Siang itu, aku baru saja sampai di rumah. Setelah melempar tas ke kasur, aku menyalakan ponsel, berniat sekadar scroll sosmed sambil rebahan. Tapi belum sempat membuka aplikasi apa pun, notifikasi baru dari Veli muncul di layar.
File video. Alisku langsung terangkat. “Vel, apaan lagi nih…” gumamku sambil mengetuk pesan itu. Begitu video mulai diputar, mataku langsung membesar. Cahaya temaram, napas berat, dan suara erangan halus memenuhi speaker ponselku. Aku spontan menegakkan badan. “Heh… ini film apaan, Vel?” bibirku bergetar menahan tawa sekaligus malu. Pipi terasa panas. Adegan berikutnya lebih gila lagi. Aku buru-buru mengecilkan volume, melirik ke arah pintu—takut Mami tiba-tiba masuk. “Vel, lo kirim apaan sih…” desisku, meski dalam hati penasaran juga. Si perempuan di layar terlihat menikmati setiap detik—dan entah kenapa, mataku malah ikut terpaku. Notifikasi voice note muncul. “Lihat aja dulu. Filmnya bagus!” suara Veli yang ceria bikin aku menahan tawa. Belum sempat aku balas, voice note kedua masuk. “Pokoknya nonton sampai habis. Lo bakal ngerti kenapa gue bilang ‘bagus’. Nikmat banget, sumpah.” Aku mengembuskan napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja belajar. “Gila” gumamku, mencoba mengusir rasa geli yang entah kenapa juga… bikin penasaran. Kepalaku terasa panas. Tanpa pikir panjang, aku ambil handuk dari lemari. “Mending mandi aja,” kataku, melangkah ke kamar mandi untuk mendinginkan kepala yang anehnya malah berdebar. Sementara itu, di bawah sana, aku dengar samar-samar suara Mami bicara dengan seseorang. Kudengar tawa pelan, suara laki-laki yang bariton dan dalam. Tapi kupikir itu tamu Mami—aku tak terlalu peduli. Air hangat menyentuh kulitku. Rasanya menenangkan. Aku bersenandung kecil sambil menutup mata, membiarkan rambutku basah sepenuhnya. Setelah beberapa menit, aku mematikan shower, meraih handuk, lalu keluar. Suasana kamar terasa sedikit lebih dingin. Mungkin karena AC-nya lupa kumatikan. Aku menyeka wajah, berjalan pelan ke arah meja untuk mengambil baju ganti. Lalu—aku melihat sesuatu. Bayangan tinggi di depan cermin. Aku membeku. Jantungku berhenti sepersekian detik sebelum akhirnya melesat tak karuan. “MALING!!!” teriakku spontan sekuat mungkin. Namun belum sempat aku kabur, tubuhku ditarik. Tangan besar menutup mulutku rapat. “Diam,” suara berat itu bergema di telingaku. Suara yang terlalu dekat. Mataku membulat, napasku tersengal. Tubuhku menegang, setengah panik, setengah tak percaya. Aku mendongak—dan saat itu juga, napasku benar-benar tercekat. Pria itu. Orang yang kutemui di klub malam beberapa bulan lalu—yang malam itu sempat menatapku dengan mata gelap dan senyum yang membuatku hampir kehilangan kendali. Pria yang kutinggalkan tanpa menoleh lagi karena rasa takut dan malu bercampur menjadi satu. Sekarang, dia berdiri di kamarku. Dengan wajah yang sama. Tatapan yang sama. Aku ingin berteriak, tapi tubuhku kaku. Tangan yang menutup mulutku begitu kuat, tapi tidak kasar. Ia menatapku dalam, pupilnya sedikit membesar. “Gue bukan maling,” katanya pelan, tapi tegas. Suara itu menusuk gendang telingaku. Dada terasa sesak. Keringat dingin mengalir di punggungku, bercampur dengan sisa air dari rambut yang masih menetes ke bahu. Aku menatapnya lama—dan semakin kulihat, semakin jelas. Garis rahang itu. Sorot matanya yang tajam tapi hangat. Cara dia menarik napas dalam sebelum bicara. Tidak mungkin aku salah orang. Aku melangkah mundur pelan, menatapnya dari kepala sampai kaki. Kaos putihnya sedikit kusut, dan di ujung bibirnya ada senyum samar—bukan senyum ramah, tapi seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia besar. Tubuhku bergetar. “Lo…” suaraku hampir tak keluar. “Ngapain di sini?” Dia tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih ke meja kecil di belakangku, tempat foto lamaku bersama teman-teman kerja di kafe. Aku bisa melihat rahangnya mengeras seketika. Wajahnya berubah. Tatapannya seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu. “Jadi… itu beneran kamu,” katanya lirih. Aku semakin panik. “Apa maksud lo?!” Dia melangkah maju, jarak kami kini hanya beberapa jengkal. Napasnya hangat di wajahku. Tangannya turun dari mulutku, tapi kini berada di samping tubuhku, menahan agar aku tidak kabur. “Jadi selama ini, gadis di malam itu… sepupu gue?” Kata-katanya menampar keras. Aku menatapnya tak percaya. Dunia seperti berhenti berputar. Juna. Nama itu tiba-tiba terlintas jelas di kepalaku. Sepupuku yang baru pulang dari luar negeri. Orang yang tadi suaranya kudengar di bawah. Dan—ya Tuhan—dia pria malam itu? Kepalaku mendadak pening. Aku ingin menjerit, tapi lidahku kelu. Yang bisa kulakukan hanya berdiri terpaku dengan handuk yang mulai melorot di bahu, sementara tatapan pria itu tetap terkunci di mataku—penuh keterkejutan, tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak berani kuartikan. Napas kami saling bertubrukan di udara. Tak ada suara lain kecuali detak jantungku yang membabi buta. Aku tahu aku harus mundur, harus menjauh, harus melakukan sesuatu. Tapi tubuhku diam, seolah terhipnotis. “Ghea…” suaranya terdengar serak. “Kita harus bicara.” Aku menelan ludah, pelan, sebelum akhirnya membisik, “Tentang apa, Mas Juna?” “Ghea!” suara teriakan membuyarkanku menatapnya. “Sini turun!”“Ya ampun! Mati lampu segala!” Ghea memeluk bantal erat-erat sambil menatap ke arah jendela. Hujan turun deras, suara petir memecah keheningan. “Malam ini benar-benar sial. Kurang apalagi sih?!”Dari sofa seberang, Juna hanya mendengus kecil. “Tenang aja, cuma mati lampu, bukan kiamat.”“Mas Juna!!!” jerit Ghea panik. “Jangan ninggalin aku! Aku takut!”Suaranya melengking, nyaris seperti anak kecil. Langkah Juna yang sempat menjauh akhirnya berhenti.Beberapa detik kemudian, sebuah tangan hangat menyentuh bahunya. Ghea sontak memeluknya erat, isak kecil lolos dari bibirnya. “Jahat! Cuma karena mati lampu aja Mas ninggalin aku!”“Ghea…” Juna menghela napas, suaranya menurun lembut. “Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu panik.” Ia menyalakan senter ponselnya. Cahaya redup menyapu wajah Ghea—matanya basah, pipinya merah, bibirnya gemetar.Juna terdiam sejenak. “Kamu kok… makin cantik.”Deg.Tangis Ghea terhenti. Ia mendongak cepat. “Baru sadar ya kalau aku cantik?” suaranya pelan tapi meng
“Ghea, Juna, Mami harus keluar dulu. Ada urusan mendesak yang harus segera Mami selesaikan,” ucap Hana, menoleh sekilas pada keduanya. Ghea dan Juna hanya mengangguk singkat. Begitu sampai di depan sumber suara, ternyata benar—di sana sudah ada Mami Ghea yang menunggu mereka. Perempuan paruh baya itu berdiri dengan pakaian rapi, tas kerja di tangan. Dari penampilannya jelas sekali ia tidak berniat tinggal di rumah sore itu. “Juna,” panggil Hana pada keponakannya. “Ya, Tante?” sahut Juna sopan. “Tante minta tolong kamu menjaga Ghea, ya. Jangan sampai anak nakal ini keluyuran malam ini sebelum Tante pulang.” Tatapan matanya langsung menusuk ke arah putrinya. “Mami! Bagaimana Ghea bisa hidup tenang kalau Mami selalu mengekang? Apa-apa dilarang. Keluar rumah pun tidak boleh. Emangnya Ghea harus dikurung selamanya?!” protes Ghea keras, wajahnya penuh kesal. “Pokoknya malam ini kamu tidak boleh keluar,” tegas Hana. “Beberapa malam ini kamu pulang larut. Mami tidak suka itu, Ghea. Mam
Ghea menuruni tangga dengan langkah berat, kacamata hitam masih menempel di wajahnya. Dari jarak beberapa meter saja, ia sudah bisa merasakan aura Juna yang duduk santai di meja makan, seolah tidak terjadi apa-apa di kamar tadi.“Mari, Ghea, sapa Mas Juna kamu,” dorong Maminya dengan nada setengah memaksa.Ghea terdiam. Jari-jarinya meremas ujung bajunya, pandangan matanya diarahkan ke piring, ke kursi, ke mana saja—asal jangan ke arah Juna.“Cepat, Ghea,” ucap Hana lebih menegaskan.Akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris tercekat, Ghea berucap, “Halo, Mas Juna.”Suasana hening sesaat. Lalu Juna menoleh santai, menyeringai tipis. “Halo… adikku yang manis,” balasnya, dengan sengaja menekankan kata itu sambil mengedipkan sebelah mata.Darah Ghea langsung naik ke ubun-ubun. Kalau saja bukan di depan Maminya, ia pasti sudah melempar sendok ke arah pria itu.Dasar mesum… batinnya, menatap tajam dari balik kacamata hitam.Juna memang tidak bisa melihat mata Ghea secara langsung, tetapi ga
Siang itu, aku baru saja sampai di rumah. Setelah melempar tas ke kasur, aku menyalakan ponsel, berniat sekadar scroll sosmed sambil rebahan. Tapi belum sempat membuka aplikasi apa pun, notifikasi baru dari Veli muncul di layar.File video.Alisku langsung terangkat.“Vel, apaan lagi nih…” gumamku sambil mengetuk pesan itu.Begitu video mulai diputar, mataku langsung membesar.Cahaya temaram, napas berat, dan suara erangan halus memenuhi speaker ponselku. Aku spontan menegakkan badan. “Heh… ini film apaan, Vel?” bibirku bergetar menahan tawa sekaligus malu. Pipi terasa panas.Adegan berikutnya lebih gila lagi. Aku buru-buru mengecilkan volume, melirik ke arah pintu—takut Mami tiba-tiba masuk.“Vel, lo kirim apaan sih…” desisku, meski dalam hati penasaran juga. Si perempuan di layar terlihat menikmati setiap detik—dan entah kenapa, mataku malah ikut terpaku.Notifikasi voice note muncul.“Lihat aja dulu. Filmnya bagus!” suara Veli yang ceria bikin aku menahan tawa.Belum sempat aku bal
Lorong VIP club malam itu berkilau dengan lampu temaram dan dentuman musik bass yang bergetar di dada.Ghea melangkah dengan napas bergetar, menenteng nampan berisi minuman mahal—malam ini adalah hari pertamanya bekerja. Rok mini dan atasan ketat yang diberikan manajer membuat tubuhnya terekspos lebih dari yang ia harapkan.Di sampingnya, sang pengawas yang berwajah cantik tapi penuh iri berjalan sambil melirik sinis.Begitu sampai di meja tamu penting, langkah pengawas itu tiba-tiba berhenti.Bruk!Kaki Ghea tersandung. Nampan oleng, gelas-gelas jatuh, dan minuman tumpah membasahi jas serta celana pria yang duduk di depan mereka.“Sial!” desis pria itu tajam. Matanya menatap Ghea dari ujung kepala hingga kaki, lalu turun ke pakaiannya yang basah.“Ah! Maaf, Mas! Saya– saya nggak sengaja!” Ghea panik, wajahnya merah menahan malu. Dengan tangan gemetar, ia menepuk-nepuk celana pria itu, berusaha mengeringkannya—namun gerakannya justru berhenti saat tangannya nyaris menyentuh area sensi