yang datang ketika keluar.

"Ameer," panggil Barron.

Ameer segera berlutut dan menyahut panggilan Barron dengan deheman. Deren juga ikut berlutut begitu celananya ditarik Ameer.

"Bagaimana kabar Luis?" tanya Barron dengan suara serak.

Ameer mengangguk. "Ayah baik dan jadi khawatiran mengetahui temannya sakit setelah membaca surat," jawab Ameer.

Barron menatap lelaki lain di samping Ameer. "Aku baru lihat temanmu," ucapnya.

"Halo! Saya teman kecilnya Ameer saat dia bosan bermain dengan kedua kakaknya!" timpal Dion dengan nada riang.

Dion bermaksud menceriakan Barron, menaikkan suasana hati Barron, menghibur Barron. Tetapi ia lupa temannya adalah Ameer. Alhasil Dion menerima sikutan dari Ameer.

"Maafkan temanku. Dia memang tidak tahu kondisi," desis Ameer di kalimat terakhir sembari menyipitkan mata menatap Dion.

Barron bangkit, mengubah posisi menjadi duduk menyandar pada kepala ranjang dibantu Ameer.

"Dia anakku," celetuk Barron.

Ameer mengangguk, paham akan kemana arah pembicaraan ini. Oleh karena itu, ia meminta Dion keluar sebentar dan menaruh buah tangan di dapur.

"Kau, wanita yang dicegat Deren, si penjahat amatir dari Utara," tunjuk Dion ke Ankaa yang duduk di ruang tamu.

Kemudian Dion tertawa, teringat Deren dan komplotannya. Mereka memang penjahat paling amatir yang pernah Dion jumpai.

Dion menyodorkan buah tangan. "Untukmu, tadi mau aku taruh di dapur seperti yang diminta Ameer. Tapi, melihatmu sendu aku jadi ingin memberikannya."

Dion yang menyadari lawan bicaranya melamun langsung menepuk pundaknya. Ankaa terkejut dan refleks menoleh ke Dion. Ia terdiam sejenak, seperti pernah melihat wajah lelaki asing di depannya.

Ankaa menggaruk kening dan mencoba mengingat. "Oh! Ya, kau yang mengusir anak-anak nakal itu."

"Tentu saja. Nah, untukmu, mungkin bisa membuatmu terlihat lebih oke," ujar Dion memberikan ikat rambut.

Ankaa berdiri dan menerimanya. "Ya, terima kasih."

Tiba-tiba lelaki lain keluar dari kamar Barron "Dion, ayo balik," ajaknya.

Dion berdecak, "Sebentar, Ameer. Aku baru saja punya teman lintas wilayah."

'Teman?' tanya Ankaa dalam hati.

"Sejak kap—" Dion membekap mulut Ankaa dengan kuat ditambah telapak tangannya besar dan menggencet hidung wanita malang tersebut.

"Aku balik dulu, ya, Lilsta. Kapan-kapan kita berkeliling. Sampai jumpa!" pamit Dion dan segera menarik Ameer.

Ankaa dan Ameer sempat melakukan kontak mata dan langsung diputus oleh Ankaa. Si cantik mengambil buah tangan di meja, membawanya ke dapur untuk dihidangkan ke Barron.

Tidak lama dia mendengus mengingat panggilan Dion tadi. "Lilsta dia bilang? Enak saja mengganti nama orang sembarangan," gerutu Ankaa.

"Tapi," ia menjeda kalimat untuk mengingat percakapan Barron dengan laki-laki yang keluar dari kamar Barron.

Ankaa mendengarnya, pura-pura melamun agar bisa mendengar percakapan itu adalah triknya.

Ia menggeram. "Bagaimana bisa kau mau membicarakan permintaan ayah!" Melampiaskan kemarahan dengan meremas roti yang akan ia hidangkan.

Ankaa meringis. "Itu permintaan yang tidak masuk akal bagi aku yang tidak mengenalmu dan kau yang tidak mengenalku. Masa depan kita akan hancur kau sadar tidak sih!" gumamnya kesal.

Ankaa memukul meja pelan, sangat pelan. Melakukan breath-in dan breath-out sebelum masuk ke kamar Barron. Sekaligus, ia tidak mau kemarahan menguasai pikiran.

"Ayah, aku bawa makanan."

**

Keduanya duduk di sofa berlainan.

"Apa kita di sini hanya untuk membicarakan tentang rencana pernikahanmu?" tanya Dion.

"Bisa dibilang begitu," jawab Ameer, "Berusaha menjalin hubungan baik dengan putrinya juga termasuk dalam daftar misiku," lanjutnya.

Dion nampak berpikir. "Aku rasa putrinya tidak seburuk itu. Kau lihat 'kan tadi? Aku mengobrol dengannya," ujarnya.

Ameer tidak menanggapi. Dion tidak tahu menahu tentang masalah ini secara detail. Dia hanya tahu Ameer akan menikah, calon mempelai wanita tinggal di wilayah Barat berstatus anak kepala suku, dan sang putri keberatan dengan semua ini. Makanya mereka kemari, untuk berbicara dan berhubungan baik dengan putri Kepala Suku Arconix.

"Kau sudah mengambil keputusan?" tanya Dion.

Ameer mengangguk dan menjawab, "Sudah."

Saat Dion ingin mengajukan pertanyaan lagi Ameer menghentikannya. Seakan-akan sudah tahu apa yang akan ditanyakan Dion, Ameer mengatakan hal yang menjawab pertanyaan kawannya.

"Sudah kupikirkan matang-matang, tenang saja," tuturnya.

Ameer mengambil pedang yang bersandar pada meja. Ia menariknya sampai mengeluarkan suara criing. Sudut bibir si iris biru tertarik ke atas—padahal hanya melihat betapa mengkilap pedangnya tapi serasa ada yang menggelitik perut.

Ameer berucap dengan tenang, "Aku bilang, aku akan menikahi putrinya dalam waktu secepat mungkin.”

Dion memegang kepalanya lalu meremas rambutnya. "Ameer gila!"

Mendengar itu Ameer memasukkan pedang dengan kasar ke dalam sarung. Pedang ia angkat menunjuk Dion.

"Kau akan selalu membantuku," perintah Ameer.

Dion menurunkan pedang yang hampir menyentuh jakunnya. "Ceh, kawan, tidak bisa begitu. Siapa yang setuju? Siapa yang mengiyakan? Tidak ada," protes Dion.

Tidak lama kemudian pintu diketuk. "Permisi, putri Tuan Barron ingin bertemu dengan Tuan Ameer," ujar orang dari luar pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status