LOGINMalam semakin larut ketika Aaron dan ILHAM duduk di hadapan Ustadz Abdullah, hati mereka masih dipenuhi ketegangan dari peristiwa yang baru saja terjadi. Ruangan tempat mereka berada dipenuhi dengan suasana tenang, namun ada perasaan mendalam bahwa sesuatu yang lebih besar menanti di depan mereka.
Ustadz Abdullah memandang keduanya dengan tatapan tajam namun penuh kebijaksanaan. "Kalian berdua telah menghadapi sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Kekuatan yang kalian usir tadi bukan hanya sekadar entitas biasa. Pesugihan semacam itu memiliki akar yang kuat, dan biasanya mereka tidak akan menyerah begitu saja."
Aaron mengangguk pelan, mencoba mencerna setiap kata gurunya. Namun, ILHAM yang duduk di sampingnya tampak gelisah. "Ustadz, bagaimana jika mereka kembali? Bagaimana jika kami tidak cukup kuat untuk menghadapi mereka lagi?" tanyanya dengan suara bergetar.
Ustadz Abdullah tersenyum lembut, "Keberanian, ILHAM, bukan berarti tidak merasa takut. Keberanian adalah kemampuan untuk tetap teguh di tengah ketakutan itu. Namun, kalian memang perlu mempersiapkan diri lebih baik. Ada ilmu-ilmu lain yang bisa kalian pelajari, yang tidak hanya akan menambah kekuatan kalian, tetapi juga menebalkan keberanian kalian."
Aaron segera menyela, "Ustadz, tolong ajarkan kami. Kami ingin siap menghadapi apa pun yang datang, terutama untuk melindungi yang lemah."
Ustadz Abdullah mengangguk pelan. "Baiklah, ada beberapa ilmu yang bisa kalian pelajari. Ilmu ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan supranatural kalian, tetapi juga memperkuat pondasi spiritual kalian agar kalian tidak mudah goyah."
Selama beberapa minggu berikutnya, Aaron dan ILHAM belajar dengan tekun di bawah bimbingan Ustadz Abdullah. Setiap malam mereka melafalkan doa-doa, memperkuat dzikir mereka, dan memperdalam pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran kejawen yang telah mereka pelajari sejak dulu. Ustadz Abdullah mengajarkan mereka ilmu-ilmu seperti memanipulasi energi, memperkuat mental, dan mengenali tanda-tanda bahaya yang tidak terlihat oleh mata biasa.
ILHAM, yang awalnya sering merasa takut, perlahan mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Setiap doa dan latihan yang dilakukan semakin menumbuhkan kepercayaan dirinya. Aaron terus mendorong adiknya, memberikan dukungan dan semangat agar ILHAM bisa mengatasi ketakutannya. Mereka berdua semakin menyatu dalam tekad untuk menjadi lebih kuat.
Namun, di balik semua latihan dan pelajaran yang mereka jalani, ada sesuatu yang mereka tidak sadari. Entitas jahat yang mereka usir dari gadis yang kerasukan itu tidak hilang begitu saja. Sosok itu, yang dulunya merupakan pesugihan, ternyata memiliki hubungan yang lebih dalam dengan seorang dukun sakti yang dikenal oleh para pesaing bisnis ayah gadis tersebut.
Dukun itu, seorang pria tua dengan wajah yang dipenuhi garis-garis kejahatan, merasakan kegagalan dari ritual yang dia lakukan. Tidak terima dengan kekalahan, dia memanggil kembali entitas pesugihan itu dan memberinya perintah baru: mengawasi dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang kedua pemuda yang telah menghalangi rencananya.
Malam demi malam, saat Aaron dan ILHAM sibuk dengan pelajaran mereka, sosok pesugihan itu mengintai dari kegelapan. Ia tidak pernah jauh dari mereka, selalu berada di tempat yang tidak bisa mereka lihat, namun cukup dekat untuk merasakan setiap kelemahan dan keraguan yang mungkin muncul.
Suatu malam, setelah sesi latihan yang cukup intens, ILHAM merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun tubuhnya lelah, ada perasaan tidak nyaman yang membuatnya susah tidur. Dia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat perasaan itu muncul. Seperti ada mata yang terus mengawasinya dari sudut-sudut gelap ruangan.
Aaron, yang tidur di sebelah ILHAM, merasakan hal yang sama. Dia membuka matanya dan melihat adiknya yang masih terjaga. "ILHAM, kamu juga merasakannya?" tanya Aaron pelan.
ILHAM mengangguk, "Ada sesuatu yang tidak beres, Kak. Rasanya... seperti kita sedang diawasi."
Aaron mencoba menenangkan adiknya. "Ini mungkin hanya efek dari latihan kita. Cobalah untuk tidur, besok kita akan bicara dengan Ustadz Abdullah."
Namun, dalam hati, Aaron tidak bisa mengabaikan perasaan aneh itu. Dia mulai melakukan dzikir dalam hati, mencoba menenangkan pikirannya, tetapi perasaan bahwa mereka sedang diawasi tidak hilang.
Sementara itu, di luar rumah, sosok pesugihan itu berdiri di bawah bayangan pohon, menatap ke arah jendela kamar mereka. Wajahnya yang tidak lagi sepenuhnya manusia tampak penuh kebencian. Ia menunggu perintah dari dukun sakti yang mengendalikannya, siap untuk melancarkan serangan begitu waktunya tiba.
Keesokan harinya, Aaron dan ILHAM menceritakan apa yang mereka rasakan kepada Ustadz Abdullah. Wajah sang Ustadz menjadi serius. "Ini bukan hal yang bisa dianggap enteng. Perasaan kalian benar, dan ini menandakan bahwa entitas yang kalian hadapi belum benar-benar pergi."
ILHAM merasa ketakutan mulai merayap kembali dalam dirinya. "Ustadz, apa yang harus kita lakukan?"
Ustadz Abdullah menatap mereka berdua dengan tegas. "Kalian harus terus memperkuat dzikir dan doa kalian. Ingat, kekuatan terbesar datang dari Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai hati kalian, karena itulah yang mereka cari. Kalian juga harus waspada, karena serangan bisa datang kapan saja."
Aaron menggenggam tangan ILHAM, memberikan kekuatan pada adiknya. "Kami akan mengikuti semua arahan Ustadz. Kami tidak akan membiarkan rasa takut menguasai kami."
Malam itu, Aaron dan ILHAM melanjutkan latihan mereka dengan lebih tekun. Mereka melakukan dzikir hingga larut malam, mengisi setiap sudut hati mereka dengan kekuatan iman. Namun, meskipun mereka terus berdoa dan memperkuat diri, bayangan pesugihan itu semakin mendekat, menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan pertahanan mereka.
Di kejauhan, dukun sakti yang mengendalikan pesugihan itu tersenyum dingin. Dia tahu bahwa waktu untuk melancarkan serangan telah dekat, dan dia yakin bahwa dua pemuda ini tidak akan bisa melawan kekuatan yang akan dia lepaskan.
Saat malam berganti dengan fajar, Aaron dan ILHAM tidak menyadari bahwa hari-hari tenang mereka akan segera berakhir. Sebuah pertempuran yang jauh lebih besar dari apa yang pernah mereka bayangkan sedang mendekat. Entitas jahat itu, bersama dengan kekuatan dukun yang mengendalikannya, bersiap untuk menyerang dengan cara yang tak terduga.
BAB 59: Ilham Melawan Saudaranya Part 1 — Awal Konflik SaudaraAngin lembut berhembus di atas puncak sarang yang baru tenang. Cahaya lembayung menari di antara bayangan yang kini damai, seolah memberi selamat atas berakhirnya perang saudara sebelumnya. Namun, di balik kedamaian yang tampak, Ilham merasakan getaran aneh. Sebuah energi familiar namun berbeda, seperti gema dari masa lalu yang menolak menyerah.Ilham berdiri di tepi inti pusat, memandang ke arah lembah energi yang bersinar lembut. Tiba-tiba, bayangan gelap muncul, menyatu dengan cahaya, tetapi bergerak dengan ritme yang asing. Ada aura yang mengingatkannya pada masa kecil, pada saudara yang pernah ia kenal, tetapi kini berbeda.“Ilham…” suara itu terdengar samar, seperti bayangan yang mencoba berbisik melalui ruang dan waktu.Ilham menatap tajam. Energi itu terasa seperti separuh dari dirinya sendiri, namun diwarnai kemarahan dan kebingungan yang intens. Ia menyadari, dengan perasaan cam
BAB 58: Aaron Menjadi Raja KelabangPart 1 — Awal Takhta dan Gelombang PertamaSetelah kedamaian yang perlahan menyejukkan sarang, Aaron berdiri di atas puncak menara pusat, menyaksikan gelombang cahaya lembayung dan bayangan yang kini menari harmonis di seluruh sarang. Atmosfer terasa berat sekaligus ringan; energi yang dulu liar kini tersaring menjadi aliran yang jelas, menuntun setiap makhluk dan setiap bayangan menuju keseimbangan. Ia bisa merasakan setiap denyut kehidupan, bukan hanya fisik, tapi metafisik—jiwa sarang seakan bernapas bersama dirinya.Aaron memejamkan mata sejenak, membiarkan energi baru itu meresap ke dalam dirinya. Ia merasakan sensasi yang asing namun familiar—perpaduan antara kekuatan primitif T-Rex yang pernah ia warisi dan kesadaran yang kini berkembang dari bayangan-bayangan yang diterima. Ini bukan hanya kekuatan fisik, tetapi energi kosmik yang beresonansi dengan jiwa seluruh sarang.“Sekarang, ini tangg
BAB 57: Perang Saudara di SarangPart 1 — Bayangan yang Berbagi RahasiaSarang Kelabang terbentang luas di bawah permukaan bumi, jaringan lorong dan ruang yang berkilau lembayung oleh cahaya organik yang terpancar dari dinding-dinding yang hidup. Setiap lekuk, setiap pori, berdenyut seolah makhluk itu sendiri bernapas. Udara di dalam sarang kental, bercampur aroma tanah basah, resin purba, dan sesuatu yang asing tapi memikat; energi yang bergetar seiring denyut hati makhluk-makhluk yang menghuni tempat ini.Aaron berdiri di pintu masuk salah satu lorong utama, menatap gelap yang mengular seperti sungai berkelok. Ilham ada di sisinya, matanya yang kini mampu menembus bayangan, menyapu setiap sudut, menyingkap rahasia yang tersembunyi dalam gelap. Bayangan-bayangan yang dulu menakutkan kini tampak lebih jinak, berbaur dengan cahaya lembayung, tapi tetap memancarkan peringatan: ada sesuatu yang sedang bergerak di balik kegelapan.“Kau merasakannya
BAB 56: Kebangkitan Lelana sebagai KelabangPart 1 — Getaran Pertama Kelahiran BaruSarang bawah tanah bergetar lembut, seakan dunia itu sendiri menahan napas. Setiap dinding batu yang pekat, setiap terowongan sempit, bergetar bersama dengan denyut energi yang baru terbentuk. Di tengah ruang utama, tubuh Lelana yang pernah fana terbaring diam, tapi kini cahaya lembayung mulai merembes melalui celah-celah sisik yang mengeras, menciptakan pola iridesen yang menakjubkan. Cahaya itu berdenyut, berkoordinasi dengan napas bumi, dan menghasilkan resonansi yang bisa dirasakan hingga ke dalam tulang Aaron dan Ilham.Aaron menatap dengan mata terbuka lebar, dada berdebar tidak hanya karena kekaguman, tapi juga karena rasa takut dan harapan bercampur. Energi yang terpancar dari Lelana berbeda dari apapun yang pernah mereka alami — bukan sekadar kekuatan fisik atau spiritual, tetapi kombinasi dari kesadaran purba, ingatan yang hilang, dan rasa empati yang mendalam
BAB 55: Kematian Lelana yang PertamaPart 1 — Bayangan yang Tak Mau MatiLangit sore menggantung bagai kain lembut yang basah oleh cahaya terakhir. Di tepi dataran yang dulu menjadi medan pertempuran Kelabang, kini hanya tersisa batu-batu hitam dan sisa kabut yang berbau logam. Aaron berdiri di sana dengan tangan bergetar, sementara Ilham berlutut di tanah, memeluk tubuh Lelana yang nyaris tanpa napas.Dunia sedang tenang — tapi terlalu tenang. Seolah setiap roh, setiap daun, bahkan udara menahan diri untuk tidak bergetar. Lelana terbaring dalam pelukan Ilham, wajahnya pucat, bibirnya masih menyisakan senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan semacam penerimaan halus terhadap sesuatu yang tak bisa ia ubah.“Dia… belum pergi,” bisik Aaron pelan, nyaris tanpa suara.“Aku tahu,” jawab Ilham. Suaranya retak, seperti kaca yang digores kuku. “Tapi jiwanya sudah tidak di sini.”Udara di sekitar
BAB 54: “Jagat yang Belajar Bernapas”BAB 54 — Part 1: Denyut Pertama Dunia BaruHening itu bukan sekadar ketiadaan suara — ia adalah napas pertama sebuah dunia.Setelah Putusan Jagat dilafalkan, waktu berhenti bukan karena kehabisan tenaga, melainkan karena sedang menata ulang arti keberadaannya. Di antara reruntuhan cahaya dan puing-puing realitas yang menguap seperti debu bintang, Aaron dan Ilham berdiri — bukan sebagai manusia, bukan pula sebagai anomali. Mereka adalah saksi dari sesuatu yang baru saja lahir.Tanah di bawah kaki mereka terasa lembut, seolah baru saja diukir dari doa-doa yang belum selesai. Warna-warna melayang di udara, bukan sebagai cahaya, tapi sebagai perasaan. Setiap nuansa biru menenangkan, setiap semburat jingga membawa rasa hangat yang belum pernah ada sebelumnya. Angin berhembus seperti tangan dunia yang ragu menyentuh kulit mereka — lembut, gugup, seperti bayi yang baru mengenal ibunya.







