Share

Keindahan

“Keindahan itu tercipta di kedua mata, kemudian menjadi puing-puing kenangan yang terabadikan.”

Aku melangkah pelan dengan segores senyum yang kali pertamanya terpahat di wajah. Ketika menjejakkan langkah melewati koridor kelas, seseorang menyerukan namaku. Kutolehkan pandangan dan mencari sumber suara. Sang empunya suara ternyata Bu Yuni. Ia berdiri di depan ruang konseling di sebelah barat.

“Ada apa, Bu?” aku bertanya setelah berada di hadapan sang guru sejuta pesona.

“Tumben kamu datang sepagi ini?” Ia berucap seakan tak percaya. Menatap wajahku yang menggores senyum dengan lekat.

“Memang salah kalau datang sepagi ini, Bu?”

“Tidak. Itu malah bagus, kok.” Bu Yuni tersenyum manis kemudian. “Oh iya. Ibu bisa minta tolong?” sambungnya.

“Minta tolong apa, Bu?”

“Tolong kamu antarkan daftar hadir ini ke kelas khusus! Bisa?” Bu Yuni berkata sembari memberikan secarik kertas yang merupakan absensi untuk diisi oleh siswa.

Karena mendengar kata ‘kelas khusus’, aku akhirnya menerima permintaan tersebut, memacu semangatku yang semakin menggelora. Dan salah satu alasanku juga karena ingin melihat wajah ayu milik sesosok gadis bernama Kalisa itu, tentunya.

Senyumku bertambah lebar, hatiku dag, dig, dug sudah tak sabar. Ketika sampai, aku berdiri di depan ruang kelas khusus. Kalisa yang pada saat itu berada di dalam kelasnya, menyadari kehadiranku, kemudian menjejakkan langkah untuk menghampiri.

“Rio?! Ada apa?” Kalisa bertanya setelah berdiri di hadapanku.

“I-Ini daftar hadirnya. Bu Yuni nyuruh aku nganterin ini,” aku menjawab dengan terbata-bata. Faktanya, aku memang belum bisa beradaptasi untuk berkomunikasi dengan Kalisa.

“Oh. Terima kasih ya, Rio,” ucap Kalisa dengan tulus. Lesung pipit di kedua pipinya tampak begitu manis. Wajahku pun memerah saat memandanginya.

Entah disengaja atau tidak, tangan kami saling berbenturan ketika Kalisa mengambil absensi dari tanganku. Kutolehkan tatapanku pada Kalisa. Kedua pipinya memerah. Ia lalu tertunduk malu menyembunyikan wajahnya.

“Kalau gitu, aku masuk ke kelas dulu, ya,” aku berlirih kemudian.

Sebenarnya, aku sangat ingin berlama-lama, tetapi aku tahu bahwa suasana canggung benar-benar membuat semuanya tidak nyaman.

--xxx--

Kelas terdengar gaduh seperti biasa. Beberapa dari siswa ada yang menggosipkan teman dekat mereka. Beberapa dari mereka ada yang saling pamer pengalaman berpacaran dan semacamnya. Entah mengapa aku tak bisa mempunyai seorang teman. Dan aku benci ketika harus memikirkannya. Terkadang, aku pikir itu hanya karena diriku yang aneh dan tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi, faktanya aku sudah pernah mencoba beberapa kali, komunikasi yang susah payah kubangun tidak pernah dapat menyambung hubungan pertemananku.

Setelah bunyi bel terdengar beberapa kali, jam pelajaran pertama akhirnya dimulai dengan mata pelajaran matematika. Pelajaran membosankan bagi sebagian besar siswa, tentunya. Pelajaran yang begitu mudahnya membuat mata terkantuk-kantuk. Pun pelajaran yang cepat bikin frustasi.

--xxx--

 “Rio?!” Kalisa menyadari kehadiranku yang pada saat itu berada di sampingnya ketika sedang memilih beberapa makanan di kantin.

“Kalisa?”

“Mau beli apa, Rio?” Kalisa bertanya.

“Cuma beli roti sama ini, teh botol aja, kok,” aku menjawab, kemudian mengambil beberapa roti dan minuman dingin yang sudah tersedia pada tempatnya. “Aku duluan, ya!” lanjutku sembari membawa sekantong roti dan minuman dingin setelah membayarnya pada Mbok penjaga kantin.

“Kamu nggak makan di sini?”

“Nggak. Aku ada tempat biasa, kok.”

“Kalau gitu, aku boleh ikut kamu nggak?”

Aku terkejut atas pertanyaan itu. Serius. Kenapa? Itu karena aku akan berada di tempat yang sangat sepi, yang di mana nanti aku hanya akan berdua dengan Kalisa. Dan dia seorang gadis.

“Gimana, Rio?” tanya lagi Kalisa, meminta jawaban dariku.

“Bo-boleh, kok,” aku menjawab akhirnya, lalu melangkah.

Kalisa mengikuti langkah kakiku seraya bertanya, “Kenapa nggak makan di kantin?”

“Nggak kenapa-kenapa. Aku nggak biasa aja makan di tempat yang ramai. Rasanya juga lebih nikmat kalau makan sendiri,” aku menjawab tanpa menoleh ke arah Kalisa.

“Jadi, kamu setiap hari selalu makan sendiri?”

“I-iya begitulah,” aku menyetujui, “sudah sampai! Di sini tempat favorit aku, Sa.” Aku duduk pada landasan anak tangga di bekas bangunan musolla.

Kedua mata Kalisa sibuk mengitari sekeliling. Ditelitinya. Sampai akhir pandangannya tertuju padaku. Kalisa segera mengambil posisi di dekatku dan berkata, “Oh, di sini.” Kalisa berlirih, lantas mengangguk.

Karena Kalisa duduk di sampingku, aku menggeser pantat untuk memberikan beberapa jarak agar tidak terlalu dekat denganku. Bukan apa-apa, sih. Hanya saja, aku tidak terbiasa begitu dekat dengan gadis. Apalagi gadis bidadari surga secantik Kalisa. Perumpamaanku memang agak berlebihan, tetapi sungguh aku bahkan tidak pernah bertemu atau berbicara langsung dengan gadis secantik dia. Itulah mengapa aku mengumpamakan dia seperti seorang bidadari yang diturunkan Tuhan, yang sepertinya akan mengubah hidupku ke depannya.

Kalisa mengeluarkan makan dan minum yang sudah dibelinya di kantin. Satu roti bakar, beberapa snack makanan ringan, dan satu kotak minuman dingin rasa strawberry. Kalisa mulai menyantap satu per satu.

Makan sama cewek secantik Kalisa, apa pun makanannya, pasti minumnya akan terasa enak.

Tak bisa kubayangkan, kehidupanku yang dulunya tak pernah dihiasi oleh kisah cinta, ternyata akan memulai semuanya sejak saat ini.

Dari pengalaman kesendirian, aku dapat terbiasa hidup seorang diri, bahkan melakukan segalanya seorang diri. Wajar saja jika aku mengharapkan beberapa teman di dalam hidupku. Aku tidak akan selamanya bisa melakukan segala sesuatu seorang diri, maka dari itu aku sadar bahwa manusia tidak pernah bisa hidup tanpa orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Saling membantu dan bergotong royong, seperti itulah realisasi makhluk sosial seperti yang kupelajari pada mata pelajaran IPS.

Bahagia. Mungkin itu adalah kata yang mampu mendefinisikan suasana hatiku. Aku ingin tak percaya, tapi kutahu bahwa ini bukanlah mimpi. Ada banyak sekali perasaan yang bercampur aduk dalam hati. Seketika itu juga, bel waktu istirahat berakhir sudah berbunyi. Perasaan jengkel pun kini ikut hadir.

Aku sadar bahwa aku tidak ingin terlalu hanyut di dalam kebahagiaanku sendiri. Aku meyakini satu hal bahwa kebahagiaan sangat dekat dengan kepedihan dan begitu juga sebaliknya.

Karena bel menyebalkan itu sudah berbunyi, sudah saatnya bagiku dan Kalisa untuk masuk ke kelas masing-masing. Kalisa menghela napas panjang setelah menghabiskan minumannya. Kemudian, ia mendongakkan kepala, menatap langit biru terhiasi sang awan yang putih dan cerah. Ia menurunkan pandangannya kembali padaku seraya berkata, “Aku balik ke kelas dulu ya, Rio.”

“Oke, deh,” aku menyetujui.

Kalisa berdiri, sementara aku masih terpaku. “Kamu nggak ikut sekalian?”

“Aku nanti aja deh, Sa.”

Setelah mendengar jawabanku, Kalisa menganggukkan kepala sebagai tanda perpisahan. Aku membalasnya dengan senyum tipis atas rasa syukurku. Perempuan ayu itu pun pergi. Kupandangi tubuh indahnya sejenak, sampai akhirnya ia berbelok menuju lorong bangunan sekolah. Kalisa sudah sepenuhnya hilang dari pandanganku, tetapi bibirku tersenyum tanpa kusadari.

--xxx--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status