Share

Bab 3

Psychology Kasih Bunda.

Pukul  20.15 malam.

Ruangan itu diberi perabotan duduk seperti ruang duduk dalam rumah orang di pedesaan Bali. Dua buah payung tedung berwarna keemasan diletakan di depan pintu masuk. Dindingnya dilapisi kertas dinding bermotif batu bata merah. Lukisan seorang penari Bali dengan bunga kamboja putih di atas telinganya yang diberi bingkai dari kuningan merupakan hiasan dinding satu-satunya. Tidak ada meja tulis di ruangan itu. Yang ada hanya kursi malas empuk dari rotan, meja kecil di ujung ruangan untuk meletakan keranjang bunga sedap malam, dan satu buah lampu gantung antik di tengah-tengah ruangan.

Suasana kantor itu memang sengaja di desain sedemikian rupa oleh Dokter Paullina Diandra untuk memberi kenyamanan pasiennya saat melakukan sesi konsultadi dengannya. Sebagai seorang psikologi profesinal, Paullina tahu betul bagaimana kenyamanan pasiennya berpengaruh besar pada pekerjaannya. Kenyamaan akan menumbuhkan perasaan bahwa seseorang itu dihargai, dimengerti, dan kemudian melahirkan kepercayaan. Kunci penting keberhasilan bagi seorang psikolog untuk membantu masalah pasiennya adalah mempercayai psikolog itu. Sebab, jika tidak, dia tidak akan membuka dirinya sama sekali apalagi membiarkan orang lain membantunya menyelesaikan masalahnya. Dan malam itu, di malam Jumat yang kelabu, seperti biasa Dokter Paullina Diandra tersenyum manis kepada pasiennya.

“Tidak apa-apa, Sayangku. Semua orang  pernah melakukan kesalahan. Saya, bahkan ibumu sendiri pasti pernah melakukan kesalahan,” ujar perempuan yang berusia dua puluh sembilan tahun berparas cantik dan kulitnya yang seputih susu terawat dengan baik.

Gadis remaja berusia antara tujuh belas tahunan yang duduk di samping Paullina menarik napas dan memejamkan matanya erat-erat.  “Saya tidak seharusnya melakukan itu, Dokter. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya mencintai pacar saya melibihi diri saya sendiri. Saya memang bodoh, Dok. Oh, saya goblok sekali!” tangis Celline Tan akhirnya pecah. “Sekarang saya pasti akan dipenjara karena telah membunuh orang. Ya, Tuhan... apa yang harus saya katakan kepada orangtua saya? Saya harus bagaimana, Dokter? Saya tidak mau di penjara! Saya… katakan apa yang harus saya lakukan, Dokter? Saya hampir gila rasanya.”

“Jangan khawatir, Sayang. Kamu akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada polisi apalagi penjara. Tidak ada apapun karena tidak ada pembunuhan.”

“Tapi saya membunuhnya, Dok. Oh, saya yang membunuhnya.”

 “Shhh… itu semua kecelakaan, Sayang. Kecelakaan. Bukan pembunuham. Oke?”

“Tapi, Dok—”

“Kamu percaya saya, kan?”

Gadis berambut hitam sebahu itu mengangguk pelan. Mata sipitnya berusaha keras membendung air mata.

Paullina memeluk keponakan Dokter Revi Tan sahabatnya itu sebagai seorang kakak. “Tidak apa-apa, Sayang. Menangislah. Tumpahkan semua beban berat di hatimu. Tidak apa-apa, jangan ditahan. Itu akan baik untukmu.” Paullina mengelus punggung Celline. “Kadang-kadang kita memang perlu menangis. Air mata memang tidak menyelesaikan masalah, tapi menegaskan keberadaan.”

Lama Paullina membiarkan Celline menangis. Dia ingin gadis itu lebih tenang dengan menangis—setidaknya sedikit lebih tenang. Menurut Revi, Celline keponakannya sudah hampir satu bulan ini murung dan lebih sering mengurung diri. Awalnya Dokter Revi mengira ini hal biasa—remaja putus cinta. Tapi, semakin hari dokter mata itu melihat Celline yang mengkhawatirkan hingga dia merasa yakin ada yang tidak beres dengan keponakannya. Beberapa kali dia memergoki keponakannya yang tinggal serumah dengannya itu seolah-olah sedang berbicara dengan orang lain padahal tidak ada siapa pun. Bukan hanya itu, emosinya juga sering kali turun-naik dengan tiba-tiba. Tanpa pikir panjang lagi, Revi menceritakan apa yang terjadi pada Celline ke sahabatnya yang seorang psikolog. Paullina.

“Aku memang dokter, tapi psikologi bukan bidangku. Aku percayakan Celline padamu, Lina. Tolong keponakanku. Aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja. Ada sesuatu hal yang dia sembunyikan dariku. Entah apa itu. Tapi, aku yakin sekali inilah sumber masalahnya,” ujar Revi saat menghubungi Paullina.

“Tenangkan dirimu, Rev. Bicara pelan-pelan saja. Kenapa dengan Celline, apa yang terjadi padanya?”

Revi menceritakan semunya.

“Aku takut dia terkena sakit mental,” ujar Revi di akhir ceritanya. “Dia sudah menunjukan gejala-gejala itu, kan? Maksudku aku sering melihat Celline senyum-senyum sendiri dan berbicara entah kepada siapa.”

“Seseorang tidak bisa didiagnosa sakit mental hanya gara-gara dia sering senyum-senyum atau berbicara sendiri, Rev. Itu perlu pemeriksaan khusus.”

“Tapi bagaimana dengan emosi yang sering berubah-ubah tanpa sebab?” cecar Revi.

“Itu banyak penjelasan sebabnya tentu saja. Tapi, baiklah. Aku akan membuat hipotesis mentah untuk kasus  Celline berdasarkan informasi darimu dan pengalaman kerjaku. Apa kamu pernah mendengar tentang penyakit manic depressive?”

“Ya, tapi aku tidak paham sama sekali penyakit apa itu. Tapi kedengarannya serius.”

Paullina berdehem kemudian mulai menjelaskan, “Manic depressive itu suatu gangguan yang berhubungan dengan suasana hati. Mulai dari yang terendah—depresi—hingga yang tertinggi atau yang biasa kita sebut manik. Tapi kemungkinan Celline juga menderita gangguan yang lain karena dia juga mengalami delusi. Mungkin juga skizofernia.”

Revi menghela napas di ujung sambungan. “Celline itu pembohong kecil yang pandai sekali. Oh, sejak dia berusia sepuluh tahun dia sudah sering membohongiku sampai aku sama sekali tidak menyadarinya. Karena itu, aku tidak begitu mengindahkannya beberapa bulan belakangan ini.”

“Aku mengerti. Aku akan berusaha semampuku untuk membantu Celline. Ngomong-ngomong kapan aku bisa bertemu Celline?”

Revi memberitahu bahwa dia butuh waktu membujuk Celline agar mau ikut denganmya ke kantor Paullina. Akan tetapi, ternyata dugaan Revi salah. Celline tak perlu dibujuk sama sekali. Dia bahkan lebih tertarik dari yang Revi pikirkan. Dan sekarang gadis remaja turunan Tionghoa itu sudah duduk di hadapan Paullina untuk yang ketiga kalinya.

 “Nah, Sayang, sekarangan katakan siapa lelaki yang menghamilimu itu?” tanya Paullina dengan nada memaksa yang halus sekali.

Celline menarik diri dari pelukan Paullina. Selama beberapa saat dia terus meremas-remas ujung blusnya. Ragu dan takut.

Paullina mengelus kepala gadis itu dengan sayang. “Jangan takut,” ujar dokter muda itu. “Saya ini tersumpah untuk tidak membocorkan rahasia pasien saya. Oke, begini, anggap saja saya ini sebagai teman dekatmu. Atau ibumu, atau siapa pun orang yang kamu dapat percayai,” bujuk  Paullina.

“Om Gerald yang menghamili saya, Dok,” jawab Celline akhirnya. “Anda tahu, kan, Jefry Gerald, chef dan selebgram tampan kaya raya itu? Dia mantan pacar saya.”

Paullina menelan ludah. Dia terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan naif Celline. Menyadari mungkin ekspresinya mengeras, cepat-cepat Paullina mengendalikan perasaannya dan melanjutkan, “Kalau boleh, saya ingin tahu kronologi awal kalian bertemu sampai kalian memiliki hubungan.”

Celline tersipu. Bagaimanapun dia tetap merasa bangga pernah mejalin cinta dengan Jefry Gerald. Di luar sana ribuan perempuan memuja pria setengah dewa itu setengah mati. Mereka rela melakukan banyak hal tak masuk akal hanya demi mencuri perhatian Gerald. Ya, pria itu memang sudah tidak lagi muda. Namun pesonanya begitu kuat. Selain tampan dan memiliki bentuk badan sempurna, sosok Gerald yang misterius, dingin, dan senyum sinisnya menjadikannya tampak semakin memikat. Tapi, bagian terhebatnya tentu saja bukan itu. Melainkan Celline tidak perlu melakukan apa  pun untuk mendapatkan perhatian Gerald. Lelaki yang memiliki jarak usia hampir dua puluh tahun dengannya bertekuk lutut hanya dengan dua kali pertemuan tak sengaja di kantor Dokter Revi.

Melihat Celline hanya tersenyum-senyum Paullina dengan lembut berkata, “Jadi bagaimana? Apa kamu tidak mau membagi kisah manis yang membuatmu merona itu, Sayangku?”

Celline semakin tersipu. “Tentu saja saya akan menceritakan semuanya kepada Anda, Dokter Baik. Karena saya tidak mau mengecewakan bibi Revi dan membuatnya khawatir lantaran mengira saya gila.” Setelah berkata demikian Celline pun menarik napas dalam-dalam dan memulai kisahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status