Share

Bab 4

Penulis: Zayba Almira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 15:10:27

Pagi itu, Clara merasa seolah-olah dunia berjalan lebih cepat dari yang bisa dia kejar. Setelah rapat kemarin dengan Kieran, perasaan yang membebani dirinya belum juga menghilang. Kata-kata Kieran tentang bagaimana dia "memiliki potensi besar" dan "bisa melakukannya" terus terngiang-ngiang di kepala Clara. Namun, meskipun kata-kata itu memberikan dorongan, ada sesuatu yang lain yang semakin menyelimuti dirinya. *Perasaan itu.* Perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan.

Clara mengatur napasnya dan mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia memiliki lebih banyak laporan yang harus diselesaikan sebelum rapat besar dengan tim riset. Namun, semakin lama dia duduk di depan komputernya, semakin ia merasakan perasaan lain yang mengusik dirinya. Setiap kali dia memikirkan proyek besar ini, jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Bukan hanya karena tanggung jawab yang berat, tetapi karena ada satu sosok yang selalu muncul dalam pikirannya—Kieran.

*Kenapa saya terus memikirkannya?* Clara menggigit bibirnya, berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari Kieran. Namun, setiap kali dia berusaha fokus, bayangan wajah Kieran yang tenang dan tajam selalu muncul. *Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.* Clara tahu betul bahwa perasaan ini bisa merusak karier dan hubungan profesional mereka.

Ponselnya berbunyi, menariknya dari lamunannya. Sebuah pesan dari Kieran.

*"Clara, rapat dengan tim riset akan dimulai pukul 2 siang. Pastikan kamu siap dengan update terbaru."*

Clara menatap pesan itu beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas dan menjawab dengan cepat. *"Baik, Pak. Saya akan siap."*

Ketika pesan terkirim, Clara kembali menatap layar komputernya. *Tidak ada waktu untuk ragu.* Clara memutuskan untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, perasaan cemas itu tetap menggantung di benaknya, seolah ada yang lebih besar yang sedang menunggu untuk meledak.

Pukul 2 siang tiba, dan Clara berjalan menuju ruang rapat dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Di luar, suasana kota tampak sibuk, tapi di dalam dirinya, Clara merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Dia telah mempersiapkan semua laporan yang diperlukan, namun setiap kali ia memikirkan rapat dengan tim riset, ada rasa cemas yang menghantuinya. *Apakah saya benar-benar siap untuk ini?*

Setibanya di ruang rapat, Clara melihat Kieran sudah duduk di ujung meja besar. Kesan pertama yang muncul adalah ketegasan, seolah-olah dia sudah menguasai seluruh ruangan hanya dengan keberadaannya. Clara merasakan perasaan campur aduk—antara rasa ingin menghindar dan rasa ingin membuktikan dirinya. Tapi saat mata Kieran bertemu dengan matanya, sejenak, Clara merasa seolah-olah dunia seakan berhenti berputar.

"Kamu terlambat sedikit, Clara," kata Kieran dengan nada yang datar, tapi tatapan matanya tidak pernah lepas dari Clara. "Tapi tidak masalah. Mari mulai."

Clara merasa jantungnya berdegup lebih cepat. *Dia tahu saya cemas.* Tapi Clara berusaha untuk tetap tenang, menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke meja, meletakkan dokumen yang sudah dipersiapkan.

Setelah beberapa detik hening, Kieran membuka pembicaraan. "Tim riset, kita akan membahas beberapa perkembangan penting hari ini. Clara, apa kabar dengan laporan analisis pasar yang kamu kerjakan?"

Clara menatap Kieran, mencoba untuk menjaga ketenangannya. "Semua sudah disiapkan, Pak. Saya sudah merangkum analisis pasar terbaru, dan ada beberapa temuan yang perlu kita diskusikan.

Kieran mengangguk pelan. "Baik, mari kita dengar."

Clara memulai presentasinya, berbicara dengan percaya diri meskipun ada rasa gugup yang terus menghantuinya. Setiap kali dia melihat ke arah Kieran, matanya yang tajam dan penuh perhatian membuat Clara merasa seolah-olah sedang diuji. *Apakah saya cukup baik?*

Ketika Clara menyelesaikan presentasinya, Kieran tidak langsung memberikan komentar. Dia hanya mengamati Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kamu melakukan pekerjaan yang baik, Clara," katanya akhirnya. "Namun, saya ingin kamu lebih tegas dengan tim riset. Ini adalah proyek besar, dan kita tidak bisa menunggu terlalu lama untuk hasil yang lebih konkret."

Clara mengangguk, meskipun hatinya terasa lebih berat. *Tegas?* Itu adalah kata yang selalu dipakai Kieran untuk menggambarkan cara dia bekerja—sikap yang tidak memberi ruang untuk keraguan. Clara merasa seolah-olah dia harus menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri untuk memenuhi ekspektasi itu.

"Terima kasih, Pak," jawab Clara, berusaha untuk tetap profesional.

Namun, setelah rapat selesai dan tim mulai meninggalkan ruangan, Clara merasa semakin terperangkap dalam perasaan yang tidak bisa dia kontrol. Ketegangan yang selalu ada antara dia dan Kieran semakin sulit untuk diabaikan. *Apa yang sebenarnya terjadi antara kami?*

Clara kembali ke ruang kerjanya setelah rapat, tetapi kali ini, rasanya semakin sulit untuk fokus. Pekerjaan menumpuk di meja, tapi pikirannya terus kembali pada Kieran. *Dia begitu dekat, tetapi begitu jauh.* Tatapan Kieran yang penuh perhatian, namun tetap menjaga jarak profesional, membuat Clara semakin bingung dengan perasaannya sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi lagi. Ini kali kedua hari ini, dan setiap kali ada pesan dari Kieran, perasaan di dalam diri Clara semakin sulit dihindari.

*"Clara, saya ingin berbicara denganmu setelah jam kerja. Ada beberapa hal penting yang perlu kita bahas."*

Clara membaca pesan itu, dan untuk beberapa detik, dia tidak bisa bergerak. *Mengapa saya merasa begitu cemas?* Tidak ada kata-kata manis atau basa-basi. Hanya instruksi yang langsung dan tegas. Tapi untuk Clara, setiap pertemuan dengan Kieran terasa lebih dari sekadar pekerjaan. Ada ketegangan yang lebih dalam, yang semakin sulit untuk dihindari.

Dia menarik napas panjang dan menatap layar ponselnya, mencoba untuk mengatur pikirannya. *Ini hanya pekerjaan.* Namun, meskipun dia berusaha meyakinkan dirinya, Clara tahu bahwa semakin lama dia berada di dekat Kieran, semakin sulit untuk menjaga jarak antara profesionalisme dan perasaan pribadi yang terus berkembang.

Setelah jam kerja berakhir, Clara berjalan menuju ruang kerja Kieran. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah-olah dia sedang berjalan menuju sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Ketegangan yang terbangun sejak pertemuan pertama semakin nyata.

Ketika Clara mengetuk pintu dan masuk, Kieran sudah berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke kota. Pemandangan luar ruangan terlihat indah, tetapi Clara tahu bahwa perasaan yang ada di dalam ruangan ini jauh lebih kompleks.

"Kamu datang tepat waktu," kata Kieran, suaranya lebih lembut dari biasanya, tetapi tetap penuh wibawa.

Clara hanya mengangguk, berusaha untuk tetap tenang. "Ada apa, Pak?"

Kieran menoleh ke arahnya, dan kali ini, tidak ada yang bisa disembunyikan di mata mereka. "Clara," kata Kieran dengan serius, "Saya ingin kamu tahu bahwa saya mempercayai kamu. Tapi, saya juga ingin melihat lebih banyak dari dirimu. Saya ingin kamu lebih percaya pada dirimu sendiri."

Clara merasa jantungnya berdegup kencang. *Apa maksudnya?* Apakah ini tentang pekerjaan? Atau ada hal lain yang dia coba katakan?

Kieran mendekat, jarak mereka semakin dekat. Clara bisa merasakan ketegangan itu semakin menguat. Namun, di tengah semuanya, dia tahu satu hal—*apapun yang terjadi, dia tidak bisa mundur sekarang.*

*Setelah rapat, Clara merasa seperti ada beban berat yang terangkat, namun itu hanya sementara.* Ketegangan yang ia rasakan belum juga hilang. Di luar jendela ruang kerjanya, langit semakin gelap, menandakan malam yang akan segera datang. Namun, bagi Clara, malam itu justru terasa lebih panjang. Pikiran dan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya jauh lebih gelap daripada langit yang semakin suram di luar sana.

Setelah rapat tadi, Clara merasa perasaan yang datang begitu kuat. Kieran mempercayainya, tetapi di sisi lain, kata-kata yang selalu ia dengar—*lebih percaya diri*, *lebih tegas*, *lebih dari sekadar asisten*—semakin membuatnya merasa terpojok. *Apa artinya semua itu?* Clara menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, semakin ia mencoba fokus pada pekerjaan yang ada di depannya, semakin terasa bahwa ada hal yang lebih besar sedang berkembang, yang akan sulit untuk dihentikan.

*Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?* Clara tidak tahu lagi. Setiap kali mereka bertemu, ada semacam getaran yang tak bisa dijelaskan. Ada ketegangan yang ada di udara, seperti dua orang yang berusaha menahan perasaan yang sudah terlalu lama terpendam.

Clara kembali menatap layar komputernya, namun pikiran tentang Kieran selalu kembali menghantui. *Kenapa saya terus memikirkannya?* Setiap kali dia melihat Kieran, ada perasaan yang lebih dari sekadar rasa hormat atau profesionalisme. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang semakin sulit untuk diabaikan. Dan semakin dia mencoba untuk menutupinya, semakin kuat perasaan itu. *Saya harus menjauhkan diri.* Clara tahu bahwa perasaan ini bisa merusak segalanya—kariernya, hubungan profesional mereka, dan bahkan apa yang mereka bangun bersama di perusahaan ini.

Namun, saat itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Kieran.

*"Clara, rapat dengan tim riset akan dimulai pukul 2 siang. Pastikan kamu siap dengan update terbaru."*

Mata Clara sedikit terbelalak. *Dua siang?* Rapat itu sudah sangat dekat, dan Clara merasa sudah terlalu banyak hal yang belum dia atur. Dia menatap layar ponselnya dengan bingung, mencoba menenangkan diri. Ada rasa cemas yang terus menggelayuti dirinya. *Apakah saya benar-benar siap?* Dia tahu bahwa jika proyek ini gagal, dia akan disalahkan. Tapi ada hal lain yang lebih menakutkan—*bagaimana jika saya tidak bisa menjaga jarak dengan Kieran?* Itu adalah ketakutan terbesar Clara. *Apa yang akan terjadi jika saya mulai merasa lebih dari sekadar asisten baginya?*

*Tapi ini bukan saatnya untuk berpikir tentang itu.* Clara menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan itu jauh ke dalam dirinya. Dia harus fokus pada pekerjaannya. Meskipun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, meskipun pikirannya dipenuhi dengan bayangan Kieran yang penuh perhatian—Clara tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi perasaan ini adalah dengan membuktikan dirinya. *Proyek ini adalah kesempatan saya. Saya harus melakukannya.*

Pukul 2 siang tiba, dan Clara melangkah ke ruang rapat dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya. Ada banyak hal yang harus dia persiapkan, tetapi semakin dia mendekat, semakin perasaan itu semakin menguat. Ketegangan di antara dia dan Kieran semakin terasa, dan dia tahu bahwa ini adalah pertemuan yang akan menentukan banyak hal—baik untuk proyek, maupun untuk dirinya sendiri.

Saat Clara memasuki ruang rapat, Kieran sudah duduk di ujung meja besar, seperti biasa, dengan ekspresi serius yang menghiasi wajahnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang lebih dalam, yang jelas terlihat di mata Kieran. Meskipun dia tetap terlihat tenang dan terkontrol, Clara tahu bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik itu. *Apa yang dia pikirkan?*

Clara duduk di kursi yang telah disediakan dan mulai membuka laptopnya. Semua orang di ruang rapat mulai mengatur posisi mereka, menyiapkan peralatan untuk rapat. Tapi Clara merasa seolah-olah Kieran adalah satu-satunya orang yang ada di ruangan itu. Semua mata tertuju padanya, dan rasa cemas itu semakin kuat.

"Saya ingin mendengar pembaruan terbaru tentang analisis pasar," kata Kieran, suaranya tetap tenang, namun ada tekanan yang tak terucapkan dalam setiap kata yang diucapkannya.

Clara mengangguk, meskipun jantungnya berdebar kencang. Dia membuka laporan yang sudah dipersiapkan dan mulai menjelaskan, berusaha untuk tetap tenang meskipun setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terasa seperti ujian besar. *Saya harus membuktikan diri.* *Saya bisa melakukannya.*

Saat Clara selesai menyampaikan laporan, Kieran diam sejenak, seolah mencerna semua yang baru saja disampaikan. Tatapan matanya tajam, penuh perhatian, dan Clara merasa seperti sedang diperiksa, bukan hanya oleh tim riset, tetapi juga oleh dirinya sendiri. *Apakah ini cukup baik?*

"Saya ingin lebih dari sekadar laporan ini," kata Kieran akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, tetapi penuh penekanan. "Saya ingin kamu lebih tegas, lebih percaya diri dengan tim ini. Proyek ini besar, dan kita tidak bisa hanya berhenti di sini. Kita perlu hasil yang lebih konkret, Clara."

Clara mengangguk, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa perasaannya yang berkecamuk. *Tegas. Lebih percaya diri.* Kata-kata itu terus berputar dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya dimaksud Kieran dengan itu? *Apa yang lebih dari ini?* Clara merasa seperti ada tekanan yang semakin besar di bahunya, dan seiring berjalannya rapat, perasaan itu semakin intens. Setiap kali dia melihat Kieran, setiap kali tatapan mata mereka bertemu, ada perasaan yang semakin kuat. *Kenapa rasanya seperti ini?* *Apa yang sebenarnya saya rasakan?

Kieran melihatnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke layar proyektor. "Baik," katanya singkat. "Lanjutkan dengan langkah-langkah berikutnya. Saya ingin melihat lebih banyak hasil dalam minggu ini."

Clara mengangguk, berusaha menahan perasaan yang semakin tak terkendali. *Apa yang saya rasakan ini?* Clara mencoba fokus pada pekerjaan, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan Kieran, namun itu semakin sulit dilakukan.

Setelah rapat selesai, Clara kembali ke ruang kerjanya dengan langkah yang lebih berat dari sebelumnya. Setiap inci tubuhnya terasa tertekan oleh perasaan yang semakin kuat. *Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?* Setiap kali Clara mencoba untuk menjauh, perasaan itu semakin mendalam. Dan semakin ia berusaha untuk menahan diri, semakin ia merasa bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan.

Clara duduk di kursinya, menatap layar laptop yang kosong. Pekerjaan menumpuk, tetapi pikirannya jauh dari itu. *Saya harus fokus. Saya harus menyelesaikan proyek ini.* Namun, suara di dalam hatinya semakin kuat. *Apa yang akan terjadi jika saya tidak bisa menahan perasaan ini lebih lama?*

Ponselnya berbunyi lagi, dan Clara tahu siapa yang mengirim pesan itu. *Kieran.*

*"Clara, saya ingin berbicara denganmu setelah jam kerja. Ada beberapa hal penting yang perlu kita bahas."*

Clara menatap pesan itu dalam diam, merasakan detak jantungnya semakin cepat. *Apa yang dia inginkan dariku?* Semakin ia mencoba untuk menjauhkan perasaan itu, semakin ia merasa bahwa hubungan mereka sudah berubah. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang berkembang, dan Clara tahu bahwa ia tidak bisa menghindarinya lebih lama.

*Pertemuan Setelah Jam Kerja: Ketegangan yang Tak Terhindarkan*

Jam kerja selesai, dan Clara berdiri dengan langkah berat menuju ruang Kieran. *Ini bukan hanya tentang pekerjaan lagi, kan?* Tatapan Kieran yang penuh perhatian, kata-katanya yang penuh penekanan—semuanya terasa begitu jelas, begitu dekat. Setiap detik yang ia lewati, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.

Saat Clara mengetuk pintu ruang Kieran dan masuk, dia merasa seperti ada dunia yang terpisah di antara mereka. Kieran berdiri di dekat jendela besar, matanya menatap ke luar, namun kehadiran Clara tak pernah luput darinya. Begitu Clara masuk, Kieran menoleh, dan senyumnya yang tipis—yang selalu penuh dengan misteri—muncul di wajahnya.

"Kamu datang tepat waktu," katanya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.

Clara menatap Kieran, berusaha menjaga ketenangannya. "Ada apa, Pak?"

Kieran mengamati Clara sejenak, matanya yang tajam penuh perhitungan. "Clara, saya ingin kamu tahu bahwa saya mempercayai kamu," katanya, suara Kieran lebih dalam kali ini, seolah ada lebih banyak yang ingin ia katakan. "Namun, saya ingin melihat lebih banyak dari dirimu. Saya ingin kamu lebih percaya pada dirimu sendiri."

Clara merasakan perasaan yang membuncah di dalam dirinya. *Apa maksudnya?* Kenapa setiap kata yang keluar dari bibir Kieran terasa begitu berat? Ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai terungkap, dan Clara tahu satu hal dengan pasti—*hubungan ini tidak bisa lagi dipertahankan di luar batas.*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 204

    Pagi itu, langit bersih tak berawan. Clara berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan jepit bunga kecil yang pernah diberikan Luna. Gaun putih polos yang ia kenakan melambai pelan tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di luar, terdengar suara tawa anak-anak dan gesekan sapu dari halaman.Kieran muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja linen abu-abu dan celana panjang krem. Wajahnya teduh, matanya tak lepas dari sosok istrinya.“Kau masih secantik hari pertama kita bertemu,” ucapnya.Clara berbalik dan tersenyum. “Dan kau masih pandai membuatku lupa bagaimana caranya merasa takut.”Hari itu bukan hari biasa.Hari itu, mereka akan meninggalkan sesuatu yang lebih besar dari rumah pesisir mereka: sebuah nama, sebuah harapan, sebuah warisan.1. Simposium PerdamaianTenda besar didirikan di lapangan terbuka, tak jauh dari rumah mereka. Bangku-bangku kayu disusun rapi, dihiasi bunga kering dan anyaman daun.Orang-orang dari berbagai komunitas netral datang: dari barat yang pern

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 203

    Fajar menyelinap di sela tirai linen, menorehkan cahaya emas ke dinding rumah kayu mereka. Clara sudah terjaga, duduk di meja kecil menghadap jendela, menggambar dengan pensil arang di buku sketsanya. Di halamannya, tergambar wajah Luna yang sedang tertawa sambil memeluk tanaman rosemary.“Sudah pagi?” suara Kieran serak dari belakang.“Sudah,” jawab Clara tanpa menoleh. “Dan aku tak ingin melewatkan satu pun pagi bersamamu.”Ia menutup buku sketsa pelan. “Kita pernah hidup dalam hari-hari yang penuh bahaya. Tapi sekarang, setiap pagi seperti surat cinta dari semesta.”Kieran menarik kursi dan duduk di sampingnya. Ia mengambil tangan Clara dan mengecupnya dengan tenang.“Dan surat itu,” bisiknya, “kutulis ulang setiap hari... dalam detak jantungku.”1. Panggilan dari KotaDi tengah kesederhanaan itu, Aretha muncul dalam bentuk hologram kecil di ruang tamu.“Ada komunikasi dari Pusat Penyelaras Sipil. Mereka ingin mengundang Tuan dan Nyonya untuk berbicara dalam simposium tentang rek

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 202

    Langit di atas rumah pesisir itu bersih tak berawan, hanya sapuan tipis putih awan yang mengambang seperti mimpi yang tak ingin pergi. Clara berdiri di tepi tebing kecil yang menghadap langsung ke laut lepas, mengenakan gaun linen putih yang berkibar lembut ditiup angin. Di tangannya sebuah surat tua yang mulai menguning, ditulis tangan oleh Ayla—teman mereka yang telah pergi, namun meninggalkan warisan kenangan yang tak ternilai.“Dia menulisnya dua hari sebelum pengkhianatan terakhir di pusat markas,” ucap Kieran, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, membawa dua cangkir teh jahe hangat.Clara menoleh, menerima cangkirnya, dan tersenyum tipis. “Isi surat ini bukan sekadar perpisahan. Ini... seperti mandat untuk kita melanjutkan sesuatu.”Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap laut, tempat favorit mereka setiap pagi. Angin membawa aroma garam, suara debur ombak, dan kicau burung camar—simfoni kehidupan baru yang jauh dari suara ledakan dan sandi-sandi perang.1. Rencan

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 201

    Mentari pagi menyembul perlahan dari balik bukit, membasuh langit dengan semburat keemasan. Clara membuka jendela besar di rumah pesisir yang mereka bangun bersama—sebuah rumah kecil bercat putih dengan atap biru laut, menghadap langsung ke samudra yang berkilauan.Angin membawa harum garam dan bunyi debur ombak ke dalam ruangan, membelai rambutnya yang tergerai. Kieran muncul dari belakang, mengenakan sweater tipis, lalu melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Clara.“Tempat ini seperti mimpi,” bisik Clara.“Bukan mimpi lagi,” sahut Kieran pelan. “Ini kenyataan yang kita bangun sendiri.”1. Hari Tanpa TugasUntuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka tidak diburu jadwal, tidak ada sistem yang harus diperbaiki, tidak ada kode berbahaya yang perlu dibongkar. Hanya mereka berdua, dan waktu yang terasa melambat.Kieran membuatkan sarapan: roti panggang, telur mata sapi, dan teh herbal yang dulu biasa mereka minum di tengah operasi markas. Clara tertawa kecil saat Kieran berjuang

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 200

    Keterang hijau dawn lampu kota memudar perlahan ketika Clara dan Kieran menutup pintu ruang komando untuk malam terakhir mereka. Dua raga yang lelah, dua hati yang penuh luka—namun juga dua jiwa yang tumbuh lebih kuat oleh cinta dan persatuan.Mereka berjalan bergandengan menuju balkon atap, tempat bintang dan langit pagi menyambut. Aroma kopi hangat dan uap hujan semalam masih terasa, menambah kesyahduan momen."Kita berhasil," ucap Clara pelan, menatap wajah Kieran yang terpantul oleh kilau lampu jalan."Ya," jawab Kieran sambil membelai rambut Clara. "Ini hari terakhir konflik besar yang kita hadapi bersama. Sekarang kita punya kehidupan baru."1. Lambang Cincin Batu LautClara mengeluarkan kotak kecil berisi sepasang cincin sederhana: cincin Kieran terukir peta pulau tempat mereka berbulan madu, cincin Clara berhiaskan kelopak bunga liar yang mereka kumpulkan di dermaga malam itu."Ini lambang kisah kita," Clara berkata sambil menyematkan cincin pada jari Kieran. "Petualangan, ba

  • Di Balik Kantor CEO: Cinta yang Tak Terucapkan   Bab 199

    Senja malam merayap cepat di cakrawala ketika Kieran, Clara, dan Samantha kembali ke ruang komando. Peta tiga dimensi Veritas terpancar di layar hologram—jalur pelayaran, lokasi gudang distribusi, dan rute pengiriman vektor biologis. Aretha mengatur status pra-serangan."Data Samantha sangat akurat," ucap Clara sambil menunjuk titik koordinat pelabuhan gelap. "Jika kita potong jalur itu, kita hentikan penyebaran sebelum dimulai."Kieran memekikkan jempol. "Kita butuh tim laut dan tim darat bekerja serentak. Clara, kamu dan Samantha tangani tanah: infiltrasi gudang distribusi. Aku pimpin tim laut ke kapal yang akan dipakai Veritas."Samantha menarik napas dalam. "Aku akan bawa logistik. Aku tahu rutenya—dari gudang mereka ke kapal selam kecil yang tersembunyi di Teluk Barat."1. Persiapan Dua FronDua tim bergerak:Tim Darat (Clara & Samantha): Menyusup ke gudang tersembunyi di pelabuhan tua, mengambil sample vektor, dan menanam perangkat remote dieback.Tim Laut (Kieran): Mengikuti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status