Pertarungan besar antara Iblis Tanpa Batas dengan Zhang Sing di perbatasan antara dunia tanpa keabadian dengan Nirvana Surgawi membuat Iblis Tanpa Batas berhasil melarikan diri ke Semesta Nirvana Surgawi yang terbuka akibat ledakan besar yang ditimbulkan Zhang Sing ini.
Shin Kui Long yang kembali ke Nirvana Surgawi berada di dalam tubuh Pendekar Tanpa Tanding yang sudah meninggal, sehingga kondisi tubuh yang ditempatinya ini tidak maksimal.Hanya saja, Kui Long yang kembali ke Nirvana Surgawi bukanlah dewa yang sakti lagi seperti semula, bahkan mendekati kultivator tingkat bawah juga tidak. Tubuh Kui Long di dalam tubuh Pendekar Tanpa Tanding ini sangat lemah.Seharusnya dia inkarnasi untuk mulai dari awal, bukan menumpang di tubuh manusia fana yang sudah mati.Kesalahan fatal alam semesta ini mengakibatkan dirinya menjadi lemah. Kui Long ingat dengan masa lalunya saat masih menjadi Dewa Iblis Gerbang Neraka, tapi dia tidak mengingat tindakannya yang kejam saat menjadi Iblis Tanpa Batas."Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa aku berada di dalam tubuh lemah manusia fana ini?" pikir Kui Long dengan penuh tanda tanya.Pendekar Tanpa Tanding boleh kuat untuk menjadi pendekar yang hebat di Dunia Bawah ... tapi di Dunia Atas, tubuhnya tidaklah sempurna untuk menjadi kultivator karena dantian dan meridian miliknya kurang sempurna."Kenapa aku tidak terlahir kembali saja di Dunia Atas? Lebih baik begitu daripada menumpang di tubuh yang lemah ini!" ujar Kui Long dalam hati.Kui Long benar-benar dibuat sengsara oleh tubuh Pendekar Tanpa Tanding karena di Nirvana Surgawi, tubuh Pendekar Tanpa Tanding hanya menempati ranah manusia, padahal ranah penempaan tubuh merupakan dasar yang bagus untuk melakukan kultivasi.Ranah manusia tidak memiliki kekuatan yang berarti sehingga sering dianggap sebagai kultivator kelas rendahan.Ranah manusia Pendekar Tanpa Tanding baru memasuki tingkatan kedua yang sangat jauh dari tingkatan kultivator."Hufh! bagaimana caranya untuk keluar dari tubuh lemah ini? Tapi, kalau aku keluar begitu saja maka tubuh ini akan hancur dan aku akan terkatung-katung tanpa tubuh," pikir Kui Long.Kui Long tiba kembali di Dunia Kultivator Negeri Han, tempat yang sangat mengerikan baginya karena di dunia inilah dia mengalami kematian yang sangat tragis.Dunia Kultivator tidak terlalu memperhatikan pemuda lemah yang berjalan terseok-seok akibat lemahnya tubuh pemuda ini yang sangat kesulitan untuk melangkah.“Cuih! Manusia rendahan sepertimu tidak pantas berada di Negeri Han! Seharusnya kamu berada di Dunia Pendekar Negeri Qing saja!” hina salah satu kultivator yang berpapasan dengan Kui Long.Bugh!Tubuh Kui Long yang sudah lemah ditendang oleh kultivator kelas bawah ini.“Pergi sana! Jijik aku melihatmu berada di sini!” seru kultivator kelas bawah yang sombong ini.Tindakan kultivator kelas bawah ini juga diikuti kultivator lainnya yang kebetulan berpapasan dengan Kui Long.Bagi mereka, Kui Long yang berada di dalam tubuh Pendekar Tanpa Tanding ini adalah rakyat jelata yang tidak pantas untuk diperhatikan.Ingin rasanya Kui Long membalas perbuatan mereka, tapi dia tidak berdaya karena kondisi tubuhnya yang lemah."Aku harus melihat kondisi Pagoda tempat aku dikepung sebelumnya, apakah mayat-mayat Immortal itu sudah dibersihkan!" ujar Kui Long dalam hati.Shin Kui Long merasa prihatin dengan banyakanya Immortal dan Kultivator yang terbunuh olehnya saat berusaha menyingkirkan dirinya.Pagoda yang menjadi tempat tujuannya sudah bersih dari mayat-mayat yang bergelimpangan sebelumnya.Tidak terlihat lagi tumpukan mayat yang banyak berada di bawah Pagoda ini.Tapi, beberapa kultivator masih tampak membersihkan sisa-sisa darah yang menempel pada Pagoda ini.Kui Long yang dalam kondisi lemah tidak terlalu diperhatikan oleh kultivator yang membersihakn darah kering yang menempel pada Pagoda."Hei ... kalian! Sudah berapa lama Pagoda ini dibersihkan?" tanya Kui Long memberanikan diri bertanya kepada mereka.Para kultivator tingkat rendah yang membersihkan Pagoda tidak mempedulikan pemuda berantakan yang mereka anggap sebagai rakyat jelata saja."Pergi kau dari sini! Cari mati saja!" tegur salah satu kultivator tingkat rendah yang hanya berada di ranah manusia tingkat tiga, tapi angkuhnya luar biasa."Aku hanya ingin tanya kalian sudah berapa lama membersihkan Pagoda ini?" tanya Kui Long Lagi memaksakan kehendaknya.Bugh!Sebuah tendangan dilayangkan salah satu kultivator tingkat rendah ini.Kui Long yang sudah lemah langsung muntah darah terkena tendangan yang mengandung sedikit energi qi ini."Kalau kau tidak mau pergi juga, aku akan membunuhmu! Rakyat jelata sepertimu tidak ada harganya di mata kami!" seru kultivator tingkat rendah lainnya."Kalian sudah mati semua apabila kondisiku masih seperti dahulu saat menjadi Dewa Iblis Gerbang Neraka."Tapi kata-kata itu hanya ada di dalam hati Kui Long saja.Terlalu beresiko menantang kultivator sombong ini, karena mereka tidak akan segan-segan membunuhnya."Kalian semua! Kenapa mengeroyok rakyat jelata yang tidak memiliki kemampuan kultivasi ini?" tanya seorang perempuan yang masih muda yang muncul di haadapan kultivator kelas rendah ini.“Jangan ikut campur Nona! Lebih baik kamu temani kami saja untuk permainana yang menyenangkan! Hahaha!”Kata-kata kotor yang terucap dari mulut kultivator kelas rendahan ini membuat Shin Kui Long merasa jijik terhadap mereka.Samar-samar Kui Long ingat dengan perempuan ini yang tidak lain adalah Immortal Qian Ling.Immortal yang pernah menawarinya untuk menyerah."Immortal ini tidak akan mengenaliku dengan kondisiku yang seperti sekarang ini! Jadi, percuma saja menegurnya! Terlalu berbahaya juga kalau dia mengenaliku sebagai Dewa Iblis Gerbang Neraka!" pikir Kui Long."Kamu tidak apa-apa?" tegur Qian Ling yang ternyata lebih berhati mulia daripada kultivator tingkat rendah yang sombong itu."Tidak apa-apa! Terima kasih, Nona!" ucap Kui Long."Jangan dekat-dekat dengan kultivator tingkat rendah ini. Mereka sangat sombong hanya dengan sedikit kemampuan saja! Kamu bisa tewas tadi seandainya aku tidak datang!" saran Qian Ling."Aku ingin tanya, Nona ... sudah berapa lama kultivator ini membersihkan Pagoda yang kotor ini?" tanya Kui Long."Kamu bukan berasal dari Negeri Han ya?" tanya Qian Ling. "Telah terjadi pertarungan besar di sini, dan banyak Immortal yang gugur dalam melawan Dewa Iblis Gerbang Neraka.""Sudah berapa lama, sejak pertarungan besar itu?" tanya Kui Long."Kamu benar-benar ingin tahu?" tanya Qian Ling yang merasa heran dengan ketertarikan pemuda lemah ini terhadap pertarungan akbar yang mereka jalani.Kui Long mengangukan kepalanya."Baiklah Kalau itu keinginanmu! Sudah sebulan sejak pertarungan besar ittu!" ujar Qian Ling."Sudah selama itu? Berarti telah terjadi perubahan waktu saat celah menuju Nirvana Surgawi ini terbuka!" pikir Kui Long.Shin Kui Long tidak menyangka waktu yang sebentar dialaminya ini sudah berlangsung selama sebulan di dunia nyata.Kilatan petir menghiasi langit malam. Angin mengamuk, membawa suara dentingan pedang dan sorakan pasukan yang bertarung di luar gerbang. Namun, di dalam benteng utama, hanya ada dua sosok... Shin Kui Long, Sang Raja Naga Hitam, julukan barunya ... dan Kaisar Han, penguasa terakhir Kekaisaran Han yang megah.Dengan langkah mantap, Shin Kui Long berjalan melewati aula megah Istana Dunia Kultivator. Sepasang matanya yang menyala biru menatap lurus ke depan, rambut hitamnya berkibar liar tertiup badai spiritual yang diciptakan kekuatannya sendiri. Tubuhnya memancarkan aura hitam pekat bercampur kilatan ungu, tanda bahwa dia telah melampaui batas-batas kultivator biasa.Di ujung aula, Kaisar Han berdiri dengan gagah, tubuhnya dibalut baju zirah emas berukir naga, pedang besar di tangannya berkilau memantulkan cahaya dari obor-obor raksasa di sekeliling ruangan. Sorot matanya dingin, tapi mulutnya melengkungkan senyum kecil.“Shin Kui Long… kau akhirnya datang,” ucap Kaisar Han, suaranya dal
Waktu tidak lagi berjalan.Ia terlipat—seperti helai sutra langit yang diremas tangan para dewa. Di setiap langkah, dimensi pecah seperti kaca rapuh yang dihantam badai, namun tak satu pun dari dua makhluk itu tergoyahkan. Mereka bukan sekadar berjalan di ruang, tapi menembus lapisan-lapisan eksistensi yang tak bisa dipahami oleh makhluk fana.Di tengah reruntuhan dimensi yang mengapung seperti puing bintang, Yinyin melayang—misterius dan mematikan dalam bentuk rubah berekor sembilan. Setiap ekornya menjulur seperti sungai bayangan yang tak berujung, menggulung dan meliuk seolah menari dengan kekosongan. Di tangannya yang lentik, dua bilah belati memantulkan cahaya kelabu:“Zaman yang Retak” dan “Kesunyian yang Abadi”, bergetar pelan ... haus. Haus akan darah yang sudah dilupakan bahkan oleh waktu.Di hadapannya berdiri sosok agung:Qilin Emas.Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan—lembut namun padat, seperti logam surgawi yang hidup. Setiap langkahnya tidak hanya menyentuh tanah, tapi
Ratusan Immortal berdiri membentuk lingkaran sempurna di tengah dataran yang telah berubah menjadi ruang antara realita dan mimpi. Udara membeku, menekan dada mereka seperti beban tak kasatmata. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot es ke dalam paru-paru.Di tengah formasi itu, Array Seribu Ilusi menyala terang—ledakan cahaya spiritual meledak dari permukaannya seperti kilatan petir yang tak berhenti. Riak-riak dimensi melingkar, membelah ruang dan waktu dalam gelombang berlapis. Setiap lapisan memunculkan bayangan… wajah… tubuh…Dewa Pedang.Satu… dua… ratusan… ribuan versi dirinya tersebar di segala penjuru. Di atas, di bawah, di kiri, kanan, bahkan dari balik celah ruang, refleksi dirinya tersenyum, mengernyit, atau sekadar diam menatap tajam balik padanya.Ilusi begitu nyata, begitu sempurna, hingga mustahil membedakan mana dirinya yang asli.“Perkuat ilusi! Jangan beri celah!” teriak seorang kultivator dari garis depan, suaranya menggema seperti ledakan genderang perang. C
Dari balik reruntuhan langit yang robek oleh pertempuran, Immortal Kuno melangkah maju. Tubuhnya berlumur luka, jubah robek dan terbakar, sementara darah suci mengalir perlahan dari pelipisnya, membentuk garis tipis di wajah yang diliputi amarah dan harga diri yang tercabik.Matanya menyala—bukan oleh cahaya, melainkan oleh tekad terakhir yang menggelegak seperti magma yang tak bisa lagi dibendung.Dengan suara berat yang seperti mengguncang angkasa, ia berseru,“Aku… belum kalah.”Tangannya yang gemetar mencengkeram Pedang Sepuluh Surga, bilah sakral yang memancarkan sepuluh warna cahaya surgawi, berputar perlahan seolah menciptakan pelangi di langit malam yang muram. Ketika ia mengangkatnya, seluruh dunia seperti menahan napas.Lalu ia menebas.Seketika itu juga, langit retak. Bumi berderak. Dan realitas terbelah menjadi sepuluh dimensi.Sepuluh jalur ruang dan waktu berlapis-lapis muncul di antara kedipan mata, masing-masing berdenyut dengan hukum alam yang berbeda—dimensi cahaya,
Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung