Mobil berwarna orange dengan sirene meraung-raung di udara membelah keramaian lalu lintas jalan Soekarno Hatta. Di belakang kemudi Aipda Zen duduk dengan gelisah memikirkan istrinya. Susan sangat terpukul saat dia memberitahu ditemukan mayat di dalam lubang galian, dan menambahkan dugaannya sendiri bahwa kemungkinan itu korban pembunuhan. Aipda Zen sama sekali tidak menyangka reaksi istrinya demikian. Seharusnya Susan senang mendapat yang diinginkan—biasanya justru dia yang lebih semangat darinya sendiri jika ada kasus seperti ini. Bahan bakar otak begitu dia sering menyebutnya. Bahkan, dulu sebelum mereka menikah, perempuan yang entah mengapa tidak mau dipanggil bunda atau mama, dan tak mau memanggil dirinya ayah atau mas atau panggilan lain selain bapak dan sekarang papah itu, rela jauh-jauh datang ke kantor dan menunggu selama berjam-jam dia istirahat hanya demi riset data untuk naskah yang sedang digarapnya.
“Anda baik-baik saja, Pak Zen?” tanya Bripka Ega Kurnia yang duduk di sebelahnya. “Anda seperti sedang mencemaskan sesuatu.”
Aipda Zen tersentak bangun dari lamunan setengah sadarnya. Dia menghela napas. “Saya sedang memikirkan istri saya,” sahutnya kemudian.
“Ada apa dengan Bu Susan? Apa ada sesuatu yang tidak beres?” Bripka Ega Kurnia memang seperti seekor kucing yang sensitif.
Aipda Zen menceritakan apa yang terjadi. “Bagitulah ceritanya, Pak Ega. Saya sama sekali tidak bermaksud menakut-nakuti istri saya. Saya hanya ingin membuat dia tidak menginginkan yang bukan-bukan.”
“Saya dapat mengerti maksud baik Pak Zen,” sahut Bripka Ega. “Mungkin Bu Susan hanya sedang sensitif perasaannya. Sudahlah Pak Zen, saya yakin Bu Susan akan baik-baik saja. Saya tidak percaya insting penulis fiksi krimianalnya tidak akan tergugah mendengar berita ini. Mungkin sekarang malah Bu Susan sedang menyusun satu alur.” Pria bertubuh tidak terlalu jangkung dan kurus itu mencoba menenangkan rekannya.
Aipda Zen belum sempat menjawab ketika ponsel genggamnya berdering pendek. Satu pesan masuk dari istrinya. Wajah Aipda Zen seketika merona setelah membaca pesan itu. “Wah, Pak Ega, rupanya dugaan Anda benar.” Dia mengangkat ponsel genggamnya ke arah Bripka Ega. “Istri saya meminta saya mengabarinya segera kalau kasus yang akan kita tangani ini terindikasi pembunuhan. Dia sudah punya bayangan untuk cerita barunya.”
“Sudah saya duga, Pak Zen. Apa saya bilang. Bu Susan tidak mungkin tidak tergugah instingnya. Sekarang saya justru berpikir kalau sebenarnya istri Anda sedang mempermainkan Anda. Dia sengaja membuat Anda cemas bukan kepalang karena kemungkinan dia tahu apa yang Anda lakukan.” Bripka Eka tertawa kecil. Wajahnya yang cekung tampak tipis dan lucu.
“Ah, ya. Pasti begitu. Istri saya memang suka jahil kalau bosan. Apa saja pasti dia lakukan untuk menghibur dirinya sendiri. Benar-benar bodoh saya tidak menyadari semua itu.” Aipda Zen tertawa malu.
“Cinta memang membuat orang bodoh, Pak Zen.”
“Ya, begitulah kata istri saya.”
“Dan Bu Susan benar untuk yang dikatakannya.”
“Istri saya memang selalu benar. Perempuan tidak pernah salah, tidak pernah mau.”
“Ya, Pak Zen. Karena kesalahan hanya milik laki-laki. Begitu, kan?”
Kedua pria berseragam orange itu tertawa terbahak-bahak seirama sirene mobil di atas mereka.
Hari sudah menjelang petang saat mobil yang dikemudikan Aipda Zen tiba di tempat kejadian perkara. Inspektur Indra dan beberapa polisi termasuk dua orang tim INAFIS lain sudah berada di lokasi mengamankan tempat kejadian, menghalau masyarakat sekitar untuk tidak mendekat.
Setelah memarkirkan mobilnya, mengambil peralatan kerjanya, Aipda Zen segera melompat keluar menyusul Bripka Ega yang telah lebih dulu turun dari mobil.
“Pak Zen, tidak biasanya Anda terlambat,” tegur Bripka Arif Yusman sedang memainkan kamera sakunya untuk mengambil gambar.
“Pak Inspektur meminta saya ke kantor menjemput Pak Ega dulu,” sahut Aipda Zen sambil mengenakan sarung tangannya. “Bagaimana, Pak Arif? Apa sudah siap mengeksekusi kasus ini?” Aipda Zen mengedipkan mata seraya mengangguk penuh arti.
Bripka Arif tersenyum bangga di balik masker berwarna biru yang dikenakannya. Pria berusia mendekati empat puluh itu secara diam-diam memang mengaggumi lelaki berwajah memesona dan bermata hitam teduh. Garis-garis di dahinya menyiratkan kecerdasan. Sementara rahang perseginya yang kokoh menegaskan kepribadian, kedisiplinan, semangat, dan identitas diri pria sejati. “Kapanpun Anda siap, Pak,” balas Bripka Arif tak mau kalah.
“ Baiklah, ayo, Pak Arif, waktunya kita beraksi.” Aipda Zen memberi isyarat tangan untuk mulai evakuasi dan memburu jejak di tempat kejadian perkara.
Garis polisi dipasangan beberapa meter jauhnya mengelilingi tempat kejadian perkara. Empat orang polisi bekerja keras menjaga ketertiban. Warga sekitar juga para pengendara yang kebetulan melintas dan penasaran, berkumpul membetuk lingkaran seperti sebuah koloni semut mengitari sepotong roti. Mereka tidak membuang kesempatan untuk mengambil foto menggunakan ponsel genggam masing-masing, bahkan melakukan siaran langsung di media sosial layaknya seorang reporter melaporkan dari tempat kejadian perkara.
Proses evakuasi mayat dari dalam lubang galian kabel jalan sedalam hampir satu meter setengah itu memakan waktu sekitar dua puluh lima menit. Kondisi mayat yang sudah busuk di dalam lumpur benar-benar memerlukan penanganan khusus. Selain itu, lubang galian tersebut hanya memiliki lebar kurang lebih satu meter, dengan panjang sekitar dua meter. Hal ini tentu saja menyulitkan Aipda Zen dan rekan-rekannya untuk mengangkat naik mayat yang sudah busuk itu tanpa merusaknya.
“Bagaimana menurut Anda Pak Zen, mungkinkah ini kasus pembunuhan seperti yang diharapkan istri Anda?” tanya Bripka Ega ketika dia Bripka Arif dan Aipda Zen dalam perjalanan mengawal mobil jenazah menuju rumah sakit.
“Saya belum bisa mengambil kesimpulan. Saya tidak bisa memastikan apa pun selain jenis kelaminnya laki-laki dan ada luka di perut yang menembus ke punggung korban. Mungkin memang pembunuhan, tapi mungkin juga korban perampokan disertai kekerasan. Entalah. Saya belum pasti, Pak Ega.” Aipda Zen menoleh ke arah Bripka Arif. “Bagaimana menurut Anda, Pak Arif, kalau dilihat dari segi entomologi?”
Pria berambut ikal bertubuh kecil dan memiliki mata seperti mata kelalawari itu menggaruk hidungnya. “Sama seperti Anda, Pak Zen. Saya juga tidak dapat memastikan banyak hal. Tapi, kalau dilihat dari kondisi mayatnya, saya memperkirakan korban sudah berada di sana sekitar lima sampai enam hari. Atau paling lama satu minggu.”
“Yang masih tidak saya mengerti,” ujar Bripka Ega, “kenapa bau mayat itu tidak menarik pengguna jalan dari kemarin-kemarin sampai sebusuk itu?”
“Hampir sepekan ini hujan turun secara terus menerus Pak Ega. Tidak ada orang yang mau berjalan kaki, dan pengemudi roda dua pun tidak punya waktu untuk mengendus-endus bau,” sahut Aipda Zen. “Selain itu, bau busuknya juga pasti tersamar oleh bau hujan.”
“Ah, betapa bodohnya saya! Bu Susan pernah menjelaskan deduksi ini dalam salah satu bukunya. Bagaimana saya lupa? Ah, benar-benar bodoh.”
“Sepertinya Anda butuh minum kopi, Pak Ega. Bagaimana kalau pulang nanti mampir dulu ke rumah saya. Pak Arif juga. Istri saya pasti senang sekali. Kebetulan dia sedang sangat bosan.”
“Anda baik sekali, Pak Zen. Memang itulah yang saya butuhkan. Evakuasi tadi benar-benar memporak-porandakan isi perut saya. Apalagi Anda tahu sendiri saya baru selesai makan tadi.”
“Tidak perlu naif begitu, Pak Ega. Kenapa Anda tidak berterus terang saja kalau Anda ingin ngobrol dengan Bu Susan? Saya yakin Pak Zen juga tidak akan keberatan. Benar begitu, kan, Pak Zen?” ledek Pak Arif.
“Bagaimana mungkin saya melarang penggemar menemui idolanya, Pak Arif?”
Bripka Ega tersipu malu. Sementara Bripka Arif dan Aipda Zen tertawa melihat kekikukan Bripka Ega.
Psychology Kasih Bunda.Pukul 20.15 malam.Ruangan itu diberi perabotan duduk seperti ruang duduk dalam rumah orang di pedesaan Bali. Dua buah payung tedung berwarna keemasan diletakan di depan pintu masuk. Dindingnya dilapisi kertas dinding bermotif batu bata merah. Lukisan seorang penari Bali dengan bunga kamboja putih di atas telinganya yang diberi bingkai dari kuningan merupakan hiasan dinding satu-satunya. Tidak ada meja tulis di ruangan itu. Yang ada hanya kursi malas empuk dari rotan, meja kecil di ujung ruangan untuk meletakan keranjang bunga sedap malam, dan satu buah lampu gantung antik di tengah-tengah ruangan.Suasana kantor itu memang sengaja di desain sedemikian rupa oleh Dokter Paullina Diandra untuk memberi kenyamanan pasiennya saat melakukan sesi konsultadi dengannya. Sebagai seorang psikologi profesinal, Paullina tahu betul bagaimana kenyamanan pasiennya berpengaruh besar pada pekerjaannya. Kenyamaan akan menum
Waktu menunjukan pukul sembilan kurang lima belas menit saat Aipda Zen menelpon istrinya dan memberitahu kemungkinan dia tidak pulang.“Jadi, kemungkinan besar mayat itu korban pembunuhan?” istrinya menegas. Seperti biasa Susan lebih tertarik dengan kasus yang sedang ditangani Aipda Zen daripada kabar ketidak pulangannya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.“Masih belum pasti, Bu. Ini baru dugaan sementara karena ditemukan luka bekas tusukan,” sahut Aipda Zen.“Bagian tubuh mana yang ditusuk, bagaimana bentuk tusukan itu?”“Ada luka bekas tusukan di perut korban. Ta—”“Bagaimana bentuk tusukannya, Pah? Kira-kira ditusuk dari depan atau belakang?”Aipda Zen menghela napas. “Sepertinya ditusuk dari belakang, Bu. Sebab luka di perut depan tidak terlalu besar.”“Sudah pasti ini pembunuhan. Kemungkinan besar pembunuhan berencana. Tidak ada orang yang bunuh d
“Apa katamu, pembunuhan?” “Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.” “Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?” “Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan. “Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?” “Kau memang temanku yang pengertian.” “Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.” Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap. “Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini d
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham