Pram menelungkupkan kepala di atas meja kerjanya. Membayangkan betapa pernikahannya yang manis dan indah harus ternoda oleh kebohongan Alena. Ingin sekali ia bertanya pada Arya, ada hubungan apa antara dia dengan Alena. Namun ia belum mampu menghadapi kenyataan jika memang di antara mereka benar terjalin sebuah hubungan terlarang.
Dering ponsel mengagetkan Pram.
"Halo, Ma!"
"Alena di kantormu?" tanya Nyonya Sekar di seberang telepon, suaranya terdengar sedikit panik.
Kemana Alena? Bukankah kepergian mereka ke panti asuhan dibatalkan?
"Alena sedang menemui seorang klien, Ma," sahut Pram berbohong, ia tak ingin mamanya panik memikirkan Alena.
"Ia izin padamu?" tanya Nyonya Sekar.
"Tentu saja," sahut Pram. Mungkin sebentar lagi ia pulang, Mama tak usah panik, ya!" imbuh Pram menenangkan.
"Baiklah. Ya, sudah." Nyonya Sekar mengakhiri panggilan
Alex masuk ke kamar Nyonya Sekar dengan langkah riang dan wajah ceria."Halo, tanteku cantik, tanteku sayang!" Alex memeluk Nyonya Sekar lalu duduk bersisian di tepi tempat tidur."Kenapa lagi?" tanya Alex sembari memijat lengan Nyonya Sekar."Kau tidak kuliah?" Nyonya Sekar bertanya balik."Aku yang punya kampus jadi bebas mau kuliah atau tidak," sahut Alex."Anak nakal!" ujar Nyonya Sekar tersenyum."Tante sakit apa? Memikirkan aku?"Nyonya Sekar mesem."Masih memikirkan anak emasmu?"Nyonya Sekar kembali mesem."Bagaimana kalau kita shopping?" tanya Alex lagi."Kemarin Tante sudah shopping dengan Alena.""Sering sekali kalian shopping. Tante, apa Alena memenuhi semua kriteria sebagai menantu idaman?"Nyonya Sekar mengangguk mantap."Kam
Pagi hari, Pram sudah siap duduk di meja makan. Sikapnya biasa saja. "Kau tidak membangunkan istrimu?" tanya Nyonya Sekar sembari tersenyum senang. "Alena tidak pulang semalam. Dia...." "Dia tidur di kamar Mama," tukas Nyonya Sekar cepat. Terlihat rona bahagia di wajahnya. Pram terbelalak. "Bagaimana bisa dia tidur di kamar Mama?" "Jam sebelas malam ia pulang, langsung menemui Mama. Ia minta maaf karena selalu pergi tanpa pamit dan malam itu ia memohon menemani Mama." Pram menelan ludah kering. Bisa-bisanya Alena berani datang lagi ke rumah ini dan tidur di kamar Mama? "Biar aku bangunkan dia," ucap Pram hendak berdiri. "Tidak usah, biar dia bangun dengan sendirinya. Semalam Mama lihat wajahnya teramat lelah. Biarkan ia bangun sendiri," sergah Nyonya Sekar cepat. Pram menahan gemelutuk giginya. Ia tak hab
"Tuan...." Murni berdiri dengan wajah cemas di depan pintu kamar Nyonya Sekar.Pram menghela napas dalam. "Biar aku yang jelaskan!" Pram masuk ke kamar Nyonya Sekar.""Alena pergi, kemana ia?" tanya Nyonya Sekar dengan wajah agak pucat, napasnya sedikit tersengal.Pram merengkuh kedua bahu mamanya dengan lembut. "Ma, sebelum menikah denganku, Alena adalah wanita yang mandiri dan bebas. Sering bepergian dan ia juga salah satu penyokong finansial terbesar panti asuhan Ibu Rengganis. Ia terbiasa mencari uang sendiri dengan caranya."Tak bisakah uangmu dan uang Mama menggantikan semua kebutuhan Alena selama ini?"Pram menarik napas berat. "Bisa, Ma. Tapi Alena tipikal wanita bebas. Aku dan dia sudah berkomitmen, tak akan menganggu kesenangannya beraktivitas di luar sana, menjemput rezeki dengan keahliannya.""Tapi dia isterimu. Sudah selayaknya dia patuh padamu.""Aku yang tak ingin mengekangnya," sahut Pram pelan namun
Malam yang dingin, rintik hujan sejak siang tadi membasahi semesta tanpa henti. Membuat jiwa-jiwa yang sepi semakin tenggelam dalam sunyi tanpa kehangatan. Pram memandangi rintik hujan dari balik jendela kafe dengan tatapan kosong. Perasaan sedih, kecewa dan sakit hati sekaligus cinta masih bergumul di hatinya. Pram merindukan Alena namun di saat yang sama ia membencinya. Selain ruang kerjanya di perusahaan, saat ini Pram juga membenci kamarnya. Ia tak ingin pulang ke rumah. Ada banyak foto dan kenangan manis bersama Alena di sana. Entah kekuatan dari mana, saat itu Pram menekan nomor ponsel Alena. Tak lama, Alena menjawab panggilan telepon Pram. "Ada satu yang ingin aku tanyakan," ucap Pram tanpa basi-basi. "Bersama siapa saat kau berada di Perth? Arya?" Alena tak langsung menjawab. Namun hela napasnya terdengar jelas di telinga Pram. "Aku bersama Devian, kekasihku
"Alena sedang berada di Bali," jawab Pram sekenanya."Berapa lama dia di sana?" tanya Diwali."Satu Minggu."Diwali tersenyum lembut pada Nyonya Sekar. "Ma, Alena sedang bekerja. Tak bisa Mama menjadikan Alena seperti Puri. Puri hanya ibu rumah tangga. Jauh sebelum mengenal Pram, Alena adalah wanita bebas, mandiri dan punya banyak jadwal bepergian. Pram sebagai suaminya tidak keberatan dengan aktivitas Alena. Bukankah begitu, Pram?"Pram mengangguk mendengar ucapan Diwali. Pram tak tahu jika kalimat terakhir Diwali mengandung makna yang lain.Nyonya Sekar terdiam. Ia masih tetap bersikukuh menginginkan Alena tak usah bepergian."Sekarang Mama minum obat dulu sebelum makan, ya," ujar Puri.Nyonya Sekar menggeleng lalu memejamkan mata. Bulir bening nampak menetes di sudut matanya.Pram merasa sangat prihatin dan merasa bersalah pada mamanya. Ia tak mungkin menceritakan siapa Alena sesungguhnya. Hati Nyonya Sekar pasti
Pram masuk ke dalam mobil. Tak jauh di depannya, Liana masih cemberut berjalan di samping Alex. Keduanya masuk ke dalam mobil Alex. Sebuah ide gila terbersit di benak Pram. Namun segera ia tepis. Alena dan Liana adalah dua karakter yang berbeda. Tak mungkin Liana bisa menjadi seperti Alena.Sementara itu Liana betah menekuk wajahnya meski Alex berusaha menghiburnya."Kau kenapa dengan sepupuku? Ponselmu sudah ia ganti, bukan?" tanya Alex."Iya sudah ia ganti tapi entahlah, aku sungguh tak menyukai sepupumu itu. Mentang-mentang ia kaya, sikapnya sombong sekali," sahut Liana.Alex tersenyum. "Pram cenderung pendiam dan dingin di permukaan, bukan sombong. Kau hanya belum mengenalnya. Ia sangat baik dan hangat sebetulnya," bela Alex."Jelas kau membelanya, dia sepupumu!" tukas Liana."Dia sedang ada masalah dengan istrinya dan tadi kau tiba-tiba saja menyindir dia tak je
"Bisa-bisanya sepupumu itu menawariku lima ratus juta untuk berpura-pura jadi istrinya," sungut Liana di dalam mobil saat Alex mengantarnya pulang dari kafe Ririn."Kalau kau keberatan tak usah kau terima," saran Alex."Tapi tawaran itu demi mamanya, bukan?" tanya Liana.Alex mengangguk."Kenapa tidak berterus terang saja kalau dia sudah berpisah dengan istrinya?""Kondisi Tante sungguh di luar dugaan. Aku juga heran kenapa Tante menderita sakit psikosomatis. Selama ini beliau sehat-sehat saja.""Beri tantemu audio hypnoterapi agar perasaan dan pikirannya rileks. Ajaklah berlibur, pergi berwisata atau apapun itu. Jangan biarkan tantemu selalu sendirian. Biasanya, orang-orang dengan gangguan psikis itu takut dengan kematian. Nah, tantemu rasa-rasanya tak masuk akal, beliau khawatir jika istri sepupumu itu kabur atau bagaimana?""Orang yang menderita sakit pikiran memiliki banyak alasan yang tak masuk akal, kok!" sahut Pram.
"Baju-baju Alena masih tersisa banyak. Kau bisa memakainya," ucap Pram pada Liana saat mereka berada di dalam kamar."Aku tidur di kamar ini?" tanya Liana dengan ekspresi enggan."Kau istriku, lalu kau mau tidur di mana?" sahut Pram dingin."Kita hanya pura-pura menjadi suami istri!" ralat Liana ketus."Ya. Kau bisa tidur di ranjang. Biar aku tidur di sofa." Pram melengos kaku.Liana mencebik sebal pada Pram. Lalu kembali memilah-milah baju Alena dengan mengernyit. "Semua baju istrimu sungguh tak layak pakai!" ujar Liana."Besok pergilah berbelanja baju apa saja yang kau suka. Ingat, baju yang mahal. Bukan kaus dan jeans belel yang selalu kau pakai. Alena tak akan pernah memakai baju sederhana sepertimu!" jawab Pram."Cih, sombong sekali! Memang kenapa dengan kaus dan celana jeans? Oh, sungguh, di mana letak nyamannya memakai model baju seperti ini?" Liana menggerutu kesal.Liana mengam