Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara.
Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebuah data point baru. Dia mendokumentasikan semuanya: di mana dia meletakkan sepatu botnya (selalu di sebelah kiri pintu), bagaimana dia meninggalkan cangkir kopinya (selalu setengah penuh, dengan bekas bibir di tepinya), pola tidurnya yang tidak teratur (tertidur di sofa, terbangun tengah malam untuk melukis). Bagi Ares, tinggal di apartemen Elara seperti hidup di dalam sebuah kandang kaca. Segala sesuatu bersih, terang, dan terasa seperti dihakimi. Tapi ada rasa aman yang aneh dalam keteraturan itu. Dan ada Elara, selalu mengamati, selalu mencatat, memberinya perhatian yang begitu fokus sehingga terkadang terasa seperti sebuah pelukan yang terlalu ketat. Mereka menjalani ritual baru mereka. Pagi hari, Elara akan mewawancarainya saat dia sarapan—pertanyaan-pertanyaan tentang mimpinya, mood-nya, kenangan masa kecil yang muncul. Ares akan menjawab dengan enggan, terkadang dengan marah, tetapi dia selalu menjawab. Itu adalah harga yang harus dibayar untuk tinggal di sana, untuk memiliki seseorang yang mendengarkan setiap kata-katanya. Siang hari, dia akan melukis. Elara sering duduk di sebuah sudut, tabletnya di pangkuan, mengamati prosesnya. Dia tidak lagi bersembunyi; observasinya sekarang terbuka, disetujui, bagian dari "kolaborasi" mereka. "Warna itu menarik," dia bisa berkomentar, menatap goresan biru tua yang Ares oleskan ke kanvas. "Kamu memilihnya setelah pertanyaan tentang ayahmu. Apakah ada korelasi?" Ares akan menggeram, "Aku tidak tahu. Mungkin. Apakah penting?" "Semuanya penting," Elara akan membalas, jarinya sudah mengetik catatan. "Ini semua adalah bagian dari pola." Suatu malam, setelah hari yang sangat produktif—Ares menyelesaikan sebuah lukisan yang sangat emosional, Elara mengumpulkan data yang dia sebut "sangat signifikan"—mereka berdua duduk di lantai ruang tamu, dikelilingi oleh buku catatan, tablet, dan kanvas. Sebotol anggur—yang pertama sejak Ares pindah—terbuka di antara mereka. Elara, yang biasanya menolak alkohol, minum satu gelas, mengatakan itu untuk "melihat efeknya pada dinamika kita." Mereka tidak berbicara tentang data atau eksperimen. Mereka berbicara tentang musik. Ares terkejut menemukan bahwa Elara memiliki pengetahuan yang mendalam tentang post-punk dan musik industrial. "Itu memiliki struktur dalam kekacauannya," jelas Elara, matanya berkilauan sedikit oleh anggur. "Ritme yang berulang, seperti detak jantung yang cemas, di bawah distorsi dan teriakan. Itu... teratur dalam ketidakteraturannya. Seperti kamu." Ares mendengarkan, terpana. Dia pernah mendengar orang menyamakan seninya dengan musik, tapi tidak ada yang pernah menyatakannya dengan cara yang begitu tepat, begitu melihat. "Kau mendengarkan Sisters of Mercy?" tanyanya, tidak percaya. "Tentu," jawab Elara. "'Marian' adalah sebuah pelajaran tentang obsesi yang self-destructive. Sangat relevan." Dia tidak tersenyum, tapi ada cahaya main-main di matanya. Mereka terus berbicara, bergerak dari musik ke buku ke film. Ares menemukan bahwa di balik facade ilmuwannya, Elara memiliki pikiran yang tajam dan cepat, dan selera humor yang gelap dan sarkastik yang cocok dengan miliknya. Untuk sesaat, dia melupakan bahwa dia adalah "subjek". Dia hanya seorang pria yang berbicara dengan seorang wanita yang menarik dan cerdas. Anggur itu habis. Suasana hati berubah. Keintiman yang tidak direncanakan menggantung di antara mereka. Elara mendekat, tabletnya sudah disingkirkan. Matanya, biasanya analitis, sekarang lembut, penuh keingintahuan yang berbeda. "Aku punya hipotesis," bisiknya, suaranya sedikit serak oleh anggur. "Apa itu?" balas Ares, tidak bergerak, jantungnya berdebar kencang. "Bahwa sensasi sentuhan fisik akan memberikan respons neurologis yang lebih kuat daripada data visual atau auditory saja." Dia mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya. Sentuhan ini berbeda dari yang di gudang—lebih lembut, lebih penuh penjelajahan. Jari-jarinya yang dingin menyentuh kulitnya yang hangat, menelusuri garis rahangnya, bekas luka kecil di alisnya. Ares menutup matanya, tenggelam dalam sensasi itu. Ini bukan bagian dari eksperimen, batinnya membantah. Ini... ini sesuatu yang lain. "Responsnya positif," gumam Elara, lebih kepada dirinya sendiri. "Peningkatan detak jantung. Pernapasan dangkal. Pupil melebar." Dia mendekatkan wajahnya, napasnya yang hangat sekarang bercampur dengan napas Ares. "Aku ingin mengumpulkan data lebih dekat." Dan kemudian dia menciumnya. Itu bukan ciuman yang penuh gairah atau penuh cinta. Itu adalah ciuman yang penuh penjelajahan. Sebuah penyelidikan. Lidahnya menyentuh bibirnya, mencatat tekstur, suhu, responsnya. Tangan Ares meraih pinggangnya, menariknya lebih dekat, menjawab penyelidikan itu dengan sebuah permintaan yang lebih dalam, lebih primal. Mereka terpisah, napas mereka tersengal. Elara melihatnya, matanya sekarang wide dengan sesuatu yang mirip ketakutan—bukan karena dia, tapi karena kehilangan kendali. "Itu..." dia mulai, suaranya bergetar. "...bagian dari eksperimen?" selesaikan Ares, nadanya datar, rasa sakit mulai menggerogoti kehangatan yang baru saja dia rasakan. Elara diam terlalu lama. Dia berkedip, dan Ares bisa hampir melihat perhitungannya berjalan, analisisnya berusaha untuk mengkategorikan momen ini. "Ya," dia akhirnya berkata, tapi suaranya tidak meyakinkan. "Tentu saja." Dia menarik diri, merapikan blusnya, meraih tabletnya seolah-olah itu adalah perisai. "Data yang... menarik. Aku perlu menganalisisnya." Dia berbalik dan pergi ke kamarnya, meninggalkan Ares sendirian di tengah kekacauan mereka, bibirnya masih terasa hangat oleh ciumannya, dan hatinya lebih kacau dari sebelumnya. Dia melihat ke sekeliling apartemen—kandang kaca yang indah ini. Dia telah mendapatkan akses penuh kepada subjeknya. Dia telah mengumpulkan data fisik yang intim. Tapi saat dia duduk di tempat tidurnya, tabletnya menunjukkan grafik yang kacau dari respons fisiologisnya sendiri—detak jantungnya yang meningkat, kulitnya yang memerah—dia menyadari sesuatu yang mengerikan. Dia tidak bisa mengkategorikan data ini. Itu tidak masuk ke dalam grafik yang rapi. Itu merasa... personal. Dan untuk pertama kalinya sejak proyek dimulai, Dr. Elara Vance merasa takut bukan pada subjeknya, tetapi pada dirinya sendiri. Dia telah menjadi bagian dari eksperimennya sendiri, dan dia tidak tahu bagaimana cara mengukurnya. Sementara di ruang tamu, Ares mengambil sebuah kaleng cat hitam dan dengan marah mengoreskannya ke kanvas putih yang masih polos, mencoret keindahan yang sempurna itu dengan kekacauannya. Ciuman itu terasa nyata. Itu terasa seperti sebuah pengakuan. Dan "tentu saja" -nya Elara terasa seperti pengkhianatan. Tapi bahkan dalam kemarahannya, dia tidak pergi. Dia tetap di kandangnya. Karena di dalam kandang itu, bersama wanita yang gila dan genius ini, adalah satu-satunya tempat dimana dia pernah merasa—secara paradoks—dilihat dan diterima, bahkan jika itu hanya sebagai sebuah data point dalam eksperimennya yang terdistorsi. Mereka sekarang terikat bukan hanya oleh observasi, tetapi oleh keintiman yang menyakitkan dan penolakan. Simbiosis mereka telah berevolusi menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, dan lebih berbahaya bagi mereka berdua. TBCPesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar
Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus
Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang
Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu
Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant
Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"