Share

Bab 4

Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.

“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.

“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.

“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”

“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”

“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”

Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”

“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh diri dengan menikam dirinya sendiri di punggung dan menjatuhkan dirinya sendiri ke lubang galian kabel. Belum lagi tempat kejadiannya itu berada dikeramaian,” komentar Susan dengan gaya seorang penyeledik profesional.

“Kita akan mengetahuinya pasti setelah dilakukan autopsi, Bu. Tapi, menurut Bripka Arif, kemungkinan besar korban sudah berada di sana kurang lebih satu minggu. Tertimbun lumpur.”

“Hem. Jadi kemungkinan besar korban dibunuh hari sabtu kalau begitu. Apa jenis kelamin korban, Pah?”

“Laki-laki. Tapi kami belum bisa memprediksikan berapa kira-kira usianya. Wajah korban sudah rusak parah. Selain itu korban tidak membawa identitas diri.”

“Mayat laki-laki tanpa identitas. Menarik sekali.”

Aipda Zen lagi-lagi menghela napas. Intuisi detektif istrinya sudah bangun. “Baiklah, Ibu silakan lanjutkan menyusun hipotesis di kepala ibu. Papah masuk ruang autopsi dulu.”

“Ah, ya. Semangat, Pah. Jangan lupa kabari Ibu nanti, ya.”

“Iya, Sayang. Pasti Papah kabarin nanti.”

Setelah menutup telepon, Aipda Zen mengenakan pakaian khusus, penutup kepala, sarung tangan, dan masker yang sebelumnya telah diolesi minyak kayu putih lalu masuk ruang autopsi. Ruangan itu seperti kamar autopsi pada umumnya. Berwarna putih, dingin, sempit dan beraroma tidak menyenangkan. Di atas meja baja nirkarat, tepat di hadapan Aipda Zen, Bripka Arif, Dokter Stefani dan asistennya, Dokter Clara, tergeletak kantong mayat berwarna orange yang mengeluarkan bau sangat busuk. Lampu-lampu berpenerangan tinggi dinyalakan. Dengan cekatan seorang profesional Dokter Stefani membuka ritsleting kantong mayat itu.

“Kita harus sangat hati-hati mengangkatnya keluar. Mayat ini sudah terlalu busuk,” ujar Dokter Stefani.

Setelah memberi arahan, dibantu Dokter Clara, Aipda Zen dan Bripka Arif mereka mengangkat keluar korban dari kantong mayat.

“Meskipun sepertinya tidak akan banyak membantu, kita tetap harus menjalankan identifikasi luar sesuai prosedur.”

Dokter Clara mengambil kotak kapas. “Autopsi ini pasti menjadi pengalaman pertama saya yang menegangkan sekaligus mengesankan.”

Beberapa ekor lalat terbang dan hinggap secara bergantian di lengan keempat orang itu. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang menghiraukannya. Mereka terpana sekaligus ngeri melihat apa yang nyata tergeletak di hadapan mereka. Wajah sebelah kiri atas mayat itu sudah berlubang dimangsa koloni belatung dan hewan pemakan bangkai lainnya. Sementara yang sebelah kanan, meski masih berbentuk wajah manusia, tapi tidak memungkinkan untuk dikenali lagi. Seekor kecoak kecil merayap keluar dari mulut yang sedikit ternganga dan busuk bersama beberapa ekor lalat hijau. Bukan hanya bagian wajah dari mayat itu yang telah rusak dan tampak mengerikan. Yang terutama adalah bagian perutnya yang mengeluarkan cairan berbau sangat menyengat dari luka di bagian kanan bawah.

Bripka Arif mengambil pinset dan beberapa kantong ziplock berwarna bening. “Wah, Pak Zen. Saya yakin Ibu Susan akan sangat tertarik melihat yang saya temukan ini,” ujar Bripka Arif sambil mengangkat seekor belatung berukuran cukup besar menggunakan pinset. “Ibu belatung.”

Aipda Zen dengan cekatan mengambil foto dari berbagai sudut. “Wah, Pak Arif. Sebaiknya Anda tidak memberitahunya. Saya khawatir istri saya akan mengintrogasi binatang malang itu sampai dia mendapatkan informasi yang diinginkan,” kelekar Aipda Zen.

Dokter Stefani tertawa kecil. “Anda ternyata memiliki selera humor yang tinggi juga, ya, Pak Zen. Anda serenyah permen coklat.”

“Istri saya yang mengajarkan, Dokter. Kalau Anda mengenal saya yang dulu, Anda pasti akan mengatai saya lap mobil kering. Kaku.”

“Wah, istri Anda benar-benar keajaiban. Suatu berkat dari Tuhan yang harus Anda syukuri dan jaga baik-baik,” sahut Dokter Clara.

Aipda Zen mengangguk sekilas. “Saya pasti akan menjaganya, Dokter. Dengan jiwa dan raga saya, tentu saja.”

“Kira-kira, apa, ya, pendapat Bu Susan kalau saya katakan kemungkinan besar korban tewas dibunuh?” ujar Dokter Stefani.

“Saya yakin dia tidak akan terkejut sedikit pun, Bu Dokter,” sahut Bripka Arif. “Bahkan, sebelum kita berpikir ini kasus pembunuhan, Bu Susan saya pasti sudah menduganya. Bukan begitu, Pak Zen?”

“Persis. Bahkan menurutnya kemungkinan besar pembunuhan berencana.”

“Hei, apa ini?”

“Ada apa Dokter Clara?”

“Tato. Sepertinya ini tato.” Dokter Clara menujuk gambar yang sudah tidak terlalu jelas bentuk dan warnanya di dekat mata kaki kiri korban.

Dokter Stefani menyorotkan senter kecil. “Sepertinya memang bekas tato. Ini seperti….”

Aipda Zen dan Bripka Arif mendekat. “Seperti gambar kaki burung yang mencengkram,” kata Bripka Arif. “Sayang, bagian yang lain sudah habis dimakan belatung. Jadi kita tidak bisa memastikan.”

“Coba lihat ini. Di dekat mata kaki kanan korban juga bertato,” sahut Aipda Zen. Dia mengambil kapas dari kotak Dokter Stefani lalu mulai membersihkan mata kaki itu dengan hati-hati. “Sepertinya gambar bunga mawar. Ah, benar gambar bunga mawar.”

“Sepertinya korban ini laki-laki yang memiliki selera aneh dengan seni menato tubuh. Lihat,” Dokter Stefani mengacungkan ibu jarinya ke paha kanan sebelah atas. “Dia mentato pahanya gambar laba-laba dengan ukuran sebesar bola pimpong.”

“Tunggu, itu sepertinya bukan tato laba-laba.” Aipda Zen mengambil kapas yang baru dan membersihkan bagian yang ditunjukan Dokter Stefani perlahan. “Kalau dugaan saya benar ini pasti gambar logo geng anak jalanan yang beberapa waktuu membuat kerusuhan. Ah, payah. Ternyata dugaan saya salah. Memang gambar laba-laba.”

“Jangan terlalu bersemangat, Pak Zen.”

“Sepertinya saya sudah tertular energi istri saya.”

“Dilihat dar kondisinya kemungkinan korban sudah berada di lubang galian kabel itu sekitar kurang lebih satu minggu,” ujar Bripka Arif.

“Bagaimana Anda bisa begitu yakin, Pak?” tanya Dokter Clara.

“Mendiang istri saya juga seorang dokter forensik. Dia ahli di bidang entomologi. Karena itu saya tahu cukup banyak tentang forensik dan entomologi.”

“Bripka Arif ini suaminya mendiang dokter Wenda. Dokter forensik terbaik yang departemen kita pernah miliki. Sampai sekarang belum ada yang mampu menyainginya,” sahut Aipda Zen.

Dokter Clara tersipu malu. “Saya minta maaf. Saya sama sekali tidak tahu. Saya dokter baru di sini. Dan saya masih magang.” Dia menjelaskan yang sebenarnya tidak perlu. “Saya minta maaf yang sebesar-besarnya telah meragukan Anda tadi, Bripka Arif,” sambung Dokter Clara tulus.

“Tidak apa-apa, Dokter. Sungguh, saya sama sekali tidak tersinggung.”

Dokter Stefani memberi tanda untuk bersiap melakukan pembedahan. Namun sebelum mulai, dokter bertubuh tinggi langsing itu meminta semuanya mengoleskan minyak kayu putih atau wewangian atau apa pun untuk meminimalisir bau tidak sedap yang lebih menyengat lagi nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status