Share

Pesona Om Rudy

Liany memandangi takjub kediaman Myla yang sangat luas dan bagus, Myla membawakan tas Liany dan menyerahkannya kepada seorang asisten rumah tangga mereka.

“Tolong siapkan kamar untuk kakak sepupu saya yaa, Bi. Ayo, Lia duduk dulu di sini, kamu pasti lelah. Aku gak nyangka aka nada orang sekejam ibu mertua dan adik iparmu itu!” seru Myla dengan geramnya.

“Tidak apa, Myla, ini sudah takdirku, aku tidak peduli dengan sikap mereka, aku hanya kasihan pada anak yang kukandung ini, dia belum sempat mengenal ayahnya,” ujar Liany dengan lirih. Jemarinya dengan halus mengelus perutnya yang membuncit.

“Sudah lah , jangan bersedih lagi, di sini kau akan baik-baik saja, jangan khawatir tentang apapun, segala kebutuhanmu akan dipenuhi di rumah ini, mama dan papa pastinya tidak akan keberatan.”

“Non Myla, kamar kakak sepupunya sudah siap.” Bi Inah salah satu asisten rumah tangga mereka menghampiri Myla sambil menunjuk kamar depan dengan ibu jarinya.

“Terima kasih yaa, Bi Inah, oh iya kenalkan, ini Liany kakak sepupu saya, Lia, ini Bi Inah, beliau sudah lama bekerja di sini.”

Bi Inah menyalami Liany sambil tersenyum ramah dan dibalas juga dengan senyum lebar Liany.

“Kamu pasti capek seharian belum istirahat, ayo masuk ke kamar istirahat sekarang,” pinta Myla sambil membimbing Liany. Tak dapat dipungkiri jika Liany memang sangat kelelahan karena perjalanannya siang tadi. Myla meninggalkan Liany di kamar yang luas dan sangat nyaman itu, jauh berbeda dengan kamar yang ditempatinya ketika di rumah ibu Witri.

Liany merebahkan dirinya di kasur pegas yang empuk, pendingin udara di setel pas, tidak terlalu dingin tetapi bisa membuat gerahnya pergi. Ada satu set meja rias dan kamar mandi yang luas, bersih dan harus.

Liany menghela napas, entah sampai kapan dia akan berada di rumah ini, sementara uang duka yang diterima dari ibu RT tidaklah seberapa. Kembali gerakan halus dirasakan Liany di balik dinding perutnya.

“Kamu harus kuat yaa, sayang, meski kita sudah tidak punya ayah lagi, Ibu akan tetap berusaha memberi yang terbaik buatmu, Nak.” Liany berusaha menghibur dirinya sendiri. Dia membuka satu tas yang dilemparkan oleh Eve tadi, berisi beberapa lembar pakaian bayi yang sempat dibelinya bersama mendiang Adam. Air mata Liany jatuh menitik, meskipun kepergian suaminya begitu cepat paling tidak Adam telah memberikannya kenang-kenangan seumur hidup, calon bayi mereka.

Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar Liany, matanya mengerjap ternyata dia ketiduran sambil memeluk baju bayinya.

“Non Lia, makan malam sudah siap, Non Myla, Bapak dan Ibu sudah menunggu,” ucap Bi Inah di balik pintu. Liany melihat jam di dinding ternyata di tertidur cukup lama setelah membersihkan diri.

“Baik, Bi, terima kasih, saya akan menyusul,” jawab Liany sambil turun dari tempat tidur dan menyimpan kembali baju bayi yang dipeluknya tadi. Liany merapikan penampilannya kemudian keluar untuk bergabung di ruang makan.

“Lia Sayang, sini , Nak, yaa ampuun Tante sampai kaget denger cerita Myla tadi. Tante turut berduka cita yaa atas kematian Adam, ibunya dan adiknya itu sungguh terlalu!” seru tante Katrin dengan wajah yang prihatin.

“Sebelumnya terima kasih banyak atas kebaikan kalian menampung saya di sini, kalau gak ketemu Myla dan diajak ke sini saya tidak tahu malam ini saya akan tidur di mana.” Mata Liany berkaca-kaca, dia merasa beruntung saat ini tengah duduk di kursi yang nyaman dengan makanan yang telah terhidang.

“Jangan dipikirkan Sayang, buatlah dirimu senyaman mungkin, Tante ingat saat masih susah dulu mendiang ibumu yang sering membantu Tante kalau Tante dalam kesulitan. Kamu dan Myla juga hampir sebaya, kamu sudah seperti anak Tante sendiri.”

“Yaa sudah, ayo makan sekarang, Lia pasti sudah lapar,” ujar om Rudy. Tatapan mereka bertemu, dan om Rudy melemparkan senyum khasnya dengan dua lesung pipi yang membuat senyumnya sempurna. Liany merasa om Rudy awet muda, lama tak bertemu Om Rudy masih saja gagah dan tampan seperti beberapa tahun yang lalu. Hanya beberapa helai rambutnya yang keperakan menandakan jika om Rudy memang sudah berumur mendekati senja.

“Lia, kapan kamu terakhir periksa kandungan, Sayang?” tanya tante Katrin yang memperhatikan perut Liany. Sejenak Liany berpikir dan mencoba mengingat-ingat kapan dia dan Adam pergi bersama.

“Waktu kandungan saya masuk tiga bulan, Tante, saat itu mas Adam sedang off jadi bisa menemani Lia, setelah itu tidak lagi karena mas Adam berangkat kerja dan tidak kembali lagi.” Senyum getir Liany terlihat membuat tante Katrin merasa semakin prihatin.

“Kalau gitu besok kamu ke dokter kandungan yaa, Myla, besok bisa kan temani Lia?” Tante Katrin menoleh pada putrinya, tampak gadis itu berpikir sejenak.

“Sebenarnya Myla ada janji sama klien, Ma, gimana yaa?”

“Ouh kalo gitu gak usah, Tante, biar besok-besok saja, gak enak kalau mengganggu kerjaan Myla,” tukas Liany cepat.

“Kalau Papa gimana? Akhir-akhir ini perasaan Papa banyak waktu luang deh, bisa anterin Lia, gak? Mau yaa, Pa… Lia udah kayak kakaknya Myla lho…” bujuk tante Katrin pada suaminya.

“Hum, baiklah, kebetulan memang belum ada hal yang mendesak di kantor, memangnya Mama mau kemana lagi sih?” Om Rudy sudah menyelesaikan makan malamnya.

“Itu, Pa, proyek Mama di kota wisata masih belum selesai juga, makanya besok Mama mau lihat kendala mereka apa sih kok kerjanya lelet banget,” jawab tante Katrin yang seorang pebisnis di bidang konstruksi besar.

“Lia, kamu dianterin Om Rudy gak apa yaa?” tanya tante Katrin lagi. Sesaat Lia menatap Om Rudy dengan ragu, tetapi tatapan teduh milik pria paruh baya itu membuat Liany mengangguk setuju.

“Bawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak yaa, Pa, nanti Mama cari rekomendasi terbaik.”

Liany tertunduk, betapa hidupnya berubah drastis hanya dalam beberapa saja, kini dia tengah berada di keluarga yang sangat peduli kepadanya.

Tante Katrin menuju ruang kerjanya setelah makan malam, ditatapnya layar ponselnya dengan ragu, sebaris nama di kontak itu disamarkannya sehingga tak ada yang curiga. Tante Katrin pun menekan panggilan cepat dan terdengar nada tunggu.

“Ada apa?” jawab seorang pria muda di seberang sana.

“Besok aku akan keluar kota, proyekku tak jauh dari apartemenmu, aku akan mampir besok.”

“Kenapa kau harus menemuiku lagi?”

“Karena aku menyayangimu, Satria. Aku—“

“Aku sedang sibuk, datang saja kalau kamu mau.”

Panggilan pun terputus, pria bernama Satria itu pun menutup telponnya. Tante Katrina hanya menghela napas dan tersenyum pahit. Dia sudah terbiasa dengan sikap ketusnya tetapi kerinduan dan cintanya pada Satria tak membuatnya menyerah untuk mengambil kembali hati laki-laki muda itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status