ログインSiang itu, Ghea baru saja sampai di rumah. Setelah melempar tas ke kasur, gadis itu menyalakan ponselnya, berniat sekadar scroll sosmed sambil rebahan. Tapi belum sempat membuka aplikasi apa pun, notifikasi baru dari Veli muncul di layar.
File video. Alis ghea langsung terangkat. “Vel, apaan lagi nih…” gumamnya sambil mengetuk pesan itu. Begitu video mulai diputar, mata Ghea langsung membesar. Cahaya temaram, napas berat, dan suara erangan halus memenuhi speaker ponselnya. Ghea pun spontan menegakkan badan. “Heh… ini film apaan, Vel?” bibir Ghea tampak bergetar menahan tawa sekaligus malu. Pipi terasa sangat panas. Adegan berikutnya lebih gila lagi. Ghea pun buru-buru mengecilkan volume suara dari ponselnya, ia melirik ke arah pintu—takut Mami tiba-tiba masuk. “Vel, lo kirim apaan sih…” desisnya, meski dalam hati penasaran juga. Si perempuan di layar terlihat menikmati setiap detik—dan entah kenapa, mata gadis itu malah ikut terpaku. Notifikasi voice note muncul. “Lihat aja dulu. Filmnya bagus!” suara Veli yang ceria bikin aku menahan tawa. Belum sempat Ghea membalas, voice note kedua masuk. “Pokoknya nonton sampai habis. Lo bakal ngerti kenapa gue bilang ‘bagus’. Nikmat banget, sumpah.” Ghea mengembuskan napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja belajar. “Gila” gumamnya, mencoba mengusir rasa geli yang entah kenapa juga… bikin penasaran. Kepalanya tiba-tiba terasa panas. Tanpa pikir panjang, ia mengambil handuk dari lemari. “Mending mandi aja,” katanya, sembari melangkah ke kamar mandi untuk mendinginkan kepala yang anehnya malah berdebar. Sementara itu, di bawah sana, terdengar samar-samar suara Mami bicara dengan seseorang. Terdengar tawa pelan, suara laki-laki yang bariton dan dalam. Tapi Ghea pikir itu tamu Maminya—Ia pun tak terlalu peduli. Air hangat menyentuh kulit Ghea. Memberikan rasa menenangkan. Gadis itu bersenandung kecil sambil menutup mata, membiarkan rambutnya basah sepenuhnya. Setelah beberapa menit, ia mematikan shower, meraih handuk, lalu keluar. Suasana kamar terasa sedikit lebih dingin. Mungkin karena AC-nya lupa dimatikan. Ghea menyeka wajahnya, berjalan pelan ke arah meja untuk mengambil baju ganti. Lalu—Ghea melihat sesuatu. Bayangan tinggi di depan cermin. Ghea tiba-tiba membeku. Jantungnya berhenti sepersekian detik sebelum akhirnya melesat tak karuan. “MALING!!!” teriak Ghea spontan sekuat mungkin. Namun belum sempat ia kabur, tubuhnya malah ditarik. Tangan besar menutup mulutnya rapat. “Diam,” suara berat itu bergema di telinga Ghea. Suara yang terlalu dekat, membuat mata Ghea membulat, napasnya tersengal. Tubuh Ghea menegang, setengah panik, setengah tak percaya. Ia pun mendongak—dan saat itu juga, napasnya benar-benar tercekat. Pria itu. Orang yang ia temui di klub malam beberapa bulan lalu—yang malam itu sempat menatapnya dengan mata gelap dan senyum yang membuatnya hampir kehilangan kendali. Pria yang ia tinggalkan tanpa menoleh lagi karena rasa takut dan malu bercampur menjadi satu. Sekarang, dia berdiri di kamar Ghea. Dengan wajah yang sama. Tatapan yang sama. Ghea ingin sekali berteriak, tapi tubuhnya tetap saja kaku. Tangan yang menutup mulutnya begitu kuat, tapi tidak kasar. Sedangkan, pria itu menatap Ghea dalam, pupilnya sedikit membesar. “Gue bukan maling,” kata pria itu pelan, tapi tegas. Suara itu menusuk gendang telinga Ghea. Dadanya terasa semakin sesak. Keringat dingin mengalir di punggungnya, bercampur dengan sisa air dari rambut yang masih menetes ke bahu. Ia menatapnya lama—dan semakin dilihat, semakin jelas. Garis rahang itu. Sorot matanya yang tajam tapi hangat. Cara dia menarik napas dalam sebelum bicara. Tidak mungkin Ghea salah orang. Ghea melangkah mundur pelan, menatapnya dari kepala sampai kaki. Kaos putihnya sedikit kusut, dan di ujung bibirnya ada senyum samar—bukan senyum ramah, tapi seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia besar. Tubuh Ghea bergetar. “Lo…” suaraku hampir tak keluar. “Ngapain di sini?” Pria itu tidak langsung menjawab. Pandangannya beralih ke meja kecil di belakang Ghea, tempat foto lama gadis itu bersama teman-teman kerja di kafe. Ghea bisa melihat rahangnya mengeras seketika. Wajahnya berubah. Tatapannya seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu. “Jadi… itu beneran kamu,” akhirnya pria itu berkata lirih setelah beberapa menit. Ghea semakin panik. “Apa maksud lo?!” Dia melangkah maju, jarak kami kini hanya beberapa jengkal. Napasnya hangat di wajahku. Tangannya turun dari mulutku, tapi kini berada di samping tubuhku, menahan agar aku tidak kabur. “Jadi selama ini, gadis di malam itu… sepupu gue?” Kata-katanya menampar keras. Ghea menatapnya tak percaya. Dunia seperti berhenti berputar. Juna. Nama itu tiba-tiba terlintas jelas di kepala Ghea. Sepupunya yang baru pulang dari luar negeri. Orang yang tadi suaranya ia dengar di bawah. Dan—ya Tuhan—dia pria malam itu? Kepala ghea mendadak pening. Ia ingin menjerit, tapi lidahnya kelu. Yang bisa ia lakukan hanya berdiri terpaku dengan handuk yang mulai melorot di bahu, sementara tatapan pria itu tetap terkunci di matanya—penuh keterkejutan, tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak berani Ghea artikan. Napas keduanya saling bertubrukan di udara. Tak ada suara lain kecuali detak jantung yang membabi buta. "Aku tahu aku harus mundur, harus menjauh, harus melakukan sesuatu." Batin Ghea. Tapi tubuhnya diam, seolah terhipnotis. “Ghea…” suara Juna terdengar serak. “Kita harus bicara.” Mendengar itu, Ghea menelan ludah, pelan, sebelum akhirnya membisik, “Tentang apa, Mas Juna?” “Ghea!” suara teriakan membuyarkanku menatapnya. “Sini turun!”Juna segera memindahkan mobilnya ke area parkir yang lebih tersembunyi. Ia mematikan mesin, lalu menatap Ghea yang masih membenahi roknya dengan wajah memerah.“Kita masuk sekarang,” ucap Juna, nadanya bertekad.Juna dan Ghea turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu masuk, Juna langsung mendekati salah satu pelayan.“Saya mau pesan ruangan VIP,” kata Juna singkat.Pelayan itu mengantar mereka ke sebuah ruangan privat yang terletak di sudut paling belakang. Ruangan itu didesain eksklusif.“Mas, ini ruangannya terlalu besar dan kita cuma berdua,” ucap Ghea sembari melirik isi ruang makan yang dipesan oleh Juna. Di sana terdapat meja makan besar, beberapa kursi, dan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman di sudut.“Biar gak ada yang ganggu,” bisik Juna, senyum jahil muncul di bibirnya. Ia tidak mengajak Ghea duduk di meja makan, melainkan langsung menuju sofa panjang di sudut ruangan. Juna menarik
Sore itu, udara terasa hangat dan padat. Ghea baru saja selesai kuliah dan berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan Juna. Meskipun lelah, hatinya dipenuhi antisipasi. Setelah malam yang penuh gejolak, ia sangat ingin bertemu Juna.Saat sebuah mobil hitam elegan berbelok, jantung Ghea langsung berdetak kencang. Itu mobil Juna. Ia tersenyum, senyum pertama yang benar-benar lepas sejak semalam, dan segera berlari menuju mobil Juna.Tiba-tiba, sebelum Ghea sampai, seorang wanita ikut turun dari kursi penumpang depan. Wanita itu cantik, mengenakan blazer yang rapi, dengan rambut yang tertata sempurna.Langkah Ghea terhenti mendadak. Senyumnya pudar.Kak Celina? gumam Ghea dalam hati, rasa terkejut dan cemburu langsung menyengat.“Eh, Ghea! Sini cepetan! Lumayan panas nih,” panggil Celina pada Ghea sembari melambaikan tangannya, suaranya riang.Ghea awalnya tampak ragu melangkah, kakinya terasa berat. Perasaannya yang tadi berbunga-bunga kini terasa seperti jatuh menghantam tanah.Meliha
Juna keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri ke kasur. Malam itu, ia tahu, akan menjadi malam yang sangat panjang. Ia meraih ponselnya, mencari cara untuk mengalihkan bayangan kulit putih, puting yang mengeras, dan celana dalam Ghea yang basah. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: ia harus memastikan Ghea benar-benar menjadi miliknya, sesegera mungkin. Juna menjatuhkan diri ke kasur. Malam yang seharusnya diisi tidur nyenyak kini terasa panas dan panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, tetapi yang muncul hanyalah bayangan Ghea. Ia melihat lagi bibir Ghea yang bengkak, leher jenjang dengan tanda kemerahan yang ia ciptakan, dan terutama, dua bola kenyal yang sempat ia hisap. Ia membayangkan pepaya gantung milik Ghea—padat, putih, dengan puting yang mengeras. Ingatan itu mengirim gelombang panas yang menyengat langsung ke pangkal pahunya. Juna gelisah. Ia bangkit dari kasur. Ia tahu tidur tidak akan datang. Ia mulai melakukan push up. Satu set, dua set, tiga
Juna berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan detak jantungnya dan meredakan juniornya yang masih berdenyut kesal. Ghea, dengan tubuh yang masih gemetar karena syok dan gairah, segera duduk di pinggir kasur, meraih sembarang buku untuk pura-pura dibaca. Juna membuka pintu. Di depannya berdiri Mami Ghea, mengenakan daster rumahan dan membawa ponsel. Mami Ghea menatap Juna. Matanya menyipit, mengamati penampilan Juna yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan dan kemeja yang ia pakai terlihat sedikit kusut, seolah baru saja dipakai kembali dengan tergesa-gesa. “Lho, Nak Juna? Kok keringetan begitu? Kamu ngapain? Bukannya tadi kalian di depan TV ya?” tanya Mami Ghea, nada suaranya lembut namun penuh selidik. Matanya bergantian menatap Juna dan Ghea yang memegang buku di atas kasur. Juna segera berusaha menutupi kepanikannya dengan senyum terbaik. “Oh, Tante. Enggak, tadi Juna habis push up sebentar di kamar mand
Juna menghisap puting Ghea dengan rakus, suaranya tercekat dan dalam. Ghea mendesah, memanggil nama Juna, meremas rambut pria itu. Setelah puas dengan satu sisi, Juna beralih ke sisi lainnya, menghisap dan menjilat dengan penuh gairah. Sambil menikmati dua gundukan kenyal Ghea, Juna bergerak untuk melepaskan dress tidur tipis yang dikenakan Ghea. Namun, saat Juna hendak menarik gaun itu dari bahu, Ghea menahan tangannya. Juna berhenti. Ia menatap mata Ghea yang dipenuhi campuran gairah dan ketakutan. Juna melepaskan tangan gadis itu dengan lembut. “Percayakan semuanya sama Mas, Sayang,” ujar Juna, suaranya tegas dan menenangkan. “Mas janji, setelah ini Mas akan tanggung jawab apapun risikonya.” Ghea menelan ludah, menatap mata Juna, dan menemukan ketulusan di sana. Perlahan, Ghea mengangguk. Juna tersenyum, senyum yang menjanjikan segalanya. “Terima kasih, Sayang,” bisik Ju
Saat hasrat memuncak, Juna mulai merayapi tubuh Ghea perlahan dengan tangan kirinya, tetapi ia tidak melepaskan pangkuannya sama sekali. Dengan mata Juna yang gelap karena gairah menatapnya lekat-lekat, tangan Juna mulai bergerak merayap turun, menyusuri paha Ghea. Ghea tersentak. Tangan Juna kini berhenti, meraba kain segitiga tipis yang sudah basah dan becek di dalamnya. Sensasi itu membuat Ghea mengerang, separuh kenikmatan, separuh ketakutan. Saat Juna hendak menarik kain itu, Ghea tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. “Mas, stop!” Suara Ghea serak dan bergetar, memotong ketegangan hasrat mereka dengan suara yang penuh kepanikan. Juna membeku. Ia menarik tangannya dan menatap Ghea, matanya yang tadi panas kini dipenuhi kebingungan. “Kenapa? Kamu ma







