Share

Bab 2

Mobil berwarna orange dengan sirene meraung-raung di udara membelah keramaian lalu lintas jalan Soekarno Hatta. Di belakang kemudi Aipda Zen duduk dengan gelisah memikirkan istrinya. Susan sangat terpukul saat dia memberitahu ditemukan  mayat di dalam lubang galian, dan menambahkan dugaannya sendiri bahwa kemungkinan itu korban pembunuhan. Aipda Zen sama sekali tidak menyangka reaksi istrinya demikian. Seharusnya Susan senang mendapat yang diinginkan—biasanya justru dia yang lebih semangat darinya sendiri jika ada kasus seperti ini. Bahan bakar otak begitu dia sering menyebutnya. Bahkan, dulu sebelum mereka menikah, perempuan yang entah mengapa tidak mau dipanggil bunda atau mama, dan tak mau memanggil dirinya ayah atau mas atau panggilan lain selain bapak dan sekarang papah itu, rela jauh-jauh datang ke kantor dan menunggu selama berjam-jam dia istirahat hanya demi riset data untuk naskah yang sedang digarapnya.

“Anda baik-baik saja, Pak Zen?” tanya Bripka Ega Kurnia yang duduk di sebelahnya. “Anda seperti sedang mencemaskan sesuatu.”

Aipda Zen tersentak bangun dari lamunan setengah sadarnya. Dia menghela napas. “Saya sedang memikirkan istri saya,” sahutnya kemudian.

“Ada apa dengan Bu Susan? Apa ada sesuatu yang tidak beres?” Bripka Ega Kurnia memang seperti seekor kucing yang sensitif.

Aipda Zen menceritakan apa yang terjadi. “Bagitulah ceritanya, Pak Ega. Saya sama sekali tidak bermaksud menakut-nakuti istri saya. Saya hanya ingin membuat dia tidak menginginkan yang bukan-bukan.”

“Saya dapat mengerti maksud baik Pak Zen,” sahut Bripka Ega. “Mungkin Bu Susan hanya sedang sensitif perasaannya. Sudahlah Pak Zen, saya yakin Bu Susan akan baik-baik saja. Saya tidak percaya insting penulis fiksi krimianalnya tidak akan tergugah mendengar berita ini. Mungkin sekarang malah Bu Susan sedang menyusun satu alur.”  Pria bertubuh tidak terlalu jangkung dan kurus itu mencoba menenangkan rekannya.

Aipda Zen belum sempat menjawab ketika ponsel genggamnya berdering pendek. Satu pesan masuk dari istrinya. Wajah Aipda Zen seketika merona setelah membaca pesan itu. “Wah, Pak Ega, rupanya dugaan Anda benar.” Dia mengangkat ponsel genggamnya ke arah Bripka Ega. “Istri saya meminta saya mengabarinya segera kalau kasus yang akan kita tangani ini terindikasi pembunuhan. Dia sudah punya bayangan untuk cerita barunya.”

“Sudah saya duga, Pak Zen. Apa saya bilang. Bu Susan tidak mungkin tidak tergugah instingnya. Sekarang saya justru berpikir kalau sebenarnya istri Anda sedang mempermainkan Anda. Dia sengaja membuat Anda cemas bukan kepalang karena kemungkinan dia tahu apa yang Anda lakukan.” Bripka Eka tertawa kecil. Wajahnya yang cekung tampak tipis dan lucu.

“Ah, ya. Pasti begitu. Istri saya memang suka jahil kalau bosan. Apa saja pasti dia lakukan untuk menghibur dirinya sendiri. Benar-benar bodoh saya tidak menyadari semua itu.” Aipda Zen tertawa malu.

“Cinta memang membuat orang bodoh, Pak Zen.”

“Ya, begitulah kata istri saya.”

“Dan Bu Susan benar untuk yang dikatakannya.”

“Istri saya memang selalu benar. Perempuan tidak pernah salah, tidak pernah mau.”

“Ya, Pak Zen. Karena kesalahan hanya milik laki-laki. Begitu, kan?”

Kedua pria berseragam orange itu tertawa terbahak-bahak seirama sirene mobil di atas mereka.

Hari sudah menjelang petang saat mobil yang dikemudikan Aipda Zen tiba di tempat kejadian perkara. Inspektur Indra dan beberapa polisi termasuk dua orang tim INAFIS lain sudah berada di lokasi mengamankan tempat kejadian, menghalau masyarakat sekitar untuk tidak mendekat.

 Setelah memarkirkan mobilnya, mengambil peralatan kerjanya, Aipda Zen segera melompat keluar menyusul Bripka Ega yang telah lebih dulu turun dari mobil.

 “Pak Zen, tidak biasanya Anda terlambat,” tegur Bripka Arif Yusman sedang memainkan kamera sakunya untuk mengambil gambar.

“Pak Inspektur meminta saya ke kantor menjemput Pak Ega dulu,” sahut Aipda Zen sambil mengenakan sarung tangannya. “Bagaimana, Pak Arif? Apa sudah siap mengeksekusi kasus ini?” Aipda Zen mengedipkan mata seraya mengangguk penuh arti.

Bripka Arif tersenyum bangga di balik masker berwarna biru yang dikenakannya. Pria berusia mendekati empat puluh itu secara diam-diam memang mengaggumi lelaki berwajah memesona dan bermata hitam teduh. Garis-garis di dahinya menyiratkan kecerdasan. Sementara rahang perseginya yang kokoh menegaskan kepribadian, kedisiplinan, semangat, dan identitas diri pria sejati. “Kapanpun Anda siap, Pak,” balas Bripka Arif tak mau kalah.

“ Baiklah, ayo, Pak Arif, waktunya kita beraksi.” Aipda Zen memberi isyarat tangan untuk mulai evakuasi dan memburu jejak di tempat kejadian perkara.

Garis polisi dipasangan beberapa meter jauhnya mengelilingi tempat kejadian perkara. Empat  orang polisi bekerja keras menjaga ketertiban. Warga sekitar juga para pengendara yang kebetulan melintas dan penasaran, berkumpul membetuk lingkaran seperti sebuah koloni semut mengitari sepotong roti. Mereka tidak membuang kesempatan untuk mengambil foto menggunakan ponsel genggam masing-masing, bahkan melakukan siaran langsung di media sosial layaknya seorang reporter melaporkan dari tempat kejadian perkara.

Proses evakuasi mayat dari dalam lubang galian kabel jalan sedalam hampir satu meter setengah itu memakan waktu sekitar dua  puluh lima menit.  Kondisi mayat yang sudah busuk di dalam lumpur benar-benar memerlukan penanganan khusus. Selain itu, lubang galian tersebut hanya memiliki lebar kurang lebih satu meter, dengan panjang sekitar dua meter. Hal ini tentu saja menyulitkan Aipda Zen dan rekan-rekannya untuk mengangkat naik mayat yang sudah busuk itu tanpa merusaknya.

“Bagaimana menurut Anda Pak Zen, mungkinkah ini kasus pembunuhan seperti yang diharapkan istri Anda?” tanya Bripka Ega ketika dia Bripka Arif dan Aipda Zen dalam perjalanan mengawal mobil jenazah menuju rumah sakit.

“Saya belum bisa mengambil kesimpulan. Saya tidak bisa memastikan apa pun selain jenis kelaminnya laki-laki dan ada luka di perut yang menembus ke punggung korban. Mungkin memang pembunuhan, tapi mungkin juga korban perampokan disertai kekerasan. Entalah. Saya belum pasti, Pak Ega.” Aipda Zen menoleh ke arah Bripka Arif. “Bagaimana menurut Anda, Pak Arif, kalau dilihat dari segi entomologi?”

Pria berambut ikal bertubuh kecil dan memiliki mata seperti mata kelalawari itu menggaruk hidungnya. “Sama seperti Anda, Pak Zen. Saya juga tidak dapat memastikan banyak hal. Tapi, kalau dilihat dari kondisi mayatnya, saya memperkirakan korban sudah berada di sana sekitar lima sampai enam hari. Atau paling lama satu minggu.”

“Yang masih tidak saya mengerti,” ujar Bripka Ega, “kenapa bau mayat itu tidak menarik pengguna jalan dari kemarin-kemarin sampai sebusuk itu?”

“Hampir sepekan ini hujan turun secara terus menerus Pak Ega. Tidak ada orang yang mau berjalan kaki, dan pengemudi roda dua pun tidak punya waktu untuk mengendus-endus bau,” sahut Aipda Zen. “Selain itu, bau busuknya juga pasti tersamar oleh bau hujan.”

“Ah, betapa bodohnya saya! Bu Susan pernah menjelaskan deduksi ini dalam salah satu bukunya. Bagaimana saya lupa? Ah, benar-benar bodoh.”

“Sepertinya Anda butuh minum kopi, Pak Ega. Bagaimana kalau pulang nanti mampir dulu ke rumah saya. Pak Arif juga. Istri saya pasti senang sekali. Kebetulan dia sedang sangat bosan.”

“Anda baik sekali, Pak Zen. Memang itulah yang saya butuhkan. Evakuasi tadi benar-benar memporak-porandakan isi perut saya. Apalagi Anda tahu sendiri saya baru selesai makan tadi.”

“Tidak perlu naif begitu, Pak Ega. Kenapa Anda tidak berterus terang saja kalau Anda ingin ngobrol dengan Bu Susan? Saya yakin Pak Zen juga tidak akan keberatan. Benar begitu, kan, Pak Zen?” ledek Pak Arif.

“Bagaimana mungkin saya melarang penggemar menemui idolanya, Pak Arif?”

Bripka Ega tersipu malu. Sementara Bripka Arif dan Aipda Zen tertawa melihat kekikukan Bripka Ega.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status