Di dalam paviliun barat yang tenang dan elegan, suasana tampak hangat. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur harum dupa halus yang mengepul dari sudut ruangan. Ibu Suri Gao duduk anggun di atas kursi ukiran kayu cendana, mengenakan jubah sutra gelap berhias bordir burung fenghuang.Di hadapannya, duduk tiga orang tamu yang datang dari negeri seberang. Seorang pria dan wanita paruh baya dengan pakaian khas hanbook formal, serta seorang gadis muda yang duduk dengan sopan, anggun namun penuh percaya diri. Dialah Min Ji, gadis cantik berkulit pucat dengan mata bening dan senyum yang lemah-lembut.“Sudah lama kita tak bertemu, Nyonya Min,” ujar Ibu Suri Gao dengan bahasa negeri seberang yang fasih, suaranya terdengar ramah namun mengandung makna tersirat. “Kukira kalian sudah lupa pada saudara jauh kalian di kekaisaran Tianyang.”Wanita paruh baya itu tertawa kecil, anggun. “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Kami selalu mengikuti berita dari istana Tianyang. Dan mendengar kabar bahwa Anda
“Serang!” Derap kaki kuda dan teriakan perintah memenuhi medan perang. Pasukan elit Kekaisaran Zhengtang kembali menyerbu setelah kegagalan panah memalukan mereka. Kali ini serangan darat dikerahkan dengan kekuatan penuh.Jenderal-jenderal muda dari Zhengtang memimpin pasukan mereka dari depan, menerobos celah formasi dengan tombak dan pedang berlapis Qi yang menyala-nyala.“Maju! Jangan biarkan mereka bersiap!” teriak salah satu jenderal dengan sorot mata membara.Tapi dari jauh, Kaisar Tian Ming masih berdiri dengan tenang di atas kudanya. Di sisi kirinya, Jenderal Zhao Yun dan Wu Liang telah mempersiapkan barisan khusus.Kaisar Tian Ming menurunkan tangannya perlahan. Sebuah sinyal diam yang langsung dipahami para prajurit elit Tianyang.“Formasi Naga Api! Posisi bertahan ketiga!” seru Wu Liang.Pasukan Tianyang bergerak seolah-olah satu tubuh. Mereka membentuk barisan menyerupai sisik naga yang kokoh, setiap prajurit berdiri tegap dengan senjata spiritual terhunus. Aura spiritual
Cahaya fajar baru saja muncul di ufuk timur, langit masih menyisakan warna kelam ketika dua pasukan besar berdiri saling berhadapan di medan perang terbuka, seperti barisan semut hitam yang tak berujung. Aura tekanan Qi dari para prajurit dan jenderal memenuhi udara, menggema seperti dentingan pedang yang belum terhunus.Di sisi barat, pasukan Kekaisaran Tianyang berdiri gagah. Di barisan paling depan, Kaisar Tian Ming duduk tegak di atas kudanya yang gagah berwarna hitam legam. Zirah emas di tubuhnya memantulkan cahaya matahari pagi, menambah aura agung dan tak tergoyahkan.Di sisi timur, pasukan Kekaisaran Zhengtang berbaris rapi. Kaisar Zheng Yu berdiri di atas kuda coklatnya, mengenakan jubah perangnya berwarna merah gelap dengan lambang naga api di dada. Wajahnya angkuh dan dingin.Kaisar Zheng Yu mengangkat tangan, memberi isyarat pada seluruh pasukannya untuk tetap diam, lalu melangkah maju beberapa tapak dengan suara lantang.“Tian Ming! Menyerahlah. Serahkan Permaisuri Zhao X
Fajar belum sepenuhnya menyingsing, langit masih menggantungkan semburat biru gelap dan oranye pucat. Angin pagi berhembus lembut namun membawa hawa tegang dari persiapan perang. Derap kaki pasukan elit kekaisaran Tianyang terdengar mantap di pelataran luar gerbang utama. Armor-armor berkilau, panji-panji berkibar, dan beast tunggangan menggeram lirih, seakan ikut merasakan aroma pertempuran yang sudah di ambang waktu.Di tengah pasukan itu, Kaisar Tian Ming berdiri gagah dengan zirah emasnya. Namun matanya hanya tertuju pada satu sosok yaitu Zhao Xueyan, istrinya, yang berdiri di dekat gerbang dengan wajah menahan."Xueyan .…" ucapnya pelan sambil menggenggam tangan istrinya yang dingin."Aku baik-baik saja," jawab Zhao Xueyan singkat, namun jelas nada suaranya bergetar. "Aku hanya, tak menyangka hari perpisahan kita datang secepat ini."Kaisar Tian Ming tersenyum lembut. "Bukan perpisahan. Hanya jeda, aku akan kembali. Kau akan melihatku berdiri di sini lagi, dengan kemenangan."Zh
Langit senja di Benua Yunzhu berwarna kemerahan, seakan menyambut datangnya badai. Suara gemuruh dari kaki-kaki monster buas mengguncang tanah. Pasukan elit Kekaisaran Zhengtang muncul di balik awan debu, menunggangi beast monster masing-masing seperti macan bermata tiga, burung baja bersisik, hingga kuda api yang menghembuskan napas panas dari lubang hidungnya.Di barisan terdepan, berdiri tegak seorang pria berjubah ungu gelap, dengan helm perang di kepalanya, Kaisar Zheng Yu. Sorot matanya tajam menatap ke depan. Di hadapan mereka terbentang gerbang kokoh timur Benua Yunzhu, dijaga dua gunung tinggi yang menjulang seperti sepasang penjaga raksasa.Seorang jenderal muda mendekat, menunduk hormat. "Yang Mulia, kita telah mencapai titik perkemahan yang strategis. Lembah di antara dua gunung ini cukup tersembunyi, dan dekat dengan perbatasan Kekaisaran Tianyang."Kaisar Zheng Yu menoleh sekilas, lalu memandang ke lembah yang dimaksud. Angin berembus kencang, membawa aroma tanah basah d
Di Paviliun Barat yang sejuk dan megah, Ibu Suri Gao duduk anggun di bawah naungan tirai sutra tipis. Di hadapannya, cawan teh melati menguarkan aroma halus. Matanya tajam menatap ke luar, seolah menunggu sesuatu. Tak lama kemudian, langkah kaki cepat terdengar mendekat. Seorang prajurit berseragam gelap membungkuk dalam di depan pintu. "Masuk," ucap Ibu Suri tanpa menoleh. Prajurit itu melangkah masuk dan kembali membungkuk dengan hormat. "Hamba menghadap, Yang Mulia." Ibu Suri meletakkan cangkir tehnya dan menoleh dengan dingin. “Bagaimana hasil penyelidikanmu?” Dengan suara rendah dan hati-hati, prajurit itu menjawab, “Yang Mulia Kaisar Tian Ming sedang mempersiapkan pasukan dalam diam. Karena Yang Mulia Kaisar akan berperang.” Alis Ibu Suri langsung berkerut. “Persiapan perang?” tanyanya tajam. “Benar, Yang Mulia,” sahut sang prajurit. “Kami mendapat laporan bahwa Kekaisaran Zhengtang akan menyerang Kekaisaran Tianyang.” Ibu Suri Gao berdiri dari duduknya dengan cepat. Tata