Home / Romansa / Di Atas Ranjang Sepupu / Napas Hangat Di Ujung Lorong

Share

Napas Hangat Di Ujung Lorong

Author: Picassoa
last update Last Updated: 2025-10-07 13:17:31

Ghea menuruni tangga dengan langkah berat, kacamata hitam masih menempel di wajahnya. Dari jarak beberapa meter saja, ia sudah bisa merasakan aura Juna yang duduk santai di meja makan, seolah tidak terjadi apa-apa di kamar tadi.

“Mari, Ghea, sapa Mas Juna kamu,” dorong Maminya dengan nada setengah memaksa.

Ghea terdiam. Jari-jarinya meremas ujung bajunya, pandangan matanya diarahkan ke piring, ke kursi, ke mana saja—asal jangan ke arah Juna.

“Cepat, Ghea,” ucap Hana lebih menegaskan.

Akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris tercekat, Ghea berucap, “Halo, Mas Juna.”

Suasana hening sesaat. Lalu Juna menoleh santai, menyeringai tipis. “Halo… adikku yang manis,” balasnya, dengan sengaja menekankan kata itu sambil mengedipkan sebelah mata.

Darah Ghea langsung naik ke ubun-ubun. Kalau saja bukan di depan Maminya, ia pasti sudah melempar sendok ke arah pria itu.

Dasar mesum… batinnya, menatap tajam dari balik kacamata hitam.

Juna memang tidak bisa melihat mata Ghea secara langsung, tetapi garis wajah adik sepupunya itu cukup untuk menebak bahwa ia sedang kesal setengah mati.

Alih-alih menahan diri, Juna justru tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Senyuman itu—manis, menyebalkan, ditambah tahi lalat kecil tepat di bawah bibirnya—terlihat memikat.

Dan sialnya, Ghea menyadari hatinya berdebar hanya karena itu.

“Makan yang banyak, Jun. Kamu sudah lama tidak menikmati masakan Indonesia, bukan?” ujar Hana sambil menyendokkan lauk ke piring Juna.

“Iya, Tante. Sudah lama sekali. Juna rindu masakan Indonesia, apalagi masakan Tante. Enak sekali,” jawab Juna sambil tersenyum, nada suaranya tulus.

Hana sontak tertawa kecil mendengar pujian itu. “Mulut kamu memang ringan sekali memuji orang, Jun. Pantas saja kamu gampang mendapatkan perempuan, gampang mendapat pasangan.”

Juna cepat-cepat menggeleng, merendah. “Belum juga, Tan. Tidak ada perempuan yang mau dengan Juna.”

“Siapa juga yang mau dengan laki-laki seperti kamu,” celetuk Ghea pelan, namun cukup terdengar.

“Ghea!” tegur Hana dengan tatapan tajam. “Kalau berbicara gunakan sopan santun.”

Juna justru terkekeh, santai. “Tidak apa-apa, Tante. Namanya juga bocah.” Ia melirik ke arah Ghea yang duduk di hadapannya dengan sengaja.

Ghea mendongak cepat. “Saya bukan bocah lagi. Saya sudah dua puluh satu tahun. Sudah dewasa,” ujarnya mantap, penuh tantangan.

“Oke, siap. Sudah dewasa, ya sekarang.” Juna mengangguk dramatis. “Si paling dewasa.” Senyumnya kembali muncul, senyum yang menyebalkan itu.

Ghea mendengus, matanya menyipit dari balik kacamata. Senyuman Juna—dengan gigi putih rapi dan tahi lalat manis di bawah bibirnya—justru membuat darahnya semakin panas.

“Sudah, Ghea. Jangan membuat masalah lagi. Makan yang benar. Jangan membuat Mami menambah hukumanmu,” ujar Hana setengah kesal.

Ghea hanya menggerutu pelan lalu menunduk melanjutkan makannya.

Sementara itu, Juna masih diam. Namun tatapannya melekat, terus-terusan mengarah pada Ghea. Ada sesuatu di balik sorot matanya—tenang, penuh arti, seakan ada hal yang hanya mereka berdua pahami.

---

Seusai makan, Hana bersuara pelan namun tegas.

“Ghea, ajak Mas Juna berkeliling rumah. Banyak yang berubah sejak dia pindah ke London.”

Ghea langsung manyun. “Mami saja, kenapa harus Ghea?”

“Jangan banyak alasan. Cepat. Itu bagian dari sopan santun.” Hana menatap putrinya dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Dengan berat hati, Ghea berdiri. Langkahnya malas, jelas-jelas menunjukkan bahwa ia terpaksa. Juna hanya tersenyum kecil, menahan tawa melihat ekspresi sepupunya itu.

Mereka berjalan menyusuri lorong rumah yang kini tampak lebih modern. Ghea menunjuk sekenanya, tanpa antusias. Namun Juna tidak peduli pada penjelasannya. Matanya lebih sibuk memperhatikan Ghea daripada dinding atau interior.

Tiba-tiba, tangan Juna terulur cepat, mencopot kacamata hitam yang dipakai Ghea.

“MAS!!” teriak Ghea kaget. Ia langsung meloncat, berusaha merebut kembali.

Namun Juna mengangkat tangannya tinggi-tinggi, jauh dari jangkauan Ghea. Dengan tubuhnya yang lebih tinggi, mustahil baginya untuk meraih.

“Kembalikan, Mas! Serius!” Ghea berusaha melompat lagi, tetapi Juna hanya memiringkan tubuh sambil terkekeh.

“No, no…” Juna menggoyang-goyangkan kacamata itu. “Kata Mami kamu, mata kamu bengkak. Dan setelah saya lihat-lihat… iya benar, kepala kamu yang bengkak.” Nada suaranya penuh godaan.

Juna menaikkan satu alis. “Oh, begitu? Memangnya kacamata ini bisa menutup penglihatan ya?” Dengan santainya, ia memasang kacamata itu di wajahnya sendiri. “Tuh, lihat… saya masih bisa melihatmu kok.”

“Mas Juna! Kembalikan!!” kali ini suara Ghea lebih tegas, bahkan sedikit bergetar antara kesal dan malu.

Juna tidak langsung mengembalikannya. Ia malah menunduk, mendekat, menatap lurus ke mata Ghea. Tatapan itu dalam, seakan menembus lapisan pertahanan yang Ghea coba bangun.

“Atau jangan-jangan… kamu sebenarnya tidak berani menatap mata saya?” suara Juna merendah, hampir seperti bisikan.

Deg. Ghea tercekat. Refleks ia mundur beberapa langkah, sampai punggungnya menempel pada dinding lorong. Napasnya berat, sementara Juna semakin maju, tubuhnya menutup ruang, mengunci geraknya.

“Iya, kan? Kamu tidak berani,” ucap Juna lagi, sudut bibirnya terangkat penuh kemenangan.

Siapa bilang tidak berani? pikir Ghea. Jantungnya memang kacau, tetapi harga dirinya tidak mau kalah. Dengan sisa keberanian yang ia punya, ia mengangkat wajah, menatap balik ke mata Juna.

“Siapa bilang aku tidak berani?” jawabnya mantap, meski ada getar samar di suaranya.

Sial… kenapa dia terlihat semakin cantik saja? batin Juna. Matanya tanpa sadar menyapu setiap detail wajah Ghea. Bibir itu… tahi lalat kecil di dekat dagu… semuanya membuat napas Juna berat, dadanya bergetar aneh. Astaga, kenapa rasanya begini? Panas. Gila, ini membuatku tidak bisa berpikir jernih.

Tatapannya semakin dalam, makin sulit dialihkan.

Ghea yang merasakan sorot mata itu jadi risih, tubuhnya gelisah. Namun mengingat tantangan yang baru saja ia lontarkan, harga dirinya menolak untuk mundur. Meskipun jantungnya berdegup kacau, ia tetap menegakkan dagu, menatap Juna dengan keras kepala.

Dalam hati ia mengumpat, ngapain sih dia menatap seperti itu? Jangan keterlaluan, Mas…

Tetapi di permukaan, bibir Ghea hanya tersungging tipis—lebih mirip smirk ketimbang senyum.

Juna akhirnya menghela napas panjang, lalu memundurkan diri. Tatapannya dialihkan, seakan butuh jeda dari wajah Ghea yang membuat pikirannya campur aduk.

Melihat itu, senyum licik mengembang di bibir Ghea. “Hah! Kamu yang sebenarnya tidak kuat, bukan, menatapku?” ejeknya penuh kemenangan.

Ucapan itu membuat darah Juna naik. Rahangnya mengeras, matanya kembali menusuk ke arah Ghea. Tanpa banyak kata, ia berbalik langkah, mendekat cepat. Sekejap kemudian, tubuh Ghea sudah terangkat dan diletakkan di atas meja di samping lorong.

“Mas!” seru Ghea kaget, tangannya meraba dinding di belakang, tubuhnya tersandar rapat. Napasnya tersengal. Ada rasa cemas, takut, tetapi juga sesuatu yang sulit ia definisikan. Tatapan Juna semakin dalam, semakin menghimpit.

Pria itu menunduk, wajahnya makin dekat, hingga napas hangatnya menyapu leher Ghea.

Deg.

Tubuh Ghea menegang, matanya membesar. Astaga… dia mau apa?

Namun tepat saat itu, terdengar suara memanggil dari arah jauh.

“Ghea! Juna!”

Keduanya sontak terkejut. Juna spontan mundur setengah langkah. Sementara Ghea buru-buru turun dari meja, wajahnya merah padam. Ia meraih tangan Juna, cepat-cepat menepisnya, lalu berjalan tergesa menuju sumber suara, seakan ingin lari dari momen yang barusan hampir terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Ada Yang Bangun?

    “Ya ampun! Mati lampu segala!” Ghea memeluk bantal erat-erat sambil menatap ke arah jendela. Hujan turun deras, suara petir memecah keheningan. “Malam ini benar-benar sial. Kurang apalagi sih?!”Dari sofa seberang, Juna hanya mendengus kecil. “Tenang aja, cuma mati lampu, bukan kiamat.”“Mas Juna!!!” jerit Ghea panik. “Jangan ninggalin aku! Aku takut!”Suaranya melengking, nyaris seperti anak kecil. Langkah Juna yang sempat menjauh akhirnya berhenti.Beberapa detik kemudian, sebuah tangan hangat menyentuh bahunya. Ghea sontak memeluknya erat, isak kecil lolos dari bibirnya. “Jahat! Cuma karena mati lampu aja Mas ninggalin aku!”“Ghea…” Juna menghela napas, suaranya menurun lembut. “Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu panik.” Ia menyalakan senter ponselnya. Cahaya redup menyapu wajah Ghea—matanya basah, pipinya merah, bibirnya gemetar.Juna terdiam sejenak. “Kamu kok… makin cantik.”Deg.Tangis Ghea terhenti. Ia mendongak cepat. “Baru sadar ya kalau aku cantik?” suaranya pelan tapi meng

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Juna: Mau Tau Yang Keras Itu Apa?

    “Ghea, Juna, Mami harus keluar dulu. Ada urusan mendesak yang harus segera Mami selesaikan,” ucap Hana, menoleh sekilas pada keduanya. Ghea dan Juna hanya mengangguk singkat. Begitu sampai di depan sumber suara, ternyata benar—di sana sudah ada Mami Ghea yang menunggu mereka. Perempuan paruh baya itu berdiri dengan pakaian rapi, tas kerja di tangan. Dari penampilannya jelas sekali ia tidak berniat tinggal di rumah sore itu. “Juna,” panggil Hana pada keponakannya. “Ya, Tante?” sahut Juna sopan. “Tante minta tolong kamu menjaga Ghea, ya. Jangan sampai anak nakal ini keluyuran malam ini sebelum Tante pulang.” Tatapan matanya langsung menusuk ke arah putrinya. “Mami! Bagaimana Ghea bisa hidup tenang kalau Mami selalu mengekang? Apa-apa dilarang. Keluar rumah pun tidak boleh. Emangnya Ghea harus dikurung selamanya?!” protes Ghea keras, wajahnya penuh kesal. “Pokoknya malam ini kamu tidak boleh keluar,” tegas Hana. “Beberapa malam ini kamu pulang larut. Mami tidak suka itu, Ghea. Mam

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Napas Hangat Di Ujung Lorong

    Ghea menuruni tangga dengan langkah berat, kacamata hitam masih menempel di wajahnya. Dari jarak beberapa meter saja, ia sudah bisa merasakan aura Juna yang duduk santai di meja makan, seolah tidak terjadi apa-apa di kamar tadi.“Mari, Ghea, sapa Mas Juna kamu,” dorong Maminya dengan nada setengah memaksa.Ghea terdiam. Jari-jarinya meremas ujung bajunya, pandangan matanya diarahkan ke piring, ke kursi, ke mana saja—asal jangan ke arah Juna.“Cepat, Ghea,” ucap Hana lebih menegaskan.Akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris tercekat, Ghea berucap, “Halo, Mas Juna.”Suasana hening sesaat. Lalu Juna menoleh santai, menyeringai tipis. “Halo… adikku yang manis,” balasnya, dengan sengaja menekankan kata itu sambil mengedipkan sebelah mata.Darah Ghea langsung naik ke ubun-ubun. Kalau saja bukan di depan Maminya, ia pasti sudah melempar sendok ke arah pria itu.Dasar mesum… batinnya, menatap tajam dari balik kacamata hitam.Juna memang tidak bisa melihat mata Ghea secara langsung, tetapi ga

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Pria Asing Masuk Kamar Ghea

    Siang itu, aku baru saja sampai di rumah. Setelah melempar tas ke kasur, aku menyalakan ponsel, berniat sekadar scroll sosmed sambil rebahan. Tapi belum sempat membuka aplikasi apa pun, notifikasi baru dari Veli muncul di layar.File video.Alisku langsung terangkat.“Vel, apaan lagi nih…” gumamku sambil mengetuk pesan itu.Begitu video mulai diputar, mataku langsung membesar.Cahaya temaram, napas berat, dan suara erangan halus memenuhi speaker ponselku. Aku spontan menegakkan badan. “Heh… ini film apaan, Vel?” bibirku bergetar menahan tawa sekaligus malu. Pipi terasa panas.Adegan berikutnya lebih gila lagi. Aku buru-buru mengecilkan volume, melirik ke arah pintu—takut Mami tiba-tiba masuk.“Vel, lo kirim apaan sih…” desisku, meski dalam hati penasaran juga. Si perempuan di layar terlihat menikmati setiap detik—dan entah kenapa, mataku malah ikut terpaku.Notifikasi voice note muncul.“Lihat aja dulu. Filmnya bagus!” suara Veli yang ceria bikin aku menahan tawa.Belum sempat aku bal

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Malam Pertama Di Club, Hutang?

    Lorong VIP club malam itu berkilau dengan lampu temaram dan dentuman musik bass yang bergetar di dada.Ghea melangkah dengan napas bergetar, menenteng nampan berisi minuman mahal—malam ini adalah hari pertamanya bekerja. Rok mini dan atasan ketat yang diberikan manajer membuat tubuhnya terekspos lebih dari yang ia harapkan.Di sampingnya, sang pengawas yang berwajah cantik tapi penuh iri berjalan sambil melirik sinis.Begitu sampai di meja tamu penting, langkah pengawas itu tiba-tiba berhenti.Bruk!Kaki Ghea tersandung. Nampan oleng, gelas-gelas jatuh, dan minuman tumpah membasahi jas serta celana pria yang duduk di depan mereka.“Sial!” desis pria itu tajam. Matanya menatap Ghea dari ujung kepala hingga kaki, lalu turun ke pakaiannya yang basah.“Ah! Maaf, Mas! Saya– saya nggak sengaja!” Ghea panik, wajahnya merah menahan malu. Dengan tangan gemetar, ia menepuk-nepuk celana pria itu, berusaha mengeringkannya—namun gerakannya justru berhenti saat tangannya nyaris menyentuh area sensi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status