Om Rudy membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangannya agar Liany bisa turun dengan aman. Tangan hangat om Rudy seakan-akan memberikan pesan jika Liany akan baik-baik saja bersamanya. Mereka memasuki ruangan dokter yang sudah lebih dulu dibuatkan janji oleh tante Katrin. Perawat dengan cekatan mencatat tensi darah Liany dan berat timbangannya.
Air mata Liany menetes ketika dia mendengar degup jantung bayi yang dikandungnya, peninggalan Adam mendiang suaminya yang sangat berharga. USG empat dimensi yang dilakukannya memperlihatkan jika dia akan memiliki seorang putra yang memiliki garis hidung seperti ayahnya.“Ibu, tolong jaga kesehatan dan kondisinya yaa, ini berat bayinya masih kurang, jangan stress dan perbanyak makan dengan gizi yang seimbang,” saran dokter pada Liany. Matanya masih basah karena rasa sedih bercampur haru.“Tolong diperhatikan istrinya yaa, Bapak,” tegur dokter perempuan itu lagi.“Dia bukan istri saya, Bu Dok, dia putri saya, wajar mungkin dia saat ini sedang mengalami stress karena suaminya baru saja meninggal dunia, tetapi kami pasti akan menjaga dan memperhatikannya,” jawab Om Rudy meluruskan kesalahpahaman dokter di depannya itu.“Ouh maaf, saya turut berduka cita, Bu, tetapi tolong yaa, nyawa di dalam perut ibu kini jauh lebih berharga, kasihan jika bayinya juga ikut stress karena ibu merasa sedih yang berkepanjangan.”“Baik, Bu Dokter, terima kasih, saya akan ingat kata-kata Bu Dokter, saya akan menjaga kandungan saya sebaik mungkin.” Liany tersenyum kecil sambil mengelus perutnya. Berbagai vitamin dan kalsium diresepkan oleh dokter dan Om Rudy mengambil kertas resep itu. Mereka diminta datang untuk kontrol bulan depan lagi.Setelah menebus resep obat itu, Om Rudy tidak langsung pulang mengantarkan Liany kembali ke rumah.“Lho, kita mau ke mana, Om?” Liany bingung karena mereka mengambil jalan memutar yang bukan jalan pulang mereka.“Kita akan ke supermarket untuk berbelanja kebutuhanmu, kau dengan tadi kan kalau bayi dalam kandunganmu beratnya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kita akan beli susu hamil, buah-buahan dan apa saja yang bisa kau makan sepuasnya.” Om Rudy menyetir mobil dengan hati-hati agar Liany tidak mengalami guncangan di jalan. Dia tahu jika Liany tidak mendapat kehidupan yang layak di rumah mantan mertuanya itu. Seingatnya dulu, Liany adalah gadis yang cantik, bentuk tubuhnya proporsional, pipi yang berisi dan kemerahan. Sangat berbeda dengan Liany yang dilihatnya di meja makan, kurus sehingga tulang pipinya menonjol, terlihat rapuh dan ringkih serta kepayahan dengan kehamilannya yang kurang gizi itu. Dalam hatinya dia mengutuk semua kekejaman yang telah dilakukan ibu Witri dan Eve pada Liany.Masih dengan gerakan yang sama, om Rudy turun dan membukakan pintu mobil Liany, digenggamnya tangan Liany agar berhati-hati turun dari mobil. Sikap yang sangat mengayomi, persis perlakuan Adam yang sangat menyayangi Liany. Keduanya berjalan beriringan, om Rudy menarik troli lalu menuju rak bagian susu.“Kau suka rasa apa Liany? Ambilah sesuai dengan kesukaanmu,” tunjuk om Rudy pada deretan kotak susu hamil itu. Liany memilih sesaat dan mengambil sekotak susu rasa coklat ukuran sedang dan meletakkannya dalam keranjang beroda itu.“Kenapa cuma ambil satu? Ayo ambil lagi, kau harus rutin minum susu agar asupan gizimu cukup,” suruh om Rudy yang tak puas melihat satu kotak susu hamil yang dipilih Liany. Liany mengambil sekotak lagi dan di saat yang sama om Rudy juga ingin mengambilkan untuknya. Om Rudy malah memegang tangan Liany, perempuan itu merasa canggung dan segera menarik tangannya. Om Rudy pun merasakan kecanggungan yang sama sehingga dia mempersilakan Liany kembali memilih.“Setelah ini kita ke rak buah dan sayur,” kata om Rudy lagi setelah melihat enam kotak susu berukuran besar.Tante Katrin memencet bel pintu apartemen mewah itu berulang kali, Satria yang baru saja terbangun melihat sejenak pada ponselnya yang menunjukkan panggilan tak terjawab tante Katrin. Dengan malas Satria beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu.“Apa kau baru bangun?” tanya tante Katrin yang melihat wajah Satria yang mengantuk.“Menurutmu?” dengan ketus Satria menjawab pertanyaan tante Katrin dengan pertanyaan. Perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu hanya menghela napas dengan sikap lelaki muda yang tampan di depannya ini. Tante Katrin berjalan berkeliling di dalam apartemen Satria, beberapa kaleng minuman berserakan, kulit kacang dan sebelah stoking wanita di sudut ruangan. Apartemen Satria terlihat seperti habis mengadakan pesta kecil. Tante Katrin memunguti sampah yang berserakan dan memasukkannya ke keranjang sampah. Sesaat dia bergidik jijik ketika tangannya tanpa sengaja memungut benda pengaman pria yang masih basah itu.“Tidak perlu repot untuk mengurusiku.” Satria merampas tempat sampah yang dipegang tante Katrin juga kond*m bekas yang dipegang perempuan itu.“Aku melakukan ini karena peduli padamu, aku bersyukur telah menemukanmu kembali dan—““Cukup! Kau telah meninggalkanku dan itu sudah cukup untuk membuat kita menjadi orang asing saja, kau sudah mengingkariku, pada dunia pun kau tidak mau mengakui keberadaanku, Nyonya Katrin Hermawan!” Nada suara Satria meninggi, dihempaskannya tempat sampah itu ke sudut ruangan.“Maafkan aku... maafkan aku, aku sedang berusaha untuk—““Untuk apa hah? Apa kau bisa menelpon suamimu sekarang dan memberitahukan tentang aku pada laki-laki kaya itu?!” tantang Satria yang membuat tante Katrina menggelengkan kepalanya.“Sudah kuduga … kau hanya akan mempertahankan status sosialmu itu, Nyonya. Sebaiknya kau berhenti menemuiku, aku sudah punya jalan hidupku sendiri. Kau urus saja keluarga kebangganmu itu.” Satria menghempaskan bokongnya di sofa sambil memandang tajam tante Katrin.“Satria, kau tidak akan pernah tahu betapa menyesalnya aku telah meninggalkanmu dulu, aku paham saat ini kau masih marah padaku. Tolong aku mohon padamu, beri aku waktu untuk menyiapkan semuanya.” Tante Katrin berjalan menuju wastafel dan membersihkan kedua tangannya. Perempuan itu hanya mampu memandangi Satria dengan penuh kerinduan.“Jika kau butuh sesuatu, apa saja, katakana padaku, berapapun yang kau minta aku akan sediakan, aku tahu saat ini kau sedang merintis perusahaan baru. Aku akan mendukungnya untukmu, aku punya banyak kolega dan aku bisa membuatmu jauh lebih sukses lagi.” Tante Katrin masih mencoba meraih simpati Satria.“Kau menghinaku, Nyonya? Aku sudah bisa berdiri di atas kakiku sendiri, sejauh ini aku sudah bisa berhasil tanpa bantuanmu, aku malah berterima kasih kau telah menghilang dari hidupku sehingga aku bisa menikmati kerja kerasku yang sekarang. Silahkan tinggalkan apartemenku jika kau tidak punya urusan lagi.” Kali ini nada suara Satria melunak, tetapi kata-katanya tetap saja seakan sebuah tamparan bagi tante Katrin.“Aku menyayangimu, Satria, meskipun kau berbicara padaku seperti ini.” Tante Katrin mengeluarkan selembar cek kosong yang sudah ditandatanganinya, meskipun dia tahu laki-laki muda itu tak akan sudi menyentuhnya tetap saja kertas itu ditaruhnya di atas meja tamu. Dengan senyum getirnya tante Katrin berpamitan pada pemuda itu. Setelah tante Katrin tak terlihat lagi, satria mengambil kertas cek yang diberikan tante Katrin dan meremasnya kesal. Diusapnya wajahnya dengan kasar sehingga embun di matanya turut menghilang.“Hai Lia! Bagaimana dengan hasil USG kandunganmu tadi siang?” Myla menyapa Lia saat mereka akan makan malam. Om Rudy menyusul kemudian dan menyisakan satu kursi yang kosong.“Kata dokter bayi Lia kecil jadi dia harus menambah asupan gizinya, Papa udah beliin Lia susu hamil, buah-buahan dan tambahan suplemen vitamin.” Om Rudy menjawab pertanyaan putrinya.“Mulai dari sekarang kalau makan apa aja bilang sama Bi Inah yaa supaya dimasakin, jangan sungkan kamu di sini, dulu aku juga suka langsung nyelonong ke dapur ibu kamu untuk makan.” Myla tersenyum jahil, itu adalah kenangan terakhir yang paling menyenangkan bersama mendiang ibunya Liany.“Myla, mama belum pulang yaa?” Om Rudy melirik sekilas kursi yang biasa dipakai tante Katrin.“Belum, Pa. Paling cepat Mama pulang besok deh, biasanya kan juga seperti itu. Oh ya, Pa, Myla juga mau keluar kota besok tapi Myla usahakan pulang pergi aja. Klien kita yang dari Jepang minta ketemuannya di salah satu resort koleganya, jadi Myla bisa iyakan
Mata om Rudy membuka dan melihat sekelilingnya, rasanya mimpinya sangat nyata ketika perempuan muda yang tengah mengandung itu ikut lelap dalam dekapannya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan mendekati dini hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dan meminum segelas air dari kulkas yang tak jauh dari tempat tidurnya. Kantuknya hilang dan Om Rudy memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Dinyalakan laptopnya dan lagi-lagi pandangannya tertuju pada jendelanya. Kamar Liany masih gelap tentunya perempuan muda itu masih tengah terlelap tidur.Menjelang subuh barulah kamar itu terang, sekali lagi Om Rudy memandangi kamar Liany dan melihat siluetnya yang berjalan mondar-mandir. Terbit kasihan dari pertama dia melihat perempuan itu, tetapi sorot mata Liany yang sayup masih menyiratkan ketegaran dan ketabahan. Om Rudy seperti melihat tante Katrin di masa muda, sendirian di tepi jalan saat tengah hujan yang deras. Susah payah dia meyakinkan dirinya jika dia bukan orang jahat dan hendak me
Mata om Rudy membuka dan melihat sekelilingnya, rasanya mimpinya sangat nyata ketika perempuan muda yang tengah mengandung itu ikut lelap dalam dekapannya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan mendekati dini hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dan meminum segelas air dari kulkas yang tak jauh dari tempat tidurnya. Kantuknya hilang dan Om Rudy memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Dinyalakan laptopnya dan lagi-lagi pandangannya tertuju pada jendelanya. Kamar Liany masih gelap tentunya perempuan muda itu masih tengah terlelap tidur.Menjelang subuh barulah kamar itu terang, sekali lagi Om Rudy memandangi kamar Liany dan melihat siluetnya yang berjalan mondar-mandir. Terbit kasihan dari pertama dia melihat perempuan itu, tetapi sorot mata Liany yang sayup masih menyiratkan ketegaran dan ketabahan. Om Rudy seperti melihat tante Katrin di masa muda, sendirian di tepi jalan saat tengah hujan yang deras. Susah payah dia meyakinkan dirinya jika dia bukan orang jahat dan hendak me
Sebuah kotak ponsel keluaran terbaru sudah ada di depan Liany, om Rudy menyodorkannya ketika mereka tengah makan siang bersama di rumah. Liany memandang kotak itu dengan takjub, ponsel yang mahal dan hanya bisa dilihatnya dalam iklan-iklan saja.“Buat saya, Om?” tanya Liany memastikan, kotak itu belum disentuhnya sama sekali.“Iya, buat kamu, siapa lagi? Bahkan bi Inah sudah punya ponsel sendiri ‘kan?” Om Rudy mengelap mulutnya setelah menyelesaikan makan siangnya.“Kenapa? Kamu gak suka?” Om Rudy keheranan karena Liany hanya terdiam saja memandangi kotak ponsel itu.“Suka, Om … saya suka tapi ini ponsel yang mahal, i-ini terlalu mewah buat saya,” jawab Liany gugup. Antara senang dan sungkan dirinya memandang benda yang belum berani disentuhnya.“Bukalah, Om juga sudah beli lengkap dengan kartu SIM-nya tinggal kamu pakai.” Om Rudy mendorong kotak itu lebih dekat ke arah Liany. Perlahan Liany membuka kotak ponsel itu dan terlihat benda pipih berwarna biru, dinyalakannya dan benar-benar
Liany menatap tajam ke arah pengemudi mobil yang sudah menabraknya. Beruntung saat jatuh dia masih bisa melindungi perutnya dari benturan.“Kamu bisa menyetir tidak sih? Kamu sudah membahayakan kami!” hardik Liany dengan mata berkaca-kaca, dielusnya perlahan perutnya yang sudah menginjak usia tujuh bulan.“Kita ke dokter yaa Mba untuk memeriksakan kondisi Mba, sungguh saya tidak sengaja dan saya mengakui kecerobohan saya,” Satria menangkupkan kedua telapak tangannya di dadanya. Kadang dia bersikap jahat pada wanita tetapi dia masih punya nurani untuk wanita yang tengah mengandung.“Kamu … shhh…” Liany masih hendak mengomel tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit dan mengeras.“Non Lia … Non Lia kenapa?” tanya bi Inah dengan cemas, Liany berpegang sangat erat pada lengannya.“Perut Lia sakit, Bi,” Liany berusaha mengatur napasnya, Satria semakin cemas menatap wanita yang memucat wajahnya.“Kita ke dokter yaa?” Satria segera memunguti belanjaan kedua perempuan itu dan memasukkannya ke b
Liany sudah merasa baikan dan tidak merasa keluhan lagi atas tabrakan itu. Hari-hari dijalaninya seperti biasa dan menjadi kebiasaan baru baginya untuk memasakkan anggota keluarga om Rudy. Tante Katrin, Myla dan Om Rudy sangat senang dengan kehadiran Liany yang memberi warna baru di dalam keluarga mereka. Namun, kesibukan tante Katrin dan putrinya membuat Om Rudy hanya lebih sering bersama Liany saja di rumah. Hampir segala sesuatu kebutuhan Om Rudy disiapkan atau diingatkan oleh Liany. Seperti minuman suplemennya, vitamin dan sesekali memberi bekal makan siang jika Om Rudy sedang sibuk-sibuknya dengan rapat yang beruntun.Akhir pekan Myla memilih pergi bersama teman-teman kantornya, ada janji wisata bersama mereka. Sementara tante Katrin pergi ke salon untuk perawatan rutin.“Om, Lia minta izin untuk ke pusat perbelanjaan, susu Lia sudah habis dan Lia juga mau belanja untuk makan malam.” Kali ini Lia tidak berani lagi untuk pergi tanpa izin dari om Rudy.“Kamu sama Bi Inah?” Om Rudy
Satria memegang pipinya yang panas dan kemerahan, di hadapannya Liany sedang berusaha menahan tangis meskipun matanya tak dapat lagi menahan embun di ujung bulu matanya yang tertumpah. Bahu Liany naik turun, rasanya dia masih ingin mencabik-cabik laki-laki yang telah lancang menuduhnya yang bukan-bukan.“Semoga kau ingat tamparanku sebelum kau berkata kasar pada perempuan yang tak kau kenal!” hardik Liany lagi, dengan kasar dilapnya matanya yang basah lalu mengambil napas panjang. Dia pun masuk ke toilet seperti niatnya semula, ingin ditahan tangisnya itu tetapi apalah daya hatinya sudah terlanjur sakit dan kini dia terisak dalam bilik kecil itu.Satria yang berada di dekat pintu toilet mendengar samar isak Liany. Tatapan seorang pengunjung wanita melihat membuat Satria tersadar dan meninggalkan toilet itu segera. Ada sesal yang sedang menelusup di hati Satria yang membuatnya gelisah. Satria sengaja melewati Om Rudy untuk melihat wajahnya lebih jelas lagi.
Liany meringis kesakitan sambil mencengkram bahu om Rudy kuat-kuat, baru kali ini rasanya kakinya tidak bisa digerakkan. Om Rudy berusaha untuk menenangkan Liany, dan memutar memori jika Katrin dulu juga pernah mengalami kejang otot seperti ini.“Kamu tenang dulu, pelan-pelan luruskan kakimu,” ucap lembut om Rudy menarik kaki Liany pelan-pelan.“Sakiit … Om, aawwhhh…!” Liany berusaha untuk meluruskan kakinya seperti arahan om Rudy tetapi nyeri yang dirasakannya begitu hebat.“Pelan-pelan saja, gerakkan kakimu pelan-pelan,” ujar om Rudy sambil tetap membantu Liany meluruskan kakinya. Wajah Liany masih terlihat meringis, om Rudy berusaha membantu perempuan itu agar otot betisnya bisa kembali semula. Dipegangnya pergelangan kaki Liany dan mendorong telapak kakinya ke atas sehingga Liany bisa merasa baikan. Diulangi beberapa kali gerakan itu sehingga dia benar-benar merasakan sakitnya berkurang.“B