Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan.
Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah.Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam.Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri.Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis.Wushh!!!Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang.Tidak lama kemudian, dari dalam gubuk, tiba-tiba terdengar ada suara orang yang berjalan perlahan. Selang sesaat, muncullah seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam yang berjalan tertatih-tatih.Pemuda itu sepertinya mengalami luka yang sangat parah. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya obat-obatan serbuk dan ramuan dedaunan yang ditempelkan di tubuhnya.Ketika dipandang lebih teliti, ternyata pemuda yang dimaksud tersebut bukan lain adalah Caraka Candra.Kalau pemuda itu adalah dirinya, lalu, apakah kakek tua yang sedang duduk itu, adalah kakek tua yang sama saat semalam?"Ah, kau sudah bangun anak muda," ujar si kakek sambil melemparkan senyuman kepadanya."Sudah, Kek. Ngomong-ngomong, di mana aku ini?" tanya Caraka sedikit kebingungan."Kau sedang berada di gubuk tua milikku. Maaf kalau gubukku tidak membuatmu nyaman," ucapnya lalu menghisap tembakau."Ah, tidak, tidak. Justru sangat nyaman, Kek. Dan aku merasa berterimakasih karena Kakek sudah mau menolong serta merawat diriku,""Kau tidak perlu sungkan, anak muda. Duduklah dan mari kita bicara sambil menikmati suasana pagi ini," kata si kakek tua melanjutkan."Baik, Kek, terimakasih,"Caraka kemudian duduk persis di hadapan si kakek tua. Kemudian di sana juga sudah tersedia secangkir kopi pahit yang sebelumnya telah dibuatkan oleh kakek tua itu.Suasana di sana masih sepi sunyi. Kecuali suara hembusan angin dan binatang di pagi hari, rasanya tiada suara apapun lagi yang dapat terdengar.Caraka minum kopi pahit itu dengan perlahan. Dirinya lalu memandangi keindahan alam yang ada di sekitarnya.Keindahan alam yang memukau. Pepohonan menjulang tinggi. Bukit-bukit yang hijau nan indah terbentang luas di depan mata.Udara di sana terasa sangat segar. Caraka sendiri merasa begitu menikmatinya.Pemuda itu tersadar dari lamunan ketika dia mendengar suara si kakek tua yang memanggil dirinya."Anak muda, siapa namamu?" tanyanya dengan suara yang halus namun penuh wibawa."Namaku, Caraka Candra, Kek," jawabnya dengan sopan."Hemm, kenapa semalam kau menolong diriku dari keroyokan Lima Harimau Gunung? Padahal, malam itu kau sendiri telah menyadari bahwa sebenarnya dirimu sudah terluka cukup parah,"Ditanya demikian, Caraka jadi kebingungan sendiri. Sebab apa yang telah dia lakukan semalam, semua itu tak lebih dari sekedar nalurinya saja. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya sangat ingin menolong kakek tua tersebut.Sampai sekarang, Caraka Candra belum menemukan alasan yang tepat terkait tindakan yang diambil olehnya tersebut."Aku tidak tahu, Kek. Malam itu aku hanya berpikir bahwa bagaimanapun caranya, aku tetap harus menolong Kakek. Bahkan sekali pun itu harus mengorbankan nyawaku sendiri," jawabnya dengan tegas dan penuh keyakinan."Hemm, apakah kau tidak berbohong?""Aku sungguh-sungguh, Kek,""Bagus. Kau memang pemuda yang mempunyai jiwa bersih," pujinya sambil tersenyum simpul.Caraka hanya membalas senyuman itu. Dia tidak bicara sama sekali. Sebaliknya, justru malah si kakek yang kembali melanjutkan bicaranya."Caraka, aku punya satu permintaan, apakah kau mau mengabulkannya?" tanya kakek tua itu sambil memandang ke arahnya."Selagi aku mampu, aku pasti bersedia mengabulkannya, Kek,"Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Setelah itu, dirinya masuk ke dalam gubuk. Begitu keluar, di tangan kanannya sudah ada sebuah buntalan kecil.Buntalan itu bukan lain adalah buntalan yang sempat dilihat oleh Caraka saat malam tadi.Si kakek tua duduk kembali, setelah itu dirinya berkata, "Tengah malam nanti, pergilah dari sini menuju ke Gunung Geger Bentang. Kau harus menemukan sebuah goa sekaligus pintu masuknya. Kalau sudah, masuklah ke dalam. Jika sudah berada di dalam, bukalah buntalan yang kau bawa ini," kata kakek tua sambil memberikan buntalannya kepada Caraka Candra.Caraka menerima buntalan itu dengan ekspresi wajah kebingungan. Dia benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan si kakek. Namun entah kenapa, dia merasa sangat mempercayai dirinya."Jangan banyak bertanya. Lakukan saja seperti apa yang barusan aku katakan. Kelak jika sudah tiba di sana, kau pasti akan mengerti dengan sendirinya. Dan ingat, yang terpenting, jangan sampai kau berikan buntalan itu kepada orang lain. Apapun yang terjadi nantinya," lanjut si kakek seolah-olah dia sudah bisa membaca jalan pikiran Caraka Candra."Baiklah, Kek. Aku akan mendengarkan semua yang kau katakan. Aku juga akan menjaga buntalan ini dengan jiwa dan ragaku," jawab Caraka Candra dengan patuh.Walaupun hingga saat ini, dia masih belum mengerti apapun tentang maksud si kakek tua, tapi Caraka yakin, bahwa niat orang tua itu tidaklah buruk.Malah entah kenapa, hatinya berkata bahwa kakek tua itu justru mempunyai niat baik kepadanya.Caraka adalah tipe orang yang selalu mendengarkan kata hatinya sendiri. Oleh sebab itulah, kalau hatinya berkata A, maka dia akan menuruti atau melakukannya. Tidak terkecuali dengan saat ini."Bagus. Aku percaya kepadaku, Caraka," ujar si kakek tua sambil menepuk pundaknya.Keduanya berbincang kembali. Mereka berada di pendopo itu hingga matahari berada di tepat di atas kepala.###Tengah malam telah tiba kembali. Udara saat ini sangat cerah. Rembulan bersinar dengan terang. Memancarkan cahaya keemasannya ke muka bumi.Keadaan di sekitar gubuk sepi sunyi. Si kakek tua dan Caraka Candra sedang berdiri berhadapan persis di depan pintu."Caraka, pergilah sekarang. Saat ini sudah masuk tengah malam, lakukan apa yang sebelumnya telah aku perintahkan kepadamu," kata kakek tua yang sampai sekarang belum diketahui namanya itu."Baik, kek. Aku akan segera melakukannya," jawab Caraka Candra."Bagus. Maaf kalau aku harus merepotkanmu," ucap kakek tua itu."Ah, tidak, Kek. Aku selalu senang kalau bisa membantu orang lain,""Baiklah. Kalau begitu, lakukan sekarang juga. Dan ingat, apapun hang terjadi, jangan pernah menengok ke belakang,"Caraka Candra sempat terkejut ketika dia mendengar perkataan tersebut. Namun karena tidak mau banyak bertanya, maka pada akhirnya pemuda itu hanya menuruti saja."Baik, Kek. Aku mengerti,"Pemuda tampan yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu segera membalikkan tubuhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, dia langsung saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Di tengah perjalanan, Caraka Candra merasa sedikit terkejut. Sebab sekarang ini, tubuhnya tidak lagi terasa ngilu dan sakit seperti hari kemarin. Sekarang, tiba-tiba dia merasa lebih segar bugar daripada biasanya. Bahkan menurut anggapannya pribadi, ilmu meringankan tubuhnya seperti meningkat. Meskipun peningkatannya tidak terlalu banyak, tapi hal itu saja jelas bukan kejadian biasa. Caraka baru mengalami kejadian seperti ini. Dan dia benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa pula dia merasa tenaganya makin meningkat? Pemuda itu sebenarnya ingin terus memikirkan hal tersebut. Sayangnya, hal itu tidak bisa dia lakukan secara terus menerus. Selain daripada itu, secara tiba-tiba sepasang telinganya juga mendengar adanya dentuman keras yang berasal dari ara
Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat! Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya! Wutt!!! Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya. Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah. Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut! "Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang y
Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum
Tubuh Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seakan-akan seluruh tubuhnya telah mati. Rasa sakit yang berasal dari tengkuknya semakin menjadi. Rasa sakit itu tidak hanya menyerang tubuh bagian luar, bahkan bagian dalamnya juga tidak terkecuali. Caraka Candra merasakan organ dalam tubuhnya panas. Panas seperti dibakar. Keringat panas dan dingin telah merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya. "Kau pikir dirimu bisa bersembunyi dari kami?" Sebuah suara yang berat dan serak parau tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya. Pemuda serba hitam tersebut mencoba melirik dengan ekor mata, tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Setelah mendengar suara barusan, ia menyadari bahwa tengkuknya ternyata telah diremas oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi tentunya. "Apakah ... apakah kau adalah si Tongkat Dua Jalan?" tanyanya sedikit gugup. "Hemm, bagus. Ternyata kau masih ingat," suara yang sama seperti sebelumnya terdengar lagi. Bersama
Langkah yang secara tiba-tiba tersebut tentu saja juga membuat si Tongkat Dua Jalan kaget. Ia tidak mengira kalau pemuda serba hitam yang menjadi lawannya akan mengamb tindakan seperti itu. Akibatnya, serangan beruntun yang ia lancarkan menggunakan tongkat andalannya sendiri, menjadi mengenai udara kosong. Tetapi sebagai pendekar aliran sesat yang sudah mempunyai nama besar, tentu saja ia segera bertindak dengan sigap. Gaya serangannya berubah total. Yang tadinya berputar dan lebih mengincar tubuh bagian atas, sekarang justru menotok ke bawah. Ia mengincar seluruh tubuh Caraka Candra. Walaupun gaya serangannya berubah, tapi inti dari jurusnya tetap sama. Tetap cepat dan mematikan. Caraka berpikir bahwa langkah yang dia ambil ini merupakan jalan yang terbaik. Namun yang terjadi selanjutnya justru malah sebaliknya, posisinya makin tidak menguntungkan! Ia semakin berada di bawah angin. Setiap saat, ujung tongkat lawan bisa saja mengenai tubuhnya dengan telak. Wutt!!! Kaki pemuda
"Hemm, manusia mana yang sudah berani melakukan hal itu?" Rekannya yang lain ikut bertanya. Ia pun berjalan ke depan seraya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain. Tujuh Singa Hutan sudah berdiri sejajar kembali. Mereka semua memandang ke tempat sekelilingnya. Orang-orang itu mencari sedang siapa tahu pelaku yang sudah berani ikut campur.Sayangnya, walaupun sudah cukup lama mencari, tapi hasilnya tetap nihil. Mereka tetap tidak berhasil menemukan pelakunya. Karena sudah tidak kuat menahan rasa marah, akhirnya si Tongkat Dua Jalan kembali mengambil tindakan. Ia menyerang Caraka Candra lagi dengan gerakan dan tenaga yang sama. Namun kejadian seperti sebelumnya kembali terjadi. Sebuah batu kerikil seukuran ibu jari telah menghantam tongkatnya dengan sangat keras. Saking kerasnya, sampai-sampai tongkat pusaka itu hampir terlepas dari genggaman tangannya. "Keparat! Manusia atau setan yang telah berani menggangguku?" Si Tongkat Dua Jalan merasa lebih marah lagi. Sebagai tokoh yang su
Saat itu tengah malam. Hujan turun membasahi bumi dengan lebatnya. Ledakan guntur dan sambaran kilat, terus mewarnai malam tanpa mengenal kata berhenti.Angin malam di tengah hujan berhembus kencang. Menambah rasa dingin yang makin lama makin menjadi. Tanah becek. Genangan air tampak di sana sini. Keadaan sepi sunyi. Kecuali pepohonan, rasanya tidak ada makhluk hidup lain yang terlihat oleh pandangan mata. Pada saat-saat seperti ini, seolah-olah di muka bumi sudah tidak ada lagi kehidupan. Jangankan manusia, bahkan seekor binatang liar pun tidak terlihat batang hidungnya. Lewat setengah jam, hujan mulai mereda. Tapi sambaran kilat masih terus menyambar-nyambar. Keadaan masih mencekam. Sepi. Sunyi. Tiba-tiba, dari balik kegelapan terlihat ada manusia yang berjalan seorang diri. Semakin lama, bentuk tubuhnya makin terlihat jelas. Ternyata dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Pemuda itu mengenakan pakaian hitam. Wajahnya sangat tampan. Kedua matanya jeli dengan alis
Betapa terkejutnya si Naga Hitam Dari Selatan itu ketika dia menyaksikan adanya puluhan orang berpakaian merah. Semerah darah. Orang-orang tersebut berdiri dengan tegak. Wajahnya sangat sangar melambangkan kebengisan. Sorot matanya memancar dengan tajam. Seperti layaknya mata pedang. Ketua Adiyaksa mencoba menenangkan dirinya. Dia mulai melihat ke tempat sekeliling Perguruan Naga Langit. Dan orang tua itu lebih terkejut saat dia menyadari bahwa para penjaga perguruan ternyata sudah tewas. Malah ada pula beberapa puluh murid yang juga sudah meregang nyawanya. Waktu terus berjalan. Entah sejak kapan, tahu-tahu di halaman itu sudah semakin banyak orang-orang yang mengenakan pakaian serba merah darah. Mereka semua mempunyai penampilan yang serupa benar. Terutama sekali dari warna pakaian dan senjata mereka. Warna pakaian merah. Senjata juga berupa golok bersarung merah. Siapa mereka? Kenapa orang-orang itu membantai Perguruan Naga Langit? Ketua Adiyaksa mencoba untuk tetap tenang. M