“Apa katamu, pembunuhan?”
“Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.”
“Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?”
“Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan.
“Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?”
“Kau memang temanku yang pengertian.”
“Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.”
Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap.
“Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini denganmu dan membahas kasus yang sedang ditangani suamiku,” ujarnya. Dan tak kurang dari dua puluh menit setelah Paullina mengiyakan, sahabat baiknya itu pun sudah mengetuk pintu kantor Paullina.
“Kau sepertinya baru saja mendapat pasien yang sulit,” ujar Susan saat Paullina kembali dari belakang. Kantor tempatnya bekerja memang didesain khusus dan dibuat menyatu dengan rumah pribadi Paullina. “Korban kekerasan rumah tangga lagi, atau korban pemerkosaan?”
Paullina meletakan nampan berisi dua cangkir teh dan stoples camilan ringan di tengah-tengah sofa lalu duduk. “Kau benar. Aku memang sedang menangani pasien dengan masalah yang kompleks. Terlalu kompleks hingga tampak seperti kasus remeh temeh.” Paullina membuka tutup stoples. “Aku perlu sangat hati-hati dengan pasien yang satu ini. Dia berbahaya bukan hanya dalam artian yang sesungguhnya.”
“Seserius itukah?”
“Jauh lebih serius dari yang kau bayangkan, tentu saja.”
Susan mengambil cangkir tehnya. “Kalau begitu kau harus berhati-hati. Kau tampak kacau kalau kau tanya pendapatku,” ujar Susan setelah dia menyesap tehnya. “Bukan aku tidak percaya padamu, Lin. Aku hanya khawatir. Aku tahu mungkin ini terdengar seperti omong kosong. Tapi aku lihat kau sedikit banyak terpengaruh olehnya.”
Paullina menghela napas. “Yang kau katakan itu semuanya benar.” Dia menyandarkan punggung dan menatap langit-langit. “Bagaimana aku tidak terus memikirkannya. Dia masih begitu kecil, tapi, sangat berbahaya. Anak ini memiliki kekejaman yang mengerikan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, dia begitu cerdas. Dia bisa membunuh orang tanpa menyentuhny sama sekali. Aku rasa dia bisa menjadi seorang pembunuh bayaran kelas internasional kalau dia mau.”
“Benar-benar mengerikan. Aku selalu percaya pada tabiat manusia. Termasuk yang baik dan jahat. Ya, aku percaya bahwa semua orang bisa menjadi pembunuh, punya tabiat ingin menang sendiri dan berkuasa atas diri orang lain. Namun begitu, tabiat-tabiat berbahaya seperti membunuh itu, sangat sedikit sekali kasusnya yang muncul ke permukaan. Bisa dibilang hanya orang-orang dengan kekejaman tertentu saja yang dapat memunculkan tabiat ini ke permukaan.” Susan melipat kakinya dan menatap lurus Paullina seolah-olah mengintrogasi. “Lina, dengar, menurutku, sebaiknya kau mundur saja dari kasus ini. Terlalu berbahaya, kalau kau tahu maksudku. Aku percaya padamu, pada kemampuan analisismu. Karena itulah, aku menyarankanmu mundur saja. Kau bisa merekomendasikannya ke psikolog lain. Katakan saja kalau kau sudah tidak sanggup menanganinya.”
“Aku tidak bisa melakukan itu, San. Bagaimana mungkin? Aku tidak mau mengingkari janjiku.”
“Tapi ini demi kebaikanmu.”
“Aku tahu. Tapi benar-benar tak bisa. Aku tidak mau lari dari tanggung jawabku.”
“Kau tidak berhutang apa pun pada siapa pun.”
“Hei, ayolah, San. Kau ke sini untuk membahas kasus yang sedang ditangani suamimu, kan?
“Kenapa kau tidak mau jujur padaku, Lina? Apa kau tidak percaya padaku, apa kau sudah tidak menganggapku temanmu lagi?”
Paullina menghela napas. Dia hapal betul cara temannya saat menggali informasi. Menyerang titik lemah lawannya. Perasaan halusnya. Meski bukan seorang psikologi, tapi temannya yang satu ini mempunyai pengetahuan psikologi yang tidak kalah dari Paullina. Bahkan lebih lagi menurutnya. “Bukan begitu maksudku, Sobat.” Paullina berkata dengan hati-hati. “Aku tidak mau kosentrasimu terpecah gara-gara masalah sepeleku. Lagi pula, aku bukan baru kali ini menangani pasien begini, kan? Kau ingat, dulu aku pernah bercerita padamu aku mendapat pasien yang didiagnosis mengidap kepribadian ganda, bukan? Jadi kau tidak perlu khawatir padaku. Aku akan baik-baik saja.” Paullina menyeruput tehnya. “Jadi, darimana kita mulai?”
“Baiklah, aku akan mulai tapi setelah kau berjanji padaku satu hal.” Susan masih belum menyerah.
“Kalau itu membuatmu puas.”
“Berjanjilah padaku kalau kau akan baik-baik saja.”
“Aku akan baik-baik saja. Aku janji bahkan bersumpah padamu.” Kali ini Paullina benar-benar tulus mengatakannya. “Jadi, bisa kita mulai sekarang?”
Susan menurunkan kakinya, duduk lebih tegak lagi, lalu mengeluarkan ponsel genggam dari tas. Setelah membuka galeri foto, dia menyodorkan benda pipih berwarna hitam itu ke Paullina dan mulai bercerita berdasar informasi yang didapatnya dengan penuh semangat.
“Aku rasa hipotesismu benar,” sahut Paullina setelah Susan selesai bercerita. “Kalau dilihat dari segi psikologi memang mustahil korban bunuh diri dengan cara menikam dirinya sendiri dari belakang. Kecuali dia punya kelainan jiwa.”
“Sekalipun dia punya kelainan jiwa tetap saja itu merupakan aksi yang gila-gilaan.” Susan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Uang dari cangkir teh di bawah wajahnya menimbulkan efek yang membuat Paullina tidak nyaman. “Menurutku,” sambungnya, “ini kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh seorang profesional.”
“Bagaimana kau begitu yakin?”
“Tentu saja aku punya alasan. Hem. Mari kita susun fakta sementara di lapangan. Pertama, di tubuh korban ditemukan luka bekas tikaman senjata tajam dari pinggang menembus ke perut depan. Kedua, tempat kejadian perkara yang dipilih adalah jalanan ramai yang sibuk di waktu pulang-pergi kantor. Tentu saja ini karena di trotoar itu sedang ada proyek penggalian lubang kabel. Fakta yang ketiga, menurut Bripka Arif, jika dilihat dari kondisi mayatnya yang telah lumayan busuk itu, kemungkinan besar korban sudah meringkuk di dalam lubang galian selama kurang lebih satu minggu. Tertimbun lumpur dari efek hujan dan tanah galian. Ini poin terpenting yang harus kita garis bawahi. Yaitu, saat aku lewat lokasi tersebut kemarin siang, aku menepikan mobil. Dari kaca jendala kulihat papan rambu tanda sedang ada pekerjaan jalan itu roboh. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan ini. Tapi, saat aku melihat foto yang dikirimkan suamiku, aku menyadari adanya kejanggalan. Papan rambu di dekat Bripka Ega itu bukanlah papan rambu yang kulihat kemarin. Ukurannya berbeda. Aku pasti itu.”
“Bisa jadi kan kau salah lihat?”
“Tidak sama sekali. Waktu itu memang hujan. Tapi mataku masih berfungsi dengan sangat baik, Lina. Aku tak mungkin salah lihat.”
“Hem. Dengan kata lain, yang ingin kau katakan adalah bahwa pembunuhan ini sudah terkonsep sedemikian rupa. Bahkan di mana waktu korban harus ditemukan orang?”
Susan menjentikan jarinya. “Cerdas. Teedengar tidak masuk akal memang. Tapi, bukan mustahil, kan?”
Paullina meletakan ponsel genggam Susan di sofa lalu mengambil camilan di hadapannya. “Kau jadi membuatku berpikir ekstrem. Hipotesismu itu mengingatkanku pada sebuah kasus dari novel kriminalmu. Ya, kasus pembunuhan yang sempurna pada seri pertama novel Detektif Zenmu itu. Tentang seorang lelaki tua pincang yang menjadi dalang di balik pembunuhan seorang pegawai seks komersial.”
“Itulah yang membuatku khawatir, Lina. Maksudku, jika benar begitu, maka yang kita hadapi adalah penjahat licik, gila, dan nekat.”
Paullina mengambil camilan lagi. “Lalu, apa rencanamu berikutnya? Kau tidak akan tinggal diam bukan dengan kasus hebat ini?”
“Entahlah. Aku belum tahu. Semuanya masih abu-abu. Aku belum berani mengambil kesimpulan yang pasti sebelum fakta di lapangan terkumpul semua. Kita tunggu saja hasil autopsi dan penyelidikan pihak kepolisian bagaimana.”
“Dan kita tunggu juga telepon Inspektur Indra memintamu beranalisis seperti biasa.” Paullina mengedipkan sebelah matanya.
Susan tersipu. “Kau membuatku seolah-olah aku ini tokoh penting saja.”
“Hei, kau pikir aku tidak tahu siapa detektifnya di sini.”
“Aku hanya membantu, Paullina. Mereka yang menyajikan fakta padaku, yang kulakukan tidak lebih dari sekadar menyusun kepingan-kepingan yang mereka sajikan di hadapanku menjadi satu cerita yang utuh. Tidak lebih.”
“Ah, seandainya dominasi manusia di muka bumi ini rendah hati sepertimu. Aku rasa tak akan ada permusuhan. Apalagi kekerasan dan pembunuhan.”
“Dunia tak akan berwarna tanpa perbedaan, Paullina. Dan tak akan menggairahkan tanpa adanya hal-hal yang menegangkan.”
Paullina menghela napas kuat-kuat. “Menyesal aku memujimu.”
Susan tertawa berhasil menggoda temannya.
Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang tera
Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya ti
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham
Malam sudah larut, fajar sebentar lagi menyingsing di ufuk timur. Namun, Surya Wiratama sama sekali belum dapat memejamkan mata. Pria berambut keperakan itu masih mondar-mandir di ruang kerja pribadinya, resah bukan kepalang. Ini adalah malam ketiga Nicholas tidak pulang dan entah mengapa firasatnya buruk. Inspektur Indra juga belum memberikan kabar terkait keberadaan Nicholas. Meski anak semata wayangnya itu selalu membuat masalah, kurang ajar, dan tidak dapat dikatakan anak baik-baik meski sudah berkepala tiga, tetapi, Nicholas tetaplah anaknya. “Pa, apa belum ada kabar dari Pak Inspektur?” tanya istrinya, Lisa, yang baru masuk. Yang ditanya hanya menghela napas lalu menggeleng sedih. “Ke mana, ya, Nicholas. Nomornya tidak aktif, juga tidak memberi kabar. Ibu cemas, Pa.” “Bapa juga cemas, Bu. Walaupun Nicholas selalu bikin masalah, tapi, Bapa tetap cemas kalau begini keadaannya.” “Bapa sudah tanyai semua teman Nicholas?” “Sudah
“Selamat malam, Bu Susan. Saya minta maaf meroptkan dan mengganggu istirahat Anda. Masalahnya mendesak, Bu,” ujar Inspektur Indra saat perempuan itu tiba.“Selamat malam Pak Inspektur, Pak Ega.” Susan mengulurkan tangan untuk berjabat. “Kapan pun Anda membutuhkan bantuan saya, Pak Inspektur. Saya dengan senang hati akan membantu.”“Anda baik sekali, Bu Susan.”“Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Meskipun kecil dan tidak terlalu berarti, setidaknya ada sesuatu yang bisa saya berikan untuk negara ini.”“Anda luar biasa. Jiwa patriotisme Anda mengaggumkan.”“Silakan duduk, Bu Susan,” ujar Bripka Ega. “Sambil menunggu Dokter Diaz selesai melakukan identifikasi odontologi, mungkin Pak Inspektur akan menjelaskan terlebih dahulu duduk permasalahan genting ini.”“Tentu saja. Saya masih berada dalam gelap memang. Bahkan, meskipun saya s
Revi Miranda gelisah di tempat tidurnya. Tommy Robin, mantan suaminya yang baru keluar dari panti rehabilitasi menghilang bagai ditelan bumi. Nomor teleponnya tidak aktif dan dia tidak pulang ke rumahnya dan tidak juga ke rumah Revi. Tommy memang lelaki brengsek, begundal keparat yang tak tahu diuntung. Dia telah memberikan segalanya untuk mantan suaminya itu, bahkan telah memafkan perselingkuhan-perselingkuhan Tommy. Akan tetapi, bagai susu dibalas air tuba. Kebaikan Revi sama sekali tidak berarti apa pun. Tommy menggugat cerai Revi diusai pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Dengan alasan tak masuk akal—Revi tidak dapat memberinya keturunan. Sebulan pasca mereka bercerai, Tommy menikah wanita simpanannya, Ana. Tapi pernikahan itu kandas dalam waktu dua bulan.“Kenapa aku harus memikirkan si brengsek itu, mungkin sekarang dia sedang bercinta dengan pacar-pacarnya,” gumam Revi. Namun itu sama sekali tidak menenangkan. Pikirannya terus berkecamuk.