Beranda / Fantasi / Dewa Pedang Tanah Pasundan / Permintaan Kakek Tua Misterius

Share

Permintaan Kakek Tua Misterius

Penulis: Junot Senju
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-01 13:10:40

Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan.

Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah.

Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam.

Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri.

Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis.

Wushh!!!

Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang.

Tidak lama kemudian, dari dalam gubuk, tiba-tiba terdengar ada suara orang yang berjalan perlahan. Selang sesaat, muncullah seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam yang berjalan tertatih-tatih.

Pemuda itu sepertinya mengalami luka yang sangat parah. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya obat-obatan serbuk dan ramuan dedaunan yang ditempelkan di tubuhnya.

Ketika dipandang lebih teliti, ternyata pemuda yang dimaksud tersebut bukan lain adalah Caraka Candra.

Kalau pemuda itu adalah dirinya, lalu, apakah kakek tua yang sedang duduk itu, adalah kakek tua yang sama saat semalam?

"Ah, kau sudah bangun anak muda," ujar si kakek sambil melemparkan senyuman kepadanya.

"Sudah, Kek. Ngomong-ngomong, di mana aku ini?" tanya Caraka sedikit kebingungan.

"Kau sedang berada di gubuk tua milikku. Maaf kalau gubukku tidak membuatmu nyaman," ucapnya lalu menghisap tembakau.

"Ah, tidak, tidak. Justru sangat nyaman, Kek. Dan aku merasa berterimakasih karena Kakek sudah mau menolong serta merawat diriku,"

"Kau tidak perlu sungkan, anak muda. Duduklah dan mari kita bicara sambil menikmati suasana pagi ini," kata si kakek tua melanjutkan.

"Baik, Kek, terimakasih,"

Caraka kemudian duduk persis di hadapan si kakek tua. Kemudian di sana juga sudah tersedia secangkir kopi pahit yang sebelumnya telah dibuatkan oleh kakek tua itu.

Suasana di sana masih sepi sunyi. Kecuali suara hembusan angin dan binatang di pagi hari, rasanya tiada suara apapun lagi yang dapat terdengar.

Caraka minum kopi pahit itu dengan perlahan. Dirinya lalu memandangi keindahan alam yang ada di sekitarnya.

Keindahan alam yang memukau. Pepohonan menjulang tinggi. Bukit-bukit yang hijau nan indah terbentang luas di depan mata.

Udara di sana terasa sangat segar. Caraka sendiri merasa begitu menikmatinya.

Pemuda itu tersadar dari lamunan ketika dia mendengar suara si kakek tua yang memanggil dirinya.

"Anak muda, siapa namamu?" tanyanya dengan suara yang halus namun penuh wibawa.

"Namaku, Caraka Candra, Kek," jawabnya dengan sopan.

"Hemm, kenapa semalam kau menolong diriku dari keroyokan Lima Harimau Gunung? Padahal, malam itu kau sendiri telah menyadari bahwa sebenarnya dirimu sudah terluka cukup parah,"

Ditanya demikian, Caraka jadi kebingungan sendiri. Sebab apa yang telah dia lakukan semalam, semua itu tak lebih dari sekedar nalurinya saja. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya sangat ingin menolong kakek tua tersebut.

Sampai sekarang, Caraka Candra belum menemukan alasan yang tepat terkait tindakan yang diambil olehnya tersebut.

"Aku tidak tahu, Kek. Malam itu aku hanya berpikir bahwa bagaimanapun caranya, aku tetap harus menolong Kakek. Bahkan sekali pun itu harus mengorbankan nyawaku sendiri," jawabnya dengan tegas dan penuh keyakinan.

"Hemm, apakah kau tidak berbohong?"

"Aku sungguh-sungguh, Kek,"

"Bagus. Kau memang pemuda yang mempunyai jiwa bersih," pujinya sambil tersenyum simpul.

Caraka hanya membalas senyuman itu. Dia tidak bicara sama sekali. Sebaliknya, justru malah si kakek yang kembali melanjutkan bicaranya.

"Caraka, aku punya satu permintaan, apakah kau mau mengabulkannya?" tanya kakek tua itu sambil memandang ke arahnya.

"Selagi aku mampu, aku pasti bersedia mengabulkannya, Kek,"

Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Setelah itu, dirinya masuk ke dalam gubuk. Begitu keluar, di tangan kanannya sudah ada sebuah buntalan kecil.

Buntalan itu bukan lain adalah buntalan yang sempat dilihat oleh Caraka saat malam tadi.

Si kakek tua duduk kembali, setelah itu dirinya berkata, "Tengah malam nanti, pergilah dari sini menuju ke Gunung Geger Bentang. Kau harus menemukan sebuah goa sekaligus pintu masuknya. Kalau sudah, masuklah ke dalam. Jika sudah berada di dalam, bukalah buntalan yang kau bawa ini," kata kakek tua sambil memberikan buntalannya kepada Caraka Candra.

Caraka menerima buntalan itu dengan ekspresi wajah kebingungan. Dia benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan si kakek. Namun entah kenapa, dia merasa sangat mempercayai dirinya.

"Jangan banyak bertanya. Lakukan saja seperti apa yang barusan aku katakan. Kelak jika sudah tiba di sana, kau pasti akan mengerti dengan sendirinya. Dan ingat, yang terpenting, jangan sampai kau berikan buntalan itu kepada orang lain. Apapun yang terjadi nantinya," lanjut si kakek seolah-olah dia sudah bisa membaca jalan pikiran Caraka Candra.

"Baiklah, Kek. Aku akan mendengarkan semua yang kau katakan. Aku juga akan menjaga buntalan ini dengan jiwa dan ragaku," jawab Caraka Candra dengan patuh.

Walaupun hingga saat ini, dia masih belum mengerti apapun tentang maksud si kakek tua, tapi Caraka yakin, bahwa niat orang tua itu tidaklah buruk.

Malah entah kenapa, hatinya berkata bahwa kakek tua itu justru mempunyai niat baik kepadanya.

Caraka adalah tipe orang yang selalu mendengarkan kata hatinya sendiri. Oleh sebab itulah, kalau hatinya berkata A, maka dia akan menuruti atau melakukannya. Tidak terkecuali dengan saat ini.

"Bagus. Aku percaya kepadaku, Caraka," ujar si kakek tua sambil menepuk pundaknya.

Keduanya berbincang kembali. Mereka berada di pendopo itu hingga matahari berada di tepat di atas kepala.

###

Tengah malam telah tiba kembali. Udara saat ini sangat cerah. Rembulan bersinar dengan terang. Memancarkan cahaya keemasannya ke muka bumi.

Keadaan di sekitar gubuk sepi sunyi. Si kakek tua dan Caraka Candra sedang berdiri berhadapan persis di depan pintu.

"Caraka, pergilah sekarang. Saat ini sudah masuk tengah malam, lakukan apa yang sebelumnya telah aku perintahkan kepadamu," kata kakek tua yang sampai sekarang belum diketahui namanya itu.

"Baik, kek. Aku akan segera melakukannya," jawab Caraka Candra.

"Bagus. Maaf kalau aku harus merepotkanmu," ucap kakek tua itu.

"Ah, tidak, Kek. Aku selalu senang kalau bisa membantu orang lain,"

"Baiklah. Kalau begitu, lakukan sekarang juga. Dan ingat, apapun hang terjadi, jangan pernah menengok ke belakang,"

Caraka Candra sempat terkejut ketika dia mendengar perkataan tersebut. Namun karena tidak mau banyak bertanya, maka pada akhirnya pemuda itu hanya menuruti saja.

"Baik, Kek. Aku mengerti,"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kematian si Kebo Ireng

    Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Naga Menari di Pusaran Badai

    Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kebo Ireng

    Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Masalah di Masa Lalu

    "Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pedang Pembawa Maut

    "Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Gunung Hejo

    Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status