Psychology Kasih Bunda.
Pukul 20.15 malam.
Ruangan itu diberi perabotan duduk seperti ruang duduk dalam rumah orang di pedesaan Bali. Dua buah payung tedung berwarna keemasan diletakan di depan pintu masuk. Dindingnya dilapisi kertas dinding bermotif batu bata merah. Lukisan seorang penari Bali dengan bunga kamboja putih di atas telinganya yang diberi bingkai dari kuningan merupakan hiasan dinding satu-satunya. Tidak ada meja tulis di ruangan itu. Yang ada hanya kursi malas empuk dari rotan, meja kecil di ujung ruangan untuk meletakan keranjang bunga sedap malam, dan satu buah lampu gantung antik di tengah-tengah ruangan.
Suasana kantor itu memang sengaja di desain sedemikian rupa oleh Dokter Paullina Diandra untuk memberi kenyamanan pasiennya saat melakukan sesi konsultadi dengannya. Sebagai seorang psikologi profesinal, Paullina tahu betul bagaimana kenyamanan pasiennya berpengaruh besar pada pekerjaannya. Kenyamaan akan menumbuhkan perasaan bahwa seseorang itu dihargai, dimengerti, dan kemudian melahirkan kepercayaan. Kunci penting keberhasilan bagi seorang psikolog untuk membantu masalah pasiennya adalah mempercayai psikolog itu. Sebab, jika tidak, dia tidak akan membuka dirinya sama sekali apalagi membiarkan orang lain membantunya menyelesaikan masalahnya. Dan malam itu, di malam Jumat yang kelabu, seperti biasa Dokter Paullina Diandra tersenyum manis kepada pasiennya.
“Tidak apa-apa, Sayangku. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Saya, bahkan ibumu sendiri pasti pernah melakukan kesalahan,” ujar perempuan yang berusia dua puluh sembilan tahun berparas cantik dan kulitnya yang seputih susu terawat dengan baik.
Gadis remaja berusia antara tujuh belas tahunan yang duduk di samping Paullina menarik napas dan memejamkan matanya erat-erat. “Saya tidak seharusnya melakukan itu, Dokter. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya mencintai pacar saya melibihi diri saya sendiri. Saya memang bodoh, Dok. Oh, saya goblok sekali!” tangis Celline Tan akhirnya pecah. “Sekarang saya pasti akan dipenjara karena telah membunuh orang. Ya, Tuhan... apa yang harus saya katakan kepada orangtua saya? Saya harus bagaimana, Dokter? Saya tidak mau di penjara! Saya… katakan apa yang harus saya lakukan, Dokter? Saya hampir gila rasanya.”
“Jangan khawatir, Sayang. Kamu akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada polisi apalagi penjara. Tidak ada apapun karena tidak ada pembunuhan.”
“Tapi saya membunuhnya, Dok. Oh, saya yang membunuhnya.”
“Shhh… itu semua kecelakaan, Sayang. Kecelakaan. Bukan pembunuham. Oke?”
“Tapi, Dok—”
“Kamu percaya saya, kan?”
Gadis berambut hitam sebahu itu mengangguk pelan. Mata sipitnya berusaha keras membendung air mata.
Paullina memeluk keponakan Dokter Revi Tan sahabatnya itu sebagai seorang kakak. “Tidak apa-apa, Sayang. Menangislah. Tumpahkan semua beban berat di hatimu. Tidak apa-apa, jangan ditahan. Itu akan baik untukmu.” Paullina mengelus punggung Celline. “Kadang-kadang kita memang perlu menangis. Air mata memang tidak menyelesaikan masalah, tapi menegaskan keberadaan.”
Lama Paullina membiarkan Celline menangis. Dia ingin gadis itu lebih tenang dengan menangis—setidaknya sedikit lebih tenang. Menurut Revi, Celline keponakannya sudah hampir satu bulan ini murung dan lebih sering mengurung diri. Awalnya Dokter Revi mengira ini hal biasa—remaja putus cinta. Tapi, semakin hari dokter mata itu melihat Celline yang mengkhawatirkan hingga dia merasa yakin ada yang tidak beres dengan keponakannya. Beberapa kali dia memergoki keponakannya yang tinggal serumah dengannya itu seolah-olah sedang berbicara dengan orang lain padahal tidak ada siapa pun. Bukan hanya itu, emosinya juga sering kali turun-naik dengan tiba-tiba. Tanpa pikir panjang lagi, Revi menceritakan apa yang terjadi pada Celline ke sahabatnya yang seorang psikolog. Paullina.
“Aku memang dokter, tapi psikologi bukan bidangku. Aku percayakan Celline padamu, Lina. Tolong keponakanku. Aku tahu dia tidak sedang baik-baik saja. Ada sesuatu hal yang dia sembunyikan dariku. Entah apa itu. Tapi, aku yakin sekali inilah sumber masalahnya,” ujar Revi saat menghubungi Paullina.
“Tenangkan dirimu, Rev. Bicara pelan-pelan saja. Kenapa dengan Celline, apa yang terjadi padanya?”
Revi menceritakan semunya.
“Aku takut dia terkena sakit mental,” ujar Revi di akhir ceritanya. “Dia sudah menunjukan gejala-gejala itu, kan? Maksudku aku sering melihat Celline senyum-senyum sendiri dan berbicara entah kepada siapa.”
“Seseorang tidak bisa didiagnosa sakit mental hanya gara-gara dia sering senyum-senyum atau berbicara sendiri, Rev. Itu perlu pemeriksaan khusus.”
“Tapi bagaimana dengan emosi yang sering berubah-ubah tanpa sebab?” cecar Revi.
“Itu banyak penjelasan sebabnya tentu saja. Tapi, baiklah. Aku akan membuat hipotesis mentah untuk kasus Celline berdasarkan informasi darimu dan pengalaman kerjaku. Apa kamu pernah mendengar tentang penyakit manic depressive?”
“Ya, tapi aku tidak paham sama sekali penyakit apa itu. Tapi kedengarannya serius.”
Paullina berdehem kemudian mulai menjelaskan, “Manic depressive itu suatu gangguan yang berhubungan dengan suasana hati. Mulai dari yang terendah—depresi—hingga yang tertinggi atau yang biasa kita sebut manik. Tapi kemungkinan Celline juga menderita gangguan yang lain karena dia juga mengalami delusi. Mungkin juga skizofernia.”
Revi menghela napas di ujung sambungan. “Celline itu pembohong kecil yang pandai sekali. Oh, sejak dia berusia sepuluh tahun dia sudah sering membohongiku sampai aku sama sekali tidak menyadarinya. Karena itu, aku tidak begitu mengindahkannya beberapa bulan belakangan ini.”
“Aku mengerti. Aku akan berusaha semampuku untuk membantu Celline. Ngomong-ngomong kapan aku bisa bertemu Celline?”
Revi memberitahu bahwa dia butuh waktu membujuk Celline agar mau ikut denganmya ke kantor Paullina. Akan tetapi, ternyata dugaan Revi salah. Celline tak perlu dibujuk sama sekali. Dia bahkan lebih tertarik dari yang Revi pikirkan. Dan sekarang gadis remaja turunan Tionghoa itu sudah duduk di hadapan Paullina untuk yang ketiga kalinya.
“Nah, Sayang, sekarangan katakan siapa lelaki yang menghamilimu itu?” tanya Paullina dengan nada memaksa yang halus sekali.
Celline menarik diri dari pelukan Paullina. Selama beberapa saat dia terus meremas-remas ujung blusnya. Ragu dan takut.
Paullina mengelus kepala gadis itu dengan sayang. “Jangan takut,” ujar dokter muda itu. “Saya ini tersumpah untuk tidak membocorkan rahasia pasien saya. Oke, begini, anggap saja saya ini sebagai teman dekatmu. Atau ibumu, atau siapa pun orang yang kamu dapat percayai,” bujuk Paullina.
“Om Gerald yang menghamili saya, Dok,” jawab Celline akhirnya. “Anda tahu, kan, Jefry Gerald, chef dan selebgram tampan kaya raya itu? Dia mantan pacar saya.”
Paullina menelan ludah. Dia terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan naif Celline. Menyadari mungkin ekspresinya mengeras, cepat-cepat Paullina mengendalikan perasaannya dan melanjutkan, “Kalau boleh, saya ingin tahu kronologi awal kalian bertemu sampai kalian memiliki hubungan.”
Celline tersipu. Bagaimanapun dia tetap merasa bangga pernah mejalin cinta dengan Jefry Gerald. Di luar sana ribuan perempuan memuja pria setengah dewa itu setengah mati. Mereka rela melakukan banyak hal tak masuk akal hanya demi mencuri perhatian Gerald. Ya, pria itu memang sudah tidak lagi muda. Namun pesonanya begitu kuat. Selain tampan dan memiliki bentuk badan sempurna, sosok Gerald yang misterius, dingin, dan senyum sinisnya menjadikannya tampak semakin memikat. Tapi, bagian terhebatnya tentu saja bukan itu. Melainkan Celline tidak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan perhatian Gerald. Lelaki yang memiliki jarak usia hampir dua puluh tahun dengannya bertekuk lutut hanya dengan dua kali pertemuan tak sengaja di kantor Dokter Revi.
Melihat Celline hanya tersenyum-senyum Paullina dengan lembut berkata, “Jadi bagaimana? Apa kamu tidak mau membagi kisah manis yang membuatmu merona itu, Sayangku?”
Celline semakin tersipu. “Tentu saja saya akan menceritakan semuanya kepada Anda, Dokter Baik. Karena saya tidak mau mengecewakan bibi Revi dan membuatnya khawatir lantaran mengira saya gila.” Setelah berkata demikian Celline pun menarik napas dalam-dalam dan memulai kisahnya.
Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh d
“Apa katamu, pembunuhan?” “Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.” “Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?” “Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan. “Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?” “Kau memang temanku yang pengertian.” “Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.” Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap. “Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini d
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham
Malam sudah larut, fajar sebentar lagi menyingsing di ufuk timur. Namun, Surya Wiratama sama sekali belum dapat memejamkan mata. Pria berambut keperakan itu masih mondar-mandir di ruang kerja pribadinya, resah bukan kepalang. Ini adalah malam ketiga Nicholas tidak pulang dan entah mengapa firasatnya buruk. Inspektur Indra juga belum memberikan kabar terkait keberadaan Nicholas. Meski anak semata wayangnya itu selalu membuat masalah, kurang ajar, dan tidak dapat dikatakan anak baik-baik meski sudah berkepala tiga, tetapi, Nicholas tetaplah anaknya. “Pa, apa belum ada kabar dari Pak Inspektur?” tanya istrinya, Lisa, yang baru masuk. Yang ditanya hanya menghela napas lalu menggeleng sedih. “Ke mana, ya, Nicholas. Nomornya tidak aktif, juga tidak memberi kabar. Ibu cemas, Pa.” “Bapa juga cemas, Bu. Walaupun Nicholas selalu bikin masalah, tapi, Bapa tetap cemas kalau begini keadaannya.” “Bapa sudah tanyai semua teman Nicholas?” “Sudah