/ Lainnya / Deviant Love / BAB 6 : Siapa Selanjutnya?

공유

BAB 6 : Siapa Selanjutnya?

작가: DesyM
last update 최신 업데이트: 2022-01-20 10:40:57

“Ih apa-apaan, aku makan sop, kok kamu makan nasi goreng aceh? Mana versi komplit lagi, baunya juga enak.” Protes menjadi hal pertama yang Chacha utarakan ketika bangkit dari tidur lelapnya. Bibir Chacha mengerucut, dia tergiur oleh sajian yang ada di depan Windy.

“Ini pedes, kamu nggak boleh nyicip,” ucap Windy yang sukses buat Chacha berdecak sebal. Keduanya lantas duduk di kursi makan dan mulai menikmati makan malam. 

“Minggu ini kamu pulang ke rumah orang tua?” tanya Chacha di sela kunyahan. 

“Nggak tahu deh, liat aja nanti,” jawab Windy.

Sejujurnya, beberapa hari terakhir, lelah sering menerpa diri Windy. Kegiatan kampus sedikit demi sedikit mulai padat, tugas yang diberikan oleh dosen hampir menjauhi kata manusiawi, belum lagi kelas pengganti yang kerap kali digelar ketika hari libur atau tidak ada jadwal. Sabtu yang biasanya libur ini tak lagi ada jam kosong. 

“Kamu beli?” Windy mendongak, menangkap bola mata Chacha yang tertuju pada nasi goreng.

“Bukan, dikasih sama Brian.”

Kunyahan Chacha seketika terhenti, senyum jahil langsung terpampang di wajah imutnya. 

“Ehem! Siapa tuh?” tanya Chacha dengan nada menggoda bersama kedua alis yang digerakkan naik turun. 

“Tetangga sebelah.”

“Sebelah? Maksudnya pas di samping apartemen kamu?”

Windy mengangguk sebagai bentuk jawaban verbal. 

“Kok aku nggak tahu sih? Cakep?”

“Cakep. Banget malah. Lagian kamu kan jarang di sini, wajar nggak tahu, bahkan ketemu.”

Chacha tidak lagi menyahut, fokus pada makan malam yang Windy siapkan untuknya. Kondisi perutnya kini membaik. Walaupun begitu, bukan berarti dia sudah bisa langsung makan pedas. Untuk sementara waktu dia harus menghindari cabai dan saus. 

***

Hari demi hari bergulir, kesibukan Windy hampir tidak bisa ditolerir. Pulang malam mulai menjadi suatu kebiasaan yang tidak pernah terencana olehnya. Meskipun jarum pendek tidak menyentuh angka 8, tetap saja menjadi hal asing bagi Windy. 

Apalagi ketika ia mengingat aturan sang ayah agar tidak pulang di atas jam 7. Bila ayahnya tahu, Windy yakin akan diceramahi habis-habisan. Tapi ya mau bagaimana lagi, Windy pulang telat bukan karena suatu hal yang bisa mencemarkan nama baik keluarga. Melainkan kelas pengganti serta tugas yang menahannya lebih lama di kampus. 

Windy mengusap perut kala berbunyi, lapar melanda mengingat jam 1 siang tadi adalah kali terakhir ia mengisi perut. Windy memindai sekitar, melihat apakah ada warung atau warteg yang bisa ia singgahi demi mengatasi rasa lapar. Sampai sepasang netranya menangkap bangunan restoran kecil yang letaknya berseberangan dengan kedai mie pedas. 

Tanpa mengulur waktu, Windy memutuskan untuk makan malam di sana. 

Wangi aroma masakan menjadi sapaan ketika Windy masuk. Kedua bola mata Windy langsung meneliti setiap sudut restoran tersebut. Desain yang berbahan dasar kayu dan dihiasi beberapa pot tanaman hijau membuat suasana restoran ini layaknya rumah. Bahkan tempat duduk lesehan juga tersedia. 

Namun, meja di sudut ruang yang berdampingan dengan sisi jendela menarik perhatian Windy. Ia pun segera menempati meja tersebut. Di tengah, sudah tersedia buku menu. Windy mulai memilih, pupilnya bergulir ke atas dan ke bawah, memindai setiap daftar makanan serta minuman. 

“Mbak! Saya mau pesen!” panggil Windy melempar lambaian tangan pada salah satu pelayan.

Di sisi lain, Aron baru keluar dari ruang ganti pakaian. Tubuh tinggi atletis yang tadi berbalut seragam hitam, kini telah berganti menjadi pakaian yang lebih kasual dan santai. 

“Mau langsung pulang?” tanya Bella. 

“Iya nih, takut kemaleman.” 

Aron mengeluarkan jaket hitam andalan yang biasa ia pakai kemana pun ia pergi. Kemudian, dia meraih kunci motor lalu kembali mengaitkan ransel di bahu. Baru saja tungkainya hendak melangkah, netra legamnya menangkap sosok gadis yang ia lihat siang tadi. 

Ya, gadis itu adalah Windy.

Gadis yang membuat diri Aron membeku kala menatapnya. Wajah jelitanya masih setia terngiang di benak Aron. Dan kini, ia dapat melihat sosok itu lagi. Untuk kali kedua, jantung Aron berdegup kencang. Langkah yang hampir membawanya pulang tadi, kini berbalik arah menempati salah satu meja kosong, selurus dan sebaris dengan meja Windy.

“Ini Mbak pesanannya.”

“Oh iya, makasih ya.”

Windy meneguk minuman lebih dulu guna menghilangkan rasa gersang di tenggorokkan. Suapan demi suapan mulai masuk ke dalam mulut. Sesekali ia tersenyum, merasa puas atas kelezatan yang memanjakan lidah. Mengundang tawa jenaka dari pria yang kian betah memperhatikannya.

“Ron? Kok masih di sini?” Itu Tommy, Dia juga baru selesai berganti pakaian dan ingin pulang. Namun, matanya keburu menangkap sosok Aron yang duduk di salah meja sambil tertawa seperti orang gila. 

“Lihatin apaan sih?” Kala Tommy hampir mengikuti arah pandang Aron, Aron langsung bangun dan menyeret Tommy untuk keluar dari restoran. 

“Nggak ada. Aku tadi lagi nungguin karyawan lain, siapa tahu ada yang bisa aku ajak pulang bareng. Eh ternyata kamu juga udah selesai. Yaudah ayok pulang,” seru Aron yang malah membuat Tommy bingung. 

***

Chacha menggigit bibir bawahnya cemas saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sesekali ujung kukunya mengetuk meja. Memecah kesunyian yang mendominasi. Chacha mengecek benda pipih yang ia taruh begitu saja di atas meja. Menunggu harap ada telepon atau pesan yang masuk dari Windy.

Tidak sebelum pintu utama berbunyi dan terbuka, menampilkan sosok yang telah Chacha tunggu sedari tadi.

“Ya ampun Windy! Kamu ke mana aja sih? Nggak biasanya kamu pulang jam segini. Nih ya, kalau orang tua kamu tahu, pasti mereka marah banget.”  

“Mereka nggak bakal tahu kalau kamu nggak kasih tahu. Aku juga pulang jam segini karena musti kelarin tugas di perpustakaan. Tadi juga aku mampir dulu ke restoran kecil buat makan malam. Kamu udah makan malam?” 

“Udah, tadi aku bikin mie goreng sama ceplok telor.”

Windy hanya ber-oh ria sambil menganggukkan kepala.

“Terus, kamu ngapain ke sini? Mau nginep lagi?” tanya Windy.

“Niat awalnya sih cuman mau main, tapi aku ubah setelah aku ngeliat kotak kecil ini di depan pintu apartemen kamu.” Chacha meraih kotak box putih di atas nakas dan memberikannya pada Windy.

“Apaan nih?” Windy melihat ke sekeliling kotak tersebut. Tidak ada cantuman nama si pengirim. Hanya tertulis ‘untuk Windy’ di bagian penutup kotak. Windy juga menggoncang kotak tersebut yang ternyata memiliki berat sangat ringan seperti angin. Seolah tidak ada apapun di dalam sana.

“Aku juga nggak tahu. Aku nunggu kamu aja buat buka,” ujar Chacha.

Karena rasa penasaran yang sudah di ujung tanduk, akhirnya Windy membuka kotak tersebut. Kening keduanya lantas mengkerut pertanda bingung kala hanya mendapati seuntai kalimat yang tertulis pada permukaan kotak.

‘Siapa selanjutnya?’

─── To Be Continue

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Deviant Love   BAB 18 : Resmi

    Alih-alih menjawab, Brian malah duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur membelai pipi Windy. Mengelusnya lembut penuh sayang. Kalimat penuh kebohongan siap untuk ia luncurkan."Tadi, sepulang dari kampus, aku mampir ke salah satu supermarket dekat perempatan lampu merah. Aku lihat di jalanan banyak kepingan kaca dan mobil taksi yang diderek. Aku juga lihat beberapa bercak darah di jalan. Dari yang aku dengar dari obrolan orang-orang, katanya ada kecelakaan. Aku nggak berpikir bahwa orang itu kamu. Sampai akhirnya kamu nelpon aku, pikiranku langsung melayang ke perempatan tadi. Dan ya, aku tahu kamu di sini karena ini adalah Rumah Sakit paling dekat sama tempat kecelakaan kamu barusan. Untuk kamar, kan aku bisa nanya sama bagian resepsionis."Brian tersenyum simpul, beberapa helai anak rambut Windy ia selipkan di balik te

  • Deviant Love   BAB 17 : Janggal

    Brian menutup pintu apartemen. Berjalan memasuki area dapur lalu meletakkan beberapa kantong belanja di atas meja pantry. Satu per satu keperluan dapur ia keluarkan dan langsung ia susun ke sejumlah tempat yang telah Brian tetapkan. Sembari menyusun, ranumnya bersiul. Mengalunkan irama ciptaan sendiri sebagai teman pemecah sepi.“Habis belanja mingguan?”Suara lembut mendayu sukses buat Brian terlonjak dari tempatnya berdiri. Dari seberang meja pantry, tampak sosok Tani tengah bersandar asyik pada punggung sofa sembari memainkan segelas anggur merah di tangan. Ranum tipisnya tersenyum lebar pada Brian.Bukan hal baru Tania sering berkunjung dan bisa masuk di kediaman Brian. Toh, dia tahu password apartemen Brian. Sang empunya sendiri jua yang memberi

  • Deviant Love   BAB 16 : Tragedi

    Pukul 9 malam, Brian mengantar Windy pulang. Sebelum keduanya berpisah, ucapan selamat malam dan mimpi indah menjadi penutup istimewa. Windy menutup pintu lalu bersandar. Kejadian di dalam bioskop tak kunjung enyah dari pandangan.“Kamu nggak perlu jawab sekarang kok. Kamu bisa jawab kapanpun kamu siap.”Itu adalah kalimat yang Brian sisipkan di telinga Windy, sebelum mengecup samar permukaan pipi Windy. Demi Tuhan, selama kencan tadi Windy benar-benar mati kutu akibat perlakuan Brian yang terlampau manis. Padahal sebelumnya banyak pria yang juga bersikap manis pada Windy, namun entah kenapa gadis cantik ini merasa ada yang berbeda dari Brian.Karena tampan? Sepertinya tidak.Melainkan

  • Deviant Love   BAB 15 : Windy dan Brian

    Windy duduk di depan cermin rias. Sibuk mengubah tampilan rambutnya menjadi bentuk gelombang dengan alat catok. Sesekali Windy sisir menggunakan jemari agar tampak lebih natural.Usai mencatok rambut, Windy mulai merias wajah. Mengoles sunscreen, pelembab, dan cushion. Kedua alis tebalnya ia sisir rapi dan mengisinya sedikit dengan pensil alis berwarna coklat tua.Ia bubuhkan sedikit blush on ke bagian dalam pipi hingga menyentuh sedikit area pelipis. Kemudian, Windy raih liptint warna merah cherry, mengolesnya ke bagian dalam bibir, lalu sisanya ia tepuk ke tepi bibir sampai menyerupai warna gradasi.Selesai!Windy tersenyum manis melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah da

  • Deviant Love   BAB 14 : Tentang Rasa

    Pindah apartemen atau menghindar sebisa mungkin? Itulah yang menjadi beban pilihan Windy saat ini. Berlebihan memang, mengingat pilihan tersebut muncul karena kejadian pagi tadi.Sesal dan malu sangat menggerogoti diri. Bahkan jika Windy mengingat kembali, dia sampai geli sendiri. Tetapi, Windy tidak sepenuhnya salah.Kalian lihat sendiri kan bahwa Brian yang memulai semuanya duluan?Menarik tubuh Windy lalu mengenalkan dirinya sebagai pacar Brian. Namun, Windy juga tidak bisa menipis rasa bersalah karena ia mengiyakan permainan Brian.Ta-tapi itu semua pasti ada alasannya.Mungkin Brian merasa risih? Maka dari itu ia menarik Windy agar wanita bernama Gina itu segera pergi."Ini dia pesanan kita!"Brian menaruh nampan, mengoper satu per satu menu ke atas meja makan. Kemudian menaruh tampan tersebut di t

  • Deviant Love   BAB 13 : Pacar?

    Meskipun banyak mata pria melirik dan bersedia melabuhkan cintanya pada Windy, bukan berarti perempuan berdarah sunda itu memiliki pengalaman dalam percintaan.Selama 21 tahun ia berpijak dan bernafas, Windy belum pernah sekalipun merangkai kisah cinta. Malas dan belum ada niat menemukan tambatan hati adalah alasan utama.Bahkan pertanyaan konyol ini sering terlintas di benak Windy saat teman-temannya meledek hanya karena dia belum pernah berpacaran.Enaknya pacaran apa sih?Untungnya pacaran tuh apa?Mereka bilang kelebihan punya pacar itu karena ada seseorang yang sayang dan perhatian dengan kita. Kalau itu jawaban validnya, maka bagi Windy mencari sosok perhatian dan penuh kasih sayang tidak harus dari pacar.Chacha dan orang tuanya sudah sangat cukup memberinya kasih sayang serta perhatian. Punya pacar tidak menjamin ba

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status