Home / Urban / Di Ambang Gila / Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

Share

Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

last update Last Updated: 2025-09-18 13:04:26

Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk.

Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah.

Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus menghantuinya.

Tubuhnya bergerak dengan otomatis, tetapi pikirannya berputar-putar. Dia telah mencapai tujuan eksperimennya: dia sekarang memiliki data langsung tentang kehancuran hubungan, tentang rasa sakit pengkhianatan. Tapi kemenangan itu terasa seperti abu di mulutnya. Data tanpa konteks adalah tidak berarti. Dan konteksnya adalah—dia merindukannya. Dia merindukan kekacauannya, kejujurannya yang brutal, bahkan amarahnya.

Sebuah getaran dari ponselnya membuatnya terlonjak. Jantungnya berdebar kencang, sebuah harapan liar yang tidak diinginkan muncul. Apakah itu dia?

Bukan. Itu adalah Dr. Venn.

Dr. Venn: Elara. Progress report Proyek Sisyphus sudah jatuh tempo seminggu yang lalu. Status?

Elara menatap pesan itu, perutnya mual. Dia tidak bisa menulis laporan. Dia tidak bisa mengubah pengalaman menyakitkan itu menjadi grafik dan bagus untuk Venn. Itu akan menjadi pengkhianatan terakhir.

Tapi dia juga tidak bisa mengatakannya. Venn akan menariknya dari proyek, menyatakan dia terlalu terlibat secara emosional. Dan itu akan menjadi akhir dari segalanya—sebuah pengakuan bahwa dia telah gagal bukan hanya sebagai peneliti, tetapi juga sebagai manusia yang mampu menjaga jarak.

Dia membalas dengan cepat, jarinya gemetar.

Elara: Maaf, Dokter. Sedang dalam proses analisis akhir. Data yang dikumpulkan sangat kompleks dan membutuhkan pendalaman lebih. Akan segera saya laporkan.

Dr. Venn: Kompleks bagaimana? Apakah ada anomaly?

Elara: Bukan anomaly. Hanya... lebih dalam dari yang diperkirakan. Subjek Delta memiliki lapisan psikologis yang sangat rumit.

Dr. Venn: Hati-hati, Elara. Jangan sampai tenggelam dalam kompleksitasnya. Ingat, itu hanya subjek. Bukan tujuan itu sendiri.

Kata-kata Venn seperti tamparan. Hanya subjek. Tapi Ares tidak pernah hanya subjek. Dan sekarang, dia bahkan bukan itu lagi.

Dia melemparkan ponselnya ke sofa, rasa frustrasi memuncak. Dia tidak bisa bekerja. Dia tidak bisa berpikir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, data tidak memberikan jawaban. Data hanya menyisakan kekosongan.

Keputusasaan memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak logis, sesuatu yang primal. Dia mengambil jaketnya dan berjalan keluar. Dia tidak punya tujuan. Kaki nya secara naluriah membawanya ke tempat yang dia tahu—tempat di mana dia mungkin menemukan jejaknya.

---

Ares tidak kembali ke gudangnya. Tempat itu terlalu penuh dengan memori Elara, dengan bayang-bayang pengamatannya. Sebaliknya, dia menemukan dirinya di tempat yang paling tidak mungkin: apartemen kecil Mika yang berantakan.

Mika, dengan kacamata tebalnya dan sikapnya yang santai, tidak banyak bertanya. Dia hanya mengangguk saat Ares muncul dengan tasnya dan wajah yang hancur, memberinya bir, dan memberinya ruang.

"Perempuan, ya?" tebak Mika setelah beberapa jam keheningan yang nyaman.

Ares mendengus, meneguk birnya. "Lebih dari itu. Sebuah... eksperimen yang gagal."

Mika mengangkat alis. "Kedengarannya berat. Dia ilmuwan gila atau sesuatu?"

"Sejenis itu," gumam Ares. Dia melihat sekeliling apartemen Mika yang berantakan—konsol game, komik berserakan, piring kotor di wastafel. Itu adalah kekacauan yang jujur, tidak seperti kekacauan terkelola di apartemen Elara. Itu terasa nyata.

Dia mencoba melukis, tapi itu tidak berhasil. Setiap goresan kuas terasa seperti tiruan. Setiap warna terasa salah. Elara telah mengubah caranya melihat seninya sendiri. Dia sekarang melihatnya melalui matanya—sebagai kumpulan data, pola, dan makna tersembunyi. Dia tidak bisa lagi hanya merasakannya.

Kemarahannya mulai mereda, digantikan oleh rasa hampa yang dalam. Dia merindukan itu. Dia merindukan cara dia membedah setiap karyanya, caranya memahami bagian-bagian gelapnya yang bahkan tidak dia mengerti. Dia merindukan intensitasnya, perhatiannya yang tak terbagi.

Dia mengambil ponselnya. Tidak ada pesan dari Elara. Kekosongannya terasa seperti sebuah penghinaan. Apakah dia begitu mudah dihapus? Apakah eksperimennya benar-benar selesai, dan dia sekarang hanya pindah ke subjek berikutnya?

Pikiran itu membuatnya sakit. Dia membuka galeri foto di ponselnya, secara tidak sengaja menggulir ke sebuah foto yang dia ambil diam-diam suatu hari: Elara tertidur di sofa, tabletnya masih di pangkuannya, wajahnya yang biasanya tegang terlihat lembut dan rentan dalam tidurnya. Dia terlihat muda. Terlihat manusiawi.

Dia tidak bisa menghapusnya.

Mika melihatnya dari seberang ruangan. "Hey, man. Apapun yang terjadi... jangan kehilangan dirimu sendiri karenanya. Senimu adalah jiwamu, ingat?"

Ares memandangi temannya, dan untuk pertama kalinya, dia menyadari sesuatu. Mika, dalam kesederhanaannya, memahami sesuatu yang tidak dipahami Elara dengan semua data dan analisisnya: bahwa beberapa hal tidak bisa dipahami, mereka hanya bisa dialami.

Tapi apakah itu benar? Elara telah memahaminya, dengan cara yang tidak dilakukan orang lain. Itulah yang membuatnya semakin menyakitkan.

Kebingungannya terganggu oleh dering ponselnya. Bukan dari Elara. Tapi dari sebuah galeri seni kecil yang dia kenal.

Kurator Galeri Luna: Ares? Kami mendapat sebuah paket anonim untukmu. Sepertinya... data analisis? Grafik? Ada catatan yang mengatakan 'bahan untuk karya baru'.

Ares membeku. Jantungnya berdebar kencang.

Ares: siapa yang mengirimkannya? Kurator Galeri Luna:Tidak ada nama. Tapi... ada sesuatu yang tertulis di sampulnya. "Cara lain untuk melihat."

Ares tidak perlu bertanya lagi. Dia tahu. Itu adalah Elara. Dia tidak meminta maaf. Dia tidak memohon. Dia melakukan apa yang dia tahu paling baik: dia memberinya data. Sebuah cara untuk berkomunikasi dalam bahasa mereka yang terdistorsi.

Dia menghela napas, campuran antara marah, frustrasi, dan... sebuah keingintahuan yang tak terbendung. Apa isi paket itu? Apa yang ingin dia tunjukkan?

"Ada apa?" tanya Mika, melihat ekspresinya.

"Aku... aku harus pergi," kata Ares, berdiri. Dia tidak melupakan atau memaafkan pengkhianatannya. Tapi dia juga tidak bisa meninggalkan paket itu tidak dibuka. Itu adalah sebuah teka-teki. Sebuah tantangan.

Dan dia dan Elara tidak pernah bisa menolak tantangan.

---

Di galeri, paketnya tipis. Hanya sebuah amplop cokelat. Di dalamnya, tidak ada surat permintaan maaf. Hanya selembar kertas dengan sebuah grafik garis—satu garis merah (kemarahan) dan satu garis biru (ketenangan)—yang saling terkait seperti DNA, naik dan turun dalam sinkronisasi yang sempurna selama periode waktu mereka bersama.

Di bagian bawah grafik, ada sebuah catatan tulisan tangan yang rapi—tulisan Elara:

Pola Baru: Kemarahan dan Ketenangan. Bukan berlawanan. Saling melengkapi. Saling membutuhkan.

Seperti kita.

Data tidak pernah bohong, Ares. Tapi aku melakukannya. Aku takut pada dataku sendiri. Pada apa yang ditunjukkannya.

Tolong lihat.

Ares memegang kertas itu, tangannya gemetar. Ini bukan permintaan maaf. Ini adalah pengakuan. Ini adalah caranya mengakui bahwa dia salah, bahwa data mereka bersama menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari yang dia akui.

Dia melihat grafik itu. Garis kemarahan dan ketenangannya terjalin erat, setiap puncak kemarahan diikuti oleh lembah ketenangan yang dalam. Itu menunjukkan bahwa amarahnya tidak menghancurkan; justru itu yang membawanya pada kedamaian. Dan kedamaiannya, pada gilirannya, memicu kreativitas dan kemarahan baru.

Mereka adalah sebuah sistem. Sebuah ekosistem.

Dia mendongak, matanya berkaca-kaca. Dia membencinya. Dia membenci caranya memanipulasi, caranya berkomunikasi melalui grafik dan data. Tapi dia juga mengerti. Ini adalah caranya menunjukkan bahwa dia peduli. Bahwa dia masih berusaha memahami.

Dia tidak bisa melupakannya. Dia tidak bisa meninggalkannya.

Dia mengambil ponselnya dan mulai mengetik. Dia tidak tahu apa yang akan dia katakan. Terima kasih? Marah? Meminta penjelasan?

Yang dia ketahui adalah, permainan itu belum berakhir. Mereka sekarang berada di puing-puing eksperimen mereka, dan dari reruntuhan itu, sebuah pola baru yang berbahaya dan tidak terduga mulai muncul—sebuah pola yang tidak hanya tentang pengamat dan yang diamati, tetapi tentang dua orang yang rusak yang saling membutuhkan, bahkan jika itu berarti saling menghancurkan sekali lagi.

Dia mengirim hanya dua kata:

Ares: Aku melihat.

Itu saja. Tapi itu cukup. Itu adalah pengakuan. Sebuah penerimaan. Sebuah izin untuk terus berjalan, untuk terus jatuh, untuk terus mencoba memahami kekacauan yang mereka ciptakan bersama.

Dan di apartemennya, Elara menerima pesan itu. Dia tidak tersenyum. Tapi dia meletakkan ponselnya di dadanya, merasakan sebuah kelegaan kecil, diikuti oleh gelombang ketakutan yang baru.

Babak berikutnya telah dimulai. Dan kali ini, tidak ada protokol, tidak ada hipotesis yang jelas. Hanya dua orang yang terluka, saling berpegangan dalam kegelapan, berharap menemukan cahaya, atau setidaknya, menerima kehancuran bersama.

TBC

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Ambang Gila   Bab 9: Rekonstruksi

    Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar

  • Di Ambang Gila   Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

    Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus

  • Di Ambang Gila   Bab 7: Kebenaran yang Retak

    Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang

  • Di Ambang Gila   Bab 6: Kandang Bersama

    Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu

  • Di Ambang Gila   Bab 5: Undangan ke Labirin

    Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant

  • Di Ambang Gila   Bab 4: Simbiosis Awal

    Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status