LOGINGhea menuruni tangga dengan langkah berat, kacamata hitam masih menempel di wajahnya. Dari jarak beberapa meter saja, ia sudah bisa merasakan aura Juna yang duduk santai di meja makan, seolah tidak terjadi apa-apa di kamar tadi.
“Mari, Ghea, sapa Mas Juna kamu,” dorong Maminya dengan nada setengah memaksa. Ghea terdiam. Jari-jarinya meremas ujung bajunya, pandangan matanya diarahkan ke piring, ke kursi, ke mana saja—asal jangan ke arah Juna. “Cepat, Ghea,” ucap Hana lebih menegaskan. Akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris tercekat, Ghea berucap, “Halo, Mas Juna.” Suasana hening sesaat. Lalu Juna menoleh santai, menyeringai tipis. “Halo… adikku yang manis,” balasnya, dengan sengaja menekankan kata itu sambil mengedipkan sebelah mata. Darah Ghea langsung naik ke ubun-ubun. Kalau saja bukan di depan Maminya, ia pasti sudah melempar sendok ke arah pria itu. Dasar mesum… batinnya, menatap tajam dari balik kacamata hitam. Juna memang tidak bisa melihat mata Ghea secara langsung, tetapi garis wajah adik sepupunya itu cukup untuk menebak bahwa ia sedang kesal setengah mati. Alih-alih menahan diri, Juna justru tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Senyuman itu—manis, menyebalkan, ditambah tahi lalat kecil tepat di bawah bibirnya—terlihat memikat. Dan sialnya, Ghea menyadari hatinya berdebar hanya karena itu. “Makan yang banyak, Jun. Kamu sudah lama tidak menikmati masakan Indonesia, bukan?” ujar Hana sambil menyendokkan lauk ke piring Juna. “Iya, Tante. Sudah lama sekali. Juna rindu masakan Indonesia, apalagi masakan Tante. Enak sekali,” jawab Juna sambil tersenyum, nada suaranya tulus. Hana sontak tertawa kecil mendengar pujian itu. “Mulut kamu memang ringan sekali memuji orang, Jun. Pantas saja kamu gampang mendapatkan perempuan, gampang mendapat pasangan.” Juna cepat-cepat menggeleng, merendah. “Belum juga, Tan. Tidak ada perempuan yang mau dengan Juna.” “Siapa juga yang mau dengan laki-laki seperti kamu,” celetuk Ghea pelan, namun cukup terdengar. “Ghea!” tegur Hana dengan tatapan tajam. “Kalau berbicara gunakan sopan santun.” Juna justru terkekeh, santai. “Tidak apa-apa, Tante. Namanya juga bocah.” Ia melirik ke arah Ghea yang duduk di hadapannya dengan sengaja. Ghea mendongak cepat. “Saya bukan bocah lagi. Saya sudah dua puluh satu tahun. Sudah dewasa,” ujarnya mantap, penuh tantangan. “Oke, siap. Sudah dewasa, ya sekarang.” Juna mengangguk dramatis. “Si paling dewasa.” Senyumnya kembali muncul, senyum yang menyebalkan itu. Ghea mendengus, matanya menyipit dari balik kacamata. Senyuman Juna—dengan gigi putih rapi dan tahi lalat manis di bawah bibirnya—justru membuat darahnya semakin panas. “Sudah, Ghea. Jangan membuat masalah lagi. Makan yang benar. Jangan membuat Mami menambah hukumanmu,” ujar Hana setengah kesal. Ghea hanya menggerutu pelan lalu menunduk melanjutkan makannya. Sementara itu, Juna masih diam. Namun tatapannya melekat, terus-terusan mengarah pada Ghea. Ada sesuatu di balik sorot matanya—tenang, penuh arti, seakan ada hal yang hanya mereka berdua pahami. --- Seusai makan, Hana bersuara pelan namun tegas. “Ghea, ajak Mas Juna berkeliling rumah. Banyak yang berubah sejak dia pindah ke London.” Ghea langsung manyun. “Mami saja, kenapa harus Ghea?” “Jangan banyak alasan. Cepat. Itu bagian dari sopan santun.” Hana menatap putrinya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Dengan berat hati, Ghea berdiri. Langkahnya malas, jelas-jelas menunjukkan bahwa ia terpaksa. Juna hanya tersenyum kecil, menahan tawa melihat ekspresi sepupunya itu. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah yang kini tampak lebih modern. Ghea menunjuk sekenanya, tanpa antusias. Namun Juna tidak peduli pada penjelasannya. Matanya lebih sibuk memperhatikan Ghea daripada dinding atau interior. Tiba-tiba, tangan Juna terulur cepat, mencopot kacamata hitam yang dipakai Ghea. “MAS!!” teriak Ghea kaget. Ia langsung meloncat, berusaha merebut kembali. Namun Juna mengangkat tangannya tinggi-tinggi, jauh dari jangkauan Ghea. Dengan tubuhnya yang lebih tinggi, mustahil baginya untuk meraih. “Kembalikan, Mas! Serius!” Ghea berusaha melompat lagi, tetapi Juna hanya memiringkan tubuh sambil terkekeh. “No, no…” Juna menggoyang-goyangkan kacamata itu. “Kata Mami kamu, mata kamu bengkak. Dan setelah saya lihat-lihat… iya benar, kepala kamu yang bengkak.” Nada suaranya penuh godaan. Juna menaikkan satu alis. “Oh, begitu? Memangnya kacamata ini bisa menutup penglihatan ya?” Dengan santainya, ia memasang kacamata itu di wajahnya sendiri. “Tuh, lihat… saya masih bisa melihatmu kok.” “Mas Juna! Kembalikan!!” kali ini suara Ghea lebih tegas, bahkan sedikit bergetar antara kesal dan malu. Juna tidak langsung mengembalikannya. Ia malah menunduk, mendekat, menatap lurus ke mata Ghea. Tatapan itu dalam, seakan menembus lapisan pertahanan yang Ghea coba bangun. “Atau jangan-jangan… kamu sebenarnya tidak berani menatap mata saya?” suara Juna merendah, hampir seperti bisikan. Deg. Ghea tercekat. Refleks ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya menempel pada dinding lorong. Napasnya berat, sementara Juna semakin maju, tubuhnya menutup ruang, mengunci geraknya. “Iya, kan? Kamu tidak berani,” ucap Juna lagi, sudut bibirnya terangkat penuh kemenangan. Siapa bilang tidak berani? pikir Ghea. Jantungnya memang kacau, tetapi harga dirinya tidak mau kalah. Dengan sisa keberanian yang ia punya, ia mengangkat wajah, menatap balik ke mata Juna. “Siapa bilang aku tidak berani?” jawabnya mantap, meski ada getar samar di suaranya. Sial… kenapa dia terlihat semakin cantik saja? batin Juna. Matanya tanpa sadar menyapu setiap detail wajah Ghea. Bibir itu… tahi lalat kecil di dekat dagu… semuanya membuat napas Juna berat, dadanya bergetar aneh. Astaga, kenapa rasanya begini? Panas. Gila, ini membuatku tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya semakin dalam, makin sulit dialihkan. Ghea yang merasakan sorot mata itu jadi risih, tubuhnya gelisah. Namun mengingat tantangan yang baru saja ia lontarkan, harga dirinya menolak untuk mundur. Meskipun jantungnya berdegup kacau, ia tetap menegakkan dagu, menatap Juna dengan keras kepala. Dalam hati ia mengumpat, ngapain sih dia menatap seperti itu? Jangan keterlaluan, Mas… Tetapi di permukaan, bibir Ghea hanya tersungging tipis—lebih mirip smirk ketimbang senyum. Juna akhirnya menghela napas panjang, lalu memundurkan diri. Tatapannya dialihkan, seakan butuh jeda dari wajah Ghea yang membuat pikirannya campur aduk. Melihat itu, senyum licik mengembang di bibir Ghea. “Hah! Kamu yang sebenarnya tidak kuat, bukan, menatapku?” ejeknya penuh kemenangan. Ucapan itu membuat darah Juna naik. Rahangnya mengeras, matanya kembali menusuk ke arah Ghea. Tanpa banyak kata, ia berbalik langkah, mendekat cepat. Sekejap kemudian, tubuh Ghea sudah terangkat dan diletakkan di atas meja di samping lorong. “Mas!” seru Ghea kaget, tangannya meraba dinding di belakang, tubuhnya tersandar rapat. Napasnya tersengal. Ada rasa cemas, takut, tetapi juga sesuatu yang sulit ia definisikan. Tatapan Juna semakin dalam, semakin menghimpit. Pria itu menunduk, wajahnya makin dekat, hingga napas hangatnya menyapu leher Ghea. Deg. Tubuh Ghea menegang, matanya membesar. Astaga… dia mau apa? Namun tepat saat itu, terdengar suara memanggil dari arah jauh. “Ghea! Juna!” Keduanya sontak terkejut. Juna spontan mundur setengah langkah. Sementara Ghea buru-buru turun dari meja, wajahnya merah padam. Ia meraih tangan Juna, cepat-cepat menepisnya, lalu berjalan tergesa menuju sumber suara, seakan ingin lari dari momen yang barusan hampir terjadi.Juna segera memindahkan mobilnya ke area parkir yang lebih tersembunyi. Ia mematikan mesin, lalu menatap Ghea yang masih membenahi roknya dengan wajah memerah.“Kita masuk sekarang,” ucap Juna, nadanya bertekad.Juna dan Ghea turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu masuk, Juna langsung mendekati salah satu pelayan.“Saya mau pesan ruangan VIP,” kata Juna singkat.Pelayan itu mengantar mereka ke sebuah ruangan privat yang terletak di sudut paling belakang. Ruangan itu didesain eksklusif.“Mas, ini ruangannya terlalu besar dan kita cuma berdua,” ucap Ghea sembari melirik isi ruang makan yang dipesan oleh Juna. Di sana terdapat meja makan besar, beberapa kursi, dan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman di sudut.“Biar gak ada yang ganggu,” bisik Juna, senyum jahil muncul di bibirnya. Ia tidak mengajak Ghea duduk di meja makan, melainkan langsung menuju sofa panjang di sudut ruangan. Juna menarik
Sore itu, udara terasa hangat dan padat. Ghea baru saja selesai kuliah dan berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan Juna. Meskipun lelah, hatinya dipenuhi antisipasi. Setelah malam yang penuh gejolak, ia sangat ingin bertemu Juna.Saat sebuah mobil hitam elegan berbelok, jantung Ghea langsung berdetak kencang. Itu mobil Juna. Ia tersenyum, senyum pertama yang benar-benar lepas sejak semalam, dan segera berlari menuju mobil Juna.Tiba-tiba, sebelum Ghea sampai, seorang wanita ikut turun dari kursi penumpang depan. Wanita itu cantik, mengenakan blazer yang rapi, dengan rambut yang tertata sempurna.Langkah Ghea terhenti mendadak. Senyumnya pudar.Kak Celina? gumam Ghea dalam hati, rasa terkejut dan cemburu langsung menyengat.“Eh, Ghea! Sini cepetan! Lumayan panas nih,” panggil Celina pada Ghea sembari melambaikan tangannya, suaranya riang.Ghea awalnya tampak ragu melangkah, kakinya terasa berat. Perasaannya yang tadi berbunga-bunga kini terasa seperti jatuh menghantam tanah.Meliha
Juna keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri ke kasur. Malam itu, ia tahu, akan menjadi malam yang sangat panjang. Ia meraih ponselnya, mencari cara untuk mengalihkan bayangan kulit putih, puting yang mengeras, dan celana dalam Ghea yang basah. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: ia harus memastikan Ghea benar-benar menjadi miliknya, sesegera mungkin. Juna menjatuhkan diri ke kasur. Malam yang seharusnya diisi tidur nyenyak kini terasa panas dan panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, tetapi yang muncul hanyalah bayangan Ghea. Ia melihat lagi bibir Ghea yang bengkak, leher jenjang dengan tanda kemerahan yang ia ciptakan, dan terutama, dua bola kenyal yang sempat ia hisap. Ia membayangkan pepaya gantung milik Ghea—padat, putih, dengan puting yang mengeras. Ingatan itu mengirim gelombang panas yang menyengat langsung ke pangkal pahunya. Juna gelisah. Ia bangkit dari kasur. Ia tahu tidur tidak akan datang. Ia mulai melakukan push up. Satu set, dua set, tiga
Juna berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan detak jantungnya dan meredakan juniornya yang masih berdenyut kesal. Ghea, dengan tubuh yang masih gemetar karena syok dan gairah, segera duduk di pinggir kasur, meraih sembarang buku untuk pura-pura dibaca. Juna membuka pintu. Di depannya berdiri Mami Ghea, mengenakan daster rumahan dan membawa ponsel. Mami Ghea menatap Juna. Matanya menyipit, mengamati penampilan Juna yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan dan kemeja yang ia pakai terlihat sedikit kusut, seolah baru saja dipakai kembali dengan tergesa-gesa. “Lho, Nak Juna? Kok keringetan begitu? Kamu ngapain? Bukannya tadi kalian di depan TV ya?” tanya Mami Ghea, nada suaranya lembut namun penuh selidik. Matanya bergantian menatap Juna dan Ghea yang memegang buku di atas kasur. Juna segera berusaha menutupi kepanikannya dengan senyum terbaik. “Oh, Tante. Enggak, tadi Juna habis push up sebentar di kamar mand
Juna menghisap puting Ghea dengan rakus, suaranya tercekat dan dalam. Ghea mendesah, memanggil nama Juna, meremas rambut pria itu. Setelah puas dengan satu sisi, Juna beralih ke sisi lainnya, menghisap dan menjilat dengan penuh gairah. Sambil menikmati dua gundukan kenyal Ghea, Juna bergerak untuk melepaskan dress tidur tipis yang dikenakan Ghea. Namun, saat Juna hendak menarik gaun itu dari bahu, Ghea menahan tangannya. Juna berhenti. Ia menatap mata Ghea yang dipenuhi campuran gairah dan ketakutan. Juna melepaskan tangan gadis itu dengan lembut. “Percayakan semuanya sama Mas, Sayang,” ujar Juna, suaranya tegas dan menenangkan. “Mas janji, setelah ini Mas akan tanggung jawab apapun risikonya.” Ghea menelan ludah, menatap mata Juna, dan menemukan ketulusan di sana. Perlahan, Ghea mengangguk. Juna tersenyum, senyum yang menjanjikan segalanya. “Terima kasih, Sayang,” bisik Ju
Saat hasrat memuncak, Juna mulai merayapi tubuh Ghea perlahan dengan tangan kirinya, tetapi ia tidak melepaskan pangkuannya sama sekali. Dengan mata Juna yang gelap karena gairah menatapnya lekat-lekat, tangan Juna mulai bergerak merayap turun, menyusuri paha Ghea. Ghea tersentak. Tangan Juna kini berhenti, meraba kain segitiga tipis yang sudah basah dan becek di dalamnya. Sensasi itu membuat Ghea mengerang, separuh kenikmatan, separuh ketakutan. Saat Juna hendak menarik kain itu, Ghea tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. “Mas, stop!” Suara Ghea serak dan bergetar, memotong ketegangan hasrat mereka dengan suara yang penuh kepanikan. Juna membeku. Ia menarik tangannya dan menatap Ghea, matanya yang tadi panas kini dipenuhi kebingungan. “Kenapa? Kamu ma







