Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.
“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.
“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.
“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”
“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”
“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”
Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”
“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh diri dengan menikam dirinya sendiri di punggung dan menjatuhkan dirinya sendiri ke lubang galian kabel. Belum lagi tempat kejadiannya itu berada dikeramaian,” komentar Susan dengan gaya seorang penyeledik profesional.
“Kita akan mengetahuinya pasti setelah dilakukan autopsi, Bu. Tapi, menurut Bripka Arif, kemungkinan besar korban sudah berada di sana kurang lebih satu minggu. Tertimbun lumpur.”
“Hem. Jadi kemungkinan besar korban dibunuh hari sabtu kalau begitu. Apa jenis kelamin korban, Pah?”
“Laki-laki. Tapi kami belum bisa memprediksikan berapa kira-kira usianya. Wajah korban sudah rusak parah. Selain itu korban tidak membawa identitas diri.”
“Mayat laki-laki tanpa identitas. Menarik sekali.”
Aipda Zen lagi-lagi menghela napas. Intuisi detektif istrinya sudah bangun. “Baiklah, Ibu silakan lanjutkan menyusun hipotesis di kepala ibu. Papah masuk ruang autopsi dulu.”
“Ah, ya. Semangat, Pah. Jangan lupa kabari Ibu nanti, ya.”
“Iya, Sayang. Pasti Papah kabarin nanti.”
Setelah menutup telepon, Aipda Zen mengenakan pakaian khusus, penutup kepala, sarung tangan, dan masker yang sebelumnya telah diolesi minyak kayu putih lalu masuk ruang autopsi. Ruangan itu seperti kamar autopsi pada umumnya. Berwarna putih, dingin, sempit dan beraroma tidak menyenangkan. Di atas meja baja nirkarat, tepat di hadapan Aipda Zen, Bripka Arif, Dokter Stefani dan asistennya, Dokter Clara, tergeletak kantong mayat berwarna orange yang mengeluarkan bau sangat busuk. Lampu-lampu berpenerangan tinggi dinyalakan. Dengan cekatan seorang profesional Dokter Stefani membuka ritsleting kantong mayat itu.
“Kita harus sangat hati-hati mengangkatnya keluar. Mayat ini sudah terlalu busuk,” ujar Dokter Stefani.
Setelah memberi arahan, dibantu Dokter Clara, Aipda Zen dan Bripka Arif mereka mengangkat keluar korban dari kantong mayat.
“Meskipun sepertinya tidak akan banyak membantu, kita tetap harus menjalankan identifikasi luar sesuai prosedur.”
Dokter Clara mengambil kotak kapas. “Autopsi ini pasti menjadi pengalaman pertama saya yang menegangkan sekaligus mengesankan.”
Beberapa ekor lalat terbang dan hinggap secara bergantian di lengan keempat orang itu. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang menghiraukannya. Mereka terpana sekaligus ngeri melihat apa yang nyata tergeletak di hadapan mereka. Wajah sebelah kiri atas mayat itu sudah berlubang dimangsa koloni belatung dan hewan pemakan bangkai lainnya. Sementara yang sebelah kanan, meski masih berbentuk wajah manusia, tapi tidak memungkinkan untuk dikenali lagi. Seekor kecoak kecil merayap keluar dari mulut yang sedikit ternganga dan busuk bersama beberapa ekor lalat hijau. Bukan hanya bagian wajah dari mayat itu yang telah rusak dan tampak mengerikan. Yang terutama adalah bagian perutnya yang mengeluarkan cairan berbau sangat menyengat dari luka di bagian kanan bawah.
Bripka Arif mengambil pinset dan beberapa kantong ziplock berwarna bening. “Wah, Pak Zen. Saya yakin Ibu Susan akan sangat tertarik melihat yang saya temukan ini,” ujar Bripka Arif sambil mengangkat seekor belatung berukuran cukup besar menggunakan pinset. “Ibu belatung.”
Aipda Zen dengan cekatan mengambil foto dari berbagai sudut. “Wah, Pak Arif. Sebaiknya Anda tidak memberitahunya. Saya khawatir istri saya akan mengintrogasi binatang malang itu sampai dia mendapatkan informasi yang diinginkan,” kelekar Aipda Zen.
Dokter Stefani tertawa kecil. “Anda ternyata memiliki selera humor yang tinggi juga, ya, Pak Zen. Anda serenyah permen coklat.”
“Istri saya yang mengajarkan, Dokter. Kalau Anda mengenal saya yang dulu, Anda pasti akan mengatai saya lap mobil kering. Kaku.”
“Wah, istri Anda benar-benar keajaiban. Suatu berkat dari Tuhan yang harus Anda syukuri dan jaga baik-baik,” sahut Dokter Clara.
Aipda Zen mengangguk sekilas. “Saya pasti akan menjaganya, Dokter. Dengan jiwa dan raga saya, tentu saja.”
“Kira-kira, apa, ya, pendapat Bu Susan kalau saya katakan kemungkinan besar korban tewas dibunuh?” ujar Dokter Stefani.
“Saya yakin dia tidak akan terkejut sedikit pun, Bu Dokter,” sahut Bripka Arif. “Bahkan, sebelum kita berpikir ini kasus pembunuhan, Bu Susan saya pasti sudah menduganya. Bukan begitu, Pak Zen?”
“Persis. Bahkan menurutnya kemungkinan besar pembunuhan berencana.”
“Hei, apa ini?”
“Ada apa Dokter Clara?”
“Tato. Sepertinya ini tato.” Dokter Clara menujuk gambar yang sudah tidak terlalu jelas bentuk dan warnanya di dekat mata kaki kiri korban.
Dokter Stefani menyorotkan senter kecil. “Sepertinya memang bekas tato. Ini seperti….”
Aipda Zen dan Bripka Arif mendekat. “Seperti gambar kaki burung yang mencengkram,” kata Bripka Arif. “Sayang, bagian yang lain sudah habis dimakan belatung. Jadi kita tidak bisa memastikan.”
“Coba lihat ini. Di dekat mata kaki kanan korban juga bertato,” sahut Aipda Zen. Dia mengambil kapas dari kotak Dokter Stefani lalu mulai membersihkan mata kaki itu dengan hati-hati. “Sepertinya gambar bunga mawar. Ah, benar gambar bunga mawar.”
“Sepertinya korban ini laki-laki yang memiliki selera aneh dengan seni menato tubuh. Lihat,” Dokter Stefani mengacungkan ibu jarinya ke paha kanan sebelah atas. “Dia mentato pahanya gambar laba-laba dengan ukuran sebesar bola pimpong.”
“Tunggu, itu sepertinya bukan tato laba-laba.” Aipda Zen mengambil kapas yang baru dan membersihkan bagian yang ditunjukan Dokter Stefani perlahan. “Kalau dugaan saya benar ini pasti gambar logo geng anak jalanan yang beberapa waktuu membuat kerusuhan. Ah, payah. Ternyata dugaan saya salah. Memang gambar laba-laba.”
“Jangan terlalu bersemangat, Pak Zen.”
“Sepertinya saya sudah tertular energi istri saya.”
“Dilihat dar kondisinya kemungkinan korban sudah berada di lubang galian kabel itu sekitar kurang lebih satu minggu,” ujar Bripka Arif.
“Bagaimana Anda bisa begitu yakin, Pak?” tanya Dokter Clara.
“Mendiang istri saya juga seorang dokter forensik. Dia ahli di bidang entomologi. Karena itu saya tahu cukup banyak tentang forensik dan entomologi.”
“Bripka Arif ini suaminya mendiang dokter Wenda. Dokter forensik terbaik yang departemen kita pernah miliki. Sampai sekarang belum ada yang mampu menyainginya,” sahut Aipda Zen.
Dokter Clara tersipu malu. “Saya minta maaf. Saya sama sekali tidak tahu. Saya dokter baru di sini. Dan saya masih magang.” Dia menjelaskan yang sebenarnya tidak perlu. “Saya minta maaf yang sebesar-besarnya telah meragukan Anda tadi, Bripka Arif,” sambung Dokter Clara tulus.
“Tidak apa-apa, Dokter. Sungguh, saya sama sekali tidak tersinggung.”
Dokter Stefani memberi tanda untuk bersiap melakukan pembedahan. Namun sebelum mulai, dokter bertubuh tinggi langsing itu meminta semuanya mengoleskan minyak kayu putih atau wewangian atau apa pun untuk meminimalisir bau tidak sedap yang lebih menyengat lagi nanti.
“Apa katamu, pembunuhan?” “Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.” “Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?” “Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan. “Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?” “Kau memang temanku yang pengertian.” “Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.” Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap. “Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini d
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham
Malam sudah larut, fajar sebentar lagi menyingsing di ufuk timur. Namun, Surya Wiratama sama sekali belum dapat memejamkan mata. Pria berambut keperakan itu masih mondar-mandir di ruang kerja pribadinya, resah bukan kepalang. Ini adalah malam ketiga Nicholas tidak pulang dan entah mengapa firasatnya buruk. Inspektur Indra juga belum memberikan kabar terkait keberadaan Nicholas. Meski anak semata wayangnya itu selalu membuat masalah, kurang ajar, dan tidak dapat dikatakan anak baik-baik meski sudah berkepala tiga, tetapi, Nicholas tetaplah anaknya. “Pa, apa belum ada kabar dari Pak Inspektur?” tanya istrinya, Lisa, yang baru masuk. Yang ditanya hanya menghela napas lalu menggeleng sedih. “Ke mana, ya, Nicholas. Nomornya tidak aktif, juga tidak memberi kabar. Ibu cemas, Pa.” “Bapa juga cemas, Bu. Walaupun Nicholas selalu bikin masalah, tapi, Bapa tetap cemas kalau begini keadaannya.” “Bapa sudah tanyai semua teman Nicholas?” “Sudah
“Selamat malam, Bu Susan. Saya minta maaf meroptkan dan mengganggu istirahat Anda. Masalahnya mendesak, Bu,” ujar Inspektur Indra saat perempuan itu tiba.“Selamat malam Pak Inspektur, Pak Ega.” Susan mengulurkan tangan untuk berjabat. “Kapan pun Anda membutuhkan bantuan saya, Pak Inspektur. Saya dengan senang hati akan membantu.”“Anda baik sekali, Bu Susan.”“Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Meskipun kecil dan tidak terlalu berarti, setidaknya ada sesuatu yang bisa saya berikan untuk negara ini.”“Anda luar biasa. Jiwa patriotisme Anda mengaggumkan.”“Silakan duduk, Bu Susan,” ujar Bripka Ega. “Sambil menunggu Dokter Diaz selesai melakukan identifikasi odontologi, mungkin Pak Inspektur akan menjelaskan terlebih dahulu duduk permasalahan genting ini.”“Tentu saja. Saya masih berada dalam gelap memang. Bahkan, meskipun saya s