Share

Bab 5

“Apa katamu, pembunuhan?”

“Ya, aku yakin sekali itu pembunuhan—pembunuhan berencana tepatnya.”

“Jangan terlalu bersemangat, San. Itu tidak baik,” sahut Paullina. “Bisa jadi, kan, itu kasus kecelakaan. Kau mau minum teh hangat?”

“Tidak mungkin itu kecelakaan, Lina. Dia tewas ditikam dari belakang dan didorong masuk lubang galian kabel di trotoar,” Sergah Susan.

“Menarik sekali. Baiklah, kita bahas kasus pembunuhan ini nanti. Perutku lapar. Aku tak bisa berpikir jernih kalau lapar. Mau teh hangat dan camilan?”

“Kau memang temanku yang pengertian.”

“Aku anggap itu pujian. Tunggu sebentar. Aku segera kembali.”

Paullina baru saja selesai dengan pasien terakhirnya ketika perempuan bertubuh mungil, penuh semangat, dan penuh gairah hidup meneleponnya untuk menginap.

“Suamiku sedang manangani kasus dan dia memberitahu tidak akan pulang. Aku bosan sendirian di rumah. Selain itu, aku ingin mendiskusikan rancangan buku baruku ini denganmu dan membahas kasus yang sedang ditangani suamiku,” ujarnya. Dan tak kurang dari dua puluh menit setelah Paullina mengiyakan, sahabat baiknya itu pun sudah mengetuk pintu kantor Paullina.

“Kau sepertinya baru saja mendapat pasien yang sulit,” ujar Susan saat Paullina kembali dari belakang. Kantor tempatnya bekerja memang didesain khusus dan dibuat menyatu dengan rumah pribadi Paullina. “Korban kekerasan rumah tangga lagi, atau korban pemerkosaan?”

Paullina meletakan nampan berisi dua cangkir teh dan stoples camilan ringan di tengah-tengah sofa lalu duduk. “Kau benar. Aku memang sedang menangani pasien dengan masalah yang kompleks. Terlalu kompleks hingga tampak seperti kasus remeh temeh.” Paullina membuka tutup stoples. “Aku perlu sangat hati-hati dengan pasien yang satu ini. Dia berbahaya bukan hanya dalam artian yang sesungguhnya.”

“Seserius itukah?”

“Jauh lebih serius dari yang kau bayangkan, tentu saja.”

Susan mengambil cangkir tehnya. “Kalau begitu kau harus berhati-hati. Kau tampak kacau kalau kau tanya pendapatku,” ujar Susan setelah dia menyesap tehnya. “Bukan aku tidak percaya padamu, Lin. Aku hanya khawatir. Aku tahu mungkin ini terdengar seperti omong kosong. Tapi aku lihat kau sedikit banyak terpengaruh olehnya.”

Paullina menghela napas. “Yang kau katakan itu semuanya benar.” Dia menyandarkan punggung dan menatap langit-langit. “Bagaimana aku tidak terus memikirkannya. Dia masih begitu kecil, tapi, sangat berbahaya. Anak ini memiliki kekejaman yang mengerikan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, dia begitu cerdas. Dia bisa membunuh orang tanpa menyentuhny sama sekali. Aku rasa dia bisa menjadi seorang pembunuh bayaran kelas internasional kalau dia mau.”

“Benar-benar mengerikan. Aku selalu percaya pada tabiat manusia. Termasuk yang baik dan jahat. Ya, aku percaya bahwa semua orang bisa menjadi pembunuh, punya tabiat ingin menang sendiri dan berkuasa atas diri orang lain. Namun begitu, tabiat-tabiat berbahaya seperti membunuh itu, sangat sedikit sekali kasusnya yang muncul ke permukaan. Bisa dibilang hanya orang-orang dengan kekejaman tertentu saja yang dapat memunculkan tabiat ini ke permukaan.” Susan melipat kakinya dan menatap lurus Paullina seolah-olah mengintrogasi. “Lina, dengar, menurutku, sebaiknya kau mundur saja dari kasus ini. Terlalu berbahaya, kalau kau tahu maksudku. Aku percaya padamu, pada kemampuan analisismu. Karena itulah, aku menyarankanmu mundur saja. Kau bisa merekomendasikannya ke psikolog lain. Katakan saja kalau kau sudah tidak sanggup menanganinya.”

“Aku tidak bisa melakukan itu, San. Bagaimana mungkin? Aku tidak mau mengingkari janjiku.”

“Tapi ini demi kebaikanmu.”

“Aku tahu. Tapi benar-benar tak bisa. Aku tidak mau lari dari tanggung jawabku.”

“Kau tidak berhutang apa pun pada siapa pun.”

“Hei, ayolah, San. Kau ke sini untuk membahas kasus yang sedang ditangani suamimu, kan?

“Kenapa kau tidak mau jujur padaku, Lina? Apa kau tidak percaya padaku, apa kau sudah tidak menganggapku temanmu lagi?”

Paullina menghela napas. Dia hapal betul cara temannya saat menggali informasi. Menyerang titik lemah lawannya. Perasaan halusnya. Meski bukan seorang psikologi, tapi temannya yang satu ini mempunyai pengetahuan psikologi yang tidak kalah dari Paullina. Bahkan lebih lagi menurutnya. “Bukan begitu maksudku, Sobat.” Paullina berkata dengan hati-hati. “Aku tidak mau kosentrasimu terpecah gara-gara masalah sepeleku. Lagi pula, aku bukan baru kali ini menangani pasien begini, kan? Kau ingat, dulu aku pernah bercerita padamu aku mendapat pasien yang didiagnosis mengidap kepribadian ganda, bukan? Jadi kau tidak perlu khawatir padaku. Aku akan baik-baik saja.” Paullina menyeruput tehnya. “Jadi, darimana kita mulai?”

“Baiklah, aku akan mulai tapi setelah kau berjanji padaku satu hal.” Susan masih belum menyerah.

“Kalau itu membuatmu puas.”

“Berjanjilah padaku kalau kau akan baik-baik saja.”

“Aku akan baik-baik saja. Aku janji bahkan bersumpah padamu.” Kali ini Paullina benar-benar tulus mengatakannya. “Jadi, bisa kita mulai sekarang?”

Susan menurunkan kakinya, duduk lebih tegak lagi, lalu mengeluarkan ponsel genggam dari tas. Setelah membuka galeri foto, dia menyodorkan benda pipih berwarna hitam itu ke Paullina dan mulai bercerita berdasar informasi yang didapatnya dengan penuh semangat.

“Aku rasa hipotesismu benar,” sahut Paullina setelah Susan selesai bercerita. “Kalau dilihat dari segi psikologi memang mustahil korban bunuh diri dengan cara menikam dirinya sendiri dari belakang. Kecuali dia punya kelainan jiwa.”

“Sekalipun dia punya kelainan jiwa tetap saja itu merupakan aksi yang gila-gilaan.” Susan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. Uang dari cangkir teh di bawah wajahnya menimbulkan efek yang membuat Paullina tidak nyaman. “Menurutku,” sambungnya, “ini kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh seorang profesional.”

“Bagaimana kau begitu yakin?”

“Tentu saja aku punya alasan. Hem. Mari kita susun fakta sementara di lapangan. Pertama, di tubuh korban ditemukan luka bekas tikaman senjata tajam dari pinggang menembus ke perut depan. Kedua, tempat kejadian perkara yang dipilih adalah jalanan ramai yang sibuk di waktu pulang-pergi kantor. Tentu saja ini karena di trotoar itu sedang ada proyek penggalian lubang kabel. Fakta yang ketiga, menurut Bripka Arif, jika dilihat dari kondisi mayatnya yang telah lumayan busuk itu, kemungkinan besar korban sudah meringkuk di dalam lubang galian selama kurang lebih satu minggu. Tertimbun lumpur dari efek hujan dan tanah galian. Ini poin terpenting yang harus kita garis bawahi. Yaitu, saat aku lewat lokasi tersebut kemarin siang, aku menepikan mobil. Dari kaca jendala kulihat papan rambu tanda sedang ada pekerjaan jalan itu roboh. Awalnya aku tidak begitu memperhatikan ini. Tapi, saat aku melihat foto yang dikirimkan suamiku, aku menyadari adanya kejanggalan. Papan rambu di dekat Bripka Ega itu bukanlah papan rambu yang kulihat kemarin. Ukurannya berbeda. Aku pasti itu.”

“Bisa jadi kan kau salah lihat?”

“Tidak sama sekali. Waktu itu memang hujan. Tapi mataku masih berfungsi dengan sangat baik, Lina. Aku tak mungkin salah lihat.”

“Hem. Dengan kata lain, yang ingin kau katakan adalah bahwa pembunuhan ini sudah terkonsep sedemikian rupa. Bahkan di mana waktu korban harus ditemukan orang?”

Susan menjentikan jarinya. “Cerdas. Teedengar tidak masuk akal memang. Tapi, bukan mustahil, kan?”

Paullina meletakan ponsel genggam Susan di sofa lalu mengambil camilan di hadapannya. “Kau jadi membuatku berpikir ekstrem. Hipotesismu itu mengingatkanku pada sebuah kasus dari novel kriminalmu. Ya, kasus pembunuhan yang sempurna pada seri pertama novel Detektif Zenmu itu. Tentang seorang lelaki tua pincang yang menjadi dalang di balik pembunuhan seorang pegawai seks komersial.”

“Itulah yang membuatku khawatir, Lina. Maksudku, jika benar begitu, maka yang kita hadapi adalah penjahat licik, gila, dan nekat.”

Paullina mengambil camilan lagi. “Lalu, apa rencanamu berikutnya? Kau tidak akan tinggal diam bukan dengan kasus hebat ini?”

“Entahlah. Aku belum tahu. Semuanya masih abu-abu. Aku belum berani mengambil kesimpulan yang pasti sebelum fakta di lapangan terkumpul semua. Kita tunggu saja hasil autopsi dan penyelidikan pihak kepolisian bagaimana.”

“Dan kita tunggu juga telepon Inspektur Indra memintamu beranalisis seperti biasa.” Paullina mengedipkan sebelah matanya.

Susan tersipu. “Kau membuatku seolah-olah aku ini tokoh penting saja.”

“Hei, kau pikir aku tidak tahu siapa detektifnya di sini.”

“Aku hanya membantu, Paullina. Mereka yang menyajikan fakta padaku, yang kulakukan tidak lebih dari sekadar menyusun kepingan-kepingan yang mereka sajikan di hadapanku menjadi satu cerita yang utuh. Tidak lebih.”

“Ah, seandainya dominasi manusia di muka bumi ini rendah hati sepertimu. Aku rasa tak akan ada permusuhan. Apalagi kekerasan dan pembunuhan.”

“Dunia tak akan berwarna tanpa perbedaan, Paullina. Dan tak akan menggairahkan tanpa adanya hal-hal yang menegangkan.”

Paullina menghela napas kuat-kuat. “Menyesal aku memujimu.”

Susan tertawa berhasil menggoda temannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status