Saat sampai di kelas, Bu Dewi menyambut Shirin dengan tatapan datarnya. Meski diizinkan masuk untuk mengikuti pelajaran, istriahat kali ini harus Shirin habiskan untuk mengepel lantai lobi gedung utama. Mia sendiri sudah pergi ke kantin sejak bel istirahat berbunyi, dan semua ini, karena lelaki sok ganteng yang memaksanya membicarakan hal tak penting.
Shirin mengembuskan napas sambil mulai mengepel dan menggerutu dalam hati. Apa hanya karena mereka tampan, terkenal, dan menjadi most wanted sekolah membuat mereka bisa melakukan hal seenaknya? Seperti menarik Shirin ke sana-kemari, hingga akhirnya disuruh pergi. Shirin sendiri yakin setelah ini, baik Aldiaz atau Athalas pasti akan bersikap seolah tak mengenalnya.
Seolah Shirin ... barang sekali pakai saja.
Namun, segala pemikiran Shirin terpecah, seolah dunia berkata lain saat matanya menangkap Aldiaz bersandar ke pilar lobi sambil mengamatinya dengan senyum. Shirin tertegun dan seketika pergerakannya terhenti.
***
Saat bel istirahat berhenti berbunyi, Mia sudah duduk santai di kantin dan memesan makanan. Mia tidak suka menunggu atau mengantre, karena itu ia ke kantin duluan.
Athalas dan Aldiaz yang baru datang ke kantin membuat senyum Mia terkembang. Gadis itu melambaikan dan tangan membuat dua lelaki itu menghampirinya.
"Siang, Mia," sapa Atha seraya duduk di depan Mia. Aldiaz duduk di sampingnya, keduanya mengeluarkan kotak bekal masing-masing.
"Tumben bawa bekal." Mia mencibir sebelum melahap baksonya. Melirik menu bekal Atha dan Al yang sama, ia tersenyum mengejek. "Al, Ath, kalian ... couple?"
"Najis!" Atha dan Al sama-sama mendecih.
"Tapi kok, itu bekalnya sama?" Mia bertanya lagi, sambil sesekali menyuap makanannya.
"Ini dari Shirin." Atha menjawab membuat Mia otomatis tersedak.
"Hah? Dia ngasih sendiri ke kalian?"
"Awalnya, sih, dia kayak gengsi gitu." Athalas mendengus. "Tadinya Abi juga dapet, tapi dia gak mau, soalnya udah dapet bekal dari gebetannya."
"Asik, ngomongin gue." Abi yang baru datang dengan bekal yang dibawanya cengengesan. Ia duduk di sebelah Mia.
"Ih, Abi, sombong banget, lu." Mia mendelik ke Abi dan menendang kakinya pelan. "Tapi, lo beneran udah ada gebetan?"
"Iya, udah ada. Namanya Valen." Abi memutar bola mata. "Lo bisa gak, sopan dikit? Bar-bar banget, gue kakak kelas, loh."
"Tapi gue gak nanya, gimana, dong?" Mia menggigit bibir setelah mengatakannya. Jika Abi memiliki gebetan, maka besok bisa dipastikan bahwa Abi ...,
"Asik ribut." Al tersenyum jahil, tetapi kemudian membenarkan posisi duduknya. "Eh, btw, Shirin mana?"
"Ngapain nyariin dia?" Atha langsung nimbrung.
Al mendelik menjauh. "Suka-suka gue, Bujang. Katanya lo gak naksir."
Atha melotot, ingin membalas perkataan Al jika Mia tidak lebih dulu menjawab. "Dia lagi bersihin lantai lobi, dihukum karena telat masuk jam pertama."
Mendengar jawaban Mia, Atha dan Al tersedak.
Atha menampar pelan pipi Aldiaz. "Kenapa lo juga ikutan keselek, bambang?"
Aldiaz tidak menjawab dan meneguk ludah saat Mia menatap sinis ia dan Atha. "Gara-gara kalian, 'kan?" tanya Mia.
"Eng-enggak." Atha mengelak, sementara Al langsung merapikan bekalnya dan bangkit berdiri.
Ketiga orang yang duduk di meja menatap Aldiaz dan membuatnya otomatis berkata, "Gue duluan."
Tanpa menunggu respons, Aldiaz mengambil langkah lebar menyusuri koridor yang langsung mengarah ke lobi. Senyumnya terkembang saat menemukan sosok Shirin.
Para siswa berlalu-lalang entah ingin ke mana. Shirin terlihat menghela napas melihat lantai yang baru saja dipel kotor lagi karena terinjak-injak. Padahal, tanda lantai basah sudah terpasang.
Dengan gontai, Shirin berjalan dan kembali mengepel.
Aldiaz hanya memerhatikan sambil bersandar ke pilar lobi. Senyumnya berubah remeh saat Shirin berhasil menemukannya. Al melepaskan posisi nyamannya dan menghampiri gadis itu. "Eits, mau ke mana?" Aldiaz menghadang tiga orang gadis yang sudah tiga kali bulak-balik di sana.
Shirin hanya menoleh sekilas sebelum melanjutkan pekerjaannya. Selalu saja seenaknya.
"Eh, ada kak Al." Salah satu gadis bersuara. "Ini … kami mau ke—"
"Liat tanda lantai basah di situ, gak?" masih dengan senyum yang terukir di wajah, Al memotong. Ia menunjuk tanda lantai basah yang ada di kakinya. Gadis yang diajak bicara meringis, hanya diam, dan menggumamkan kata ‘maaf’.
Al mendorong bahunya hingga gadis itu termundur. "Minggir lo, minggir!"
Setelah tiga gadis itu pergi dan tak kembali ke lobi lagi, Al menoleh pada Shirin dan tersenyum lebar seraya mengarahkan tinju ke atas. "Semangat!"
Bukannya mengucapkan terima kasih, Shirin menatapnya datar seraya berkata pelan. "Pergi."
Senyum Aldiaz menghilang mendengar jawabannya. Ia menoleh dengan tatapan tajam, maju menghadap Shirin—tak peduli dengan lantai yang baru saja dipel. Al tersenyum sinis. "Bisa, gak, kalo udah ditolong itu ucap terima kasih?"
Shirin diam dan tatapan redupnya jatuh ke lantai kotor. Enggan balas menatap Al. Tangan Aldiaz yang meraih dagu Shirin pun Shirin tepis kasar. "Jangan sentuh aku seenaknya!"
Kali ini wajah Aldiaz berubah datar. Mata onyx-nya seakan berubah menjadi hitam pekat. Detik berikutnya, ia menendang ember pel dengan keras hingga air kotor yang ada di dalamnya tumpah. Shirin memejamkan mata rapat saat cipratan air mengenai seragamnya, sementara Aldiaz malah tersenyum manis. "Kerja yang bener," ucapnya sebelum melenggang pergi.
Para siswa yang ada di sana cekikikan melihat Shirin yang kacau. Wajah Shirin sudah tak berekspresi. Bukan karena takut pada Aldiaz, melainkan karena sialnya hari ini.
***
Aldiaz mengacak-acak rambutnya frustasi. Abi dan Atha hanya bertopang dagu. Walau malas, tetapi tetap memerhatikannya.
"Bego banget, bego banget, bego banget." entah sudah berapa kali lelaki itu mengatakannya. Gesturnya gelisah, bahkan ia sampai sesekali membenturkan kepalanya ke dinding. "Dia pasti capek ngepel sendirian," ucapnya, kemudian berdiri hendak keluar kelas.Namun, belum mencapai pintu, Al kembali ke tempat duduknya. "Tapi nanti gue mau ngomong apa sama dia? Dia pasti takut sama gue ...." lagi, Aldiaz mengacak-acak rambutnya frustasi.
Atha dan Abi saling melirik malas. Mereka sudah terbiasa dengan penyesalan Aldiaz setiap kali berkenalan dengan orang baru—emosi Aldiaz yang tak terkendali dan membuatnya sering kali ditakuti.
"Oy, gimana, nih?" Aldiaz meminta bantuan.
"Minta maaf," jawab Abi malas.
"Ya, gimana?"
Atha berdecak. "Ya, minta maaf."
"Ah, gak guna lo berdua!" decak Al. Ia bergegas keluar, sementara Abi dan Atha hanya menghela napas.
Tujuan Aldiaz adalah kantin, ia membeli sekaleng minuman. Pergerakannya terhenti kala melihat Shirin datang dan meletakkan ember pel di samping toilet kantin. Menatap minuman di tangannya dan Shirin bergantian, Aldiaz akhirnya menghampiri Shirin dan menyodorkan minuman itu.
Shirin hanya menatapnya dan ekspresinya terlihat lelah.
Aldiaz mengusap tengkuknya canggung. "Maaf, tadi itu aku—"
"Gak apa-apa, aku ngerti ...." jawab Shirin dan tersenyum seadanya. "Orang terpandang selalu bersikap seenaknya."
"Bukan gitu." Aldiaz menggeleng dan ekspresinya menyesal. "Maafin aku, tadi itu aku lagi emosi aja."
"Udahlah, aku udah maafin." Shirin memaksakan senyum dan menepuk bahu Al. "Gak apa-apa."
Mata Aldiaz nanar menatap punggung Shirin yang menjauh darinya. Kemudian, menatap tangannya yang masih setia menyodorkan minuman. Apa benar ia bersikap seenaknya?
Aldiaz berbaring di kasurnya. Tubuhnya penuh keringat, sementara napasnya menderu tak beraturan. Rahangnya mengetat, giginya bergemertak setiap mengingat wajah sedih itu. Di dalam kamarnya, yang barang-barangnya sudah hancur dan berantakan akibat tinjunya sendiri, Aldiaz meledak karena kefrustasian. Lalu, dering ponsel membuyarkan lamunan. "Apa?" tanya Al setelah mengangkat panggilan. Dan suara Mia menyambut dari ujung telepon. "Al, lo bisa gak dateng ke sini?" suaranya seperti berbisik. "Ke mana? Ngapain?" "Egamart." Setelah mendengarkan penjelasan singkat Mia, Aldiaz bangkit dan merapikan penampilannya. Wajahnya kembali cerah, karena pagi ini ternyata dia masih memiliki kesempatan. Ternyata benar kata orang bijak, jika malam terlalu kelam untuk menggantungkan harapan, kau harus percaya kepada pagi.
"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!" Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?" "Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia." Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik. "Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.
Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang. Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!" "Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada. Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?" Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja." Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah
Shirin meraba jaket di punggungnya, lembut, dan hangat. Kemudian, suara dehaman seorang lelaki terdengar. Seorang lelaki berambut cokelat melangkah melewati dan memunggunginya. Tersadar akan sesuatu, Shirin berdiri dan segera menghapus air matanya. Ia meraih jaket di punggungnya dan menyodorkannya pada lelaki itu. "M-maaf, ini jatuh." Lelaki yang tak lain adalah Athalas Fernan itu menoleh seraya mengerutkan dahi. "Hah?" "Ini jatuh." Shirin mengulangi, sambil menggoyangkan tangannya yang memegang jaket hitam itu. Atha masih mengernyit dan tatapan bingungnya berubah menjadi aneh. Ia menuding Shirin. "Lo pikir gue gak sengaja jatuhin jaket itu tepat di punggung lo?" Shirin mengangguk.
"Jangan deket-deket!" Shirin mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan berani, tetapi ia benar tentang tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Kenapa, Manis?" tanya lelaki itu, dan suara tawa liar menyusul. Shirin memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat jurus beladiri yang ia tahu. Kepalan tangan siap dilayangkan, semoga bisa mematahkan hidung atau menghantam kepala dua lelaki itu. Namun, sebelum sempat menyerang, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar dan melemparnya ke trotoar. Shirin berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti atau malah menabraknya? Mobil hitam itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terb
Keesokan harinya, adalah hari kasih sayang. SMA Generasi Bangsa punya tradisi tersendiri untuk merayakannya. Yaitu semua warga sekolah wajib bertukar cokelat untuk orang yang disayanginya. Baik itu teman, sahabat, pacar, ataupun guru.Shirin merasa suasana sekolah lebih riuh dari biasanya. Pagi ini, Mia menemukan laci mejanya penuh dengan cokelat dan bunga. Stevany menolak mentah-mentah tiga orang lelaki yang menembaknya. Joy ikut bernyanyi dangdut di kantin bersama para jomlo. Abi yang diam-diam membuang cokelat dari para fans-nya. Serta Shirin.Shirin menatap cokelat bermerek di tangannya, kemudian menatap pintu kelas XII IPA 2 yang terbuka lebar seolah ingin memakannya hidup-hidup. Shirin meneguk ludah dan kakinya bergerak-gerak gelisah memerhatikan Aldiaz yang duduk di kursi paling belakang.Aldiaz masih asyik membaca buku seolah tidak menyadari Shirin. Beberapa gadis bergantian datang ke meja Al untuk sekedar menyod
Mata Willa memicing menatap Athalas yang masih sibuk dengan ponselnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, kedua orang itu seakan enggan beranjak."Lo gak pulang?" tanya Atha pada akhirnya.Willa berdecak. "Gue mau ngomong sama lo. Peka, kek.""Yaudah, ngomong aja," jawab Athalas tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel."Lo anak jurnal, 'kan?"kali ini Athalas meletakkan ponselnya dan menatap wajah cantik Willa. Tatapannya datar seolah menusuk. "Lo mau apa?"Willa tersenyum.***Mobil mulai memasuki kawasan yang asing. Jalan aspal tampak usang dan terlihat sedikit retak. Pohon tabebuya kuning terbentang di sisi-sisi jalan. Shirin tidak tahu sudah berapa lama mereka berkendara, pinggangnya terasa pegal, dan sepertinya, ini di luar kota Jakarta.Shirin mencoba merenggangkan tubuhnya dan bersenandung memandang sekitar."Kamu gak takut?" suara
"Kayak kamu bisa ngelawan aku aja." Shirin duduk tak bergerak dan merasa lebih takut pada Al daripada selama ini. Ia tak pernah melihat Al begitu bebas membuka topeng ketenangannya seperti ini. Tak tahu bagaimana caranya Al bisa sekuat dan secepat itu. Siapa dia sebenarnya? "Dia sakit." "Dia bisa bunuh perasaan maupun fisik lo kapan pun." Perkataan Athalas kembali terlintas di otak Shirin. Shirin kembali melirik ponsel, tetapi ia tak bisa bergerak untuk menyalakannya dan menghubungi Mia. Dengan wajah pucat dan mata membelalak, Shirin duduk bagai burung yang siap dimangsa ular. Mata Aldiaz yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-luap. Ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi kesedihan. "Jangan takut," gumamnya. Suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda. "Aku janji ... aku janji gak akan melukai kamu." Ia kelihatan lebih ingin meyakinkan diriny